"Semua sudah siap?""Siap, Daddy!"Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Siang ini, Keenan, Emily dan Javier hendak berlibur ke puncak. Semua perlengkapan telah siap dan ketiganya telah masuk ke dalam mobil. Keenan tidak menyetir dan memilih membawa sopir. Dia duduk di belakang bersama Emily serta Javier saat anaknya tidak ingin berpisah dengannya. "Daddy, nanti kita naik kuda, ya?" ucap Javier antusias bersamaan dengan mobil yang kini mulai melaju. "Iya, kita naik kuda sambil jalan-jalan.""Iel seneng deh, Dad, akhirnya Iel bisa jalan sama Daddy sama Mommy." Javier tersenyum lebar ke arah Keenan. Senyum polos khas anak kecil yang merindukan keluarga utuh. "Syukurlah kamu senang. Daddy ikut senang mendengarnya. Iya 'kan, Mommy?" Keenan melirik ke arah Emily yang sejak tadi diam tanpa menanggapi celotehan Javier. Sampai kemudian dia mengernyit melihat kegelisahan dalam raut wajah istrinya. Emily bahkan tidak menoleh dan hanya fokus menatap ponsel. "Emily? Apa yang sedang kaupikirkan?"
"Apa?"Keenan refleks berdiri dari posisinya dan menatap Emily penuh rasa heran. Dia mengusap telinganya dan berharap dia salah dengar. "Biaya kuliah? Bukankah—""Dulu ekonomi keluargaku tidak begitu baik dan aku diminta orang tuaku untuk tidak meneruskan kuliah, tapi aku tetap memaksa. Jadi ya, aku memiliki kewajiban membayar sebagian biayanya." Emily tersenyum membayangkan saat-saat itu. Dia tidak tahu kenapa dirinya harus bercerita pada Keenan, mulutnya langsung berbicara tanpa bisa dia tahan. "Apa setiap kali kau tidur, kau akan dibayar? Kau menghasilkan uang dari itu?""Tentu saja tidak, dasar bodoh. Kaupikir aku menjual murah tubuhku?" Emily berdecak kesal mendengar pertanyaan Keenan. Ya, walau pun tak dipungkiri dia juga rela tidur dengan lelaki yang mau membayarnya besar, hanya saja tidak semua orang. "Aku lebih suka memoroti mereka.""Lalu siapa targetmu? Apa dia pria beristri? Atau tua bangka?" tanya Keenan dengan penasaran. Meski hatinya kini panas, dia tidak bisa menolak
"MOMMY! HAHAHA ... AYO SINI! NAIK!" teriak Javier dengan keras di atas kudanya. Di belakangnya ada Keenan yang kini memegang tali kekang. Mereka dibantu oleh sang pengurus kuda yang mendampingi dari arah samping. Akhirnya, apa yang Javier inginkan terwujud, dia bisa menunggangi kuda bersama Keenan sesuai janjinya. Kegembiraan pun tidak bisa ditutupi dan hal itu dirasakan juga oleh Emily, yang kini duduk mengamati keduanya di tempat yang teduh bersama pengunjung lain. Di sampingnya sudah ada makanan ringan untuk Javier. "Tidak, Mommy tunggu di sini saja!" balas Emily setengah berteriak. Dia cemas sebenarnya membiarkan Javier menaiki kuda yang cukup tinggi, tapi untunglah Keenan mau mendampingi. Suaminya, kadang Emily berpikir jika Keenan adalah ayah kandung Javier. Lelaki itu sangat peduli, jauh beda dari James. Walau dia juga tidak tahu, bagaimana sikap James pada Javier? Dia masih penasaran, apa James dan Javier pernah bertemu? Mata Emily terus tertuju ke arah kuda yang ditumpangi
"Ah, rasanya melegakan."Emily bersantai di tepi kolam bersama Javier dan Keenan setelah tadi naik kuda serta jalan-jalan. Mereka menikmati waktu beberapa jam lagi sebelum nanti kembali pulang. Emily ingin melupakan sejenak masalahnya dengan James karena dia ingin menghabiskan waktunya dengan bersantai. Sayangnya, ketenangan itu hanya berlangsung sebentar saat Emily merasakan seseorang memercikkan air di wajahnya. Dia mendengkus kesal dan mengira itu adalah Keenan. Mulutnya hampir saja menyembur kalimat umpatan sampai kemudian terhenti ketika dia membuka mata dan melihat orang yang jahil itu adalah Javier. Anaknya yang mendadak berubah usil, kini tersenyum dan berjalan menjauh sambil tertawa karena takut dimarahi. "Daddy, Mommy bangun!"Emily menggeleng. Dia mendekati Javier yang berdiri di samping Keenan dengan pelampungnya. "Javier, sini, Sayang!" "No! Mommy pasti mau balas dendam!""Nggak kok, mana mungkin Mommy balas dendam." Emily tersenyum lebar, berusaha membujuk Javier, tap
"Maksudmu?"Emily kembali mendongak dan menatap James dengan mata berkaca-kaca. "Aku dulu pernah mengatakan itu dan aku sangat bersungguh-sungguh. Aku menyesali semua perbuatanku atas apa yang membuatmu menderita. Kupikir ketika itu, semuanya juga sudah berakhir. Kau juga hanya diam saat itu."Satu tetes air mata Emily jatuh tanpa dapat dicegah. Dia teringat kembali kenangan enam tahun lalu di mana James di penjara. Mereka bertemu saat itu untuk kali pertama dan terakhirnya. Emily ingat saat dia datang untuk meminta maaf, tapi James hanya diam seolah tak mendengarkannya. Saat itu, dia kira semuanya sudah selesai. "Kupikir kau sangat membenciku sampai kau tidak mau bicara denganku. Aku tidak pernah melihatmu karena aku takut, kehadiranku hanya menambah lukamu."James sendiri yang mendengarnya terkejut. "Bagaimana kau bisa menyimpulkan semuanya seperti itu? Aku memang membencimu dulu, tapi kau pernah berjanji tidak akan meninggalkanku. Kenyatannya, kau tidak pernah datang lagi setelah i
Keenan duduk di ruang kerja sambil memeriksa pekerjaan untuk besok. Dirinya sudah berjam-jam berada di sana dari sejak makan malam, hingga kini jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Rasa kantuk pun perlahan dirasakannya, sampai Keenan akhirnya memutuskan untuk mengakhiri pekerjaannya dan pergi untuk tidur. Dia berpikir Emily mungkin sudah kembali dari acara reuninya. Akan tetapi, tebakannya salah. Ketika Keenan baru keluar dari ruang kerjanya dan berjalan menuju ke arah kamar, dia mendengar suara mobil berhenti. Keningnya berkerut dan refleks, Keenan mendekati jendela untuk memastikan siapa yang datang. Hingga didapatinya orang itu adalah istrinya, Emily. Istrinya baru pulang? Di tengah kebingungan Keenan tentang kepulangan Emily, pintu rumah tiba-tiba terbuka. Keenan mau tak mau melirik dan melihat Emily masuk dengan wajah suramnya. "Emily, kau baru pulang?" tanyanya yang refleks mendekat."Ken." Emily tersentak dan refleks terdiam melihat kehadiran Keenan. "Kau belum tidur?""Aku b
"Pak, ini proposal bisnis dari perusahaan Partindo.""Taruh saja, aku akan membacanya nanti," ucap Keenan sambil melirik sekilas sekretarisnya dan kembali fokus pada pekerjaannya. Berkas yang dibawa itu diletakkan di atas mejanya dan sekretarisnya berniat pergi, tapi Keenan menghentikannya saat dia teringat sesuatu. "Sam, apa sekarang kau sedang sibuk?""Tidak, Pak. Apa ada yang bisa saya bantu?"Keenan berdehem. Kali ini, dia menghentikan pekerjaannya saat tiba-tiba teringat dengan Emily. Istrinya akan datang dan rasanya dia ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengannya. "Hmm, sebenarnya aku ingin menanyakan sesuatu padamu, tapi ini di luar pekerjaan."Sang sekretaris terkejut melihat reaksi ragu-ragu Keenan, tapi dia juga dibuat penasaran dengan senyum yang tiba-tiba tersungging di bibir itu. "Anda bisa menanyakannya pada saya. Saya bisa menjaga rahasia, Pak.""Duduklah kalau begitu," ucap Keenan tanpa basa-basi. Senyumnya semakin merekah. "Begini, kau 'kan sudah menikah, maksudku
"Kenapa kau seperti ini? Bagaimana kau bisa memikirkan makan siang romantis? Kau tidak demam 'kan?" Emily duduk di kursi yang telah disediakan sambil menatap bingung Keenan. Namun suaminya itu hanya tersenyum tak acuh dan sibuk membuka lunch box-nya. "Ken, kau mendengarku?""Cckk, apa aku salah menyiapkan ini untuk istriku?"Emily mengangkat alisnya mendengar ucapan Keenan. Meski begitu, dia juga membantu lelaki itu menyiapkan makan siangnya. "Tidak juga, hanya aneh saja. Kau suka padaku ya?""Kalau iya, kenapa? Tidak boleh?""A-apa?"Keenan tersenyum tipis melihat Emily kaget oleh perkataannya. Wanita itu tampak lucu dengan ekspresi penuh kebingungannya. Membuat dia gemas dan langsung menggenggam tangannya erat. "Aku suka padamu. Kenapa kau terkejut?""K-kau bercanda?""Tidak."Emily refleks menarik tangannya kembali dan menatap pias Keenan. Tidak boleh. Keenan tidak boleh menyukainya. Lelaki itu tidak boleh terlibat dengannya. Emily tidak bisa menerima itu, tapi Keenan yang tampakny