"Kami akan segera mempersiapkan pernikahannya dalam satu bulan."
Itulah kesepakatan yang terjalin antara orang tua Keenan dan Emily saat semuanya berkumpul. Keduanya tampak sepakat dan tidak mau menunda waktu lebih lama untuk melaksanakan pernikahan. Bahkan pendapat Emily yang meminta pernikahan itu diundur, sama sekali tidak didengar. Ini merugikannya. Dia belum siap menikah, tapi mereka tidak mau mendengarnya. Lalu untuk apa kehadirannya di sini, jika pendapatnya saja tidak didengar?Kalau bukan karena kehadiran anaknya yang kini duduk di pangkuan Keenan dan sibuk memainkan rubrik, mungkin dia akan langsung kabur saat ini juga. Namun sekarang, Emily hanya bisa mengepalkan tangannya menahan kesal dan diam saat pembicaraan terus berlanjut, hingga acara makan malam bersama tiba.Ini adalah hari paling sial dan terburuk dalam hidupnya. Mulutnya bahkan tidak memiliki tenaga untuk mengunyah. Dia menyuapi Javier dan terus termenung. "Sayurnya juga dimakan dong, Sayang. Jangan dipisahin," tegurnya saat melihat buah hatinya malah memisahkan sayuran hijau dan hanya memakan daging panggangnya saja."Tapi Mommy, Iel nggak suka.""Jangan membantah Mommy. Ini bagus buat kamu. Ayo makan!" Emily tanpa sadar sedikit menaikkan nada suaranya saat anaknya masih saja keras kepala. Tentu saja Javier langsung bereaksi dan tertunduk takut. Menahan air mata yang hampir keluar. Astaga! Emily refleks menepuk mulutnya saat menyadari dia hampir melampiaskan emosinya pada sang anak. "Sayang, maaf—"Javier berpaling dan Emily hanya bisa bersabar melihat anaknya yang merajuk. Putranya itu memang tidak menangis, hanya berusaha menahannya.Apa yang terjadi pada Javier, disaksikan jelas oleh Keenan yang duduk di sebelah bocah lelaki itu. Dia yang menyadari Javier hendak menangis, langsung berusaha menenangkan. "Javier, kenapa kamu nggak mau makan sayur?""Pahit. Iel nggak suka, Dad," gumam Javier sambil menunduk."Benarkah? Tapi sayur bagus lho untuk kamu. Kamu bisa cepat besar kayak Daddy. Kamu memangnya nggak mau cepat besar?" Keenan berusaha membujuk Javier yang masih tertunduk. Lambat laun, anak lelaki itu akhirnya mau menatapnya."Mau, Iel mau kayak Daddy biar bisa jagain Mommy, tapi Iel nggak suka sayur.""Jadi kamu tetap nggak mau makan?"Tidak ada jawaban dari Javier. Anak lelaki itu hanya diam dan menatap Keenan dengan bimbang."Ya, sudah kalau kamu tetap nggak mau. Sini, sayurnya buat Daddy saja. Biar Daddy yang jagain Mommy." Keenan berniat mengambil sayuran di piring Javier dan menyadari kalau bocah laki-laki itu tampak tak rela."No, Daddy! Iel mau makan! Cuma Iel yang boleh jagain Mommy!"Keenan terkekeh melihat Javier akhirnya menahan tangannya dan meletakkan kembali sayuran itu ke dalam piringnya. Dia yang gemas tanpa sadar mengusap puncak kepala Javier dan tidak tahu kalau semua orang yang di meja makan, sejak tadi menatap ke arahnya. Termasuk Emily yang saat ini nyaris tak berkedip. Mereka seakan takjub melihat Keenan yang berhasil membujuk Javier, sampai anak lelaki itu makan sayur dengan lahap."Wah, Ken! Kamu sudah sangat cocok jadi Ayah. Astaga, itu sangat manis. Iya 'kan, Sayang?" Nyonya Silvi memecah keheningan. Menyenggol Tuan Vian yang masih terdiam.Perhatian semua orang pun terpecah. Tak terkecuali Keenan yang kini menyurutkan senyumnya saat menyadari apa yang dilakukannya. Apalagi ketika matanya tak sengaja bertatapan dengan Emily. Keenan melihat jelas ketidaksukaan dalam sorot mata wanita itu."Keenan memang calon suami yang terbaik. Tidak biasanya Javier bisa langsung akrab dengan orang lain. Bahkan sampai memanggil Daddy. Saya bersyukur Javier akan punya orang tua lengkap," sahut Nyonya Karin. Tampak kepuasan memenuhi wajahnya karena semuanya berjalan baik.Sayangnya, hal itu membuat Emily yang mendengarnya menjadi kesal. Ibunya bicara seolah mengenal Javier lebih dari dia sendiri. Seakan peduli, tapi kenyataannya tidak."Astaga, syukurlah kalau begitu. Saya juga ingin sekali punya cucu dan menantu. Putra saya selama ini selalu sibuk bekerja dan tidak pernah mau berkencan dengan wanita. Sampai muncul rumor yang menyebutnya gay.""Ya ampun, benarkah?"Nyonya Silvi mengangguk. "Iya, kepala saya rasanya pusing, tapi untunglah semua itu tidak benar. Emily sudah membuktikannya—""Ma!" tegur Keenan saat mendengar ibunya bicara tanpa rem. Dia menatap tajam ibunya agar tidak membahas hal memalukan waktu itu."Hmm, maaf menyela. Ini sudah malam, saya tidak bisa lama-lama. Javier sepertinya sudah mengantuk dan besok harus sekolah." Emily yang tidak tahan dengan pembicaraan ini langsung memanfaatkan Javier yang tampak beberapa kali mengusap matanya. Tanda anaknya mengantuk. Sepertinya Javier makan kekenyangan."Kamu bisa tidurkan anakmu di sini," perintah Tuan Dave."Maaf, Ayah, aku lupa tidak membawa pakaian sekolah Javier. Kami pulang saja," tolak Emily sambil tersenyum halus. Dia sudah sangat malas di sini."Ah, kalau begitu, biar Keenan yang mengantarmu." Nyonya Silvi langsung bersuara, lalu melirik Keenan. Dia tersenyum penuh rencana."Tidak usah, saya bawa—""Kalian 'kan akan menikah, tidak ada salahnya sambil saling mengenal satu sama lain. Ini saat yang bagus," sambungnya sambil mengedipkan mata pada putranya. "Ayo cepat, antar calon istri dan anakmu."Keenan hanya membuang napas kasar mengetahui rencana ibunya. Namun tak ayal, dia pun menurut dan mendekati Emily. "Ayo."***"Kau kesal?"Keenan mengemudikan mobil Emily sambil sesekali melirik wanita yang sejak tadi memasang ekspresi masam. Tak sedikit pun senyum terukir di wajah cantik itu. Pertanyaannya memang bodoh. Sudah sangat jelas Emily tidak menyukai rencana pernikahan mereka. Wanita itu sejak tadi terus gelisah dan memasang ekspresi muram."Diamlah.""Tidak apa-apa kalau kau belum menyukaiku, cukup Javier yang menyukaiku.""Apa maksudmu? Kau masih—""Tidak, tidak seperti itu. Seperti yang kaulihat tadi, orang tuaku menyukaimu dan Javier. Jadi aku tidak bisa membantahnya.""Aku bisa mencarikanmu wanita lain."Keenan terdiam, lalu menatap Emily yang masih ngotot tidak mau menikah dengannya. Wanita itu, padahal tidak ada ruginya menikah dengannya. "Ya, aku tahu, kau bisa mencarikanku wanita lain, tapi bagaimana dengan Javier? Anakmu sangat senang bisa memiliki Ayah. Apa kau belum mengerti juga?"Tatapan Keenan jatuh pada bocah laki-laki yang kini tampak menguap beberapa kali di pangkuan Emily. Sebentar lagi, Javier pasti akan tidur. Jujur dia merasa sangat terenyuh dengan Javier. Anak berusia enam tahun yang berusaha bersikap dewasa dan kuat. Anak yang seharusnya masih mendapat kasih sayang seorang ayah. "Javier berusaha terlihat kuat di depanmu. Dia tahu sebagai anak lelaki, dia harus bisa menjaga ibunya. Emily, apa kau masih tidak menyadarinya? Anakmu ini terlalu dewasa."Emily bergeming. Kalimat demi kalimat yang dilontarkan Keenan cukup menusuk hatinya. Hingga pandangannya tertuju pada Javier yang mulai memejamkan mata. Dia menyadari itu, jelas sangat sadar. Javier selalu berusaha melakukan semuanya sendiri tanpa bantuannya. Anaknya juga tidak manja atau terus mengintilinya saat bekerja. Javier tidak pernah masalah ditinggal saat dia harus ke restoran dan selalu menunggunya begitu pulang.Apakah selama ini tindakannya itu egois? Javier memang tidak pernah meminta ayah, tapi tatapan mata polosnya tidak pernah berbohong dan mengatakan dengan jelas kalau memang anaknya butuh sosok ayah. Emily menggigit bibir bawahnya menahan perasaan sedih. Dia kemudian menatap ke arah Keenan. "Kau, kenapa kau sangat peduli dengan anakku?"Pertanyaan itu membuat Keenan yang sedang menyetir, sedikit terkejut. Dia nyaris kehilangan konsentrasinya. Kenapa? Keenan mengulang pertanyaan itu pada dirinya sendiri. Namun sayangnya, dia tidak menemukan jawabannya. Ini juga seperti bukan dirinya, karena sebenarnya Keenan tidak terlalu menyukai anak-anak. Waktunya juga lebih sering dihabiskan bersama tumpukan kertas.Javier satu-satunya anak yang Keenan jumpai di sekolah dan berhasil menarik perhatiannya. Anak itu melawan tiga teman sekelasnya saat mereka mengejek Emily. Ya, mereka mengejek Javier tidak punya ayah dan menuduh Emily dengan sesuatu yang buruk. Javier tidak ambil pusing saat anak-anak nakal itu mengejeknya, tapi marah ketika mereka sudah menjelek-jelekan Emily.Mengingat itu, Keenan tanpa sadar tersenyum. Betapa Javier sangat menyayangi Emily. "Apa semua itu butuh alasan? Aku hanya kagum dengan anakmu. Javier, dia pemberani.""Anda sangat cantik."Emily menatap pantulan dirinya di depan cermin yang menggunakan gaun dengan model ball gown. Layaknya seorang princess dengan bagian bawah yang menjuntai. Bokong seksinya tidak terlihat. Ini juga seperti bukan dirinya. Pujian itu bahkan tak membuatmu puas. Emily justru mendecih kecewa, dia tidak menyukainya. Akan lebih baik jika Ashley yang mengenakan gaun seperti ini. Matanya kemudian beralih menatap sang pemilik butik yang masih terus tersenyum antusias. "Apa ada yang lain?""Ya?""Kurasa aku tidak cocok dengan gaun seperti ini," ucap Emily sambil melirik gaunnya dan melihat ekspresi sang pemilik yang tidak enak. "Maaf, bukan maksudku menghina desainnya. Gaunnya sangat bagus. Hanya saja, aku lebih suka gaun yang agak terbuka. Ini bukan seperti diriku.""Ah, gaun yang sudah jadi kalau tidak salah masih ada satu lagi, tapi saya tidak tahu apa ini sesuai dengan selera Anda atau tidak.""Kalau begitu, aku ingin melihatnya."Pemilik butik itu bergegas meninggalkann
"Ada apa denganmu? Tumben wajahmu kusut seperti itu?"Emily melirik temannya sekilas dan hanya menghela napas kasar, lalu kembali terdiam. Dia sama sekali tidak tertarik membahas apa yang terjadi. Bahkan rasanya, dia terlalu malas melakukan sesuatu. Memikirkan pernikahannya yang akan berlangsung dua minggu lagi, membuatnya pusing. Meski memang dia tidak lagi terlibat mengurusi ini itu. Semua tugasnya selesai, sekarang hanya orang tuanya dan orang tua Keenan yang bekerja. "Tante Em, Tante lagi sedih ya?"Pandangan mata Emily berpindah pada bocah perempuan yang tiba-tiba mendekatinya. Itu adalah Evelyn, anak temannya, Ashley, sekaligus teman bermain anaknya. Bocah yang berusia beberapa bulan lebih muda dari Javier. Evelyn sangat manis dan lucu, membuat dia selalu ingin mencubit pipi bulatnya. "Nggak kok. Tante nggak sedih, Sayang.""Mommy kenapa?" Kini giliran Javier yang mendekat. Anaknya juga menatap khawatir. Sorot matanya seolah hendak bertanya dan Emily hanya bisa mengusap lembut
Hari-hari yang paling menyibukkan sepanjang hidupnya, harus kembali Emily rasakan saat ini. Kepalanya pusing dan lelah mengurus pernikahan dadakannya. Namun tentu saja, ini tidak sebanding dengan masa lalu saat dia mengurus pernikahannya seorang diri. Meski memang, dulu dia melakukannya tanpa kenal lelah karena pernikahan itu adalah hal yang sangat diinginkannya. Beda dengan sekarang, di mana dia menikah karena tidak memiliki pilihan lain. Keenan juga jadi sering datang ke rumah ini tanpa mengabarinya. Anaknya, Javier, selalu menjadi alasan ketika lelaki itu ke sini. Semakin hari, Javier bahkan semakin dekat dengannya. Emily kadang khawatir melihat kedekatan itu, karena ayah kandung Javier bukanlah Keenan. Cepat atau lambat, dia juga harus memberitahu anaknya mengenai ayah biologisnya. "Huh." Emily mendesah kasar dan berjalan pelan menghampiri lemari. Dia mengambil satu setel pakaian. Emily hendak pergi mandi setelah selesai mengurus surat pernikahan. Sekarang, dia hanya tinggal men
Hari yang menegangkan akhirnya tiba. Hari di mana statusnya akan berubah menjadi seorang istri. Emily mendadak gugup serta takut sekaligus. Dia berdiri tidak nyaman di samping ayahnya. Pandangannya sedikit tak fokus. Emily merasa malu dan hanya bisa melangkah masuk mengikuti langkah ayahnya. Dia berusaha tenang saat melihat semua tatapan tertuju ke padanya. Ada banyak sekali orang yang melihatnya dan juga Keenan yang berdiri bersama Javier. Emily menelan ludah saat melihat calon suaminya sangat amat tampan, tapi perasaan sedih pun dirasakannya dan pandangannya seketika kembali tertunduk. Air mata menetes bersamaan dengan langkah kakinya yang kian mendekat. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya dia akhirnya akan menikah dengan orang lain selain kekasih tercintanya. Menikah dengan orang yang sama sekali tidak dia cintai. Namun dari posisinya kini, Emily melihat dengan jelas semua orang tersenyum. Bahkan Javier tampak berbinar bahagia. Suasana di sekitarnya pun tampak syahdu dan khidmat
"Lepaskan! Apa-apaan kau ini!"Keenan langsung menepis tangan Emily di area terlarangnya. Dia beringsut menjauh dan segera menarik selimut. Namun sialnya, Emily terus berusaha mendekat hingga Keenan yang sudah ada di ujung ranjang pun langsung terjatuh. Tawa Emily seketika pecah melihat Keenan terjatuh dengan sangat tidak elit. "Astaga, kau sangat payah!""Jangan menertawakanku!" gerutu Keenan sambil bangkit dengan cepat. Dia mengelus bokongnya yang terasa sakit, lalu kembali naik ke atas ranjang. Melirik Emily yang masih puas menertawakannya. "Ken, jika kau tidak tahu ini, ini kondom. Pria biasa memakainya, tapi aku tidak mau kau menggunakannya." "Kaupikir aku perlu menggunakannya?" Keenan merebut benda sialan itu dan langsung meletakkannya ke dalam laci. Emily membaringkan kembali tubuhnya. Kali ini dia tidak memunggungi Keenan. Suaminya itu pun melakukan hal yang sama, namun Keenan tidak menghadap ke arahnya. Lelaki itu terlentang. "Siapa yang tahu, kau 'kan mesum, Ken.""Yang
Emily bersenandung ria saat membereskan pakaian miliknya. Dia sampai tidak menyadari sang pemilik kamar masuk dan memerhatikannya. Berjalan pelan mendekatinya yang kini dalam posisi membelakangi. "Ah, akhirnya beres. Aku sangat lelah, tapi di mana aku harus menyimpan ini ya?"Ditatapnya tas kecil berisi mainannya dengan bingung. Emily tidak mungkin menyimpannya sembarangan. Tidak boleh sampai Keenan tahu. Sayangnya, dia tidak sadar jika lelaki itu saat ini justru ada di belakangnya dan terkejut melihat benda yang ada dalam tasnya. Hingga Keenan segera mengambilnya. "Apa ini? Bentuknya mirip—""Keenan! Apa yang kaulakukan di sini!" Emily refleks berteriak dan langsung merebut benda yang diambil Keenan. Dengan wajah merah padam, dia langsung menyembunyikan benda itu dan menutup tas kecilnya dengan cepat. "Ini kamarku juga, tentu saja aku di sini. Kenapa kau menyembunyikan itu? Benda mencurigakan itu bentuknya mirip alat kelamin pria." Emily menganga. Namun wajahnya malu bukan main. "
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih empat jam, mereka akhirnya tiba di vila keluarga Keenan. Vila yang terletak di area dataran tinggi itu, membuat udara sekitar terasa dingin menggigit meski siang hari. Apalagi saat sore dan malam. Namun di saat senja, mereka bisa menyaksikan keindahan saat matahari terbenam sekaligus merenungi keindahan alam yang sedikit berbeda. Tempat yang cocok untuk healing. Emily yang pertama turun lebih dulu dan membawa barangnya dalam bagasi. Membuat Keenan yang melihat itu segera mendekat. Membantu mengeluarkannya. Sayangnya, Emily hanya diam saja dan malah membiarkan Keenan melakukannya sendiri. Semenjak pesan yang Ashley kirimkan, wanita itu terus memasang ekspresi murung dan tanpa semangat. "Ada apa denganmu? Kau memikirkan lelaki itu?" tanya Keenan saat mereka memasuki vila dan disambut oleh orang yang selama ini mengurus vilanya. Namun perhatian Keenan terpecah dengan Emily. Hingga dia tak terlalu menghiraukannya. "Aku baik-baik saja. Aku ingin
"Huh?""M-maksudku, demi Javier. Ini bukan karena aku ingin tidur denganmu. Ini demi Javier. Kau mengerti 'kan?"Emily tercengang dan menatap Keenan dengan bingung. Hingga terjadi keheningan beberapa saat, sampai kemudian dia langsung tertawa. Emily berpikir Keenan sedang bercanda. Suaminya juga tampak tegang. Demi Javier? Lelaki itu membuatnya sakit perut. Javier pasti akan lupa jika mereka tidak membahasnya. "Astaga, perutku sakit, Ken. Bisa-bisanya kau bercanda seperti ini.""Apa? Bercanda? Siapa yang bilang aku bercanda? Aku serius, Emily. Ayo kita buat anak!" ucap Keenan sambil menyudutkan tubuhnya ke dinding. Memerangkap Emily dengan kedua tangannya. Jaraknya yang terlalu dekat, membuat Keenan harus bersentuhan dengan tubuh bagian atas Emily. "Yang benar saja! Itu tidak mungkin!" Emily tersenyum meremehkan melihat Keenan yang berani mendekatinya. Apa-apaan lelaki itu, wajah kakunya bahkan tidak menghilang. "Kenapa? Kau tidak perlu memuaskan diri dengan mainanmu lagi. Mama juga