"Ini enak, kau yang buat 'kan?"Emily menatap Keenan yang begitu lahap menyantap makan siangnya, dengan ditemani olehnya. Lelaki itu masih bisa tersenyum lebar saat melihatnya datang. "Bukan, itu buatan koki.""Sayang sekali." Wajah Keenan berubah kecewa. "Kenapa kau sangat ingin makan masakanku? Makanan yang kau makan bahkan lebih enak.""Ya, memang, tapi aku cukup suka masakanmu. Kau sepertinya memberi taburan cinta sebagai bumbunya. Itu mungkin kenapa aku selalu menantikan masakanmu.""Huwek!" Emily berpura-pura muntah mendengar perkataan Keenan yang begitu menggelikan untuk didengar. Membicarakan cinta dengan Keenan rasanya perutnya seperti digelitik. "Kau menggelikan, Ken.""Reaksimu terlalu berlebihan. Padahal apa salahnya mengakui itu." Keenan masih dengan santainya menyantap makan siang, tak peduli bagaimana masamnya wajah Emily saat ini. Dia menyadari dengan jelas raut kesal bercampur jijik. "Apa? Untuk apa aku melakukan itu padamu? Kau tidak menarik. Camkan baik-baik, kau
"Mom, Iel mau nuget, ya, Mom," pinta Javier pada Emily yang kini sedang memasak. Dia menarik ujung baju ibunya hingga akhirnya menoleh. "Nuget? Tapi, Mommy sudah masak tumis, Sayang. Ada ayam kecap kesukaanmu juga.""Tapi Iel mau nuget, Mom."Emily melihat Javier keras kepala, tidak bisa membantahnya. "Ya, sudah, nuget sama tumis, ya? Kamu harus tetap makan sayur.""Ok.""Kalau begitu, kamu keluar dulu, tunggu Mommy selesai."Tanpa diperintah dua kali, Javier sudah berlari meninggalkannya dengan cepat. Membuat Emily kini kembali fokus memasak. Dia cukup lelah sebenarnya, setelah membantu di restoran, dia harus pulang dan menyiapkan makan malam untuk Keenan serta Javier. Walau dia melakukan ini karena Javier selalu makan dengan lahap jika dia yang memasak. Emily dengan cekatan menyiapkan masakannya yang sudah jadi ke atas piring dan mulai menggoreng nuget. Sayangnya, saat dia sedang fokus memasak, Emily merasakan sentuhan di pinggangnya. Dia berdecak dan mengira itu adalah Javier. "S
"Emily, weekend ini aku berencana mengajak Javier jalan-jalan ke puncak. Kaumau ikut 'kan?" Keenan memulai pembicaraan di meja makan pagi ini. Dia menatap antusias istri dan anaknya dengan harapan mereka akan pergi bertiga. Memberi kedipan pada Javier agar mau membantunya membujuk Emily. Istrinya yang kini membeku di tempat. "Iya, Mom, ikut ya? Iel mau naik kuda, pasti seru.""A-apa? Puncak?""Ya, aku pernah janji untuk membawa Javier naik kuda. Aku ingin menepatinya sekarang, sekalian membawanya liburan."Emily tidak langsung menanggapi perkataan Keenan. Dia menatap serius anak dan suaminya. Senyum berseri tampak menghasi wajah keduanya yang menatapnya penuh harapan, seakan ingin dia ikut. Namun, apa yang didengarnya? Minggu depan? Tidak mungkin, dia sudah memiliki janji dengan James. Lelaki itu bisa marah jika dia lagi-lagi menolak. "Aku ... aku sepertinya tidak bisa."Keenan mengernyit bingung. "Kenapa?""Lho, kenapa, Mom? Mommy nggak mau liburan sama Iel, ya?" Javier mencebikkan
"Semua sudah siap?""Siap, Daddy!"Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Siang ini, Keenan, Emily dan Javier hendak berlibur ke puncak. Semua perlengkapan telah siap dan ketiganya telah masuk ke dalam mobil. Keenan tidak menyetir dan memilih membawa sopir. Dia duduk di belakang bersama Emily serta Javier saat anaknya tidak ingin berpisah dengannya. "Daddy, nanti kita naik kuda, ya?" ucap Javier antusias bersamaan dengan mobil yang kini mulai melaju. "Iya, kita naik kuda sambil jalan-jalan.""Iel seneng deh, Dad, akhirnya Iel bisa jalan sama Daddy sama Mommy." Javier tersenyum lebar ke arah Keenan. Senyum polos khas anak kecil yang merindukan keluarga utuh. "Syukurlah kamu senang. Daddy ikut senang mendengarnya. Iya 'kan, Mommy?" Keenan melirik ke arah Emily yang sejak tadi diam tanpa menanggapi celotehan Javier. Sampai kemudian dia mengernyit melihat kegelisahan dalam raut wajah istrinya. Emily bahkan tidak menoleh dan hanya fokus menatap ponsel. "Emily? Apa yang sedang kaupikirkan?"
"Apa?"Keenan refleks berdiri dari posisinya dan menatap Emily penuh rasa heran. Dia mengusap telinganya dan berharap dia salah dengar. "Biaya kuliah? Bukankah—""Dulu ekonomi keluargaku tidak begitu baik dan aku diminta orang tuaku untuk tidak meneruskan kuliah, tapi aku tetap memaksa. Jadi ya, aku memiliki kewajiban membayar sebagian biayanya." Emily tersenyum membayangkan saat-saat itu. Dia tidak tahu kenapa dirinya harus bercerita pada Keenan, mulutnya langsung berbicara tanpa bisa dia tahan. "Apa setiap kali kau tidur, kau akan dibayar? Kau menghasilkan uang dari itu?""Tentu saja tidak, dasar bodoh. Kaupikir aku menjual murah tubuhku?" Emily berdecak kesal mendengar pertanyaan Keenan. Ya, walau pun tak dipungkiri dia juga rela tidur dengan lelaki yang mau membayarnya besar, hanya saja tidak semua orang. "Aku lebih suka memoroti mereka.""Lalu siapa targetmu? Apa dia pria beristri? Atau tua bangka?" tanya Keenan dengan penasaran. Meski hatinya kini panas, dia tidak bisa menolak
"MOMMY! HAHAHA ... AYO SINI! NAIK!" teriak Javier dengan keras di atas kudanya. Di belakangnya ada Keenan yang kini memegang tali kekang. Mereka dibantu oleh sang pengurus kuda yang mendampingi dari arah samping. Akhirnya, apa yang Javier inginkan terwujud, dia bisa menunggangi kuda bersama Keenan sesuai janjinya. Kegembiraan pun tidak bisa ditutupi dan hal itu dirasakan juga oleh Emily, yang kini duduk mengamati keduanya di tempat yang teduh bersama pengunjung lain. Di sampingnya sudah ada makanan ringan untuk Javier. "Tidak, Mommy tunggu di sini saja!" balas Emily setengah berteriak. Dia cemas sebenarnya membiarkan Javier menaiki kuda yang cukup tinggi, tapi untunglah Keenan mau mendampingi. Suaminya, kadang Emily berpikir jika Keenan adalah ayah kandung Javier. Lelaki itu sangat peduli, jauh beda dari James. Walau dia juga tidak tahu, bagaimana sikap James pada Javier? Dia masih penasaran, apa James dan Javier pernah bertemu? Mata Emily terus tertuju ke arah kuda yang ditumpangi
"Ah, rasanya melegakan."Emily bersantai di tepi kolam bersama Javier dan Keenan setelah tadi naik kuda serta jalan-jalan. Mereka menikmati waktu beberapa jam lagi sebelum nanti kembali pulang. Emily ingin melupakan sejenak masalahnya dengan James karena dia ingin menghabiskan waktunya dengan bersantai. Sayangnya, ketenangan itu hanya berlangsung sebentar saat Emily merasakan seseorang memercikkan air di wajahnya. Dia mendengkus kesal dan mengira itu adalah Keenan. Mulutnya hampir saja menyembur kalimat umpatan sampai kemudian terhenti ketika dia membuka mata dan melihat orang yang jahil itu adalah Javier. Anaknya yang mendadak berubah usil, kini tersenyum dan berjalan menjauh sambil tertawa karena takut dimarahi. "Daddy, Mommy bangun!"Emily menggeleng. Dia mendekati Javier yang berdiri di samping Keenan dengan pelampungnya. "Javier, sini, Sayang!" "No! Mommy pasti mau balas dendam!""Nggak kok, mana mungkin Mommy balas dendam." Emily tersenyum lebar, berusaha membujuk Javier, tap
"Maksudmu?"Emily kembali mendongak dan menatap James dengan mata berkaca-kaca. "Aku dulu pernah mengatakan itu dan aku sangat bersungguh-sungguh. Aku menyesali semua perbuatanku atas apa yang membuatmu menderita. Kupikir ketika itu, semuanya juga sudah berakhir. Kau juga hanya diam saat itu."Satu tetes air mata Emily jatuh tanpa dapat dicegah. Dia teringat kembali kenangan enam tahun lalu di mana James di penjara. Mereka bertemu saat itu untuk kali pertama dan terakhirnya. Emily ingat saat dia datang untuk meminta maaf, tapi James hanya diam seolah tak mendengarkannya. Saat itu, dia kira semuanya sudah selesai. "Kupikir kau sangat membenciku sampai kau tidak mau bicara denganku. Aku tidak pernah melihatmu karena aku takut, kehadiranku hanya menambah lukamu."James sendiri yang mendengarnya terkejut. "Bagaimana kau bisa menyimpulkan semuanya seperti itu? Aku memang membencimu dulu, tapi kau pernah berjanji tidak akan meninggalkanku. Kenyatannya, kau tidak pernah datang lagi setelah i
"Oek ... oek ...."Suara tangis anak kecil terdengar jelas dan mengusik ketenangan Keenan yang saat ini sedang asyik terlelap. Dia menutup telinganya dengan bantal, tapi suara itu tetap terdengar dan justru semakin keras. Dia berdecak kesal, tapi tak ayal matanya terbuka. Keenan setengah mengantuk, terduduk dan melihat ke arah keranjang bayi. Lalu beralih melirik Emily yang tertidur pulas. "Yang, Sayang? Anak kita nangis." Keenan mengguncang tubuh Emily, berharap istrinya akan segera bangun. Namun Emily hanya melenguh dan tetap terlelap. "Sayang, Feli nangis."Keenan masih mencoba membangunkan Emily, tapi istrinya masih terlelap. Dia yang melihat itu, merasa bingung karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ini sudah nyaris empat puluh hari sejak Feli lahir, tapi dia belum bisa menggendongnya. Namun melihat Emily yang sepertinya tidak akan bangun, Keenan akhirnya berusaha mendekat dan menatap anaknya. "Ssstt, Feli sayang, jangan nangis ya. Mommy lagi tidur, kamu juga harus tidu
Lima bulan kemudian .... "Akhhh ... akhhh ... sakit!"Emily mengerang hebat. Dia mencengkeram kuat lengan Keenan sembari mendengar intruksi sang dokter untuk terus mengejan. Keringat bercucuran seiring dengan dirinya yang berusaha keras mengeluarkan sang anak. Rasa sakit di perutnya semakin menjadi dan Emily harus tetap dalam kesadarannya agar bisa melahirkan anak keduanya dengan selamat. "Sayang, ayo semangat! Kamu pasti bisa," ucap Keenan sambil mengecup tangan Emily dan mengusap keringat di keningnya. Dia takut dan cemas melihat Emily bersusah payah mengeluarkan anaknya. Hingga dirinya kini membiarkan saat kukuk-kukuk tajam Emily menancap di kulitnya. Rasa sakit yang dia rasakan sekarang, sama sekali tidak ada apa-apanya dibanding apa yang dirasakan oleh istrinya. "Ayo, Bu, sedikit lagi. Kepalanya sudah keluar."Keenan tak berani melihat anaknya. Dia hanya fokus pada Emily yang kini berjuang keras, hingga akhirnya istrinya itu menjerit kuat sampai kemudian disusul oleh suara tang
"Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga, sekarang juga, sekarang ... juga ...."Suara nyanyian ulang tahun bergema di sebuah ballroom hotel, yang mana saat ini mereka sedang merayakan hari ulang tahun Evelyn. Mengundang beberapa anak, termasuk Javier yang datang bersama Emily dan Keenan. Ada juga James yang turut hadir untuk menemani. Perayaan ulang tahun itu juga digelar bersamaan dengan acara syukuran atas kehamilan kedua Ashley, hingga cukup banyak orang dewasa yang datang. "Selamat ulang tahun, Evelyn."Semua orang berseru memberi selamat hingga acara terus berlanjut pada pemotongan kue. Gadis kecil yang kini seusia Javier itu tampak sangat antuasias saat memotong kue untuk dibagikan pada teman-temannya. Namun sebelum itu, Evelyn hendak memberikan kue potongan pertamanya. Emily, Keenan dan Javier hanya mengamati Evelyn yang menuruni panggung sampai gadis itu tak disangka berjalan ke arah mereka. Emily hanya bisa mengernyit kebingungan menanti aksi apa lagi yan
"Mom, jadi Mommy suka sama Ayah, ya?""Eh? Kenapa kamu bertanya begitu?" Emily yang sedang mengusap puncak kepala Javier untuk menidurkan sang anak, terkejut oleh pertanyaan yang tiba-tiba terlontar dari mulut kecil itu. "Kata Ayah, Mommy itu cinta banget sama Ayah, jadi Mommy ngejar-ngejar Ayah, terus hamil Iel deh. Beneran gitu, ya, Mom?" tanya Javier dengan penasaran. Dia tidak sadar jika pertanyaannya itu membuat Emily langsung mati kutu. 'James, kau bilang apa saja pada anakmu!' Emily menggeram dalam hati. "Y-ya, itu masa lalu. Ayahmu bilang apa lagi sama kamu?""Buanyyakkk banget, Mom!" Javier melebarkan kedua tangannya untuk mengekspresikan sebanyak apa James bercerita tentang Emily. "Ayah banyak cerita tentang Mommy. Katanya, Mommy, Ayah dan Tante Ashley itu teman. Ayah itu populer dan Mommy suka Ayah karena Ayah ganteng. Iya sih, Ayah ganteng, Iel juga jadinya ganteng.""Iya, itu benar. Terus apalagi yang Ayahmu katakan?""Hmm, itu ... Ayah bilang, dulu Ayah nggak suka Mom
Satu minggu kemudian .... "Mommy! Daddy! Iel kangen!"Javier berhambur ke dalam pelukan Emily dan Keenan begitu pintu rumah terbuka. Hari ini tepat dua hari setelah Javier akhirnya keluar dari rumah sakit dan menginap bersama James serta Sheila. Mereka menahan Javier lebih lama dari permintaan dan Emily mau tak mau mengizinkannya. Hingga kini, James sendiri yang datang mengembalikan Javier padanya. "Sayang—maksudku, Emily, akhir pekan besok aku ingin mengajak Javier ke luar kota bersama Mama, sekalian jalan-jalan. Apa aku boleh membawanya?" James meralat ucapannya saat melihat tatapan posesif Keenan. Suami dari wanita yang dia cintai, masih tampak waspada saat dia datang. James belum sepenuhnya menerima keputusan wanita itu, tapi dia juga tidak mau dipisahkan dari Javier atau membuat sang anak kecewa, jika dia tetap memaksakan kehendaknya. James hanya bisa mencintai Emily dalam hatinya. "Keluar kota?" Emily menatap Keenan dengan ragu. Dia meminta pendapat suaminya soal masalah ini,
"Ini, ambillah."Emily menyodorkan kunci mobil pada Ashley yang terkejut. Dia yang kalah taruhan beberapa waktu lalu, tentu saja akan memenuhi janjinya. Meski uang tabungannya terkuras habis. Bagaimana lagi? Ucapan Ashley jadi kenyataannya. "Kenapa kau memberikan mobil? Memangnya ada apa? Ini bukan ulang tahunku." Ashley mengambil kunci mobil itu dan menatap Emily dengan bingung. "Kau tidak ingat kita taruhan? Jika aku kalah aku harus membelikanmu mobil dan jika kau salah, kau harus menyerahkan semua restoran ini jadi milikku. Ingat?" jelas Emily dengan sedikit gemas melihat Ashley yang tampaknya melupakan apa yang dipertaruhkan. Padahal wanita itu sendiri yang mengajaknya bertaruh. "Aahh! Jadi aku menang? Ahahaha ... sudah kuduga, kau pasti jatuh cinta dan tidak bisa berjauhan dengan Keenan. Sekarang sepertinya kau sudah mengakui itu.""Berhenti mengejekku.""Ayolah, jangan malu. Sudah kubilang Keenan itu tampan. Kau sih gengsi terus."Emily berdecak dan diam membiarkan Ashley men
"Kau pasti kelelahan. Maaf selama ini aku selalu menyusahkanmu."Emily menatap Keenan yang terlelap di sebelahnya setelah mereka menghabiskan waktu bersama. Dia tanpa sungkan mengecup puncak kepala Keenan cukup lama, sebelum kemudian bangun dan menyelimuti tubuh Keenan. Emily turun dari ranjang dengan hati-hati. Memungut kembali pakaian dan mengenakannya. Pinggangnya sedikit sakit, padahal mereka sudah berhati-hati. "Sayang, kamu baik-baik saja 'kan? Maafkan Mommy," ucap Emily sambil mengelus perutnya. Dia tersenyum, sampai kemudian meriah ponsel miliknya dan berjalan keluar dengan hati-hati. Emily tidak mau membangunkan suaminya yang sedang tertidur pulas karena kelelahan. Keenan harus istirahat. Emily berjalan pelan dan memainkan ponselnya. Dia ingin mengontak ibu mertuanya, tapi baru saja dia hendak melakukan panggilan, nama James muncul di layar ponselnya. Emily mengernyit sesaat, tapi tak ayal dia menerima panggilan tersebut. "James, apa yang terja—""Emily, ini Tante.""Oh, Ta
"Keenan?"Emily refleks mendorong tubuh James dan terkejut melihat kehadiran suaminya di ambang pintu. Ekspresi Keenan seperti terluka melihat dirinya dicium oleh James. Sial, dia tidak bisa mengelak karena semua terjadi begitu cepat. Keenan tidak boleh salah paham. "Aku sepertinya mengganggu, aku akan pergi.""Eh, tunggu, Ken!" cegah Emily yang langsung berlari mendekati suaminya. Dia meninggalkan James yang tersenyum kecut dan membuang muka. Grep! Tangan Keenan berhasil digenggam cepat oleh Emily sebelum lelaki itu kabur. Keenan masih tampak lemah, sehingga tidak sulit bagi dia menangkapnya. "Ken, apa yang kau lihat tadi salah paham. Tolong dengarkan aku ya? Kita bicara sebentar?""Tidak apa-apa, aku tidak akan mencegahmu lagi kalau kau mau kembali padanya," gumam Keenan dengan nada sedih. Berusaha sebisa mungkin untuk tidak menatap Emily. Namun sayangnya, Keenan harus terkejut saat tubuhnya dibalik dengan cepat oleh sang istri dan membuat mereka saling berhadapan. "Astaga, waja
Keenan berkali-kali menghela napas sambil terkantuk-kantuk di meja kerjanya. Dia tidak bisa fokus pada meeting kali ini karena semalaman menjaga Javier. James juga berkali-kali mengajaknya berdebat tentang apa yang dilakukannya di masa lalu. Lelaki itu memberinya ketakutan jika suatu saat Emily akan meninggalkannya. Tidak, tentu saja Keenan tidak berharap demikian. Dia tidak mampu berpisah dengan Emily serta anak-anaknya. "Pa? Pak Ken?" Sam menegur Keenan yang kala itu menjadi pusat perhatian semua orang di meja rapat. "Anda sepertinya tidak baik-baik saja, bagaimana kalau rapat ini diakhiri?""Ah iya, kepalaku sedikit pusing. Lakukan saja," jawab Keenan tak acuh. Membuat Sam seketika mengambil alih perhatian dan menutup pertemuan dengan cepat. Keenan yang memang tidak dalam kondisi baik-baik saja, meninggalkan ruangan lebih dulu. Dia pergi menuju ruangannya untuk beristirahat sejenak sambil diikuti oleh Sam dari belakang. "Sam, aku sepertinya butuh obat sakit kepala.""Hanya itu, P