"Pak, ini proposal bisnis dari perusahaan Partindo.""Taruh saja, aku akan membacanya nanti," ucap Keenan sambil melirik sekilas sekretarisnya dan kembali fokus pada pekerjaannya. Berkas yang dibawa itu diletakkan di atas mejanya dan sekretarisnya berniat pergi, tapi Keenan menghentikannya saat dia teringat sesuatu. "Sam, apa sekarang kau sedang sibuk?""Tidak, Pak. Apa ada yang bisa saya bantu?"Keenan berdehem. Kali ini, dia menghentikan pekerjaannya saat tiba-tiba teringat dengan Emily. Istrinya akan datang dan rasanya dia ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengannya. "Hmm, sebenarnya aku ingin menanyakan sesuatu padamu, tapi ini di luar pekerjaan."Sang sekretaris terkejut melihat reaksi ragu-ragu Keenan, tapi dia juga dibuat penasaran dengan senyum yang tiba-tiba tersungging di bibir itu. "Anda bisa menanyakannya pada saya. Saya bisa menjaga rahasia, Pak.""Duduklah kalau begitu," ucap Keenan tanpa basa-basi. Senyumnya semakin merekah. "Begini, kau 'kan sudah menikah, maksudku
"Kenapa kau seperti ini? Bagaimana kau bisa memikirkan makan siang romantis? Kau tidak demam 'kan?" Emily duduk di kursi yang telah disediakan sambil menatap bingung Keenan. Namun suaminya itu hanya tersenyum tak acuh dan sibuk membuka lunch box-nya. "Ken, kau mendengarku?""Cckk, apa aku salah menyiapkan ini untuk istriku?"Emily mengangkat alisnya mendengar ucapan Keenan. Meski begitu, dia juga membantu lelaki itu menyiapkan makan siangnya. "Tidak juga, hanya aneh saja. Kau suka padaku ya?""Kalau iya, kenapa? Tidak boleh?""A-apa?"Keenan tersenyum tipis melihat Emily kaget oleh perkataannya. Wanita itu tampak lucu dengan ekspresi penuh kebingungannya. Membuat dia gemas dan langsung menggenggam tangannya erat. "Aku suka padamu. Kenapa kau terkejut?""K-kau bercanda?""Tidak."Emily refleks menarik tangannya kembali dan menatap pias Keenan. Tidak boleh. Keenan tidak boleh menyukainya. Lelaki itu tidak boleh terlibat dengannya. Emily tidak bisa menerima itu, tapi Keenan yang tampakny
"Javier, Mommy mau bicara sama Om J, kamu masuk ke dalam ya?""Eh, tapi Mommy—""Jangan membantah, masuk ke dalam!" Emily sedikit mengeraskan suaranya saat menyadari Javier enggan pergi dari sana. Namun setelah dia memberi teguran cukup keras, Javier yang terkejut akhirnya menurut dan meninggalkannya berdua dengan James. Setelah menyadari anaknya benar-benar pergi, Emily kembali menatap orang di depannya dengan tak percaya. "Apa maksudnya ini, James? Apa kau gila?""Hmm? Gila? Bukankah kau harusnya senang? Aku datang untukmu. Kita jadi lebih dekat sekarang." James tersenyum lebar dan berniat merengkuh Emily ke dalam pelukannya, tapi wanita itu malah menghindarinya. Emily menjauh dan terus menatap sekitar dengan gelisah. Wanita itu seakan takut kalau pertemuannya ini dicurigai. "Tapi tidak seperti ini juga. Jangan tiba-tiba muncul di rumahku," bisik Emily dengan cemas. "Kau harus terbiasa, kau juga 'kan yang menantangku untuk mendapatkan hati Javier? Jika aku berada di dekat kalian,
"Kau tetap membantu mereka? Kenapa kau ini bodoh sekali, huh! Kau tidak bisa diberitahu!" Emily tak bisa membendung omelannya begitu mereka sampai di rumah. Mendengar ucapan Keenan yang membantu masalah orang tuanya, membuat dia kesal bukan main. Dia kira suaminya tidak akan menyetujuinya begitu saja, tapi Keenan tetap keras kepala. Bahkan setelah terjadi insiden sang ibu menyindir anaknya, lelaki itu masih mau membantu. "Emily tunggu, aku melakukan ini karena mereka itu mertuaku. Itu sudah menjadi tugasku untuk membantunya," ucap Keenan sambil membawa Javier yang tertidur ke dalam gendongannya dan berusaha menyamai langkahnya. "Jangan terlalu baik pada orang tuaku! Kau tidak tahu bagaimana mereka, mereka hanya memanfaatkanmu." Emily terus berbicara tanpa mau berhenti. "Tidak masalah, selama mereka tidak akan menyakitimu dan Javier lagi, aku bisa berikan apa pun.""Apa?" Emily berhenti dan berbalik dengan bingung. Dia menatap Keenan yang tersenyum hangat ke arahnya. Apa ada yang di
Tok-tok-tok. "Masuk."Pintu berdecit pelan sebelum akhirnya terbuka. James muncul dari balik pintu dan langsung berhadapan dengan seorang wanita paruh baya yang saat ini duduk di meja kebesarannya. Namun tampaknya, kehadirannya saat ini telah dinanti wanita dewasa yang kini mengarahkan semua atensinya kepada James. "Maaf, apa ada masalah Anda memanggil saya, Bu?""Tutup pintunya dan duduklah, James. Tidak perlu bicara formal."James yang masih bingung dengan perintah itu, akhirnya hanya bisa menurut. Dia menutup pintu sambil berjalan mendekat dan duduk di kursi yang telah disediakan. "Ada apa, Ma? Kenapa Mama memanggilku? Apa aku membuat masalah dalam pekerjaanku?""Tidak, Mama memanggilmu bukan untuk itu. Pekerjaanmu bagus, Mama harap kamu bisa meningkatkan kemampuanmu agar kamu bisa menggantikan Mama." Sheila menjeda kalimatnya sejenak sambil menatap lekat sang anak, sebelum kemudian melanjutkan percakapan. "Tapi alasan Mama memanggilmu ke sini, sebenarnya hanya untuk berbincang r
"Ah, segarnya."Emily mendesah lega sambil memejamkan mata dan menikmati air dalam bathtub. Dia membiarkan air membersihkan tubuh serta pikirannya. Pikiran tentang James atau bahkan Keenan yang sedikit bertingkah menyebalkan. Emily masih merinding memikirkan sikap Keenan yang sedikit nakal semalam. Namun tak dipungkiri, dia ingin kembali dipeluk suaminya. Bibirnya tanpa sadar mengukir senyum tipis saat memikirkan Keenan, tapi kemudian dia langsung melotot dan membuka matanya ketika sadar apa yang baru saja dia pikirkan. "Kenapa aku terus memikirkan orang itu? Ada apa denganku!" Emily merutuk. Dia merasa dirinya semakin aneh saat terus memikirkan Keenan dan merasa malu. Hingga akhirnya, Emily yang kesal memutuskan untuk mengakhiri sesi mandinya dengan cepat. Dengan menggunakan handuk dari dada sampai sebatas paha, Emily berjalan keluar kamar mandi menuju lemari. Namun saat telinganya mendengar sesuatu, langkahnya terhenti sejenak. Emily melihat ke arah balkon kamar dan mendapati pem
"Ada apa denganmu, Emily? Kenapa kau sangat terkejut seperti itu? Kau sampai menjatuhkan gelas dan melukai kakimu. Kau aneh," ucap Keenan sambil membersihkan luka di kaki Emily setelah insiden kecil tadi. Istrinya menjatuhkan kaca dan berteriak keras. Untunglah, tidak ada luka dalam atau kaca yang tertancap dalam kulit. Hanya luka kecil yang akan sembuh sendiri setelah dibersihkan dan diberi obat merah. "Kau yang aneh, Ken. Kaumau mengundang orang asing ke rumah kita." Emily menatap suaminya yang kini tengah membereskan kotak P3K setelah selesai memeriksa luka di kakinya. "Mereka tetangga baru kita, aku hanya ingin menyapa, tapi baiklah kalau kau tidak nyaman. Aku tidak akan melakukannya. Namun kau tidak perlu bersikap berlebihan seperti itu. Lihatlah, kakimu jadi terluka."Emily menggigit bibir bawahnya dengan kuat sambil mengepalkan tangan penuh kekesalan. Suaminya tidak tahu. Tentu saja dia tidak mau mengundang James ke sini karena khawatir lelaki itu akan bicara yang tidak-tidak
"Ken, ada apa denganmu? Kau tidak gila 'kan?"Emily mengernyit sambil terus memerhatikan Keenan setelah mereka turun dari mobil. Dia sedari tadi sibuk memerhatikan suaminya yang bertingkah aneh setelah mereka pulang dari mal. Keenan terus tersenyum seperti orang gila. "Tega sekali kau bicara seperti itu. Aku tidak gila.""Terus, kenapa kau tersenyum dari tadi? Apa ada hal yang lucu?" tanya Emily yang penasaran. Keenan lagi-lagi membalasnya dengan senyum cerah sambil asyik menggenggam tangan Javier. "Anak imut tadi, siapa namanya?""Evelyn, Dad.""Jadi kau tersenyum gara-gara memikirkan Evelyn? Keenan kau—""Aku tahu apa yang kaupikirkan, tapi aku tidak seperti itu." Keenan memutar matanya dengan malas dan mempercepat langkahnya menuju ruang makan. Makanan sudah tersaji di atas meja. Pelayannya melakukan dengan sangat tepat waktu. Hingga tanpa menunggu lebih lama lagi, Keenan mendudukkan bokongnya di kursi biasa bersama dengan Javier di sebelahnya dan Emily di sisi lainnya. "Memang
"Oek ... oek ...."Suara tangis anak kecil terdengar jelas dan mengusik ketenangan Keenan yang saat ini sedang asyik terlelap. Dia menutup telinganya dengan bantal, tapi suara itu tetap terdengar dan justru semakin keras. Dia berdecak kesal, tapi tak ayal matanya terbuka. Keenan setengah mengantuk, terduduk dan melihat ke arah keranjang bayi. Lalu beralih melirik Emily yang tertidur pulas. "Yang, Sayang? Anak kita nangis." Keenan mengguncang tubuh Emily, berharap istrinya akan segera bangun. Namun Emily hanya melenguh dan tetap terlelap. "Sayang, Feli nangis."Keenan masih mencoba membangunkan Emily, tapi istrinya masih terlelap. Dia yang melihat itu, merasa bingung karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ini sudah nyaris empat puluh hari sejak Feli lahir, tapi dia belum bisa menggendongnya. Namun melihat Emily yang sepertinya tidak akan bangun, Keenan akhirnya berusaha mendekat dan menatap anaknya. "Ssstt, Feli sayang, jangan nangis ya. Mommy lagi tidur, kamu juga harus tidu
Lima bulan kemudian .... "Akhhh ... akhhh ... sakit!"Emily mengerang hebat. Dia mencengkeram kuat lengan Keenan sembari mendengar intruksi sang dokter untuk terus mengejan. Keringat bercucuran seiring dengan dirinya yang berusaha keras mengeluarkan sang anak. Rasa sakit di perutnya semakin menjadi dan Emily harus tetap dalam kesadarannya agar bisa melahirkan anak keduanya dengan selamat. "Sayang, ayo semangat! Kamu pasti bisa," ucap Keenan sambil mengecup tangan Emily dan mengusap keringat di keningnya. Dia takut dan cemas melihat Emily bersusah payah mengeluarkan anaknya. Hingga dirinya kini membiarkan saat kukuk-kukuk tajam Emily menancap di kulitnya. Rasa sakit yang dia rasakan sekarang, sama sekali tidak ada apa-apanya dibanding apa yang dirasakan oleh istrinya. "Ayo, Bu, sedikit lagi. Kepalanya sudah keluar."Keenan tak berani melihat anaknya. Dia hanya fokus pada Emily yang kini berjuang keras, hingga akhirnya istrinya itu menjerit kuat sampai kemudian disusul oleh suara tang
"Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga, sekarang juga, sekarang ... juga ...."Suara nyanyian ulang tahun bergema di sebuah ballroom hotel, yang mana saat ini mereka sedang merayakan hari ulang tahun Evelyn. Mengundang beberapa anak, termasuk Javier yang datang bersama Emily dan Keenan. Ada juga James yang turut hadir untuk menemani. Perayaan ulang tahun itu juga digelar bersamaan dengan acara syukuran atas kehamilan kedua Ashley, hingga cukup banyak orang dewasa yang datang. "Selamat ulang tahun, Evelyn."Semua orang berseru memberi selamat hingga acara terus berlanjut pada pemotongan kue. Gadis kecil yang kini seusia Javier itu tampak sangat antuasias saat memotong kue untuk dibagikan pada teman-temannya. Namun sebelum itu, Evelyn hendak memberikan kue potongan pertamanya. Emily, Keenan dan Javier hanya mengamati Evelyn yang menuruni panggung sampai gadis itu tak disangka berjalan ke arah mereka. Emily hanya bisa mengernyit kebingungan menanti aksi apa lagi yan
"Mom, jadi Mommy suka sama Ayah, ya?""Eh? Kenapa kamu bertanya begitu?" Emily yang sedang mengusap puncak kepala Javier untuk menidurkan sang anak, terkejut oleh pertanyaan yang tiba-tiba terlontar dari mulut kecil itu. "Kata Ayah, Mommy itu cinta banget sama Ayah, jadi Mommy ngejar-ngejar Ayah, terus hamil Iel deh. Beneran gitu, ya, Mom?" tanya Javier dengan penasaran. Dia tidak sadar jika pertanyaannya itu membuat Emily langsung mati kutu. 'James, kau bilang apa saja pada anakmu!' Emily menggeram dalam hati. "Y-ya, itu masa lalu. Ayahmu bilang apa lagi sama kamu?""Buanyyakkk banget, Mom!" Javier melebarkan kedua tangannya untuk mengekspresikan sebanyak apa James bercerita tentang Emily. "Ayah banyak cerita tentang Mommy. Katanya, Mommy, Ayah dan Tante Ashley itu teman. Ayah itu populer dan Mommy suka Ayah karena Ayah ganteng. Iya sih, Ayah ganteng, Iel juga jadinya ganteng.""Iya, itu benar. Terus apalagi yang Ayahmu katakan?""Hmm, itu ... Ayah bilang, dulu Ayah nggak suka Mom
Satu minggu kemudian .... "Mommy! Daddy! Iel kangen!"Javier berhambur ke dalam pelukan Emily dan Keenan begitu pintu rumah terbuka. Hari ini tepat dua hari setelah Javier akhirnya keluar dari rumah sakit dan menginap bersama James serta Sheila. Mereka menahan Javier lebih lama dari permintaan dan Emily mau tak mau mengizinkannya. Hingga kini, James sendiri yang datang mengembalikan Javier padanya. "Sayang—maksudku, Emily, akhir pekan besok aku ingin mengajak Javier ke luar kota bersama Mama, sekalian jalan-jalan. Apa aku boleh membawanya?" James meralat ucapannya saat melihat tatapan posesif Keenan. Suami dari wanita yang dia cintai, masih tampak waspada saat dia datang. James belum sepenuhnya menerima keputusan wanita itu, tapi dia juga tidak mau dipisahkan dari Javier atau membuat sang anak kecewa, jika dia tetap memaksakan kehendaknya. James hanya bisa mencintai Emily dalam hatinya. "Keluar kota?" Emily menatap Keenan dengan ragu. Dia meminta pendapat suaminya soal masalah ini,
"Ini, ambillah."Emily menyodorkan kunci mobil pada Ashley yang terkejut. Dia yang kalah taruhan beberapa waktu lalu, tentu saja akan memenuhi janjinya. Meski uang tabungannya terkuras habis. Bagaimana lagi? Ucapan Ashley jadi kenyataannya. "Kenapa kau memberikan mobil? Memangnya ada apa? Ini bukan ulang tahunku." Ashley mengambil kunci mobil itu dan menatap Emily dengan bingung. "Kau tidak ingat kita taruhan? Jika aku kalah aku harus membelikanmu mobil dan jika kau salah, kau harus menyerahkan semua restoran ini jadi milikku. Ingat?" jelas Emily dengan sedikit gemas melihat Ashley yang tampaknya melupakan apa yang dipertaruhkan. Padahal wanita itu sendiri yang mengajaknya bertaruh. "Aahh! Jadi aku menang? Ahahaha ... sudah kuduga, kau pasti jatuh cinta dan tidak bisa berjauhan dengan Keenan. Sekarang sepertinya kau sudah mengakui itu.""Berhenti mengejekku.""Ayolah, jangan malu. Sudah kubilang Keenan itu tampan. Kau sih gengsi terus."Emily berdecak dan diam membiarkan Ashley men
"Kau pasti kelelahan. Maaf selama ini aku selalu menyusahkanmu."Emily menatap Keenan yang terlelap di sebelahnya setelah mereka menghabiskan waktu bersama. Dia tanpa sungkan mengecup puncak kepala Keenan cukup lama, sebelum kemudian bangun dan menyelimuti tubuh Keenan. Emily turun dari ranjang dengan hati-hati. Memungut kembali pakaian dan mengenakannya. Pinggangnya sedikit sakit, padahal mereka sudah berhati-hati. "Sayang, kamu baik-baik saja 'kan? Maafkan Mommy," ucap Emily sambil mengelus perutnya. Dia tersenyum, sampai kemudian meriah ponsel miliknya dan berjalan keluar dengan hati-hati. Emily tidak mau membangunkan suaminya yang sedang tertidur pulas karena kelelahan. Keenan harus istirahat. Emily berjalan pelan dan memainkan ponselnya. Dia ingin mengontak ibu mertuanya, tapi baru saja dia hendak melakukan panggilan, nama James muncul di layar ponselnya. Emily mengernyit sesaat, tapi tak ayal dia menerima panggilan tersebut. "James, apa yang terja—""Emily, ini Tante.""Oh, Ta
"Keenan?"Emily refleks mendorong tubuh James dan terkejut melihat kehadiran suaminya di ambang pintu. Ekspresi Keenan seperti terluka melihat dirinya dicium oleh James. Sial, dia tidak bisa mengelak karena semua terjadi begitu cepat. Keenan tidak boleh salah paham. "Aku sepertinya mengganggu, aku akan pergi.""Eh, tunggu, Ken!" cegah Emily yang langsung berlari mendekati suaminya. Dia meninggalkan James yang tersenyum kecut dan membuang muka. Grep! Tangan Keenan berhasil digenggam cepat oleh Emily sebelum lelaki itu kabur. Keenan masih tampak lemah, sehingga tidak sulit bagi dia menangkapnya. "Ken, apa yang kau lihat tadi salah paham. Tolong dengarkan aku ya? Kita bicara sebentar?""Tidak apa-apa, aku tidak akan mencegahmu lagi kalau kau mau kembali padanya," gumam Keenan dengan nada sedih. Berusaha sebisa mungkin untuk tidak menatap Emily. Namun sayangnya, Keenan harus terkejut saat tubuhnya dibalik dengan cepat oleh sang istri dan membuat mereka saling berhadapan. "Astaga, waja
Keenan berkali-kali menghela napas sambil terkantuk-kantuk di meja kerjanya. Dia tidak bisa fokus pada meeting kali ini karena semalaman menjaga Javier. James juga berkali-kali mengajaknya berdebat tentang apa yang dilakukannya di masa lalu. Lelaki itu memberinya ketakutan jika suatu saat Emily akan meninggalkannya. Tidak, tentu saja Keenan tidak berharap demikian. Dia tidak mampu berpisah dengan Emily serta anak-anaknya. "Pa? Pak Ken?" Sam menegur Keenan yang kala itu menjadi pusat perhatian semua orang di meja rapat. "Anda sepertinya tidak baik-baik saja, bagaimana kalau rapat ini diakhiri?""Ah iya, kepalaku sedikit pusing. Lakukan saja," jawab Keenan tak acuh. Membuat Sam seketika mengambil alih perhatian dan menutup pertemuan dengan cepat. Keenan yang memang tidak dalam kondisi baik-baik saja, meninggalkan ruangan lebih dulu. Dia pergi menuju ruangannya untuk beristirahat sejenak sambil diikuti oleh Sam dari belakang. "Sam, aku sepertinya butuh obat sakit kepala.""Hanya itu, P