"Ken, bangun. Ini sudah pagi, sampai kapan kaumau tidur? Kau harus bekerja. Ayo bangun!"Guncangan pelan dan suara lembut mengusik ketenangan Keenan yang saat ini tengah terlelap. Lelaki itu menggeliat sembari berusaha membuka matanya. Dia tanpa sadar tersenyum saat merasakan usapan lembut di kepalanya, tapi kemudian matanya dibuat melotot saat melihat orang yang mengusapnya adalah Emily. Refleks, tubuhnya menjauh dan terbangun. "Emily?""Ada apa dengan reaksimu itu, Ken? Kau seperti melihat hantu."Keenan mengernyit bingung melihat senyum di bibir Emily. Wanita itu tidak berteriak dan bahkan malah memanggilnya dengan lembut. "Kau tersenyum padaku? Apa, apa kau juga mengusap wajahku?""Kenapa? Kau 'kan yang mau?" Tangan Emily terulur meraih pipi Keenan dan mengelusnya. Dia mendekat sembari mendaratkan kecupan ringan di pipi suaminya. "Selamat pagi, Ken. Mandilah, aku akan siapkan sarapan."Perintah Emily sayangnya tak didengar oleh Keenan yang saat ini membeku dengan kedua pipi yang m
Lonceng tanda pulang sekolah berbunyi. Anak-anak saat itu langsung berhamburan keluar dan disambut oleh para orang tua yang menunggu. Beberapa lainnya berjalan bersama teman-temannya, termasuk Javier yang kini digandeng oleh Evelyn. Gadis kecil itu dengan centilnya tersenyum sembari duduk di tempat yang kosong untuk menunggu neneknya menjemput, bersama Javier yang juga menunggu sopir datang. Tak butuh waktu lama berselang, seorang wanita berumur muncul dari arah kerumunan para siswa yang berjalan keluar sekolah. Membuat Evelyn langsung bersorak senang saat melihatnya. "Nenek!""Cucu Nenek, maaf Nenek lama menjemutmu, Sayang," ucapnya sembari mengusap kepala Evelyn. "Nggak apa-apa, Nek. Eve juga nungguin di sini sama Javier."Javier tersenyum kecil dan memberi salam. Dia tahu siapa nenek Evelyn karena mereka pernah bertemu. "Halo, Nek.""Halo, Sayang. Kamu nunggu sendirian? Ibumu belum datang, ya?"Javier dengan cepat menggeleng. "Mommy nggak akan datang, Nek. Jadi Iel nunggu Pak Ad
Ceklek. "Emily—"Langkah Keenan tertahan di ambang pintu saat melihat kehadiran Emily yang saat ini tengah berganti baju. Istrinya itu menoleh sekilas, sebelum kembali tak acuh dan memilih melanjutkan kegiatannya. "Masuklah, Ken. Aku sedang berganti pakaian.""Ah, iya." Keenan tersadar oleh teguran Emily, hingga dia lantas masuk dan mengunci pintu. Diletakkannya tas serta jas yang dibawanya sejak tadi. Kemudian dia melirik Emily yang kini juga memerhatikannya. Wanita itu telah selesai berpakaian. "Bibi sudah menyiapkan masakan untuk makan malam, kalau kau lapar, makanlah lebih dulu.""Kau tidak mau makan malam bersama?" Keenan mengangkat alisnya mendengar ucapan bernada lesu milik istrinya. Emily seperti tidak punya semangat dan biasanya, istrinya yang memasak. Sekarang semuanya diserahkan pada pelayan. Keenan tentu tak terlalu masalah soal itu, dia hanya merasa ada yang aneh. "Nanti saja, aku lelah." Emily merangsek naik ke atas ranjang dan memainkan ponselnya dengan tak acuh.
"Silakan dinikmati."Emily tersenyum sembari menyajikan pesanan dan kembali berbalik ke ruangannya saat melihat semua pelanggan sudah menikmati hidangannya. Dia kali ini akan membiarkan semua pekerjaan pada pelayan lain dan menikmati waktunya sendiri. Dengan kehadiran pekerja baru, Emily merasa sangat terbantu. Sayangnya, dia merasa bosan tidak ada teman mengobrol. Tidak ada Ashley di sini. Haruskah dia mengunjungi temannya? Diliriknya jam tangan yang menunjukkan waktu makan siang. Waktu yang pas untuk mengunjungi temannya dan makan bersama. Emily pun lantas mencoba mengirim pesan pada temannya dan Ashley pun membalasnya dengan cepat. Ternyata temannya tidak ke mana-mana. Merasa ini waktu yang tepat, Emily memilih keluar dari ruangannya dan membawa tas. Dia berjalan menghampiri salah satu pelayan. "Vi, kamu tolong bungkus dua porsi makanan ya. Seperti biasa, saya mau keluar dulu. Bilangin juga sama Pak manajer.""Baik, Bu."Setelah mengucapkan itu, Emily memilih berjalan keluar rest
Brak. Emily membuka pintu rumah cukup kuat dan berjalan pelan menuju ruang tengah. Hari ini, dia memilih untuk tidak masuk kerja karena kepalanya sedikit pusing. Hingga setelah mengantar Javier pergi, Emily langsung pulang. Keenan juga siang ini akan berangkat. Semoga tidak ada yang tertinggal, dia malas jika harus mengantarkan barang ke kantor suaminya. "Nyonya, Anda kembali?" sapa seorang pelayan saat melihat Emily kini duduk di sofa sambil memejamkan mata. "Iya, Bi, hari ini aku tidak bekerja. Ngomong-ngomong, Keenan sudah membawa semua barangnya?""Sudah, Nyonya," jawab sang pelayan sambil mengangguk. "Anda mau dibuatkan sesuatu, Nyonya?""Tidak usah, aku akan ke kamar."Emily tersenyum kecil dan bangkit dari duduknya. Dia berjalan pelan menuju kamarnya di lantai atas. Semua terasa hening pagi ini. Emily yang biasanya tidak ada di rumah saat pagi, jelas merasa ada yang asing. Namun dia tidak bisa menahan rasa pusing di kepalanya. Emily memilih merebahkan tubuhnya di ranjang beg
"Menantu Anda tidak hamil, Nyonya. Nyonya Emily hanya terserang flu ringan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, dia hanya butuh istirahat.""Anda yakin, Dok?" tanya nyonya Silvi."Iya, flu hari pertama memang tidak terlalu parah, tapi Nyonya Emily bisa langsung minum obat untuk mencegah flu berkelanjutan."Ekspresi kecewa terlihat di wajah nyonya Silvi, setelah mendengar vonis dokter yang mengatakan menantunya hanya terkena flu ringan. Padahal dia sudah sangat berharap akan mendapat cucu. "Kalau begitu, terima kasih, Dok. Mari saya antar Anda."Emily yang sedari tadi diam di ranjang, hanya menggeleng melihat ibu mertuanya yang sedih. Dia menjadi tidak tega, tapi dirinya memang tidak hamil. Dia dan Keenan juga baru melakukannya sekali. Apa dia memang harus memberikan anak untuk suaminya? Tapi Emily tidak berpikir untuk memiliki anak lagi setelah Javier. Ceklek.Suara pintu kamar terbuka. Perhatian Emily teralihkan dan refleks melihat ke pintu. Ada nyonya Silvi yang ternyata sudah kemb
Kondisi Emily sudah jauh lebih baik sekarang. Siang ini, dia membantu pelayan beres-beres rumah. Membersihkan kolam dan halaman belakang yang semalaman diguyur hujan. Langit hari ini juga terlihat berawan, Emily juga tidak mendapati sang surya menebar cahayanya. Namun untunglah, Javier sudah membawa payung seandainya nanti hujan kembali mengguyur. "Astaga, ini melelahkan," desahnya setelah selesai membuang air yang tak sengaja tertampung dalam bejana. Dia tidak mau ada jentik nyamuk yang bersarang. Hingga dia meminta semua pelayan untuk membantunya membersihkan aliran air."Nyonya, Anda baru saja sembuh, sebaiknya Anda kembali masuk dan beristirahat. Semua ini, biar kami yang urus." Seorang pelayan berjalan mendekati Emily yang sedang duduk, dengan ekspresi cemasnya. Mengalihkan perhatian Emily sejenak. Wajahnya sedikit pucat. "Baiklah, aku serahkan ini pada kalian ya.""Tentu, Nyonya."Emily dengan cepat bangkit dari duduknya dan berjalan masuk ke dalam rumah. Dia hendak menuju ka
Emily melirik ke sekitar, lalu kembali fokus pada ponselnya untuk membunuh rasa bosan yang terus mengganggunya, semenjak dia mendudukkan bokongnya. Ini sudah lama dan cukup membosankan. Namun sesuai dengan perkataannya kemarin, dia harus menjaga Javier selama belajar. Ya, menjaga dan menemani sampai selesai, bukan lagi antar-jemput. Sialnya, di antara beberapa orang ibu yang menemani anak mereka, dia harus duduk seorang diri tanpa ada yang mau berbaur dengannya. Semua jelas tidak suka dengan kehadirannya. Emily sadar itu. Semuanya berawal karena hari itu. Hari di mana anaknya pertama kali masuk sekolah beberapa bulan lalu. Emily telah membuat kehebohan karena bertengkar dengan orang tua murid lain, saat ayah dari seorang wali murid menggodanya. Membuat marah istrinya sampai mereka bertengkar. Dia merasa kehilangan muka dan kesal bukan main saat itu. Hingga orang tua murid tersebut akhirnya memindahkan anak mereka bahkan di hari pertama masuk. Sayangnya, kejadian tersebut tampaknya m