"Ah, akhirnya Mama bisa melihat cucu Mama lagi, senangnya."Nyonya Silvi memecah keheningan di ruang makan, begitu acara makan malam itu selesai. Dia menunjukkan minatnya pada sang menantu dan Javier yang kini duduk diapit Keenan serta Emily. Senyum di bibirnya terlihat lebar, karena senang bisa melihat keduanya. Walau memang, acara makan ini sangat mendadak. "Iel juga senang bisa ketemu Oma," jawab Javier sambil tersenyum polos. "Ehem, hanya Oma? Bagaimana dengan Opa?" Tuan Vian berdehem pelan, bermaksud menarik perhatian Javier. "Opa juga! Iel senang ketemu Opa keren.""Kalau begitu, apa kamu mau main sama Opa?"Javier memekik senang dan bertepuk tangan. Dia mengangguk, lalu beranjak turun dari kursinya menghampiri tuan Vian. "Ayo, Opa! Iel mau!"Melihat Javier yang gampang akrab dengan orang tua Keenan, Emily hanya tersenyum. Dia senang, tapi juga sedih, dia takut mengecewakan kedua mertuanya yang sangat baik. Rasanya, Emily tidak pantas mendapat semua ini. "Emily, ngomong-ngom
"Pagi, bangunlah Emily.""Enggh.""Kau harus sarapan, bangunlah."Suara itu terus mengiang di telinganya. Mengganggu Emily yang masih sibuk memejamkan matanya, sampai kemudian dirasakannya kecupan ringan di pipi, lalu bibir. Dengan santai, dia membalas lumatan bibir itu sambil tersenyum. Coffee. Rasanya seperti cappucino. Emily membuka matanya dengan enggan tanpa melepaskan ciuman itu, sampai kemudian matanya terbelalak begitu mendapati siapa yang berciuman dengannya. Refleks, Emily melepaskan dirinya. "Ken, apa yang kaulakukan?" Emily memegang bibirnya dengan malu. Bisa-bisanya dia malah membalas ciuman itu. "Membangunkanmu, aku membawakan sarapan untukmu."Emily mengerutkan keningnya dan terduduk. Dia mengusap matanya sambil melirik ke arah jam. Hingga dia dibuat terkejut saat melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. Bagaimana bisa dia baru bangun? Astaga, dia bahkan bangun kesiangan di rumah mertuanya. "Kenapa kau tidak membangunkanku, Ken! Ya ampun, ba
"Terima kasih pada semua orang yang telah hadir pada perayaan ulang tahun perusahaan Ferans Corporation yang ke 30 tahun. Saya Keenan Derrel Ferano, merasa sangat bangga pada semua karyawan yang telah bekerja keras memajukan perusahaan hingga saat ini. Saya harap, kita dapat terus bekerja sama ke depannya."Emily tersenyum lembut menatap Keenan yang begitu gagah serta serius memberikan sambutannya. Sang suami terlihat berbeda saat berada di hadapan semua orang. Tak dipungkiri, Keenan memiliki kharisma yang kuat, yang mampu membuat semua perhatian tertuju ke arahnya. Sosok yang sangat pantas menjadi pemimpin. Emily bukannya suka, tapi dia hanya menilai dari apa yang dilihatnya. Mungkinkah ini alasan sang anak menyukainya? "Bukankah Keenan sangat hebat?"Suara setengah berbisik, mengejutkan Emily. Dia tersadar dari lamunannya dan menoleh. Menatap ibu mertuanya yang tersenyum lebar saat melihatnya terus memerhatikan Keenan di atas podium. Javier yang duduk di sebelahnya pun begitu fokus
Dua orang pria dan wanita tampak tengah asyik bergumul di atas ranjang hotel. Suara erotis keduanya terdengar cukup jelas seiring dengan ranjang yang ikut bergoyang. Tidak ada satu pun dari mereka yang ingat soal pesta, keduanya sama-sama sibuk mencari kepuasan. Menjalin hubungan terlarang. Sang wanita berusaha keras menahan suara manjanya dan memilih menyembunyikan wajahnya di balik bantal, tanpa berusaha menghentikan pria yang tengah menikmati tubuhnya. Hingga akhirnya, semua berhenti dengan sendirinya saat si pria itu mengerang keras dan menanamkan benihnya pada si wanita. Bagai tak malu, keduanya berpelukan dan saling mencium. "C-cukup, James. Aku lelah," ucap si wanita, yang tidak lain adalah Emily. Wanita gila yang baru saja membiarkan lelaki lain menyentuh tubuhnya selain Keenan. Entah bagaimana itu bermula, mereka sudah menciptakan hal yang mungkin akan menghancurkannya di kemudian hari. "Satu kali lagi, aku belum puas.""Tidak! Ini salah, aku tidak mau melakukannya lagi! Ke
"Aku melakukannya. Aku gila, aku benar-benar tidak waras."Emily terus berguman setelah terbangun dari tidurnya dalam keadaan telanjang bulat. Di saat yang sama, dia juga melihat Keenan yang ikut bangun. Lelaki itu mengusap matanya dan tersenyum manis. Emily terdiam melihat senyum memukau itu. Keenan tampak bersinar, lain halnya dengan dia. "Selamat pagi," sapa Keenan. "P-pagi."Keenan tersenyum dan menarik Emily mendekat untuk mendaratkan ciuman ringan di bibir istrinya. "Bagaimana tubuhmu? Baik-baik saja?""Ya, kau tidak perlu khawatir.""Aku senang. Kalau begitu, aku harus siap-siap. Kau diam saja di sini, aku akan meminta pelayan untuk menyiapkan sarapan untukmu.""Tidak perlu, aku akan turun sendiri. Kaumau mandi?" Emily beranjak dari ranjang sambil memasang kembali pakaiannya. "Ya, mau mandi bersama?" Keenan dengan cepat berdiri dan memeluk Emily dari belakang. Menghentikan sejenak kegiatan istrinya yang sedang berpakaian, sebelum kemudian tangannya disingkirkan dengan cepat.
"Ini enak, kau yang buat 'kan?"Emily menatap Keenan yang begitu lahap menyantap makan siangnya, dengan ditemani olehnya. Lelaki itu masih bisa tersenyum lebar saat melihatnya datang. "Bukan, itu buatan koki.""Sayang sekali." Wajah Keenan berubah kecewa. "Kenapa kau sangat ingin makan masakanku? Makanan yang kau makan bahkan lebih enak.""Ya, memang, tapi aku cukup suka masakanmu. Kau sepertinya memberi taburan cinta sebagai bumbunya. Itu mungkin kenapa aku selalu menantikan masakanmu.""Huwek!" Emily berpura-pura muntah mendengar perkataan Keenan yang begitu menggelikan untuk didengar. Membicarakan cinta dengan Keenan rasanya perutnya seperti digelitik. "Kau menggelikan, Ken.""Reaksimu terlalu berlebihan. Padahal apa salahnya mengakui itu." Keenan masih dengan santainya menyantap makan siang, tak peduli bagaimana masamnya wajah Emily saat ini. Dia menyadari dengan jelas raut kesal bercampur jijik. "Apa? Untuk apa aku melakukan itu padamu? Kau tidak menarik. Camkan baik-baik, kau
"Mom, Iel mau nuget, ya, Mom," pinta Javier pada Emily yang kini sedang memasak. Dia menarik ujung baju ibunya hingga akhirnya menoleh. "Nuget? Tapi, Mommy sudah masak tumis, Sayang. Ada ayam kecap kesukaanmu juga.""Tapi Iel mau nuget, Mom."Emily melihat Javier keras kepala, tidak bisa membantahnya. "Ya, sudah, nuget sama tumis, ya? Kamu harus tetap makan sayur.""Ok.""Kalau begitu, kamu keluar dulu, tunggu Mommy selesai."Tanpa diperintah dua kali, Javier sudah berlari meninggalkannya dengan cepat. Membuat Emily kini kembali fokus memasak. Dia cukup lelah sebenarnya, setelah membantu di restoran, dia harus pulang dan menyiapkan makan malam untuk Keenan serta Javier. Walau dia melakukan ini karena Javier selalu makan dengan lahap jika dia yang memasak. Emily dengan cekatan menyiapkan masakannya yang sudah jadi ke atas piring dan mulai menggoreng nuget. Sayangnya, saat dia sedang fokus memasak, Emily merasakan sentuhan di pinggangnya. Dia berdecak dan mengira itu adalah Javier. "S
"Emily, weekend ini aku berencana mengajak Javier jalan-jalan ke puncak. Kaumau ikut 'kan?" Keenan memulai pembicaraan di meja makan pagi ini. Dia menatap antusias istri dan anaknya dengan harapan mereka akan pergi bertiga. Memberi kedipan pada Javier agar mau membantunya membujuk Emily. Istrinya yang kini membeku di tempat. "Iya, Mom, ikut ya? Iel mau naik kuda, pasti seru.""A-apa? Puncak?""Ya, aku pernah janji untuk membawa Javier naik kuda. Aku ingin menepatinya sekarang, sekalian membawanya liburan."Emily tidak langsung menanggapi perkataan Keenan. Dia menatap serius anak dan suaminya. Senyum berseri tampak menghasi wajah keduanya yang menatapnya penuh harapan, seakan ingin dia ikut. Namun, apa yang didengarnya? Minggu depan? Tidak mungkin, dia sudah memiliki janji dengan James. Lelaki itu bisa marah jika dia lagi-lagi menolak. "Aku ... aku sepertinya tidak bisa."Keenan mengernyit bingung. "Kenapa?""Lho, kenapa, Mom? Mommy nggak mau liburan sama Iel, ya?" Javier mencebikkan