"Javier menyukai semua barang yang Keenan berikan. Dia sangat manja padanya dan, sebenarnya Javier sangat ingin memiliki adik." Suara Emily melemah di akhir kalimatnya. Dengan hati-hati, matanya melirik ke arah James yang saat ini sedang menyantap camilan. Setelah pertemuannya tadi di restoran, James tetap memaksanya ke rumah lelaki itu dan dia yang takut ketahuan, terpaksa masuk lewat pintu belakang. Hingga dirinya kemudian berakhir di sini. Duduk tepat di samping James. "Adik? Maksudmu, anak darimu dan Keenan?""Y-ya.""Kaumau mengandung anak lelaki itu?" James mencondongkan tubuhnya saat melihat Emily tergagap sambil berusaha menghindarinya. Kedua alisnya berubah tajam, James tak percaya dengan apa yang didengarnya. "Emily, tatap mataku. Apa kau menyukai lelaki itu?"Glek. Emily menelan ludahnya gugup dan berusaha tertawa mendengar pertanyaan James. "T-tidak, aku tidak menyukainya. Kau 'kan tahu kami menikah karena dijodohkan.""Lalu apa kauingin hamil?"Emily meringis saat mera
Emily berjalan pelan memasuki rumah saat waktu makan malam hampir tiba. Dia merasa sedikit cemas memikirkan Javier yang mungkin mengkhawatirkannya. Emily hampir lupa waktu ketika bersama James dan kalimat lelaki itu juga terus tergiang di kepalanya. Suka. James akhirnya menyukainya. Emily tidak tahu bagaimana perasaannya saat ini, yang jelas dia syok. James menyukainya adalah sesuatu yang terasa sangat mustahil dia dapatkan dulu. Meski dia harus mengemis pun, dia tidak pernah mendapatkannya. Namun sekarang, bagaimana James tiba-tiba menyukainya? Ada bagian dalam hatinya yang merasa senang. Emily tidak dapat menampik kalau dia suka dengan ucapan James, tapi di sisi lain, dia juga bingung karena sekarang dirinya telah bersuami. Emily merasa dirinya sudah tidak waras saat tidak mencegah apa yang dilakukan James. Dia seperti menjalin hubungan gelap di belakang suaminya. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Dia menyukai James, tapi Javier menyukai Keenan. Emily tidak bisa memilih salah s
"Ashley, aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu. Maukah kamu menjadi pacarku?"Seorang lelaki tampan berseragam SMA menyatakan cinta pada gadis incarannya tanpa peduli rintik hujan mulai mengguyur. Hingga membuat sang gadis membeku sebelum kemudian mengangguk senang. Ciuman pun menjadi bagian yang penting saat akhirnya mereka mengikat cinta di bawah hujan. Senyum manis terukir indah di bibir keduanya, tanpa menyadari seseorang menyaksikan pemandangan tersebut dengan hati yang berdarah-darah. Luapan kebencian dan cemburu diperlihatkan seorang gadis yang merupakan saksi satu-satunya pernyataan cinta itu diungkapkan. Sejurus dengan air matanya yang luruh dan menyatu bersama hujan. Tubuhnya membeku dan hanya mampu mengamati ketika lelaki yang dicintainya lebih memilih teman baiknya. Kesal, marah, cemburu dan sedih, bercampur menjadi satu. Harusnya gadis yang saat ini berciuman itu adalah dia, bukan Ashley. Hanya dia yang benar-benar mencintainya. "Aku juga mencintaimu James, tapi kenap
Pagi dilalui seperti biasa. Kesibukan yang tiada henti menjadi aktivitas sehari-hari bagi Keenan saat akan berangkat ke kantor. Namun sepertinya, kali ini sedikit berbeda. Keenan merasakan perubahan dalam sikap sang istri. Semenjak kejadian malam tadi, suasana hati Emily tampaknya masih kurang baik dan semua itu bertambah saat seorang tetangga baru mereka tak sengaja bertatap muka dengannya dari kejauhan. Emily langsung kembali masuk ke dalam tanpa banyak bicara. Keenan terdiam sesaat ketika menyadari tetangganya di rumah seberang masih memerhatikannya. Mungkin orang itu ingin menyapa, tapi dia yang buru-buru karena takut telat ke kantor, tidak terlalu menghiraukannya. Keenan akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam mobil dan segera melajukan kendaraannya meninggalkan rumah. Sayangnya tanpa Keenan sadari, orang yang sedari tadi menatapnya itu tersenyum miring dan menunjukkan raut senangnya menyadari Keenan telah pergi. Tanpa sedikit mengalihkan pandangannya dari rumah Keenan, dia de
"Emily, katakan kau menyukaiku. Katakan kau mencintaiku.""Ah, J-james ....""Hmm? Apa? Katakan dengan jelas, Sayang." James tersenyum puas seraya mengusap keringat di wajah Emily. Menarik wajah mesum wanitanya agar mata mereka saling bertatapan. Sementara dia terus menggerakan pinggulnya tanpa henti di atas tubuh Emily. Siang ini, James kembali mencumbu mesra sang kekasih tanpa peduli jam makan siang akan segera habis. Makan siang bukanlah alasan sebenarnya, karena dia lebih memilih Emily sebagai makanannya. Melihat wanita itu terkapar tak berdaya menikmati percintaan panasnya, membuat James merasa senang. Dia tahu Emily adalah wanita yang selalu luluh di tangannya. Wanita itu tidak akan bisa menolaknya, bahkan meski setelah menikah, tubuh Emily masih menjadi miliknya. "B-berhenti, James berhenti ....""Apa kau serius ingin berhenti? Bagaimana mungkin kau mengatakan itu saat kau masih mengerang keras, huh?" James melepaskan tangannya dari Emily, tapi tidak dari tubuh itu. Dia just
Emily berjalan santai memasuki rumah. Dia tiba lebih awal di sana. Pulang setelah menghabiskan waktu bersama James, tapi kemudian, Emily dibuat terkejut saat dia masuk dan mendapati kehadiran Javier bersama Evelyn tengah menonton televisi. Kedua bocah itu duduk anteng menyaksikan film kucing dan tikus yang bertengkar. "Javier, Evelyn, apa yang sedang kalian lakukan?" tanya Emily dengan iseng sambil menatap keduanya."Mommy!""Tante Em!"Emily melangkah mendekati putranya dan duduk di sana sambil merebahkan tubuhnya. Dia melihat banyak makanan ringan di meja. "Kalau sudah habis, bereskan makanannya, ya.""Ok, Mommy.""Eve, kamu datang sendiri ke sini? Apa ayah ibumu tahu?" Emily menatap anak gadis Ashley dengan Evan itu sambil berkedip. Evelyn yang fokus menonton televisi pun kembali menoleh ke arahnya. "Sama Iel dong, Tante. Katanya 'kan Eve boleh main. Mama udah tahu kok, tadi Eve minta pak sopir bilang sama Mama. Katanya nanti Papa mau jemput kalau nggak sibuk."Emily mengangguk p
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Pesta ulang tahun Javier digelar di halaman rumah Keenan. Menjadikan taman itu dihias dengan sangat cantik. Keenan juga mengundang badut dan penyanyi yang tampail di atas panggung kecil, untuk menghibur anak-anak sekaligus membuat pesta itu semakin meriah. Semua teman sekelas Javier pun hadir bersama orang tua mereka. Anak-anak tetangganya juga ikut diundang. Keenan senang melihat Javier sangat ceria saat ini. "Ken terima kasih, Javier sangat menyukai pestanya," ucap Emily sambil tersenyum dan mengamati anaknya. Suara MC terdengar heboh saat menghibur anak-anak dengan lelucon konyolnya. Menghidupkan suasana menjadi sangat ceria. "Aku sangat senang melihatnya senang." Keenan merangkul Emily sambil mengecup pundak istrinya. Dia mencari kesempatan untuk bermesraan dengan Emily. "Ehem, ohok-ohok, mesra sekali pasangan ini. Aduh, Sayang, aku juga mau dipeluk dan dicium."Emily refleks menoleh saat mendengar sebuah suara yang seakan mengolok-oloknya. Suar
"O-om Evan?"Wajah Emily pucat pasi saat melihat kehadiran suami sahabatnya yang berdiri sambil menatap tajam. Dia menelan ludahnya gugup dan berusaha tetap tenang, walau dirinya saat ini sudah cemas bukan main. Emily keringat dingin. Seluruh sarafnya terasa tegang. "Om, Om mau ke mana?"Pertanyaannya tidak langsung dijawab, Evan masih memerhatikannya dengan lekat. Sayangnya, Emily tidak tahu tatapan seperti apa itu. Namun auranya terasa sangat dingin dan menakutkan. Dia benci situasi seperti ini. "Saya akan keluar sebentar. Ashley sedang ngidam sesuatu.""Oh, benarkah?" Emily menghembuskan napas lega sambil tersenyum kecil. Dia menyeka keringat di pelipisnya. Emily sedikit bersyukur Evan tidak mengatakan sesuatu yang aneh. Dia pikir dia selamat. "Kalau begitu, aku masuk dulu—""James tinggal di sini dan kalian masih berhubungan?"Degh.Tubuh Emily membeku seketika dengan langkah yang turut terhenti. Senyum yang tadi sempat tersungging di bibirnya langsung lenyap. Dia bisa merasakan
"Oek ... oek ...."Suara tangis anak kecil terdengar jelas dan mengusik ketenangan Keenan yang saat ini sedang asyik terlelap. Dia menutup telinganya dengan bantal, tapi suara itu tetap terdengar dan justru semakin keras. Dia berdecak kesal, tapi tak ayal matanya terbuka. Keenan setengah mengantuk, terduduk dan melihat ke arah keranjang bayi. Lalu beralih melirik Emily yang tertidur pulas. "Yang, Sayang? Anak kita nangis." Keenan mengguncang tubuh Emily, berharap istrinya akan segera bangun. Namun Emily hanya melenguh dan tetap terlelap. "Sayang, Feli nangis."Keenan masih mencoba membangunkan Emily, tapi istrinya masih terlelap. Dia yang melihat itu, merasa bingung karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ini sudah nyaris empat puluh hari sejak Feli lahir, tapi dia belum bisa menggendongnya. Namun melihat Emily yang sepertinya tidak akan bangun, Keenan akhirnya berusaha mendekat dan menatap anaknya. "Ssstt, Feli sayang, jangan nangis ya. Mommy lagi tidur, kamu juga harus tidu
Lima bulan kemudian .... "Akhhh ... akhhh ... sakit!"Emily mengerang hebat. Dia mencengkeram kuat lengan Keenan sembari mendengar intruksi sang dokter untuk terus mengejan. Keringat bercucuran seiring dengan dirinya yang berusaha keras mengeluarkan sang anak. Rasa sakit di perutnya semakin menjadi dan Emily harus tetap dalam kesadarannya agar bisa melahirkan anak keduanya dengan selamat. "Sayang, ayo semangat! Kamu pasti bisa," ucap Keenan sambil mengecup tangan Emily dan mengusap keringat di keningnya. Dia takut dan cemas melihat Emily bersusah payah mengeluarkan anaknya. Hingga dirinya kini membiarkan saat kukuk-kukuk tajam Emily menancap di kulitnya. Rasa sakit yang dia rasakan sekarang, sama sekali tidak ada apa-apanya dibanding apa yang dirasakan oleh istrinya. "Ayo, Bu, sedikit lagi. Kepalanya sudah keluar."Keenan tak berani melihat anaknya. Dia hanya fokus pada Emily yang kini berjuang keras, hingga akhirnya istrinya itu menjerit kuat sampai kemudian disusul oleh suara tang
"Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga, sekarang juga, sekarang ... juga ...."Suara nyanyian ulang tahun bergema di sebuah ballroom hotel, yang mana saat ini mereka sedang merayakan hari ulang tahun Evelyn. Mengundang beberapa anak, termasuk Javier yang datang bersama Emily dan Keenan. Ada juga James yang turut hadir untuk menemani. Perayaan ulang tahun itu juga digelar bersamaan dengan acara syukuran atas kehamilan kedua Ashley, hingga cukup banyak orang dewasa yang datang. "Selamat ulang tahun, Evelyn."Semua orang berseru memberi selamat hingga acara terus berlanjut pada pemotongan kue. Gadis kecil yang kini seusia Javier itu tampak sangat antuasias saat memotong kue untuk dibagikan pada teman-temannya. Namun sebelum itu, Evelyn hendak memberikan kue potongan pertamanya. Emily, Keenan dan Javier hanya mengamati Evelyn yang menuruni panggung sampai gadis itu tak disangka berjalan ke arah mereka. Emily hanya bisa mengernyit kebingungan menanti aksi apa lagi yan
"Mom, jadi Mommy suka sama Ayah, ya?""Eh? Kenapa kamu bertanya begitu?" Emily yang sedang mengusap puncak kepala Javier untuk menidurkan sang anak, terkejut oleh pertanyaan yang tiba-tiba terlontar dari mulut kecil itu. "Kata Ayah, Mommy itu cinta banget sama Ayah, jadi Mommy ngejar-ngejar Ayah, terus hamil Iel deh. Beneran gitu, ya, Mom?" tanya Javier dengan penasaran. Dia tidak sadar jika pertanyaannya itu membuat Emily langsung mati kutu. 'James, kau bilang apa saja pada anakmu!' Emily menggeram dalam hati. "Y-ya, itu masa lalu. Ayahmu bilang apa lagi sama kamu?""Buanyyakkk banget, Mom!" Javier melebarkan kedua tangannya untuk mengekspresikan sebanyak apa James bercerita tentang Emily. "Ayah banyak cerita tentang Mommy. Katanya, Mommy, Ayah dan Tante Ashley itu teman. Ayah itu populer dan Mommy suka Ayah karena Ayah ganteng. Iya sih, Ayah ganteng, Iel juga jadinya ganteng.""Iya, itu benar. Terus apalagi yang Ayahmu katakan?""Hmm, itu ... Ayah bilang, dulu Ayah nggak suka Mom
Satu minggu kemudian .... "Mommy! Daddy! Iel kangen!"Javier berhambur ke dalam pelukan Emily dan Keenan begitu pintu rumah terbuka. Hari ini tepat dua hari setelah Javier akhirnya keluar dari rumah sakit dan menginap bersama James serta Sheila. Mereka menahan Javier lebih lama dari permintaan dan Emily mau tak mau mengizinkannya. Hingga kini, James sendiri yang datang mengembalikan Javier padanya. "Sayang—maksudku, Emily, akhir pekan besok aku ingin mengajak Javier ke luar kota bersama Mama, sekalian jalan-jalan. Apa aku boleh membawanya?" James meralat ucapannya saat melihat tatapan posesif Keenan. Suami dari wanita yang dia cintai, masih tampak waspada saat dia datang. James belum sepenuhnya menerima keputusan wanita itu, tapi dia juga tidak mau dipisahkan dari Javier atau membuat sang anak kecewa, jika dia tetap memaksakan kehendaknya. James hanya bisa mencintai Emily dalam hatinya. "Keluar kota?" Emily menatap Keenan dengan ragu. Dia meminta pendapat suaminya soal masalah ini,
"Ini, ambillah."Emily menyodorkan kunci mobil pada Ashley yang terkejut. Dia yang kalah taruhan beberapa waktu lalu, tentu saja akan memenuhi janjinya. Meski uang tabungannya terkuras habis. Bagaimana lagi? Ucapan Ashley jadi kenyataannya. "Kenapa kau memberikan mobil? Memangnya ada apa? Ini bukan ulang tahunku." Ashley mengambil kunci mobil itu dan menatap Emily dengan bingung. "Kau tidak ingat kita taruhan? Jika aku kalah aku harus membelikanmu mobil dan jika kau salah, kau harus menyerahkan semua restoran ini jadi milikku. Ingat?" jelas Emily dengan sedikit gemas melihat Ashley yang tampaknya melupakan apa yang dipertaruhkan. Padahal wanita itu sendiri yang mengajaknya bertaruh. "Aahh! Jadi aku menang? Ahahaha ... sudah kuduga, kau pasti jatuh cinta dan tidak bisa berjauhan dengan Keenan. Sekarang sepertinya kau sudah mengakui itu.""Berhenti mengejekku.""Ayolah, jangan malu. Sudah kubilang Keenan itu tampan. Kau sih gengsi terus."Emily berdecak dan diam membiarkan Ashley men
"Kau pasti kelelahan. Maaf selama ini aku selalu menyusahkanmu."Emily menatap Keenan yang terlelap di sebelahnya setelah mereka menghabiskan waktu bersama. Dia tanpa sungkan mengecup puncak kepala Keenan cukup lama, sebelum kemudian bangun dan menyelimuti tubuh Keenan. Emily turun dari ranjang dengan hati-hati. Memungut kembali pakaian dan mengenakannya. Pinggangnya sedikit sakit, padahal mereka sudah berhati-hati. "Sayang, kamu baik-baik saja 'kan? Maafkan Mommy," ucap Emily sambil mengelus perutnya. Dia tersenyum, sampai kemudian meriah ponsel miliknya dan berjalan keluar dengan hati-hati. Emily tidak mau membangunkan suaminya yang sedang tertidur pulas karena kelelahan. Keenan harus istirahat. Emily berjalan pelan dan memainkan ponselnya. Dia ingin mengontak ibu mertuanya, tapi baru saja dia hendak melakukan panggilan, nama James muncul di layar ponselnya. Emily mengernyit sesaat, tapi tak ayal dia menerima panggilan tersebut. "James, apa yang terja—""Emily, ini Tante.""Oh, Ta
"Keenan?"Emily refleks mendorong tubuh James dan terkejut melihat kehadiran suaminya di ambang pintu. Ekspresi Keenan seperti terluka melihat dirinya dicium oleh James. Sial, dia tidak bisa mengelak karena semua terjadi begitu cepat. Keenan tidak boleh salah paham. "Aku sepertinya mengganggu, aku akan pergi.""Eh, tunggu, Ken!" cegah Emily yang langsung berlari mendekati suaminya. Dia meninggalkan James yang tersenyum kecut dan membuang muka. Grep! Tangan Keenan berhasil digenggam cepat oleh Emily sebelum lelaki itu kabur. Keenan masih tampak lemah, sehingga tidak sulit bagi dia menangkapnya. "Ken, apa yang kau lihat tadi salah paham. Tolong dengarkan aku ya? Kita bicara sebentar?""Tidak apa-apa, aku tidak akan mencegahmu lagi kalau kau mau kembali padanya," gumam Keenan dengan nada sedih. Berusaha sebisa mungkin untuk tidak menatap Emily. Namun sayangnya, Keenan harus terkejut saat tubuhnya dibalik dengan cepat oleh sang istri dan membuat mereka saling berhadapan. "Astaga, waja
Keenan berkali-kali menghela napas sambil terkantuk-kantuk di meja kerjanya. Dia tidak bisa fokus pada meeting kali ini karena semalaman menjaga Javier. James juga berkali-kali mengajaknya berdebat tentang apa yang dilakukannya di masa lalu. Lelaki itu memberinya ketakutan jika suatu saat Emily akan meninggalkannya. Tidak, tentu saja Keenan tidak berharap demikian. Dia tidak mampu berpisah dengan Emily serta anak-anaknya. "Pa? Pak Ken?" Sam menegur Keenan yang kala itu menjadi pusat perhatian semua orang di meja rapat. "Anda sepertinya tidak baik-baik saja, bagaimana kalau rapat ini diakhiri?""Ah iya, kepalaku sedikit pusing. Lakukan saja," jawab Keenan tak acuh. Membuat Sam seketika mengambil alih perhatian dan menutup pertemuan dengan cepat. Keenan yang memang tidak dalam kondisi baik-baik saja, meninggalkan ruangan lebih dulu. Dia pergi menuju ruangannya untuk beristirahat sejenak sambil diikuti oleh Sam dari belakang. "Sam, aku sepertinya butuh obat sakit kepala.""Hanya itu, P