"O-om Evan?"Wajah Emily pucat pasi saat melihat kehadiran suami sahabatnya yang berdiri sambil menatap tajam. Dia menelan ludahnya gugup dan berusaha tetap tenang, walau dirinya saat ini sudah cemas bukan main. Emily keringat dingin. Seluruh sarafnya terasa tegang. "Om, Om mau ke mana?"Pertanyaannya tidak langsung dijawab, Evan masih memerhatikannya dengan lekat. Sayangnya, Emily tidak tahu tatapan seperti apa itu. Namun auranya terasa sangat dingin dan menakutkan. Dia benci situasi seperti ini. "Saya akan keluar sebentar. Ashley sedang ngidam sesuatu.""Oh, benarkah?" Emily menghembuskan napas lega sambil tersenyum kecil. Dia menyeka keringat di pelipisnya. Emily sedikit bersyukur Evan tidak mengatakan sesuatu yang aneh. Dia pikir dia selamat. "Kalau begitu, aku masuk dulu—""James tinggal di sini dan kalian masih berhubungan?"Degh.Tubuh Emily membeku seketika dengan langkah yang turut terhenti. Senyum yang tadi sempat tersungging di bibirnya langsung lenyap. Dia bisa merasakan
Ting tong!Keenan menekan bel rumah milik tetangga barunya dengan kuat sambil menunggu pintu dibuka. Sesuai keinginan sang pemilik rumah, dia, Emily dan Javier datang untuk menerima undangan makan malam. Keenan sangat amat penasaran dengan tetangga baru mereka. Apalagi orang yang memanggil dirinya dengan sebutan Om J. Ternyata Javier juga pernah bertemu dengannya di sekolah. Tak butuh waktu lama, lima menit berselang, seseorang membukakan pintu dan muncullah seorang pria. Javier yang pertama kali menyapanya saat mereka berhadapan dengan pemilik rumah. "Om J, malam! Iel datang bawa Daddy sama Mommy.""Oh, Javier."Keenan memerhatikan pria di depannya, tapi dia terkejut saat dirinya merasa tak asing dengan sosok pemilik rumah. Tanpa sadar, Keenan terdiam sesaat dan sibuk mengingat kembali siapa orang di depannya. "Maaf, apa kita pernah bertemu sebelumnya?""Ya?" James menaikkan alisnya dan tersenyum tipis menatap Keenan. Dia tentu masih ingat akan malam pesta waktu itu. Mereka berpapa
'Kau sangat cantik tadi, terima kasih sudah mau berdandan untukku.'Sebuah notifikasi pesan muncul di layar ponselnya, membuat Emily yang sedang asyik memainkan ponsel itu seketika membacanya dan tersenyum. Dia tidak membalas pesan itu dan hanya teringat dengan ciuman panas mereka beberapa waktu lalu. Emily merasa gila memikirkannya. Hatinya menyuruhnya berhenti, tapi dia tidak bisa. Dia sulit menjauhi James. "Ada apa kau senyum-senyum? Apa ada hal yang seru?""Ken!" Emily terkejut oleh kehadiran suaminya yang tiba-tiba ikut berbaring di sampingnya. Dia tidak mendengar suara lelaki itu masuk. Tentu saja dengan cepat ponselnya dijauhkan dari Keenan. "Javier sudah tidur?""Ya, dia tidur setelah mencoba pakaian astronotnya."Emily tersenyum mendengarnya. Dia tidak mengira James akan memberikan kostum astronot yang tidak pernah dibayangkan Javier sebelumnya. Tentu saja anaknya sangat senang dan terus saja bicara sejak tadi. James berusaha keras untuk diakui sebagai ayahnya Javier. "Itu ba
"Bu, ada pelanggan yang ingin ditemani oleh Anda. Namanya James, dia di meja nomor sepuluh."Emily terdiam dan langsung mengangkat kepalanya. Dia menatap pelayan yang baru saja memberitahunya tentang kedatangan James. Lelaki itu datang sesekali mengunjunginya hanya untuk sekadar makan siang. Padahal tempat James bekerja cukup jauh dari sini. Meski begitu, Emily tidak bisa menolak keinginan James. "Aku akan keluar."Dengan langkah terburu-buru, Emily bangkit dari duduknya dan berjalan keluar ruangan. Dia mencari meja yang dimaksud, hingga matanya terpaku pada meja di mana James berada. Lelaki itu benar-benar ada di sana, dengan setelan kerja yang melekat di tubuhnya. Senyum cerah tersungging di bibir Emily seiring dengan langkahnya yang kemudian berhenti di depan James. "Sudah menunggu lama?""Tidak, aku baru datang. Kau belum makan 'kan? Aku sudah pesan makanan untukmu juga soalnya.""Ya, aku belum." Emily tersenyum dan menunduk. "Ngomong-ngomong, aku tidak melihat suamimu sejak kem
Kedekatan Emily dan James semakin kuat saat Keenan tanpa disangka memperpanjang perjalanan bisnisnya. Disela-sela makan siang pun, Emily banyak bercerita tentang apa yang dialami selama James di penjara. Kehidupannya saat melahirkan Javier dan membangun usaha dengan Ashley. Lelaki itu pun demikian. James menunjukkan perasaannya yang terlihat tulus. Menggoyahkan kembali hati Emily yang rapuh. Emily yang bodoh, sekali lagi tergila-gila oleh James. "Mom, kenapa Mommy senyum-senyum? Ada yang lucu ya? Iel pinjam HP Mommy, dong!"Suara sang anak mengaburkan lamunan Emily seketika. Perhatiannya pada ponsel yang menampilkan foto James, langsung beralih. Dia menatap anaknya yang kini melihatnya penuh rasa penasaran. "Hmm? Nggak boleh, anak kecil nggak boleh main HP. Itu nggak baik, ayo kamu makan lagi." "Iel mau nelepon Daddy, Mom, bukan main. Daddy lama banget perginya.""Iya, nanti aja kalau kamu udah selesai makan. Sekarang habiskan dulu."Setelah mengucapkan itu, perhatian Emily kembali
"Javier, kamu sayang sama Daddy, ya?" tanya Emily sambil mengusap puncak kepala anaknya. Mereka saat ini tengah berbaring di atas ranjang. Tempat Emily tidur selama Keenan tidak ada. Dia selalu menemani putranya. "Iya, Mom, sayang banget. Daddy Ken baik, bisa jagain Iel sama Mommy juga."Emily menghela napas pendek mendengar jawaban sang anak. Javier terlalu menganggap Keenan sebagai pahlawan. "Kalau Ayah kamu, gimana?""Ayah? Ayah siapa, Mom? Iel nggak punya tuh."Sangat dingin. Javier meliriknya sekilas dan kembali membaca buku dongeng anak yang diberikan Keenan. "Ayah kamu, kamu sayang 'kan?""Kenapa Iel harus sayang? Iel juga nggak pernah ketemu. Ayah ninggalin kita, Mommy juga sering nangis. Udah, Mom, Iel nggak mau denger lagi." Javier menutup telinganya sambil menggeleng keras. Dia tidak ingin tahu tentang ayah kandungnya. Akan tetapi, Emily jelas tidak bisa membiarkannya begitu saja. Dia menarik tangan sang anak dan menatap matanya sendu. Javier harus tahu dan tidak seharus
"K-ken cukup, ah ...."Emily menjerit keras dengan tubuh yang menempel di kaca, sebelum kemudian luruh di lantai ketika kedua kakinya mendadak lemas. Wajahnya sudah sangat merah saat ini dan suara napasnya terdengar jelas. Namun di saat Emily masih berusaha menenangkan diri, tangannya tiba-tiba ditarik oleh Keenan hingga dia duduk di pangkuan lelaki itu. Bibirnya kembali dicium. "Cukup, aku tidak mau melakukannya lagi. Kau sangat kasar, Ken.""Kasar? Bukannya kau senang dikasari?" Keenan menyeka bibir bawah Emily dan mendorong tubuh telanjang istrinya di ranjang. Dia ikut berbaring di sebelahnya. "Kau selalu bergairah setiap aku bertindak kasar 'kan?"Emily tidak membantah. Dia hanya menatap Keenan yang begitu dingin. Perasaannya mengatakan kalau suaminya saat ini sedang marah. Jujur dia sedikit takut. Keenan tidak tersenyum seperti tadi saat mereka tiba di rumah. "Ya, tapi—""Tapi kau lebih suka disentuh orang lain?""Apa?" Keenan menatap tajam istrinya dan mengulurkan tangannya men
Drrrtt ... drrttt ....Ponsel Emily bergetar, sebelum kemudian terdengar suara dering yang cukup kencang. Dia yang sedang berdandan, mau tak mau mengambil ponsel di sampingnya dan menatap nama James di sana. Sejenak, Emily ragu untuk mengangkatnya, tapi setelah memastikan tidak ada Keenan di kamar mereka, dia langsung mengangkat panggilan tersebut. "Ya, James?""Sayang, kau bisa datang ke hotel sekarang? Aku ingin bertemu denganmu."Hotel? Emily menggigit bibir bawahnya dengan kuat. Dia ingin menemui lelaki itu, tapi janjinya pada Keenan membuat dirinya takut. "Maaf, sepertinya tidak bisa James.""Apa? Kenapa?"Emily tidak bisa mengatakannya. Dia hanya mendesis bingung sembari beranjak dari duduknya. Emily berniat pergi ke balkon, tapi langkahnya seketika terhenti ketika matanya menyadari kehadiran Keenan di ambang pintu. Sang suami menatap dingin ke arahnya sambil melipat kedua tangan seakan tengah mengawasi. Belum reda kekagetannya, dia melihat Keenan perlahan mendekat dan seperti