Beranda / Pernikahan / Bukan Suami Pilihan / Bab 5 - Jangan Terlalu Dekat dengan Anakku

Share

Bab 5 - Jangan Terlalu Dekat dengan Anakku

Penulis: Koran Meikarta
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Hey, soal ucapanmu tadi pada Javier. Kau tidak sungguh-sungguh 'kan?" tanya Emily sambil melirik Keenan yang menggendong Javier yang tertidur. Menuntun lelaki itu ke arah kamar anaknya. Pada akhirnya, Keenan harus ikut menumpang karena mobil jemputannya tidak datang.

Sayangnya, tak hanya pergi bersama, mereka juga makan siang bersama hingga anaknya yang kekenyangan pun jatuh tertidur. Emily juga mau tak mau memberitahu Ashley kalau dia akan datang terlambat ke restoran. Melihat Javier yang senang pada Keenan, dia jadi sulit untuk menolak keinginan anaknya makan bersama.

"Yang mana?" Keenan meletakkan Javier di tempat tidurnya dan membantu melepaskan sepatu yang masih dipakai anak itu. Baru kemudian dia menoleh ke arah Emily.

"Yang itu, memanggilmu Daddy. Apa-apaan itu, memangnya aku memperbolehkannya?"

"Kaubilang terserah, apa masalahnya? Kita juga akan menikah. Bukankah itu wajar? Dia akan jadi anakku juga," ucapnya. Keenan tanpa canggung duduk di pinggir ranjang sambil memerhatikan Javier. Bocah laki-laki yang menarik perhatiannya tadi. Anak yang kuat dan pemberani. Namun saat dia sibuk mengamati Javier, tangannya tanpa aba-aba ditarik menjauh dan dirinya langsung dihadapkan pada Emily.

"Sudah kuduga, jangan-jangan kau mengincar anakku? Ken, jangan berani menyentuh Javier. Jika tidak, aku akan memotong milikmu." Emily yang berapi-api, meluapkan kekesalannya. Dia melirik area selangkangan Keenan sambil melotot. Membuat lelaki itu tersentak kaget dan langsung menutup area sensitifnya.

"A-apa? Apa yang kaubilang sebenarnya? Mengincar apa?" Keenan refleks bergerak menjauh dari Emily. Wanita itu benar-benar membingungkan sekaligus menakutkan. Dia baru pertama kali melihat wanita seperti itu.

"Kau menyukai anakku 'kan?"

Keenan terpaku. Di belakangnya ada tembok dan dia sulit bergerak. Sementara Emily ada di depannya. Wanita cantik yang menatap seakan ingin menghabisinya. Dia salah apa? "Tentu saja, Javier anak yang manis."

Brak!

Sebuah tinju langsung melayang dan Keenan refleks memejamkan matanya karena kaget. Tetapi, beberapa saat kemudian, dirinya tidak merasakan apa pun. Hingga matanya perlahan kembali terbuka dan mendapati Emily melotot ke arahnya. Apa lagi ini?

"Terkutuklah kau, Ken! Kau memang predator anak, aku akan melenyapkanmu dari muka bumi ini sekarang juga! Ikut aku!" ucap Emily dengan penuh amarah. Sebisa mungkin dia berusaha agar tidak berteriak dan langsung menarik tangan Keenan keluar ruangan.

"APA? Predator anak? Kau gila, ya! Aku tidak seperti itu! Aku normal, Emily. Aku bukan pedofil!" Keenan memekik keras tidak terima. Dia juga menghentikan langkahnya. Dia tidak mengerti kenapa wanita ini bisa menuduhnya predator anak. Emily sepertinya gila dan dia akan menikahi wanita gila ini. "Kau salah paham. Aku menyukai anakmu seperti orang tua pada anaknya."

"Jangan berbohong."

"Terserah kau saja. Aku harus kembali ke kantor sekarang." Keenan berusaha menyingkirkan tubuh Emily yang menghalanginya. Dia ingin keluar dari kamar rumah, sebelum wanita gila itu melaksanakan apa yang ada di kepalanya.

"Hey, siapa yang mengizinkanmu pergi!"

Emily dengan cepat kembali menarik tangan Keenan dan menjatuhkan lelaki itu di sofa. Dia tanpa ragu menduduki lelaki itu.

"T-turun dari sana."

"Kenapa? Kau terangsang?" Emily dengan berani menggerakan pinggulnya. Dia ingin memberi pelajaran para Keenan. Namun sepertinya lelaki itu benar-benar tidak tertarik padanya? Dia yang penasaran, berniat membuka resleting Keenan, tapi sebelum itu terjadi, tangannya sudah dicengkeram kuat.

"Emily!" Keenan menggeram dan langsung membanting tubuh Emily ke samping. Dia merapikan kembali pakaiannya dengan wajah tegang. "Jangan lakukan itu dan dengar, aku tidak memiliki maksud buruk pada anakmu."

"Bagaimana aku bisa memegang perkataanmu? Kau ada di sekolah anakku dan menolongnya. Apa itu modus baru?"

"Tidak. Itu hanya kebetulan. Aku bersumpah. Aku juga datang ke sekolah karena permintaan Ibuku. Aku sudah menjelaskannya tadi." Keenan sebisa mungkin menyembunyikan wajahnya yang merah. Menghindari kontak mata dari Emily. "Jika tidak percaya, kau bisa menghubungi Ibuku. Aku harus pergi sekarang."

Emily bergeming di tempatnya. Dia mengangkat bahunya tak acuh. Tentu saja dia tidak akan menghubungi nyonya Silvi. Untuk saat ini, Emily akan memilih melupakan masalahnya dengan Keenan, karena dia harus kembali ke restoran. "Ani, tolong jaga Javier, ya. Aku harus kembali ke restoran."

"Baik, Nyonya."

Keenan yang tak sengaja mendengar percakapan Emily, sontak menghentikan langkahnya dan kembali berbalik. Dia menatap bingung ke arah wanita itu. "Kau akan meninggalkan Javier sendiri?"

"Tidak, ada pengasuh. Kenapa?"

"Aneh saja. Kau terlihat sangat menyayangi anakmu, tapi kau juga membiarkannya tanpa pengawasanmu."

"Maksudmu, aku bukan ibu yang baik karena menelantarkan anakku, huh?" Emily berkacak pinggang. Hatinya memanas mendengar ucapan Keenan yang kasar. "Kaupikir siapa yang bisa menyekolahkannya selain aku? Siapa yang akan memberinya makan? Tempat tinggal dan segalanya? Tidak ada yang bisa kuandalkan di dunia ini."

Keenan tersentak mendengar bentakan keras Emily. Namun yang lebih mengejutkan adalah saat dia melihat tatapan terluka di mata wanita itu. Membuatnya menyadari perkataannya telah menyinggung. "Maaf jika kau tersinggung. Aku tidak bermaksud menuduhmu seperti itu. Aku hanya berpikir, kenapa kau tidak meminta bantuan orang tuamu? Kupikir, mereka pasti senang merawat cucumu."

Perkataan Keenan seketika membuat Emily tertawa dan refleks membuang muka. Apa lelaki itu bercanda? Yang ada anaknya kelaparan jika dititipkan pada orang tuanya. Ibunya pasti tidak akan mau mengurusnya. Dari sejak kecil, mereka selalu begitu, bahkan janji yang mereka katakan pun, tidak ditepati. "Pergilah jika sudah bicaranya. Orangmu akan datang 'kan?"

Emily bergegas kembali berjalan menuju pintu. Dia harus cepat kembali ke restoran dan membantu para karyawannya. Kasihan, Ashley juga sendiri. Namun saat dia akan keluar, tangannya tiba-tiba digenggam dan tubuhnya dipeluk dari belakang. Emily melotot dan refleks menoleh. "Hei!"

"Jika kita menikah, kau tidak perlu susah cari uang. Rawatlah dan besarkan Javier."

"Apa?"

"Di balik sikap kasarmu, kau wanita yang tangguh dan ibu yang penyayang." Keenan menatap Emily cukup lama. Dia mengamati garis wajah wanita itu, sebelum kemudian melepaskan genggaman tangannya dan pergi begitu saja.

"Dasar berengsek! Bicara apa dia! Keenan! Awas kau ya! Siapa yang mau menikah denganmu?"

***

"Apa? Jadi itu benar? Pria itu bilang begitu? Kenapa kau tidak membawanya makan siang di sini, Emily! Anak ini, padahal aku sangat penasaran dengan priamu."

"Aku tidak mau dia bertemu denganmu. Kau pasti akan mempermalukanku habis-habisan," jawab Emily sambil memutar bola matanya.

"Astaga! Tapi 'kan kita bisa untung! Dia bisa jadi langganan tetap restoran ini. Bisa-bisanya kau membawa pelanggan ke tempat lain."

Emily mengalihkan pandangannya ke sekeliling. Dia melihat restoran ini sangat ramai. Mungkin mereka harus merekrut pekerja baru lagi. "Lihatlah, tanpa kami pun, tempat ini tidak akan kekurangan pelanggan. Sudahlah, berhenti bicara padaku, aku harus membantu yang lain. Sebaiknya kau cepat buat pamflet untuk promosi atau buat lowongan. Kita kekurangan karyawan."

"Kau selalu seperti itu, dasar sok sibuk."

"Berhenti menggerutu dan bertingkah manja, Ashley. Kau bukan anak remaja lagi."

"Ya, ya, Bu Bos."

Emily tersenyum simpul melihat Ashley akhirnya pergi dan tidak menempel lagi di sekitarnya. Dia bisa bebas dari pertanyaan wanita itu dan fokus melayani pelanggan. Keseharian yang menyenangkan untuknya, meski pekerjaan ini jauh berbeda dari sebelumnya. Namun setidaknya, di sini dialah bosnya.

Emily tidak perlu lagi mendapat tekanan seperti apa yang terjadi di kantornya dulu. Dia juga punya waktu lebih banyak untuk bersama Javier. Keputusannya untuk resign waktu itu adalah pilihan yang tepat, walau dia sempat luntang-lantung karena tidak mendapatkan pekerjaan dan pernikahannya batal. Sekarang, sepertinya ada hikmah di balik itu semua. Emily berjanji tidak akan mengulang kesalahannya di masa lalu.

"Pesanan meja nomor 25? Corn bread, curly lasagna and lemonade?" Emily menyebut pesanan dari seorang pelanggan laki-laki yang dia hampiri. "Silakan dinikmati."

Sayangnya saat akan pergi, pelanggan lelaki itu tiba-tiba menggenggam tangannya. Memaksa Emily untuk mau tak mau berbalik.

"Nona, sebentar. Siapa nama Anda?"

"Maaf?" Emily menaikkan alisnya bingung. Itu adalah pelanggan yang selama ini selalu datang dan selalu ingin dilayani olehnya. Duduk di meja khusus paling pojok seorang diri.

"Emm, apakah malam ini Anda memiliki waktu?"

Kebingungan yang sempat terlihat di wajah Emily, seketika berubah dengan ekspresi terkejut. Dia langsung menarik tangannya dan tersenyum. Berusaha untuk tetap sopan. Walau semua makian sudah ada di ujung lidahnya. "Saya hanya punya waktu untuk anak saya. Maaf, Tuan."

"Begitu ya, kalau begitu, berapa usia anak Anda? Saya menyukai anak kecil."

Brak!

Hancur sudah semua pertahanan yang berusaha Emily tahan sejak tadi. Dia tanpa aba-aba langsung menggebrak meja dengan nampan di tangannya. Mengagetkan lelaki itu dan beberapa orang yang melihat. Emily hanya tersenyum manis dan menundukkan kepalanya sembari minta maaf. "Ah, maafkan saya, Tuan. Tangan saya terpeleset. Ucapan Anda mengejutkan saya."

Lelaki itu tersadar dari keterkejutannya dan tertawa canggung. "Ti-tidak apa-apa, tapi apa perkataan saya ada yang salah?"

Emily memegang pipinya dan menatap lelaki itu sambil berkaca-kaca. "Beberapa hari lalu ada seorang pedofil yang mengucapkan itu pada anak saya. Saya jadi takut. Ah, tapi saya tidak bermaksud menuduh Anda sama seperti itu. Saya bersumpah, saya hanya terkejut."

"Tidak apa-apa. Saya tidak seperti itu," ucap lelaki itu sambil menahan jengkel. Menyadari maksud terselubung dari perkataan Emily.

"Anda sangat murah hati. Kalau begitu, saya permisi, Tuan. Masih banyak pelanggan yang harus saya layani." Emily langsung berbalik dan pergi terburu-buru tanpa menunggu waktu lebih lama. Entah mengapa, dia jadi kesal sendiri. Begitu ke dapur, Emily langsung disambut oleh Ashley yang berpangku tangan sambil menggelengkan kepala.

"Kau masih tetap sama, Emily. Dia pelanggan."

"Dia pria berengsek."

Bab terkait

  • Bukan Suami Pilihan   Bab 6 - Rencana Pernikahan

    "Kami akan segera mempersiapkan pernikahannya dalam satu bulan."Itulah kesepakatan yang terjalin antara orang tua Keenan dan Emily saat semuanya berkumpul. Keduanya tampak sepakat dan tidak mau menunda waktu lebih lama untuk melaksanakan pernikahan. Bahkan pendapat Emily yang meminta pernikahan itu diundur, sama sekali tidak didengar. Ini merugikannya. Dia belum siap menikah, tapi mereka tidak mau mendengarnya. Lalu untuk apa kehadirannya di sini, jika pendapatnya saja tidak didengar? Kalau bukan karena kehadiran anaknya yang kini duduk di pangkuan Keenan dan sibuk memainkan rubrik, mungkin dia akan langsung kabur saat ini juga. Namun sekarang, Emily hanya bisa mengepalkan tangannya menahan kesal dan diam saat pembicaraan terus berlanjut, hingga acara makan malam bersama tiba. Ini adalah hari paling sial dan terburuk dalam hidupnya. Mulutnya bahkan tidak memiliki tenaga untuk mengunyah. Dia menyuapi Javier dan terus termenung. "Sayurnya juga dimakan dong, Sayang. Jangan dipisahin,"

  • Bukan Suami Pilihan   Bab 7 - Semua Demi Javier

    "Anda sangat cantik."Emily menatap pantulan dirinya di depan cermin yang menggunakan gaun dengan model ball gown. Layaknya seorang princess dengan bagian bawah yang menjuntai. Bokong seksinya tidak terlihat. Ini juga seperti bukan dirinya. Pujian itu bahkan tak membuatmu puas. Emily justru mendecih kecewa, dia tidak menyukainya. Akan lebih baik jika Ashley yang mengenakan gaun seperti ini. Matanya kemudian beralih menatap sang pemilik butik yang masih terus tersenyum antusias. "Apa ada yang lain?""Ya?""Kurasa aku tidak cocok dengan gaun seperti ini," ucap Emily sambil melirik gaunnya dan melihat ekspresi sang pemilik yang tidak enak. "Maaf, bukan maksudku menghina desainnya. Gaunnya sangat bagus. Hanya saja, aku lebih suka gaun yang agak terbuka. Ini bukan seperti diriku.""Ah, gaun yang sudah jadi kalau tidak salah masih ada satu lagi, tapi saya tidak tahu apa ini sesuai dengan selera Anda atau tidak.""Kalau begitu, aku ingin melihatnya."Pemilik butik itu bergegas meninggalkann

  • Bukan Suami Pilihan   Bab 8 - Tinggallah Bersamaku

    "Ada apa denganmu? Tumben wajahmu kusut seperti itu?"Emily melirik temannya sekilas dan hanya menghela napas kasar, lalu kembali terdiam. Dia sama sekali tidak tertarik membahas apa yang terjadi. Bahkan rasanya, dia terlalu malas melakukan sesuatu. Memikirkan pernikahannya yang akan berlangsung dua minggu lagi, membuatnya pusing. Meski memang dia tidak lagi terlibat mengurusi ini itu. Semua tugasnya selesai, sekarang hanya orang tuanya dan orang tua Keenan yang bekerja. "Tante Em, Tante lagi sedih ya?"Pandangan mata Emily berpindah pada bocah perempuan yang tiba-tiba mendekatinya. Itu adalah Evelyn, anak temannya, Ashley, sekaligus teman bermain anaknya. Bocah yang berusia beberapa bulan lebih muda dari Javier. Evelyn sangat manis dan lucu, membuat dia selalu ingin mencubit pipi bulatnya. "Nggak kok. Tante nggak sedih, Sayang.""Mommy kenapa?" Kini giliran Javier yang mendekat. Anaknya juga menatap khawatir. Sorot matanya seolah hendak bertanya dan Emily hanya bisa mengusap lembut

  • Bukan Suami Pilihan   Bab 9 - Tidur Bersama

    Hari-hari yang paling menyibukkan sepanjang hidupnya, harus kembali Emily rasakan saat ini. Kepalanya pusing dan lelah mengurus pernikahan dadakannya. Namun tentu saja, ini tidak sebanding dengan masa lalu saat dia mengurus pernikahannya seorang diri. Meski memang, dulu dia melakukannya tanpa kenal lelah karena pernikahan itu adalah hal yang sangat diinginkannya. Beda dengan sekarang, di mana dia menikah karena tidak memiliki pilihan lain. Keenan juga jadi sering datang ke rumah ini tanpa mengabarinya. Anaknya, Javier, selalu menjadi alasan ketika lelaki itu ke sini. Semakin hari, Javier bahkan semakin dekat dengannya. Emily kadang khawatir melihat kedekatan itu, karena ayah kandung Javier bukanlah Keenan. Cepat atau lambat, dia juga harus memberitahu anaknya mengenai ayah biologisnya. "Huh." Emily mendesah kasar dan berjalan pelan menghampiri lemari. Dia mengambil satu setel pakaian. Emily hendak pergi mandi setelah selesai mengurus surat pernikahan. Sekarang, dia hanya tinggal men

  • Bukan Suami Pilihan   Bab 10 - Hari Pernikahan

    Hari yang menegangkan akhirnya tiba. Hari di mana statusnya akan berubah menjadi seorang istri. Emily mendadak gugup serta takut sekaligus. Dia berdiri tidak nyaman di samping ayahnya. Pandangannya sedikit tak fokus. Emily merasa malu dan hanya bisa melangkah masuk mengikuti langkah ayahnya. Dia berusaha tenang saat melihat semua tatapan tertuju ke padanya. Ada banyak sekali orang yang melihatnya dan juga Keenan yang berdiri bersama Javier. Emily menelan ludah saat melihat calon suaminya sangat amat tampan, tapi perasaan sedih pun dirasakannya dan pandangannya seketika kembali tertunduk. Air mata menetes bersamaan dengan langkah kakinya yang kian mendekat. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya dia akhirnya akan menikah dengan orang lain selain kekasih tercintanya. Menikah dengan orang yang sama sekali tidak dia cintai. Namun dari posisinya kini, Emily melihat dengan jelas semua orang tersenyum. Bahkan Javier tampak berbinar bahagia. Suasana di sekitarnya pun tampak syahdu dan khidmat

  • Bukan Suami Pilihan   Bab 11 - Bikin Dedek

    "Lepaskan! Apa-apaan kau ini!"Keenan langsung menepis tangan Emily di area terlarangnya. Dia beringsut menjauh dan segera menarik selimut. Namun sialnya, Emily terus berusaha mendekat hingga Keenan yang sudah ada di ujung ranjang pun langsung terjatuh. Tawa Emily seketika pecah melihat Keenan terjatuh dengan sangat tidak elit. "Astaga, kau sangat payah!""Jangan menertawakanku!" gerutu Keenan sambil bangkit dengan cepat. Dia mengelus bokongnya yang terasa sakit, lalu kembali naik ke atas ranjang. Melirik Emily yang masih puas menertawakannya. "Ken, jika kau tidak tahu ini, ini kondom. Pria biasa memakainya, tapi aku tidak mau kau menggunakannya." "Kaupikir aku perlu menggunakannya?" Keenan merebut benda sialan itu dan langsung meletakkannya ke dalam laci. Emily membaringkan kembali tubuhnya. Kali ini dia tidak memunggungi Keenan. Suaminya itu pun melakukan hal yang sama, namun Keenan tidak menghadap ke arahnya. Lelaki itu terlentang. "Siapa yang tahu, kau 'kan mesum, Ken.""Yang

  • Bukan Suami Pilihan   Bab 12 - Dia Telah Bebas

    Emily bersenandung ria saat membereskan pakaian miliknya. Dia sampai tidak menyadari sang pemilik kamar masuk dan memerhatikannya. Berjalan pelan mendekatinya yang kini dalam posisi membelakangi. "Ah, akhirnya beres. Aku sangat lelah, tapi di mana aku harus menyimpan ini ya?"Ditatapnya tas kecil berisi mainannya dengan bingung. Emily tidak mungkin menyimpannya sembarangan. Tidak boleh sampai Keenan tahu. Sayangnya, dia tidak sadar jika lelaki itu saat ini justru ada di belakangnya dan terkejut melihat benda yang ada dalam tasnya. Hingga Keenan segera mengambilnya. "Apa ini? Bentuknya mirip—""Keenan! Apa yang kaulakukan di sini!" Emily refleks berteriak dan langsung merebut benda yang diambil Keenan. Dengan wajah merah padam, dia langsung menyembunyikan benda itu dan menutup tas kecilnya dengan cepat. "Ini kamarku juga, tentu saja aku di sini. Kenapa kau menyembunyikan itu? Benda mencurigakan itu bentuknya mirip alat kelamin pria." Emily menganga. Namun wajahnya malu bukan main. "

  • Bukan Suami Pilihan   Bab 13 - Wanita Gila

    Setelah menempuh perjalanan kurang lebih empat jam, mereka akhirnya tiba di vila keluarga Keenan. Vila yang terletak di area dataran tinggi itu, membuat udara sekitar terasa dingin menggigit meski siang hari. Apalagi saat sore dan malam. Namun di saat senja, mereka bisa menyaksikan keindahan saat matahari terbenam sekaligus merenungi keindahan alam yang sedikit berbeda. Tempat yang cocok untuk healing. Emily yang pertama turun lebih dulu dan membawa barangnya dalam bagasi. Membuat Keenan yang melihat itu segera mendekat. Membantu mengeluarkannya. Sayangnya, Emily hanya diam saja dan malah membiarkan Keenan melakukannya sendiri. Semenjak pesan yang Ashley kirimkan, wanita itu terus memasang ekspresi murung dan tanpa semangat. "Ada apa denganmu? Kau memikirkan lelaki itu?" tanya Keenan saat mereka memasuki vila dan disambut oleh orang yang selama ini mengurus vilanya. Namun perhatian Keenan terpecah dengan Emily. Hingga dia tak terlalu menghiraukannya. "Aku baik-baik saja. Aku ingin

Bab terbaru

  • Bukan Suami Pilihan   Bab 111 - Kejutan Untuk Keenan (Extra Part)

    "Oek ... oek ...."Suara tangis anak kecil terdengar jelas dan mengusik ketenangan Keenan yang saat ini sedang asyik terlelap. Dia menutup telinganya dengan bantal, tapi suara itu tetap terdengar dan justru semakin keras. Dia berdecak kesal, tapi tak ayal matanya terbuka. Keenan setengah mengantuk, terduduk dan melihat ke arah keranjang bayi. Lalu beralih melirik Emily yang tertidur pulas. "Yang, Sayang? Anak kita nangis." Keenan mengguncang tubuh Emily, berharap istrinya akan segera bangun. Namun Emily hanya melenguh dan tetap terlelap. "Sayang, Feli nangis."Keenan masih mencoba membangunkan Emily, tapi istrinya masih terlelap. Dia yang melihat itu, merasa bingung karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ini sudah nyaris empat puluh hari sejak Feli lahir, tapi dia belum bisa menggendongnya. Namun melihat Emily yang sepertinya tidak akan bangun, Keenan akhirnya berusaha mendekat dan menatap anaknya. "Ssstt, Feli sayang, jangan nangis ya. Mommy lagi tidur, kamu juga harus tidu

  • Bukan Suami Pilihan   Bab 110 - Kelahiran Malaikat Kecil (End)

    Lima bulan kemudian .... "Akhhh ... akhhh ... sakit!"Emily mengerang hebat. Dia mencengkeram kuat lengan Keenan sembari mendengar intruksi sang dokter untuk terus mengejan. Keringat bercucuran seiring dengan dirinya yang berusaha keras mengeluarkan sang anak. Rasa sakit di perutnya semakin menjadi dan Emily harus tetap dalam kesadarannya agar bisa melahirkan anak keduanya dengan selamat. "Sayang, ayo semangat! Kamu pasti bisa," ucap Keenan sambil mengecup tangan Emily dan mengusap keringat di keningnya. Dia takut dan cemas melihat Emily bersusah payah mengeluarkan anaknya. Hingga dirinya kini membiarkan saat kukuk-kukuk tajam Emily menancap di kulitnya. Rasa sakit yang dia rasakan sekarang, sama sekali tidak ada apa-apanya dibanding apa yang dirasakan oleh istrinya. "Ayo, Bu, sedikit lagi. Kepalanya sudah keluar."Keenan tak berani melihat anaknya. Dia hanya fokus pada Emily yang kini berjuang keras, hingga akhirnya istrinya itu menjerit kuat sampai kemudian disusul oleh suara tang

  • Bukan Suami Pilihan   Bab 109 - Cinta Terakhir

    "Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga, sekarang juga, sekarang ... juga ...."Suara nyanyian ulang tahun bergema di sebuah ballroom hotel, yang mana saat ini mereka sedang merayakan hari ulang tahun Evelyn. Mengundang beberapa anak, termasuk Javier yang datang bersama Emily dan Keenan. Ada juga James yang turut hadir untuk menemani. Perayaan ulang tahun itu juga digelar bersamaan dengan acara syukuran atas kehamilan kedua Ashley, hingga cukup banyak orang dewasa yang datang. "Selamat ulang tahun, Evelyn."Semua orang berseru memberi selamat hingga acara terus berlanjut pada pemotongan kue. Gadis kecil yang kini seusia Javier itu tampak sangat antuasias saat memotong kue untuk dibagikan pada teman-temannya. Namun sebelum itu, Evelyn hendak memberikan kue potongan pertamanya. Emily, Keenan dan Javier hanya mengamati Evelyn yang menuruni panggung sampai gadis itu tak disangka berjalan ke arah mereka. Emily hanya bisa mengernyit kebingungan menanti aksi apa lagi yan

  • Bukan Suami Pilihan   Bab 108 - Apa pun Demi Anak Kita

    "Mom, jadi Mommy suka sama Ayah, ya?""Eh? Kenapa kamu bertanya begitu?" Emily yang sedang mengusap puncak kepala Javier untuk menidurkan sang anak, terkejut oleh pertanyaan yang tiba-tiba terlontar dari mulut kecil itu. "Kata Ayah, Mommy itu cinta banget sama Ayah, jadi Mommy ngejar-ngejar Ayah, terus hamil Iel deh. Beneran gitu, ya, Mom?" tanya Javier dengan penasaran. Dia tidak sadar jika pertanyaannya itu membuat Emily langsung mati kutu. 'James, kau bilang apa saja pada anakmu!' Emily menggeram dalam hati. "Y-ya, itu masa lalu. Ayahmu bilang apa lagi sama kamu?""Buanyyakkk banget, Mom!" Javier melebarkan kedua tangannya untuk mengekspresikan sebanyak apa James bercerita tentang Emily. "Ayah banyak cerita tentang Mommy. Katanya, Mommy, Ayah dan Tante Ashley itu teman. Ayah itu populer dan Mommy suka Ayah karena Ayah ganteng. Iya sih, Ayah ganteng, Iel juga jadinya ganteng.""Iya, itu benar. Terus apalagi yang Ayahmu katakan?""Hmm, itu ... Ayah bilang, dulu Ayah nggak suka Mom

  • Bukan Suami Pilihan   Bab 107 - Perkara Camilan

    Satu minggu kemudian .... "Mommy! Daddy! Iel kangen!"Javier berhambur ke dalam pelukan Emily dan Keenan begitu pintu rumah terbuka. Hari ini tepat dua hari setelah Javier akhirnya keluar dari rumah sakit dan menginap bersama James serta Sheila. Mereka menahan Javier lebih lama dari permintaan dan Emily mau tak mau mengizinkannya. Hingga kini, James sendiri yang datang mengembalikan Javier padanya. "Sayang—maksudku, Emily, akhir pekan besok aku ingin mengajak Javier ke luar kota bersama Mama, sekalian jalan-jalan. Apa aku boleh membawanya?" James meralat ucapannya saat melihat tatapan posesif Keenan. Suami dari wanita yang dia cintai, masih tampak waspada saat dia datang. James belum sepenuhnya menerima keputusan wanita itu, tapi dia juga tidak mau dipisahkan dari Javier atau membuat sang anak kecewa, jika dia tetap memaksakan kehendaknya. James hanya bisa mencintai Emily dalam hatinya. "Keluar kota?" Emily menatap Keenan dengan ragu. Dia meminta pendapat suaminya soal masalah ini,

  • Bukan Suami Pilihan   Bab 106 - Kecemburuan Emily

    "Ini, ambillah."Emily menyodorkan kunci mobil pada Ashley yang terkejut. Dia yang kalah taruhan beberapa waktu lalu, tentu saja akan memenuhi janjinya. Meski uang tabungannya terkuras habis. Bagaimana lagi? Ucapan Ashley jadi kenyataannya. "Kenapa kau memberikan mobil? Memangnya ada apa? Ini bukan ulang tahunku." Ashley mengambil kunci mobil itu dan menatap Emily dengan bingung. "Kau tidak ingat kita taruhan? Jika aku kalah aku harus membelikanmu mobil dan jika kau salah, kau harus menyerahkan semua restoran ini jadi milikku. Ingat?" jelas Emily dengan sedikit gemas melihat Ashley yang tampaknya melupakan apa yang dipertaruhkan. Padahal wanita itu sendiri yang mengajaknya bertaruh. "Aahh! Jadi aku menang? Ahahaha ... sudah kuduga, kau pasti jatuh cinta dan tidak bisa berjauhan dengan Keenan. Sekarang sepertinya kau sudah mengakui itu.""Berhenti mengejekku.""Ayolah, jangan malu. Sudah kubilang Keenan itu tampan. Kau sih gengsi terus."Emily berdecak dan diam membiarkan Ashley men

  • Bukan Suami Pilihan   Bab 105 - Takut Kehilangan

    "Kau pasti kelelahan. Maaf selama ini aku selalu menyusahkanmu."Emily menatap Keenan yang terlelap di sebelahnya setelah mereka menghabiskan waktu bersama. Dia tanpa sungkan mengecup puncak kepala Keenan cukup lama, sebelum kemudian bangun dan menyelimuti tubuh Keenan. Emily turun dari ranjang dengan hati-hati. Memungut kembali pakaian dan mengenakannya. Pinggangnya sedikit sakit, padahal mereka sudah berhati-hati. "Sayang, kamu baik-baik saja 'kan? Maafkan Mommy," ucap Emily sambil mengelus perutnya. Dia tersenyum, sampai kemudian meriah ponsel miliknya dan berjalan keluar dengan hati-hati. Emily tidak mau membangunkan suaminya yang sedang tertidur pulas karena kelelahan. Keenan harus istirahat. Emily berjalan pelan dan memainkan ponselnya. Dia ingin mengontak ibu mertuanya, tapi baru saja dia hendak melakukan panggilan, nama James muncul di layar ponselnya. Emily mengernyit sesaat, tapi tak ayal dia menerima panggilan tersebut. "James, apa yang terja—""Emily, ini Tante.""Oh, Ta

  • Bukan Suami Pilihan   Bab 104 - Mengkhawatirkan Keenan

    "Keenan?"Emily refleks mendorong tubuh James dan terkejut melihat kehadiran suaminya di ambang pintu. Ekspresi Keenan seperti terluka melihat dirinya dicium oleh James. Sial, dia tidak bisa mengelak karena semua terjadi begitu cepat. Keenan tidak boleh salah paham. "Aku sepertinya mengganggu, aku akan pergi.""Eh, tunggu, Ken!" cegah Emily yang langsung berlari mendekati suaminya. Dia meninggalkan James yang tersenyum kecut dan membuang muka. Grep! Tangan Keenan berhasil digenggam cepat oleh Emily sebelum lelaki itu kabur. Keenan masih tampak lemah, sehingga tidak sulit bagi dia menangkapnya. "Ken, apa yang kau lihat tadi salah paham. Tolong dengarkan aku ya? Kita bicara sebentar?""Tidak apa-apa, aku tidak akan mencegahmu lagi kalau kau mau kembali padanya," gumam Keenan dengan nada sedih. Berusaha sebisa mungkin untuk tidak menatap Emily. Namun sayangnya, Keenan harus terkejut saat tubuhnya dibalik dengan cepat oleh sang istri dan membuat mereka saling berhadapan. "Astaga, waja

  • Bukan Suami Pilihan   Bab 103 - Cinta Tak Harus Memiliki

    Keenan berkali-kali menghela napas sambil terkantuk-kantuk di meja kerjanya. Dia tidak bisa fokus pada meeting kali ini karena semalaman menjaga Javier. James juga berkali-kali mengajaknya berdebat tentang apa yang dilakukannya di masa lalu. Lelaki itu memberinya ketakutan jika suatu saat Emily akan meninggalkannya. Tidak, tentu saja Keenan tidak berharap demikian. Dia tidak mampu berpisah dengan Emily serta anak-anaknya. "Pa? Pak Ken?" Sam menegur Keenan yang kala itu menjadi pusat perhatian semua orang di meja rapat. "Anda sepertinya tidak baik-baik saja, bagaimana kalau rapat ini diakhiri?""Ah iya, kepalaku sedikit pusing. Lakukan saja," jawab Keenan tak acuh. Membuat Sam seketika mengambil alih perhatian dan menutup pertemuan dengan cepat. Keenan yang memang tidak dalam kondisi baik-baik saja, meninggalkan ruangan lebih dulu. Dia pergi menuju ruangannya untuk beristirahat sejenak sambil diikuti oleh Sam dari belakang. "Sam, aku sepertinya butuh obat sakit kepala.""Hanya itu, P

DMCA.com Protection Status