"Bu, ada pelanggan yang ingin ditemani oleh Anda. Namanya James, dia di meja nomor sepuluh."Emily terdiam dan langsung mengangkat kepalanya. Dia menatap pelayan yang baru saja memberitahunya tentang kedatangan James. Lelaki itu datang sesekali mengunjunginya hanya untuk sekadar makan siang. Padahal tempat James bekerja cukup jauh dari sini. Meski begitu, Emily tidak bisa menolak keinginan James. "Aku akan keluar."Dengan langkah terburu-buru, Emily bangkit dari duduknya dan berjalan keluar ruangan. Dia mencari meja yang dimaksud, hingga matanya terpaku pada meja di mana James berada. Lelaki itu benar-benar ada di sana, dengan setelan kerja yang melekat di tubuhnya. Senyum cerah tersungging di bibir Emily seiring dengan langkahnya yang kemudian berhenti di depan James. "Sudah menunggu lama?""Tidak, aku baru datang. Kau belum makan 'kan? Aku sudah pesan makanan untukmu juga soalnya.""Ya, aku belum." Emily tersenyum dan menunduk. "Ngomong-ngomong, aku tidak melihat suamimu sejak kem
Kedekatan Emily dan James semakin kuat saat Keenan tanpa disangka memperpanjang perjalanan bisnisnya. Disela-sela makan siang pun, Emily banyak bercerita tentang apa yang dialami selama James di penjara. Kehidupannya saat melahirkan Javier dan membangun usaha dengan Ashley. Lelaki itu pun demikian. James menunjukkan perasaannya yang terlihat tulus. Menggoyahkan kembali hati Emily yang rapuh. Emily yang bodoh, sekali lagi tergila-gila oleh James. "Mom, kenapa Mommy senyum-senyum? Ada yang lucu ya? Iel pinjam HP Mommy, dong!"Suara sang anak mengaburkan lamunan Emily seketika. Perhatiannya pada ponsel yang menampilkan foto James, langsung beralih. Dia menatap anaknya yang kini melihatnya penuh rasa penasaran. "Hmm? Nggak boleh, anak kecil nggak boleh main HP. Itu nggak baik, ayo kamu makan lagi." "Iel mau nelepon Daddy, Mom, bukan main. Daddy lama banget perginya.""Iya, nanti aja kalau kamu udah selesai makan. Sekarang habiskan dulu."Setelah mengucapkan itu, perhatian Emily kembali
"Javier, kamu sayang sama Daddy, ya?" tanya Emily sambil mengusap puncak kepala anaknya. Mereka saat ini tengah berbaring di atas ranjang. Tempat Emily tidur selama Keenan tidak ada. Dia selalu menemani putranya. "Iya, Mom, sayang banget. Daddy Ken baik, bisa jagain Iel sama Mommy juga."Emily menghela napas pendek mendengar jawaban sang anak. Javier terlalu menganggap Keenan sebagai pahlawan. "Kalau Ayah kamu, gimana?""Ayah? Ayah siapa, Mom? Iel nggak punya tuh."Sangat dingin. Javier meliriknya sekilas dan kembali membaca buku dongeng anak yang diberikan Keenan. "Ayah kamu, kamu sayang 'kan?""Kenapa Iel harus sayang? Iel juga nggak pernah ketemu. Ayah ninggalin kita, Mommy juga sering nangis. Udah, Mom, Iel nggak mau denger lagi." Javier menutup telinganya sambil menggeleng keras. Dia tidak ingin tahu tentang ayah kandungnya. Akan tetapi, Emily jelas tidak bisa membiarkannya begitu saja. Dia menarik tangan sang anak dan menatap matanya sendu. Javier harus tahu dan tidak seharus
"K-ken cukup, ah ...."Emily menjerit keras dengan tubuh yang menempel di kaca, sebelum kemudian luruh di lantai ketika kedua kakinya mendadak lemas. Wajahnya sudah sangat merah saat ini dan suara napasnya terdengar jelas. Namun di saat Emily masih berusaha menenangkan diri, tangannya tiba-tiba ditarik oleh Keenan hingga dia duduk di pangkuan lelaki itu. Bibirnya kembali dicium. "Cukup, aku tidak mau melakukannya lagi. Kau sangat kasar, Ken.""Kasar? Bukannya kau senang dikasari?" Keenan menyeka bibir bawah Emily dan mendorong tubuh telanjang istrinya di ranjang. Dia ikut berbaring di sebelahnya. "Kau selalu bergairah setiap aku bertindak kasar 'kan?"Emily tidak membantah. Dia hanya menatap Keenan yang begitu dingin. Perasaannya mengatakan kalau suaminya saat ini sedang marah. Jujur dia sedikit takut. Keenan tidak tersenyum seperti tadi saat mereka tiba di rumah. "Ya, tapi—""Tapi kau lebih suka disentuh orang lain?""Apa?" Keenan menatap tajam istrinya dan mengulurkan tangannya men
Drrrtt ... drrttt ....Ponsel Emily bergetar, sebelum kemudian terdengar suara dering yang cukup kencang. Dia yang sedang berdandan, mau tak mau mengambil ponsel di sampingnya dan menatap nama James di sana. Sejenak, Emily ragu untuk mengangkatnya, tapi setelah memastikan tidak ada Keenan di kamar mereka, dia langsung mengangkat panggilan tersebut. "Ya, James?""Sayang, kau bisa datang ke hotel sekarang? Aku ingin bertemu denganmu."Hotel? Emily menggigit bibir bawahnya dengan kuat. Dia ingin menemui lelaki itu, tapi janjinya pada Keenan membuat dirinya takut. "Maaf, sepertinya tidak bisa James.""Apa? Kenapa?"Emily tidak bisa mengatakannya. Dia hanya mendesis bingung sembari beranjak dari duduknya. Emily berniat pergi ke balkon, tapi langkahnya seketika terhenti ketika matanya menyadari kehadiran Keenan di ambang pintu. Sang suami menatap dingin ke arahnya sambil melipat kedua tangan seakan tengah mengawasi. Belum reda kekagetannya, dia melihat Keenan perlahan mendekat dan seperti
"Ada apa dengan wajahmu, Emily? Kenapa kusut begitu sejak tadi?""Tidak apa-apa." Emily tersenyum kecut dan kembali melamun. Dia mengabaikan chat dari James. Berusaha untuk tidak membalas kebingungan lelaki itu. Dia takut dengan Keenan. "Bohong, jelas-jelas kau itu tidak baik-baik saja! Sepertinya ada yang terlewatkan selama aku tidak ada. Ayo, ceritakan padaku."Emily menghela napas kasar dan menatap malas ke arah sahabatnya. Ashley tampak bertopang dagu menanti jawaban yang keluar dari mulutnya. Sepertinya Evan juga tidak bercerita tentang James pada Ashley. Hah, tentu saja itu tidak mungkin. Evan pasti suka Ashley dekat kembali dengan James. "Tidak ada apa-apa.""Kau tidak seru, kau pasti menyembunyikan sesuatu dariku. Cepat katakan!" desak Ashley dengan penasaran. Sayangnya, sebelum rasa penasarannya terjawab, pintu ruangan sudah lebih dulu terbuka dan memutus percakapan mereka. Emily tersenyum senang menyadari itu dan langsung memberi intruksi agar orang yang menyelamatkannya m
"Emily, Mama sangat senang mendengar kamu hamil. Kalau ada sesuatu yang kamu inginkan, kamu bisa katakan sama Mama, ok?""Iya, Ma," sahut Emily sambil meringis. Dia tidak tahu bagaimana dirinya bisa terjebak dengan sang mertua di sini. Keenan sudah pergi kembali ke kantor, sementara dirinya ditahan di rumah mertuanya. Nyonya Silvi tak henti-hentinya berceloteh tentang Keenan padanya dan tentang masa kecil suaminya, atau bahkan membahas kehamilan. Sungguh, Emily ingin mengatakan kebenarannya, tapi dia tidak bisa. Dia tidak tega. Semua ini benar-benar ulah Keenan dan dia yang harus menanganinya. "Oh, kita sudah sangat lama bicara, ya. Mama jadi lupa, Javier pasti sedang menunggumu.""Javier tadi sedang tidur, Ma. Tidak usah khawatir.""Syukurlah, Mama takut Javier mencarimu." Nyonya Silvi menghela napas lega dan kembali menatap lekat menantunya. "Soal perceraian tadi, Mama harap kamu tidak pernah mengatakannya lagi ya. Bagaimana pun, pernikahan bukan untuk main-main. Apalagi, sekarang
"M-maaf, Nyonya, saya tidak sengaja."Wajah Emily berubah pucat. Dia malu bukan main dan tak tahu harus melakukan apa saat ini. Bukan Keenan yang memergokinya, tapi pelayannya! Itu jauh lebih memalukan dari yang dia duga. Membuat Emily tanpa banyak berpikir, segera merapikan penampilannya dan menjauhi James. "Ini tidak seperti yang terlihat, Bi. Tolong jangan salah paham.""Apalagi yang perlu disalahpahami, Sayang? Kenapa kau harus takut?""James! Hentikan!" Emily mendorong lelaki itu setengah jengkel. Dia tak percaya James tidak mau memahami situasinya. "Tolong pergi sekarang!""Tapi—""Aku mohon."Emily menatap lelaki itu sambil memelas. Dia sudah panas dingin sekarang. Tentu dirinya tidak mungkin bermesraan di rumah bersama lelaki lain. Apalagi sampai dirinya dipergoki oleh pelayannya sendiri. Dia takut ada gosip yang kemudian sampai di telinga ibu mertuanya. "Baiklah, aku pergi."Perhatian Emily beralih saat James akhirnya menyerah. Lalu menatap pelayannya yang masih menunduk syo