"Maksudmu?"Emily kembali mendongak dan menatap James dengan mata berkaca-kaca. "Aku dulu pernah mengatakan itu dan aku sangat bersungguh-sungguh. Aku menyesali semua perbuatanku atas apa yang membuatmu menderita. Kupikir ketika itu, semuanya juga sudah berakhir. Kau juga hanya diam saat itu."Satu tetes air mata Emily jatuh tanpa dapat dicegah. Dia teringat kembali kenangan enam tahun lalu di mana James di penjara. Mereka bertemu saat itu untuk kali pertama dan terakhirnya. Emily ingat saat dia datang untuk meminta maaf, tapi James hanya diam seolah tak mendengarkannya. Saat itu, dia kira semuanya sudah selesai. "Kupikir kau sangat membenciku sampai kau tidak mau bicara denganku. Aku tidak pernah melihatmu karena aku takut, kehadiranku hanya menambah lukamu."James sendiri yang mendengarnya terkejut. "Bagaimana kau bisa menyimpulkan semuanya seperti itu? Aku memang membencimu dulu, tapi kau pernah berjanji tidak akan meninggalkanku. Kenyatannya, kau tidak pernah datang lagi setelah i
Keenan duduk di ruang kerja sambil memeriksa pekerjaan untuk besok. Dirinya sudah berjam-jam berada di sana dari sejak makan malam, hingga kini jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Rasa kantuk pun perlahan dirasakannya, sampai Keenan akhirnya memutuskan untuk mengakhiri pekerjaannya dan pergi untuk tidur. Dia berpikir Emily mungkin sudah kembali dari acara reuninya. Akan tetapi, tebakannya salah. Ketika Keenan baru keluar dari ruang kerjanya dan berjalan menuju ke arah kamar, dia mendengar suara mobil berhenti. Keningnya berkerut dan refleks, Keenan mendekati jendela untuk memastikan siapa yang datang. Hingga didapatinya orang itu adalah istrinya, Emily. Istrinya baru pulang? Di tengah kebingungan Keenan tentang kepulangan Emily, pintu rumah tiba-tiba terbuka. Keenan mau tak mau melirik dan melihat Emily masuk dengan wajah suramnya. "Emily, kau baru pulang?" tanyanya yang refleks mendekat."Ken." Emily tersentak dan refleks terdiam melihat kehadiran Keenan. "Kau belum tidur?""Aku b
"Pak, ini proposal bisnis dari perusahaan Partindo.""Taruh saja, aku akan membacanya nanti," ucap Keenan sambil melirik sekilas sekretarisnya dan kembali fokus pada pekerjaannya. Berkas yang dibawa itu diletakkan di atas mejanya dan sekretarisnya berniat pergi, tapi Keenan menghentikannya saat dia teringat sesuatu. "Sam, apa sekarang kau sedang sibuk?""Tidak, Pak. Apa ada yang bisa saya bantu?"Keenan berdehem. Kali ini, dia menghentikan pekerjaannya saat tiba-tiba teringat dengan Emily. Istrinya akan datang dan rasanya dia ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengannya. "Hmm, sebenarnya aku ingin menanyakan sesuatu padamu, tapi ini di luar pekerjaan."Sang sekretaris terkejut melihat reaksi ragu-ragu Keenan, tapi dia juga dibuat penasaran dengan senyum yang tiba-tiba tersungging di bibir itu. "Anda bisa menanyakannya pada saya. Saya bisa menjaga rahasia, Pak.""Duduklah kalau begitu," ucap Keenan tanpa basa-basi. Senyumnya semakin merekah. "Begini, kau 'kan sudah menikah, maksudku
"Kenapa kau seperti ini? Bagaimana kau bisa memikirkan makan siang romantis? Kau tidak demam 'kan?" Emily duduk di kursi yang telah disediakan sambil menatap bingung Keenan. Namun suaminya itu hanya tersenyum tak acuh dan sibuk membuka lunch box-nya. "Ken, kau mendengarku?""Cckk, apa aku salah menyiapkan ini untuk istriku?"Emily mengangkat alisnya mendengar ucapan Keenan. Meski begitu, dia juga membantu lelaki itu menyiapkan makan siangnya. "Tidak juga, hanya aneh saja. Kau suka padaku ya?""Kalau iya, kenapa? Tidak boleh?""A-apa?"Keenan tersenyum tipis melihat Emily kaget oleh perkataannya. Wanita itu tampak lucu dengan ekspresi penuh kebingungannya. Membuat dia gemas dan langsung menggenggam tangannya erat. "Aku suka padamu. Kenapa kau terkejut?""K-kau bercanda?""Tidak."Emily refleks menarik tangannya kembali dan menatap pias Keenan. Tidak boleh. Keenan tidak boleh menyukainya. Lelaki itu tidak boleh terlibat dengannya. Emily tidak bisa menerima itu, tapi Keenan yang tampakny
"Javier, Mommy mau bicara sama Om J, kamu masuk ke dalam ya?""Eh, tapi Mommy—""Jangan membantah, masuk ke dalam!" Emily sedikit mengeraskan suaranya saat menyadari Javier enggan pergi dari sana. Namun setelah dia memberi teguran cukup keras, Javier yang terkejut akhirnya menurut dan meninggalkannya berdua dengan James. Setelah menyadari anaknya benar-benar pergi, Emily kembali menatap orang di depannya dengan tak percaya. "Apa maksudnya ini, James? Apa kau gila?""Hmm? Gila? Bukankah kau harusnya senang? Aku datang untukmu. Kita jadi lebih dekat sekarang." James tersenyum lebar dan berniat merengkuh Emily ke dalam pelukannya, tapi wanita itu malah menghindarinya. Emily menjauh dan terus menatap sekitar dengan gelisah. Wanita itu seakan takut kalau pertemuannya ini dicurigai. "Tapi tidak seperti ini juga. Jangan tiba-tiba muncul di rumahku," bisik Emily dengan cemas. "Kau harus terbiasa, kau juga 'kan yang menantangku untuk mendapatkan hati Javier? Jika aku berada di dekat kalian,
"Kau tetap membantu mereka? Kenapa kau ini bodoh sekali, huh! Kau tidak bisa diberitahu!" Emily tak bisa membendung omelannya begitu mereka sampai di rumah. Mendengar ucapan Keenan yang membantu masalah orang tuanya, membuat dia kesal bukan main. Dia kira suaminya tidak akan menyetujuinya begitu saja, tapi Keenan tetap keras kepala. Bahkan setelah terjadi insiden sang ibu menyindir anaknya, lelaki itu masih mau membantu. "Emily tunggu, aku melakukan ini karena mereka itu mertuaku. Itu sudah menjadi tugasku untuk membantunya," ucap Keenan sambil membawa Javier yang tertidur ke dalam gendongannya dan berusaha menyamai langkahnya. "Jangan terlalu baik pada orang tuaku! Kau tidak tahu bagaimana mereka, mereka hanya memanfaatkanmu." Emily terus berbicara tanpa mau berhenti. "Tidak masalah, selama mereka tidak akan menyakitimu dan Javier lagi, aku bisa berikan apa pun.""Apa?" Emily berhenti dan berbalik dengan bingung. Dia menatap Keenan yang tersenyum hangat ke arahnya. Apa ada yang di
Tok-tok-tok. "Masuk."Pintu berdecit pelan sebelum akhirnya terbuka. James muncul dari balik pintu dan langsung berhadapan dengan seorang wanita paruh baya yang saat ini duduk di meja kebesarannya. Namun tampaknya, kehadirannya saat ini telah dinanti wanita dewasa yang kini mengarahkan semua atensinya kepada James. "Maaf, apa ada masalah Anda memanggil saya, Bu?""Tutup pintunya dan duduklah, James. Tidak perlu bicara formal."James yang masih bingung dengan perintah itu, akhirnya hanya bisa menurut. Dia menutup pintu sambil berjalan mendekat dan duduk di kursi yang telah disediakan. "Ada apa, Ma? Kenapa Mama memanggilku? Apa aku membuat masalah dalam pekerjaanku?""Tidak, Mama memanggilmu bukan untuk itu. Pekerjaanmu bagus, Mama harap kamu bisa meningkatkan kemampuanmu agar kamu bisa menggantikan Mama." Sheila menjeda kalimatnya sejenak sambil menatap lekat sang anak, sebelum kemudian melanjutkan percakapan. "Tapi alasan Mama memanggilmu ke sini, sebenarnya hanya untuk berbincang r
"Ah, segarnya."Emily mendesah lega sambil memejamkan mata dan menikmati air dalam bathtub. Dia membiarkan air membersihkan tubuh serta pikirannya. Pikiran tentang James atau bahkan Keenan yang sedikit bertingkah menyebalkan. Emily masih merinding memikirkan sikap Keenan yang sedikit nakal semalam. Namun tak dipungkiri, dia ingin kembali dipeluk suaminya. Bibirnya tanpa sadar mengukir senyum tipis saat memikirkan Keenan, tapi kemudian dia langsung melotot dan membuka matanya ketika sadar apa yang baru saja dia pikirkan. "Kenapa aku terus memikirkan orang itu? Ada apa denganku!" Emily merutuk. Dia merasa dirinya semakin aneh saat terus memikirkan Keenan dan merasa malu. Hingga akhirnya, Emily yang kesal memutuskan untuk mengakhiri sesi mandinya dengan cepat. Dengan menggunakan handuk dari dada sampai sebatas paha, Emily berjalan keluar kamar mandi menuju lemari. Namun saat telinganya mendengar sesuatu, langkahnya terhenti sejenak. Emily melihat ke arah balkon kamar dan mendapati pem