Lonceng tanda pulang sekolah berbunyi. Anak-anak saat itu langsung berhamburan keluar dan disambut oleh para orang tua yang menunggu. Beberapa lainnya berjalan bersama teman-temannya, termasuk Javier yang kini digandeng oleh Evelyn. Gadis kecil itu dengan centilnya tersenyum sembari duduk di tempat yang kosong untuk menunggu neneknya menjemput, bersama Javier yang juga menunggu sopir datang. Tak butuh waktu lama berselang, seorang wanita berumur muncul dari arah kerumunan para siswa yang berjalan keluar sekolah. Membuat Evelyn langsung bersorak senang saat melihatnya. "Nenek!""Cucu Nenek, maaf Nenek lama menjemutmu, Sayang," ucapnya sembari mengusap kepala Evelyn. "Nggak apa-apa, Nek. Eve juga nungguin di sini sama Javier."Javier tersenyum kecil dan memberi salam. Dia tahu siapa nenek Evelyn karena mereka pernah bertemu. "Halo, Nek.""Halo, Sayang. Kamu nunggu sendirian? Ibumu belum datang, ya?"Javier dengan cepat menggeleng. "Mommy nggak akan datang, Nek. Jadi Iel nunggu Pak Ad
Ceklek. "Emily—"Langkah Keenan tertahan di ambang pintu saat melihat kehadiran Emily yang saat ini tengah berganti baju. Istrinya itu menoleh sekilas, sebelum kembali tak acuh dan memilih melanjutkan kegiatannya. "Masuklah, Ken. Aku sedang berganti pakaian.""Ah, iya." Keenan tersadar oleh teguran Emily, hingga dia lantas masuk dan mengunci pintu. Diletakkannya tas serta jas yang dibawanya sejak tadi. Kemudian dia melirik Emily yang kini juga memerhatikannya. Wanita itu telah selesai berpakaian. "Bibi sudah menyiapkan masakan untuk makan malam, kalau kau lapar, makanlah lebih dulu.""Kau tidak mau makan malam bersama?" Keenan mengangkat alisnya mendengar ucapan bernada lesu milik istrinya. Emily seperti tidak punya semangat dan biasanya, istrinya yang memasak. Sekarang semuanya diserahkan pada pelayan. Keenan tentu tak terlalu masalah soal itu, dia hanya merasa ada yang aneh. "Nanti saja, aku lelah." Emily merangsek naik ke atas ranjang dan memainkan ponselnya dengan tak acuh.
"Silakan dinikmati."Emily tersenyum sembari menyajikan pesanan dan kembali berbalik ke ruangannya saat melihat semua pelanggan sudah menikmati hidangannya. Dia kali ini akan membiarkan semua pekerjaan pada pelayan lain dan menikmati waktunya sendiri. Dengan kehadiran pekerja baru, Emily merasa sangat terbantu. Sayangnya, dia merasa bosan tidak ada teman mengobrol. Tidak ada Ashley di sini. Haruskah dia mengunjungi temannya? Diliriknya jam tangan yang menunjukkan waktu makan siang. Waktu yang pas untuk mengunjungi temannya dan makan bersama. Emily pun lantas mencoba mengirim pesan pada temannya dan Ashley pun membalasnya dengan cepat. Ternyata temannya tidak ke mana-mana. Merasa ini waktu yang tepat, Emily memilih keluar dari ruangannya dan membawa tas. Dia berjalan menghampiri salah satu pelayan. "Vi, kamu tolong bungkus dua porsi makanan ya. Seperti biasa, saya mau keluar dulu. Bilangin juga sama Pak manajer.""Baik, Bu."Setelah mengucapkan itu, Emily memilih berjalan keluar rest
Brak. Emily membuka pintu rumah cukup kuat dan berjalan pelan menuju ruang tengah. Hari ini, dia memilih untuk tidak masuk kerja karena kepalanya sedikit pusing. Hingga setelah mengantar Javier pergi, Emily langsung pulang. Keenan juga siang ini akan berangkat. Semoga tidak ada yang tertinggal, dia malas jika harus mengantarkan barang ke kantor suaminya. "Nyonya, Anda kembali?" sapa seorang pelayan saat melihat Emily kini duduk di sofa sambil memejamkan mata. "Iya, Bi, hari ini aku tidak bekerja. Ngomong-ngomong, Keenan sudah membawa semua barangnya?""Sudah, Nyonya," jawab sang pelayan sambil mengangguk. "Anda mau dibuatkan sesuatu, Nyonya?""Tidak usah, aku akan ke kamar."Emily tersenyum kecil dan bangkit dari duduknya. Dia berjalan pelan menuju kamarnya di lantai atas. Semua terasa hening pagi ini. Emily yang biasanya tidak ada di rumah saat pagi, jelas merasa ada yang asing. Namun dia tidak bisa menahan rasa pusing di kepalanya. Emily memilih merebahkan tubuhnya di ranjang beg
"Menantu Anda tidak hamil, Nyonya. Nyonya Emily hanya terserang flu ringan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, dia hanya butuh istirahat.""Anda yakin, Dok?" tanya nyonya Silvi."Iya, flu hari pertama memang tidak terlalu parah, tapi Nyonya Emily bisa langsung minum obat untuk mencegah flu berkelanjutan."Ekspresi kecewa terlihat di wajah nyonya Silvi, setelah mendengar vonis dokter yang mengatakan menantunya hanya terkena flu ringan. Padahal dia sudah sangat berharap akan mendapat cucu. "Kalau begitu, terima kasih, Dok. Mari saya antar Anda."Emily yang sedari tadi diam di ranjang, hanya menggeleng melihat ibu mertuanya yang sedih. Dia menjadi tidak tega, tapi dirinya memang tidak hamil. Dia dan Keenan juga baru melakukannya sekali. Apa dia memang harus memberikan anak untuk suaminya? Tapi Emily tidak berpikir untuk memiliki anak lagi setelah Javier. Ceklek.Suara pintu kamar terbuka. Perhatian Emily teralihkan dan refleks melihat ke pintu. Ada nyonya Silvi yang ternyata sudah kemb
Kondisi Emily sudah jauh lebih baik sekarang. Siang ini, dia membantu pelayan beres-beres rumah. Membersihkan kolam dan halaman belakang yang semalaman diguyur hujan. Langit hari ini juga terlihat berawan, Emily juga tidak mendapati sang surya menebar cahayanya. Namun untunglah, Javier sudah membawa payung seandainya nanti hujan kembali mengguyur. "Astaga, ini melelahkan," desahnya setelah selesai membuang air yang tak sengaja tertampung dalam bejana. Dia tidak mau ada jentik nyamuk yang bersarang. Hingga dia meminta semua pelayan untuk membantunya membersihkan aliran air."Nyonya, Anda baru saja sembuh, sebaiknya Anda kembali masuk dan beristirahat. Semua ini, biar kami yang urus." Seorang pelayan berjalan mendekati Emily yang sedang duduk, dengan ekspresi cemasnya. Mengalihkan perhatian Emily sejenak. Wajahnya sedikit pucat. "Baiklah, aku serahkan ini pada kalian ya.""Tentu, Nyonya."Emily dengan cepat bangkit dari duduknya dan berjalan masuk ke dalam rumah. Dia hendak menuju ka
Emily melirik ke sekitar, lalu kembali fokus pada ponselnya untuk membunuh rasa bosan yang terus mengganggunya, semenjak dia mendudukkan bokongnya. Ini sudah lama dan cukup membosankan. Namun sesuai dengan perkataannya kemarin, dia harus menjaga Javier selama belajar. Ya, menjaga dan menemani sampai selesai, bukan lagi antar-jemput. Sialnya, di antara beberapa orang ibu yang menemani anak mereka, dia harus duduk seorang diri tanpa ada yang mau berbaur dengannya. Semua jelas tidak suka dengan kehadirannya. Emily sadar itu. Semuanya berawal karena hari itu. Hari di mana anaknya pertama kali masuk sekolah beberapa bulan lalu. Emily telah membuat kehebohan karena bertengkar dengan orang tua murid lain, saat ayah dari seorang wali murid menggodanya. Membuat marah istrinya sampai mereka bertengkar. Dia merasa kehilangan muka dan kesal bukan main saat itu. Hingga orang tua murid tersebut akhirnya memindahkan anak mereka bahkan di hari pertama masuk. Sayangnya, kejadian tersebut tampaknya m
JDERR!Suara petir terdengar menggelegar di tengah malam, bersamaan dengan lampu yang tiba-tiba mati. Membangunkan Emily yang saat ini tengah terlelap bersama sang anak. Namun yang dilihatnya hanya kegelapan. Tidak ada setitik pun cahaya yang terlihat. Hujan lebat juga terdengar sangat jelas di luar. Membuat orang tidak mungkin untuk mau berkeliaran. Emily mendesis dan meraba-raba ponselnya. Menyalakan senter agar dirinya bisa melihat. "Sial, ada apa ini?" Emily dengan ogah-ogahan turun dari ranjang. Dia berpikir hanya kamar anaknya yang mati lampu, tapi saat dirinya keluar, justru rumah itu dilanda kegelapan. Emily kembali masuk dan melihat anaknya yang tengah tertidur. Dia berniat mencari senter yang ada di laci dan membiarkan ponselnya dalam keadaan menyala di kamar sang anak.Emily kemudian menutup pintu kamarnya dengan hati-hati. Dia berniat mengecek, apakah hanya lampu rumahnya yang mati atau yang lain juga. Tak dipungkiri, dia sedikit khawatir jika ada sesuatu yang tak diingin
"Oek ... oek ...."Suara tangis anak kecil terdengar jelas dan mengusik ketenangan Keenan yang saat ini sedang asyik terlelap. Dia menutup telinganya dengan bantal, tapi suara itu tetap terdengar dan justru semakin keras. Dia berdecak kesal, tapi tak ayal matanya terbuka. Keenan setengah mengantuk, terduduk dan melihat ke arah keranjang bayi. Lalu beralih melirik Emily yang tertidur pulas. "Yang, Sayang? Anak kita nangis." Keenan mengguncang tubuh Emily, berharap istrinya akan segera bangun. Namun Emily hanya melenguh dan tetap terlelap. "Sayang, Feli nangis."Keenan masih mencoba membangunkan Emily, tapi istrinya masih terlelap. Dia yang melihat itu, merasa bingung karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ini sudah nyaris empat puluh hari sejak Feli lahir, tapi dia belum bisa menggendongnya. Namun melihat Emily yang sepertinya tidak akan bangun, Keenan akhirnya berusaha mendekat dan menatap anaknya. "Ssstt, Feli sayang, jangan nangis ya. Mommy lagi tidur, kamu juga harus tidu
Lima bulan kemudian .... "Akhhh ... akhhh ... sakit!"Emily mengerang hebat. Dia mencengkeram kuat lengan Keenan sembari mendengar intruksi sang dokter untuk terus mengejan. Keringat bercucuran seiring dengan dirinya yang berusaha keras mengeluarkan sang anak. Rasa sakit di perutnya semakin menjadi dan Emily harus tetap dalam kesadarannya agar bisa melahirkan anak keduanya dengan selamat. "Sayang, ayo semangat! Kamu pasti bisa," ucap Keenan sambil mengecup tangan Emily dan mengusap keringat di keningnya. Dia takut dan cemas melihat Emily bersusah payah mengeluarkan anaknya. Hingga dirinya kini membiarkan saat kukuk-kukuk tajam Emily menancap di kulitnya. Rasa sakit yang dia rasakan sekarang, sama sekali tidak ada apa-apanya dibanding apa yang dirasakan oleh istrinya. "Ayo, Bu, sedikit lagi. Kepalanya sudah keluar."Keenan tak berani melihat anaknya. Dia hanya fokus pada Emily yang kini berjuang keras, hingga akhirnya istrinya itu menjerit kuat sampai kemudian disusul oleh suara tang
"Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga, sekarang juga, sekarang ... juga ...."Suara nyanyian ulang tahun bergema di sebuah ballroom hotel, yang mana saat ini mereka sedang merayakan hari ulang tahun Evelyn. Mengundang beberapa anak, termasuk Javier yang datang bersama Emily dan Keenan. Ada juga James yang turut hadir untuk menemani. Perayaan ulang tahun itu juga digelar bersamaan dengan acara syukuran atas kehamilan kedua Ashley, hingga cukup banyak orang dewasa yang datang. "Selamat ulang tahun, Evelyn."Semua orang berseru memberi selamat hingga acara terus berlanjut pada pemotongan kue. Gadis kecil yang kini seusia Javier itu tampak sangat antuasias saat memotong kue untuk dibagikan pada teman-temannya. Namun sebelum itu, Evelyn hendak memberikan kue potongan pertamanya. Emily, Keenan dan Javier hanya mengamati Evelyn yang menuruni panggung sampai gadis itu tak disangka berjalan ke arah mereka. Emily hanya bisa mengernyit kebingungan menanti aksi apa lagi yan
"Mom, jadi Mommy suka sama Ayah, ya?""Eh? Kenapa kamu bertanya begitu?" Emily yang sedang mengusap puncak kepala Javier untuk menidurkan sang anak, terkejut oleh pertanyaan yang tiba-tiba terlontar dari mulut kecil itu. "Kata Ayah, Mommy itu cinta banget sama Ayah, jadi Mommy ngejar-ngejar Ayah, terus hamil Iel deh. Beneran gitu, ya, Mom?" tanya Javier dengan penasaran. Dia tidak sadar jika pertanyaannya itu membuat Emily langsung mati kutu. 'James, kau bilang apa saja pada anakmu!' Emily menggeram dalam hati. "Y-ya, itu masa lalu. Ayahmu bilang apa lagi sama kamu?""Buanyyakkk banget, Mom!" Javier melebarkan kedua tangannya untuk mengekspresikan sebanyak apa James bercerita tentang Emily. "Ayah banyak cerita tentang Mommy. Katanya, Mommy, Ayah dan Tante Ashley itu teman. Ayah itu populer dan Mommy suka Ayah karena Ayah ganteng. Iya sih, Ayah ganteng, Iel juga jadinya ganteng.""Iya, itu benar. Terus apalagi yang Ayahmu katakan?""Hmm, itu ... Ayah bilang, dulu Ayah nggak suka Mom
Satu minggu kemudian .... "Mommy! Daddy! Iel kangen!"Javier berhambur ke dalam pelukan Emily dan Keenan begitu pintu rumah terbuka. Hari ini tepat dua hari setelah Javier akhirnya keluar dari rumah sakit dan menginap bersama James serta Sheila. Mereka menahan Javier lebih lama dari permintaan dan Emily mau tak mau mengizinkannya. Hingga kini, James sendiri yang datang mengembalikan Javier padanya. "Sayang—maksudku, Emily, akhir pekan besok aku ingin mengajak Javier ke luar kota bersama Mama, sekalian jalan-jalan. Apa aku boleh membawanya?" James meralat ucapannya saat melihat tatapan posesif Keenan. Suami dari wanita yang dia cintai, masih tampak waspada saat dia datang. James belum sepenuhnya menerima keputusan wanita itu, tapi dia juga tidak mau dipisahkan dari Javier atau membuat sang anak kecewa, jika dia tetap memaksakan kehendaknya. James hanya bisa mencintai Emily dalam hatinya. "Keluar kota?" Emily menatap Keenan dengan ragu. Dia meminta pendapat suaminya soal masalah ini,
"Ini, ambillah."Emily menyodorkan kunci mobil pada Ashley yang terkejut. Dia yang kalah taruhan beberapa waktu lalu, tentu saja akan memenuhi janjinya. Meski uang tabungannya terkuras habis. Bagaimana lagi? Ucapan Ashley jadi kenyataannya. "Kenapa kau memberikan mobil? Memangnya ada apa? Ini bukan ulang tahunku." Ashley mengambil kunci mobil itu dan menatap Emily dengan bingung. "Kau tidak ingat kita taruhan? Jika aku kalah aku harus membelikanmu mobil dan jika kau salah, kau harus menyerahkan semua restoran ini jadi milikku. Ingat?" jelas Emily dengan sedikit gemas melihat Ashley yang tampaknya melupakan apa yang dipertaruhkan. Padahal wanita itu sendiri yang mengajaknya bertaruh. "Aahh! Jadi aku menang? Ahahaha ... sudah kuduga, kau pasti jatuh cinta dan tidak bisa berjauhan dengan Keenan. Sekarang sepertinya kau sudah mengakui itu.""Berhenti mengejekku.""Ayolah, jangan malu. Sudah kubilang Keenan itu tampan. Kau sih gengsi terus."Emily berdecak dan diam membiarkan Ashley men
"Kau pasti kelelahan. Maaf selama ini aku selalu menyusahkanmu."Emily menatap Keenan yang terlelap di sebelahnya setelah mereka menghabiskan waktu bersama. Dia tanpa sungkan mengecup puncak kepala Keenan cukup lama, sebelum kemudian bangun dan menyelimuti tubuh Keenan. Emily turun dari ranjang dengan hati-hati. Memungut kembali pakaian dan mengenakannya. Pinggangnya sedikit sakit, padahal mereka sudah berhati-hati. "Sayang, kamu baik-baik saja 'kan? Maafkan Mommy," ucap Emily sambil mengelus perutnya. Dia tersenyum, sampai kemudian meriah ponsel miliknya dan berjalan keluar dengan hati-hati. Emily tidak mau membangunkan suaminya yang sedang tertidur pulas karena kelelahan. Keenan harus istirahat. Emily berjalan pelan dan memainkan ponselnya. Dia ingin mengontak ibu mertuanya, tapi baru saja dia hendak melakukan panggilan, nama James muncul di layar ponselnya. Emily mengernyit sesaat, tapi tak ayal dia menerima panggilan tersebut. "James, apa yang terja—""Emily, ini Tante.""Oh, Ta
"Keenan?"Emily refleks mendorong tubuh James dan terkejut melihat kehadiran suaminya di ambang pintu. Ekspresi Keenan seperti terluka melihat dirinya dicium oleh James. Sial, dia tidak bisa mengelak karena semua terjadi begitu cepat. Keenan tidak boleh salah paham. "Aku sepertinya mengganggu, aku akan pergi.""Eh, tunggu, Ken!" cegah Emily yang langsung berlari mendekati suaminya. Dia meninggalkan James yang tersenyum kecut dan membuang muka. Grep! Tangan Keenan berhasil digenggam cepat oleh Emily sebelum lelaki itu kabur. Keenan masih tampak lemah, sehingga tidak sulit bagi dia menangkapnya. "Ken, apa yang kau lihat tadi salah paham. Tolong dengarkan aku ya? Kita bicara sebentar?""Tidak apa-apa, aku tidak akan mencegahmu lagi kalau kau mau kembali padanya," gumam Keenan dengan nada sedih. Berusaha sebisa mungkin untuk tidak menatap Emily. Namun sayangnya, Keenan harus terkejut saat tubuhnya dibalik dengan cepat oleh sang istri dan membuat mereka saling berhadapan. "Astaga, waja
Keenan berkali-kali menghela napas sambil terkantuk-kantuk di meja kerjanya. Dia tidak bisa fokus pada meeting kali ini karena semalaman menjaga Javier. James juga berkali-kali mengajaknya berdebat tentang apa yang dilakukannya di masa lalu. Lelaki itu memberinya ketakutan jika suatu saat Emily akan meninggalkannya. Tidak, tentu saja Keenan tidak berharap demikian. Dia tidak mampu berpisah dengan Emily serta anak-anaknya. "Pa? Pak Ken?" Sam menegur Keenan yang kala itu menjadi pusat perhatian semua orang di meja rapat. "Anda sepertinya tidak baik-baik saja, bagaimana kalau rapat ini diakhiri?""Ah iya, kepalaku sedikit pusing. Lakukan saja," jawab Keenan tak acuh. Membuat Sam seketika mengambil alih perhatian dan menutup pertemuan dengan cepat. Keenan yang memang tidak dalam kondisi baik-baik saja, meninggalkan ruangan lebih dulu. Dia pergi menuju ruangannya untuk beristirahat sejenak sambil diikuti oleh Sam dari belakang. "Sam, aku sepertinya butuh obat sakit kepala.""Hanya itu, P