"Javier, Mommy mau bicara sama Om J, kamu masuk ke dalam ya?""Eh, tapi Mommy—""Jangan membantah, masuk ke dalam!" Emily sedikit mengeraskan suaranya saat menyadari Javier enggan pergi dari sana. Namun setelah dia memberi teguran cukup keras, Javier yang terkejut akhirnya menurut dan meninggalkannya berdua dengan James. Setelah menyadari anaknya benar-benar pergi, Emily kembali menatap orang di depannya dengan tak percaya. "Apa maksudnya ini, James? Apa kau gila?""Hmm? Gila? Bukankah kau harusnya senang? Aku datang untukmu. Kita jadi lebih dekat sekarang." James tersenyum lebar dan berniat merengkuh Emily ke dalam pelukannya, tapi wanita itu malah menghindarinya. Emily menjauh dan terus menatap sekitar dengan gelisah. Wanita itu seakan takut kalau pertemuannya ini dicurigai. "Tapi tidak seperti ini juga. Jangan tiba-tiba muncul di rumahku," bisik Emily dengan cemas. "Kau harus terbiasa, kau juga 'kan yang menantangku untuk mendapatkan hati Javier? Jika aku berada di dekat kalian,
"Kau tetap membantu mereka? Kenapa kau ini bodoh sekali, huh! Kau tidak bisa diberitahu!" Emily tak bisa membendung omelannya begitu mereka sampai di rumah. Mendengar ucapan Keenan yang membantu masalah orang tuanya, membuat dia kesal bukan main. Dia kira suaminya tidak akan menyetujuinya begitu saja, tapi Keenan tetap keras kepala. Bahkan setelah terjadi insiden sang ibu menyindir anaknya, lelaki itu masih mau membantu. "Emily tunggu, aku melakukan ini karena mereka itu mertuaku. Itu sudah menjadi tugasku untuk membantunya," ucap Keenan sambil membawa Javier yang tertidur ke dalam gendongannya dan berusaha menyamai langkahnya. "Jangan terlalu baik pada orang tuaku! Kau tidak tahu bagaimana mereka, mereka hanya memanfaatkanmu." Emily terus berbicara tanpa mau berhenti. "Tidak masalah, selama mereka tidak akan menyakitimu dan Javier lagi, aku bisa berikan apa pun.""Apa?" Emily berhenti dan berbalik dengan bingung. Dia menatap Keenan yang tersenyum hangat ke arahnya. Apa ada yang di
Tok-tok-tok. "Masuk."Pintu berdecit pelan sebelum akhirnya terbuka. James muncul dari balik pintu dan langsung berhadapan dengan seorang wanita paruh baya yang saat ini duduk di meja kebesarannya. Namun tampaknya, kehadirannya saat ini telah dinanti wanita dewasa yang kini mengarahkan semua atensinya kepada James. "Maaf, apa ada masalah Anda memanggil saya, Bu?""Tutup pintunya dan duduklah, James. Tidak perlu bicara formal."James yang masih bingung dengan perintah itu, akhirnya hanya bisa menurut. Dia menutup pintu sambil berjalan mendekat dan duduk di kursi yang telah disediakan. "Ada apa, Ma? Kenapa Mama memanggilku? Apa aku membuat masalah dalam pekerjaanku?""Tidak, Mama memanggilmu bukan untuk itu. Pekerjaanmu bagus, Mama harap kamu bisa meningkatkan kemampuanmu agar kamu bisa menggantikan Mama." Sheila menjeda kalimatnya sejenak sambil menatap lekat sang anak, sebelum kemudian melanjutkan percakapan. "Tapi alasan Mama memanggilmu ke sini, sebenarnya hanya untuk berbincang r
"Ah, segarnya."Emily mendesah lega sambil memejamkan mata dan menikmati air dalam bathtub. Dia membiarkan air membersihkan tubuh serta pikirannya. Pikiran tentang James atau bahkan Keenan yang sedikit bertingkah menyebalkan. Emily masih merinding memikirkan sikap Keenan yang sedikit nakal semalam. Namun tak dipungkiri, dia ingin kembali dipeluk suaminya. Bibirnya tanpa sadar mengukir senyum tipis saat memikirkan Keenan, tapi kemudian dia langsung melotot dan membuka matanya ketika sadar apa yang baru saja dia pikirkan. "Kenapa aku terus memikirkan orang itu? Ada apa denganku!" Emily merutuk. Dia merasa dirinya semakin aneh saat terus memikirkan Keenan dan merasa malu. Hingga akhirnya, Emily yang kesal memutuskan untuk mengakhiri sesi mandinya dengan cepat. Dengan menggunakan handuk dari dada sampai sebatas paha, Emily berjalan keluar kamar mandi menuju lemari. Namun saat telinganya mendengar sesuatu, langkahnya terhenti sejenak. Emily melihat ke arah balkon kamar dan mendapati pem
"Ada apa denganmu, Emily? Kenapa kau sangat terkejut seperti itu? Kau sampai menjatuhkan gelas dan melukai kakimu. Kau aneh," ucap Keenan sambil membersihkan luka di kaki Emily setelah insiden kecil tadi. Istrinya menjatuhkan kaca dan berteriak keras. Untunglah, tidak ada luka dalam atau kaca yang tertancap dalam kulit. Hanya luka kecil yang akan sembuh sendiri setelah dibersihkan dan diberi obat merah. "Kau yang aneh, Ken. Kaumau mengundang orang asing ke rumah kita." Emily menatap suaminya yang kini tengah membereskan kotak P3K setelah selesai memeriksa luka di kakinya. "Mereka tetangga baru kita, aku hanya ingin menyapa, tapi baiklah kalau kau tidak nyaman. Aku tidak akan melakukannya. Namun kau tidak perlu bersikap berlebihan seperti itu. Lihatlah, kakimu jadi terluka."Emily menggigit bibir bawahnya dengan kuat sambil mengepalkan tangan penuh kekesalan. Suaminya tidak tahu. Tentu saja dia tidak mau mengundang James ke sini karena khawatir lelaki itu akan bicara yang tidak-tidak
"Ken, ada apa denganmu? Kau tidak gila 'kan?"Emily mengernyit sambil terus memerhatikan Keenan setelah mereka turun dari mobil. Dia sedari tadi sibuk memerhatikan suaminya yang bertingkah aneh setelah mereka pulang dari mal. Keenan terus tersenyum seperti orang gila. "Tega sekali kau bicara seperti itu. Aku tidak gila.""Terus, kenapa kau tersenyum dari tadi? Apa ada hal yang lucu?" tanya Emily yang penasaran. Keenan lagi-lagi membalasnya dengan senyum cerah sambil asyik menggenggam tangan Javier. "Anak imut tadi, siapa namanya?""Evelyn, Dad.""Jadi kau tersenyum gara-gara memikirkan Evelyn? Keenan kau—""Aku tahu apa yang kaupikirkan, tapi aku tidak seperti itu." Keenan memutar matanya dengan malas dan mempercepat langkahnya menuju ruang makan. Makanan sudah tersaji di atas meja. Pelayannya melakukan dengan sangat tepat waktu. Hingga tanpa menunggu lebih lama lagi, Keenan mendudukkan bokongnya di kursi biasa bersama dengan Javier di sebelahnya dan Emily di sisi lainnya. "Memang
"Javier menyukai semua barang yang Keenan berikan. Dia sangat manja padanya dan, sebenarnya Javier sangat ingin memiliki adik." Suara Emily melemah di akhir kalimatnya. Dengan hati-hati, matanya melirik ke arah James yang saat ini sedang menyantap camilan. Setelah pertemuannya tadi di restoran, James tetap memaksanya ke rumah lelaki itu dan dia yang takut ketahuan, terpaksa masuk lewat pintu belakang. Hingga dirinya kemudian berakhir di sini. Duduk tepat di samping James. "Adik? Maksudmu, anak darimu dan Keenan?""Y-ya.""Kaumau mengandung anak lelaki itu?" James mencondongkan tubuhnya saat melihat Emily tergagap sambil berusaha menghindarinya. Kedua alisnya berubah tajam, James tak percaya dengan apa yang didengarnya. "Emily, tatap mataku. Apa kau menyukai lelaki itu?"Glek. Emily menelan ludahnya gugup dan berusaha tertawa mendengar pertanyaan James. "T-tidak, aku tidak menyukainya. Kau 'kan tahu kami menikah karena dijodohkan.""Lalu apa kauingin hamil?"Emily meringis saat mera
Emily berjalan pelan memasuki rumah saat waktu makan malam hampir tiba. Dia merasa sedikit cemas memikirkan Javier yang mungkin mengkhawatirkannya. Emily hampir lupa waktu ketika bersama James dan kalimat lelaki itu juga terus tergiang di kepalanya. Suka. James akhirnya menyukainya. Emily tidak tahu bagaimana perasaannya saat ini, yang jelas dia syok. James menyukainya adalah sesuatu yang terasa sangat mustahil dia dapatkan dulu. Meski dia harus mengemis pun, dia tidak pernah mendapatkannya. Namun sekarang, bagaimana James tiba-tiba menyukainya? Ada bagian dalam hatinya yang merasa senang. Emily tidak dapat menampik kalau dia suka dengan ucapan James, tapi di sisi lain, dia juga bingung karena sekarang dirinya telah bersuami. Emily merasa dirinya sudah tidak waras saat tidak mencegah apa yang dilakukan James. Dia seperti menjalin hubungan gelap di belakang suaminya. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Dia menyukai James, tapi Javier menyukai Keenan. Emily tidak bisa memilih salah s