"Jadi, itu lelaki yang ke berapa?""Mana aku tahu."Emily mengangkat bahunya tak acuh sambil menarik koper miliknya ke dalam rumah. Tak menghiraukan pertanyaan Keenan yang terus saja penasaran dengan lelaki yang tadi tiba-tiba menciumnya. Makan siangnya pun berakhir berantakan dan Keenan malah menariknya pergi ke restoran lain. "Mana kutahu? Kenapa kau ini santai sekali? Dia mencium bibirmu tadi!""Ya, terus? Apa aku harus berbalik dan mencari tahunya? Dia juga bukan menciumku, hanya mengecup." Emily menjatuhkan dirinya di atas ranjang dan membiarkan kopernya begitu saja untuk sesaat. Tubuhnya sedikit lelah. "Lagian, kenapa kau sensi sekali, Ken? Kau cemburu, huh?"Sejak tadi, Keenan seperti kebakaran jenggot melihat lelaki asing mendekatinya dan sampai menciumnya. Lelaki itu menunjukkan ketidaksukaannya dengan sangat amat jelas tanpa ditutup-tutupi. "Hei, kau tidak jatuh cinta padaku 'kan? Ken, kau tidak cemburu juga 'kan?""Cemburu? Kau bercanda! Aku tidak cemburu atau jatuh cinta
"Jangan bicara aneh, Ken. Aku tidak menghindari apa pun."Emily seketika mengalihkan perhatiannya dan memasang ekspresi murung saat Keenan membahas orang tuanya. Dia tidak mau mendengar dan tidak mau peduli. Emily justru memilih melanjutkan langkahnya menuju ruang tengah, di mana Javier berada. Namun sepertinya, Keenan sangat gigih. "Benarkah? Kenapa aku merasa hubunganmu dan orang tuamu tidak begitu baik? Kau terlihat ceria saat bicara dengan Ibuku." Pada pertemuan dua keluarga waktu itu, Keenan sebenarnya memerhatikan Emily dan calon mertuanya. Dia menyadari jelas istrinya itu tidak mau menikah dengannya dan seolah tertekan oleh perkataan orang tuanya. Mereka seperti tidak memiliki hubungan baik. "Kau ini sangat cerewet. Hubungan kami baik-baik saja.""Jika kau ada masalah, kau bisa berbagi ceritamu padaku, Emily. Aku siap mendengarkan."Emily refleks berhenti melangkah. Dia terdiam, lalu menatap Keenan sambil berkedip. Terlihat kesungguhan di mata suaminya. Keenan seperti berusa
"Sarah, tolong kamu layani meja nomor 4 ya. Saya ada tamu.""Baik, Bu."Emily berbalik dan melangkah menuju ke ruangannya setelah memberi perintah pada salah satu pelayannya. Dia menutup pintu ruangan dengan sangat hati-hati dan menatap seorang wanita dewasa yang tidak lain adalah ibunya sendiri. Ekspresi masam membingkai wajahnya. Emily paling malas jika harus bertemu dengan orang tuanya. Namun apa boleh buat, dia tidak mungkin mengusir ibunya yang datang dengan sengaja ke restoran. "Ada apa Ibu ke sini?" tanya Emily tanpa basa-basi. "Kamu ini tidak sopan. Langsung bertanya tanpa menjamu sama sekali."Emily mengambil gelas dan mengisinya dengan air putih, lalu meletakkannya di depan sang ibu. Sementara dirinya lantas duduk berhadapan. "Semua orang sedang sibuk, aku juga tidak punya waktu banyak. Silakan diminum dan jelaskan apa tujuan Ibu datang ke sini."Nyonya Karin membuang napas kasar dan meminum air yang disodorkan anaknya dengan cepat. "Salah Ibu datang ke sini? Ibu cuma mau
"Lho, Ashley, kenapa kau membawa Javier ke sini?"Langkah Emily terhenti seketika meja pelanggan, saat matanya mendapati Ashley datang membawa Evelyn dan Javier. Dua bocah yang baru pulang sekolah. Javier bahkan belum berganti baju. Ashley memang sempat berpamitan untuk menjemput anaknya, tapi dia tidak mengira temannya akan membawa Javier ke sini. Jika tahu begitu, lebih baik dia yang menjemput Javier. "Evelyn ingin bermain bersama anakmu. Kita biarkan saja mereka bermain di ruangan. Tidak apa-apa 'kan, ya?""Mom, Iel nggak akan nakal kok. Iel janji."Emily melirik Javier yang menarik ujung bajunya. Dia menghembuskan napas kasar karena tidak memiliki pilihan lain. Hingga kemudian, Emily berbalik dan mengangguk. Dia berjalan mengajak anaknya menuju ruangan setelah selesai melayani pelanggan. Untungnya, ruangan yang mereka miliki cukup luas dan bisa menjadi tempat untuk Evelyn bermain, seperti keinginan Ashley sewaktu membuat ruangan khusus untuknya. "Mainlah di sini, ya. Jangan naka
"Udah selesai belum, Sayang, ngerjain PR-nya?""Belum, Mom, dikit lagi."Emily menghembuskan napas kasar sembari mengonta-ganti channel TV. Dia melirik Javier yang asyik mengerjakan tugasnya sendiri sembari menunggu kedatangan Keenan yang telat. Anaknya yang pintar, selalu berusaha melakukan semuanya sendirian tanpa bantuannya. Rajin sekali. Padahal dia tak terlalu pintar, masih kalah dengan Ashley. Mungkin kepintaran Javier menurun dari ayahnya. Saat Emily kembali sibuk melihat berita dan Javier sibuk mengerjakan tugas sekolah, pintu rumah tiba-tiba terbuka. Sang pemilik rumah berjalan santai dengan wajah lelahnya. Tas dan jas bertengger di lengannya. Hingga langkahnya berhenti di ruang tengah, di mana Emily dan Javier berada. "Daddy pulang. Wah, anak Daddy rajin sekali.""Daddy!" Javier spontan menghentikan pekerjaannya dan menoleh. Menatap Keenan yang tersenyum sembari berjongkok demi mensejajarkan tubuhnya dengan Javier. "Ada banyak PR dari bu guru, Dad.""Banyak? Kamu mengerjak
Emily tersenyum sembari mengelus kepala putranya yang tertidur. Malam ini entah mengapa dia ingin menemani Javier. Perasaannya juga aneh. Dia terus teringat dengan James. Lelaki itu harusnya sudah bebas sekarang. Emily juga harusnya datang untuk melihat, tapi dia terlalu pengecut. Dia tidak akan sanggup melihat tatapan kebencian di mata lelaki itu. "Kamu mirip sekali dengannya, Sayang." Emily tersenyum karena beruntung memiliki Javier. Dia mungkin tidak bisa memiliki lelaki yang dicintainya, tapi memiliki anak dari lelaki yang dia cintai, sudah cukup untuknya. "Apa Javier sangat mirip ayahnya? Kau sepertinya sangat tergila-gila pada ayah kandung Javier."Emily tersentak. Dia refleks menoleh saat mendengar sebuah suara menimpali perkataannya. Didapatinya Keenan yang kini mendekat sembari melipat kedua tangannya di dada. Lelaki itu melirik anaknya, sebelum dengan sengaja menarik kursi belajar dan duduk di depannya. "Kau bukannya sibuk? Kenapa ke sini?" Emily mengernyitkan dahi tidak
"Mom, Mommy?""Ssttt, tidak usah dibangunkan."Keenan menutup bibirnya dengan jari telunjuk, sekaligus memberi kode pada Javier agar tidak usah membangunkan Emily yang saat ini tertidur pulas. Dia berinisiatif untuk turun lebih dulu dan menyambut sang anak turun. Lalu kemudian berjalan memutar dan membuka pintu mobil di sebelah Emily. Keenan dengan cepat meraih tubuh istrinya dan membawanya keluar dalam gendongan. Emily terdengar melenguh dan terusik dalam tidurnya, tapi wanita itu masih tertidur pulas. Keenan pun hanya tersenyum dan meminta sopir untuk segera memasukkan mobilnya ke garasi. "Javier, ayo masuk."Sambil melangkah di belakang Javier yang sudah lebih dulu masuk, Keenan mengamati Emily yang kini tampak mencari kenyamanan dalam gendongannya. Istrinya itu pasti kelelahan, gara-gara marah-marah dan terus berusaha menyainginya di setiap permainan. Keenan tidak bisa menghilangkan ekspresi Emily yang terlihat lucu di matanya. Apalagi saat merasa frustrasi. "Unghh, James."Degh
Keenan bersandar di kursi untuk melepas lelah setelah seharian tadi bermain bersama anak istrinya. Dia mengurung diri di ruang kerja untuk bersantai sekaligus melihat beberapa foto hasil jepretan kameranya tadi. Tertawa kecil saat matanya melihat wajah jelek Emily dan ekspresi kesal sang anak. Javier marah karena Emily selalu terlihat main-main saat di foto. Tak dipungkiri, perasaan hangat pun menyusup ke dalam hatinya. Keenan merasa dirinya lebih bahagia sekarang. Kehidupan pernikahan tidak terlalu buruk, walau memang ini mungkin masih terlalu dini untuk menyimpulkan, tapi dengan keberadaan Javier, hidupnya berubah. "Dia seperti kucing saat musim kawin," gumamnya sambil terkekeh saat teringat dengan Emily yang terus melancarkan tatapan cemburu, karena Javier lebih mendukungnya. Bukannya tidak sadar, Keenan jelas bisa merasakannya. Hanya saja dia senang mempermainkan wanita itu. Rasanya sangat menyenangkan. Dia jadi ingin melihat sisi lain dari Emily. Wanita yang selalu memandangnya
"Oek ... oek ...."Suara tangis anak kecil terdengar jelas dan mengusik ketenangan Keenan yang saat ini sedang asyik terlelap. Dia menutup telinganya dengan bantal, tapi suara itu tetap terdengar dan justru semakin keras. Dia berdecak kesal, tapi tak ayal matanya terbuka. Keenan setengah mengantuk, terduduk dan melihat ke arah keranjang bayi. Lalu beralih melirik Emily yang tertidur pulas. "Yang, Sayang? Anak kita nangis." Keenan mengguncang tubuh Emily, berharap istrinya akan segera bangun. Namun Emily hanya melenguh dan tetap terlelap. "Sayang, Feli nangis."Keenan masih mencoba membangunkan Emily, tapi istrinya masih terlelap. Dia yang melihat itu, merasa bingung karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ini sudah nyaris empat puluh hari sejak Feli lahir, tapi dia belum bisa menggendongnya. Namun melihat Emily yang sepertinya tidak akan bangun, Keenan akhirnya berusaha mendekat dan menatap anaknya. "Ssstt, Feli sayang, jangan nangis ya. Mommy lagi tidur, kamu juga harus tidu
Lima bulan kemudian .... "Akhhh ... akhhh ... sakit!"Emily mengerang hebat. Dia mencengkeram kuat lengan Keenan sembari mendengar intruksi sang dokter untuk terus mengejan. Keringat bercucuran seiring dengan dirinya yang berusaha keras mengeluarkan sang anak. Rasa sakit di perutnya semakin menjadi dan Emily harus tetap dalam kesadarannya agar bisa melahirkan anak keduanya dengan selamat. "Sayang, ayo semangat! Kamu pasti bisa," ucap Keenan sambil mengecup tangan Emily dan mengusap keringat di keningnya. Dia takut dan cemas melihat Emily bersusah payah mengeluarkan anaknya. Hingga dirinya kini membiarkan saat kukuk-kukuk tajam Emily menancap di kulitnya. Rasa sakit yang dia rasakan sekarang, sama sekali tidak ada apa-apanya dibanding apa yang dirasakan oleh istrinya. "Ayo, Bu, sedikit lagi. Kepalanya sudah keluar."Keenan tak berani melihat anaknya. Dia hanya fokus pada Emily yang kini berjuang keras, hingga akhirnya istrinya itu menjerit kuat sampai kemudian disusul oleh suara tang
"Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga, sekarang juga, sekarang ... juga ...."Suara nyanyian ulang tahun bergema di sebuah ballroom hotel, yang mana saat ini mereka sedang merayakan hari ulang tahun Evelyn. Mengundang beberapa anak, termasuk Javier yang datang bersama Emily dan Keenan. Ada juga James yang turut hadir untuk menemani. Perayaan ulang tahun itu juga digelar bersamaan dengan acara syukuran atas kehamilan kedua Ashley, hingga cukup banyak orang dewasa yang datang. "Selamat ulang tahun, Evelyn."Semua orang berseru memberi selamat hingga acara terus berlanjut pada pemotongan kue. Gadis kecil yang kini seusia Javier itu tampak sangat antuasias saat memotong kue untuk dibagikan pada teman-temannya. Namun sebelum itu, Evelyn hendak memberikan kue potongan pertamanya. Emily, Keenan dan Javier hanya mengamati Evelyn yang menuruni panggung sampai gadis itu tak disangka berjalan ke arah mereka. Emily hanya bisa mengernyit kebingungan menanti aksi apa lagi yan
"Mom, jadi Mommy suka sama Ayah, ya?""Eh? Kenapa kamu bertanya begitu?" Emily yang sedang mengusap puncak kepala Javier untuk menidurkan sang anak, terkejut oleh pertanyaan yang tiba-tiba terlontar dari mulut kecil itu. "Kata Ayah, Mommy itu cinta banget sama Ayah, jadi Mommy ngejar-ngejar Ayah, terus hamil Iel deh. Beneran gitu, ya, Mom?" tanya Javier dengan penasaran. Dia tidak sadar jika pertanyaannya itu membuat Emily langsung mati kutu. 'James, kau bilang apa saja pada anakmu!' Emily menggeram dalam hati. "Y-ya, itu masa lalu. Ayahmu bilang apa lagi sama kamu?""Buanyyakkk banget, Mom!" Javier melebarkan kedua tangannya untuk mengekspresikan sebanyak apa James bercerita tentang Emily. "Ayah banyak cerita tentang Mommy. Katanya, Mommy, Ayah dan Tante Ashley itu teman. Ayah itu populer dan Mommy suka Ayah karena Ayah ganteng. Iya sih, Ayah ganteng, Iel juga jadinya ganteng.""Iya, itu benar. Terus apalagi yang Ayahmu katakan?""Hmm, itu ... Ayah bilang, dulu Ayah nggak suka Mom
Satu minggu kemudian .... "Mommy! Daddy! Iel kangen!"Javier berhambur ke dalam pelukan Emily dan Keenan begitu pintu rumah terbuka. Hari ini tepat dua hari setelah Javier akhirnya keluar dari rumah sakit dan menginap bersama James serta Sheila. Mereka menahan Javier lebih lama dari permintaan dan Emily mau tak mau mengizinkannya. Hingga kini, James sendiri yang datang mengembalikan Javier padanya. "Sayang—maksudku, Emily, akhir pekan besok aku ingin mengajak Javier ke luar kota bersama Mama, sekalian jalan-jalan. Apa aku boleh membawanya?" James meralat ucapannya saat melihat tatapan posesif Keenan. Suami dari wanita yang dia cintai, masih tampak waspada saat dia datang. James belum sepenuhnya menerima keputusan wanita itu, tapi dia juga tidak mau dipisahkan dari Javier atau membuat sang anak kecewa, jika dia tetap memaksakan kehendaknya. James hanya bisa mencintai Emily dalam hatinya. "Keluar kota?" Emily menatap Keenan dengan ragu. Dia meminta pendapat suaminya soal masalah ini,
"Ini, ambillah."Emily menyodorkan kunci mobil pada Ashley yang terkejut. Dia yang kalah taruhan beberapa waktu lalu, tentu saja akan memenuhi janjinya. Meski uang tabungannya terkuras habis. Bagaimana lagi? Ucapan Ashley jadi kenyataannya. "Kenapa kau memberikan mobil? Memangnya ada apa? Ini bukan ulang tahunku." Ashley mengambil kunci mobil itu dan menatap Emily dengan bingung. "Kau tidak ingat kita taruhan? Jika aku kalah aku harus membelikanmu mobil dan jika kau salah, kau harus menyerahkan semua restoran ini jadi milikku. Ingat?" jelas Emily dengan sedikit gemas melihat Ashley yang tampaknya melupakan apa yang dipertaruhkan. Padahal wanita itu sendiri yang mengajaknya bertaruh. "Aahh! Jadi aku menang? Ahahaha ... sudah kuduga, kau pasti jatuh cinta dan tidak bisa berjauhan dengan Keenan. Sekarang sepertinya kau sudah mengakui itu.""Berhenti mengejekku.""Ayolah, jangan malu. Sudah kubilang Keenan itu tampan. Kau sih gengsi terus."Emily berdecak dan diam membiarkan Ashley men
"Kau pasti kelelahan. Maaf selama ini aku selalu menyusahkanmu."Emily menatap Keenan yang terlelap di sebelahnya setelah mereka menghabiskan waktu bersama. Dia tanpa sungkan mengecup puncak kepala Keenan cukup lama, sebelum kemudian bangun dan menyelimuti tubuh Keenan. Emily turun dari ranjang dengan hati-hati. Memungut kembali pakaian dan mengenakannya. Pinggangnya sedikit sakit, padahal mereka sudah berhati-hati. "Sayang, kamu baik-baik saja 'kan? Maafkan Mommy," ucap Emily sambil mengelus perutnya. Dia tersenyum, sampai kemudian meriah ponsel miliknya dan berjalan keluar dengan hati-hati. Emily tidak mau membangunkan suaminya yang sedang tertidur pulas karena kelelahan. Keenan harus istirahat. Emily berjalan pelan dan memainkan ponselnya. Dia ingin mengontak ibu mertuanya, tapi baru saja dia hendak melakukan panggilan, nama James muncul di layar ponselnya. Emily mengernyit sesaat, tapi tak ayal dia menerima panggilan tersebut. "James, apa yang terja—""Emily, ini Tante.""Oh, Ta
"Keenan?"Emily refleks mendorong tubuh James dan terkejut melihat kehadiran suaminya di ambang pintu. Ekspresi Keenan seperti terluka melihat dirinya dicium oleh James. Sial, dia tidak bisa mengelak karena semua terjadi begitu cepat. Keenan tidak boleh salah paham. "Aku sepertinya mengganggu, aku akan pergi.""Eh, tunggu, Ken!" cegah Emily yang langsung berlari mendekati suaminya. Dia meninggalkan James yang tersenyum kecut dan membuang muka. Grep! Tangan Keenan berhasil digenggam cepat oleh Emily sebelum lelaki itu kabur. Keenan masih tampak lemah, sehingga tidak sulit bagi dia menangkapnya. "Ken, apa yang kau lihat tadi salah paham. Tolong dengarkan aku ya? Kita bicara sebentar?""Tidak apa-apa, aku tidak akan mencegahmu lagi kalau kau mau kembali padanya," gumam Keenan dengan nada sedih. Berusaha sebisa mungkin untuk tidak menatap Emily. Namun sayangnya, Keenan harus terkejut saat tubuhnya dibalik dengan cepat oleh sang istri dan membuat mereka saling berhadapan. "Astaga, waja
Keenan berkali-kali menghela napas sambil terkantuk-kantuk di meja kerjanya. Dia tidak bisa fokus pada meeting kali ini karena semalaman menjaga Javier. James juga berkali-kali mengajaknya berdebat tentang apa yang dilakukannya di masa lalu. Lelaki itu memberinya ketakutan jika suatu saat Emily akan meninggalkannya. Tidak, tentu saja Keenan tidak berharap demikian. Dia tidak mampu berpisah dengan Emily serta anak-anaknya. "Pa? Pak Ken?" Sam menegur Keenan yang kala itu menjadi pusat perhatian semua orang di meja rapat. "Anda sepertinya tidak baik-baik saja, bagaimana kalau rapat ini diakhiri?""Ah iya, kepalaku sedikit pusing. Lakukan saja," jawab Keenan tak acuh. Membuat Sam seketika mengambil alih perhatian dan menutup pertemuan dengan cepat. Keenan yang memang tidak dalam kondisi baik-baik saja, meninggalkan ruangan lebih dulu. Dia pergi menuju ruangannya untuk beristirahat sejenak sambil diikuti oleh Sam dari belakang. "Sam, aku sepertinya butuh obat sakit kepala.""Hanya itu, P