Emily melirik ke sekitar, lalu kembali fokus pada ponselnya untuk membunuh rasa bosan yang terus mengganggunya, semenjak dia mendudukkan bokongnya. Ini sudah lama dan cukup membosankan. Namun sesuai dengan perkataannya kemarin, dia harus menjaga Javier selama belajar. Ya, menjaga dan menemani sampai selesai, bukan lagi antar-jemput. Sialnya, di antara beberapa orang ibu yang menemani anak mereka, dia harus duduk seorang diri tanpa ada yang mau berbaur dengannya. Semua jelas tidak suka dengan kehadirannya. Emily sadar itu. Semuanya berawal karena hari itu. Hari di mana anaknya pertama kali masuk sekolah beberapa bulan lalu. Emily telah membuat kehebohan karena bertengkar dengan orang tua murid lain, saat ayah dari seorang wali murid menggodanya. Membuat marah istrinya sampai mereka bertengkar. Dia merasa kehilangan muka dan kesal bukan main saat itu. Hingga orang tua murid tersebut akhirnya memindahkan anak mereka bahkan di hari pertama masuk. Sayangnya, kejadian tersebut tampaknya m
JDERR!Suara petir terdengar menggelegar di tengah malam, bersamaan dengan lampu yang tiba-tiba mati. Membangunkan Emily yang saat ini tengah terlelap bersama sang anak. Namun yang dilihatnya hanya kegelapan. Tidak ada setitik pun cahaya yang terlihat. Hujan lebat juga terdengar sangat jelas di luar. Membuat orang tidak mungkin untuk mau berkeliaran. Emily mendesis dan meraba-raba ponselnya. Menyalakan senter agar dirinya bisa melihat. "Sial, ada apa ini?" Emily dengan ogah-ogahan turun dari ranjang. Dia berpikir hanya kamar anaknya yang mati lampu, tapi saat dirinya keluar, justru rumah itu dilanda kegelapan. Emily kembali masuk dan melihat anaknya yang tengah tertidur. Dia berniat mencari senter yang ada di laci dan membiarkan ponselnya dalam keadaan menyala di kamar sang anak.Emily kemudian menutup pintu kamarnya dengan hati-hati. Dia berniat mengecek, apakah hanya lampu rumahnya yang mati atau yang lain juga. Tak dipungkiri, dia sedikit khawatir jika ada sesuatu yang tak diingin
Brak! Pintu ruangan terbuka. Seorang pria masuk dengan senyum tipis di wajahnya. Ekspresi penuh kepuasan terus terlihat di sana. Pagi ini seolah menjadi pagi yang cukup menyenangkan baginya menjalani hidup, setelah hampir enam tahun hidup dalam kesuraman dan keterpurukan. Tangannya pun langsung meraih ponselnya kembali dan me atap foto seorang wanita yang tengah tersenyum. Perasaannya menghangat. Dia senang karena bisa melepas rindu dengan wanitanya, setelah sekian tahun tak bertemu. Namun sialnya, dia belum bisa bicara apa pun. Semua pertanyaan yang awalnya sudah dipersiapkan, langsung menghilang saat dia duduk berdampingan dengan wanita itu. Yang ada di pikirannya hanya dia ingin kembali mencumbunya seperti dulu dan ya, semua sesuai keinginan sialannya. Dia hilang kendali saat di hadapan wanita itu. "Kau tidak pernah berubah. Kau selalu tidak bisa menolakku," gumamnya sambil tersenyum puas. Senang saat apa yang terjadi, lebih dari yang dia harapkan. "Tapi kenapa selama aku di penj
"Daddy pulang!"Suara Keenan terdengar keras bersamaan dengan pintu rumah yang terbuka. Dia berjalan memasuki ruang tengah dan disambut oleh Javier serta Emily. "Daddy!"Keenan menyambut Javier yang berlari ke arahnya dengan senang. Mencium anak sambungnya itu tanpa ragu. "Daddy kangen.""Iel juga kangen Daddy. Kenapa Daddy pergi lama banget?""Daddy 'kan cari uang untuk kamu. Nih, lihat! Daddy bawain apa?" Keenan memperlihatkan dua buah paper bag besar ke arah Javier, yang berisi makanan dan satu lagi berisi kotak besar. Javier yang melihatnya, langsung antusias dan lantas membukanya tanpa pikir panjang. Hingga dia dibuat terkejut saat melihat mainan robot yang diidam-idamkannya. "Daddy, ini serius buat Iel?""Iya, kamu suka?""Ken, apa yang kaulakukan? Jangan manjakan Javier terus. Dia juga sudah besar, itu mainan anak kecil," ucap Emily yang mendekat dan melirik mainan di tangan sang anak. Entah sudah berapa banyak mainan yang dimiliki Javier saat mereka tinggal di sini. Seperti
"Javier?" "Hmpph!"Emily terkejut melihat putranya dengan sengaja membuang muka saat dipanggil. Seolah menunjukkan dengan jelas kekesalannya. Apa Javier masih marah soal tadi? Ini benar-benar memalukan. Gara-gara Keenan, anaknya jadi kesal. Emily menepuk keningnya saat teringat insiden memalukan tadi. Walau begitu, dia berusaha mendekati anaknya yang masih sibuk belajar. "Javier, ini sudah malam, tidurla—""Iel juga mau tidur, Mommy keluar saja.""Eh?" Emily mengedipkan matanya melihat Javier membereskan meja belajarnya dan berjalan anggun menuju ranjang. Anaknya itu menarik selimut, lalu memejamkan mata, seolah-olah menunjukkan kalau dirinya akan tidur. "Kamu nggak mau ditemani Mommy?""Iel udah besar, Iel nggak boleh manja," jawab Javier tanpa membuka matanya. Emily yang mendengar ucapannya anaknya, hanya tersenyum masam. Sedikit susah membujuk Javier ketika anaknya sedang kesal. Hingga dia akhirnya memilih mengalah untuk saat ini. "Ya sudah, Mommy keluar kalau gitu. Selamat malam
"Emily, aku ingin makan siang denganmu, bisa kau datang ke kantor sekarang?""Kenapa kau tidak datang saja ke sini atau minta ditemani oleh bawahanmu? Aku banyak kerjaan." Emily berdecak kesal saat dirinya mendapat panggilan dari Keenan ketika tengah bekerja. "Ayolah, aku sedang sibuk. Sekali-kali datang dan bawakan suamimu ini makan siang."Emily mencibir. "Kau manja sekali.""Aku tidak ingin berdebat denganmu.""Iya, iya, aku akan datang."Emily berdecak kesal dan langsung menutup panggilannya dengan cepat. Dia keluar dari ruangannya dan memanggil pelayan untuk meminta membuatkan makan siang Keenan. Namun saat dia akan berjalan keluar restoran, langkahnya dibuat terhenti oleh kehadiran lelaki yang memakai topi serta masker hitam kemarin. Pakaiannya sudah berbeda dan lebih rapi, tapi itu jelas lelaki kemarin. Tak beda jauh dengannya yang berhenti dan menatap penuh penasaran, lelaki itu juga ikut berhenti serta menatapnya. Sayangnya, kontak mata mereka hanya berlangsung sekilas, lel
"Ah, akhirnya Mama bisa melihat cucu Mama lagi, senangnya."Nyonya Silvi memecah keheningan di ruang makan, begitu acara makan malam itu selesai. Dia menunjukkan minatnya pada sang menantu dan Javier yang kini duduk diapit Keenan serta Emily. Senyum di bibirnya terlihat lebar, karena senang bisa melihat keduanya. Walau memang, acara makan ini sangat mendadak. "Iel juga senang bisa ketemu Oma," jawab Javier sambil tersenyum polos. "Ehem, hanya Oma? Bagaimana dengan Opa?" Tuan Vian berdehem pelan, bermaksud menarik perhatian Javier. "Opa juga! Iel senang ketemu Opa keren.""Kalau begitu, apa kamu mau main sama Opa?"Javier memekik senang dan bertepuk tangan. Dia mengangguk, lalu beranjak turun dari kursinya menghampiri tuan Vian. "Ayo, Opa! Iel mau!"Melihat Javier yang gampang akrab dengan orang tua Keenan, Emily hanya tersenyum. Dia senang, tapi juga sedih, dia takut mengecewakan kedua mertuanya yang sangat baik. Rasanya, Emily tidak pantas mendapat semua ini. "Emily, ngomong-ngom
"Pagi, bangunlah Emily.""Enggh.""Kau harus sarapan, bangunlah."Suara itu terus mengiang di telinganya. Mengganggu Emily yang masih sibuk memejamkan matanya, sampai kemudian dirasakannya kecupan ringan di pipi, lalu bibir. Dengan santai, dia membalas lumatan bibir itu sambil tersenyum. Coffee. Rasanya seperti cappucino. Emily membuka matanya dengan enggan tanpa melepaskan ciuman itu, sampai kemudian matanya terbelalak begitu mendapati siapa yang berciuman dengannya. Refleks, Emily melepaskan dirinya. "Ken, apa yang kaulakukan?" Emily memegang bibirnya dengan malu. Bisa-bisanya dia malah membalas ciuman itu. "Membangunkanmu, aku membawakan sarapan untukmu."Emily mengerutkan keningnya dan terduduk. Dia mengusap matanya sambil melirik ke arah jam. Hingga dia dibuat terkejut saat melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. Bagaimana bisa dia baru bangun? Astaga, dia bahkan bangun kesiangan di rumah mertuanya. "Kenapa kau tidak membangunkanku, Ken! Ya ampun, ba