"Hey, soal ucapanmu tadi pada Javier. Kau tidak sungguh-sungguh 'kan?" tanya Emily sambil melirik Keenan yang menggendong Javier yang tertidur. Menuntun lelaki itu ke arah kamar anaknya. Pada akhirnya, Keenan harus ikut menumpang karena mobil jemputannya tidak datang.
Sayangnya, tak hanya pergi bersama, mereka juga makan siang bersama hingga anaknya yang kekenyangan pun jatuh tertidur. Emily juga mau tak mau memberitahu Ashley kalau dia akan datang terlambat ke restoran. Melihat Javier yang senang pada Keenan, dia jadi sulit untuk menolak keinginan anaknya makan bersama."Yang mana?" Keenan meletakkan Javier di tempat tidurnya dan membantu melepaskan sepatu yang masih dipakai anak itu. Baru kemudian dia menoleh ke arah Emily."Yang itu, memanggilmu Daddy. Apa-apaan itu, memangnya aku memperbolehkannya?""Kaubilang terserah, apa masalahnya? Kita juga akan menikah. Bukankah itu wajar? Dia akan jadi anakku juga," ucapnya. Keenan tanpa canggung duduk di pinggir ranjang sambil memerhatikan Javier. Bocah laki-laki yang menarik perhatiannya tadi. Anak yang kuat dan pemberani. Namun saat dia sibuk mengamati Javier, tangannya tanpa aba-aba ditarik menjauh dan dirinya langsung dihadapkan pada Emily."Sudah kuduga, jangan-jangan kau mengincar anakku? Ken, jangan berani menyentuh Javier. Jika tidak, aku akan memotong milikmu." Emily yang berapi-api, meluapkan kekesalannya. Dia melirik area selangkangan Keenan sambil melotot. Membuat lelaki itu tersentak kaget dan langsung menutup area sensitifnya."A-apa? Apa yang kaubilang sebenarnya? Mengincar apa?" Keenan refleks bergerak menjauh dari Emily. Wanita itu benar-benar membingungkan sekaligus menakutkan. Dia baru pertama kali melihat wanita seperti itu."Kau menyukai anakku 'kan?"Keenan terpaku. Di belakangnya ada tembok dan dia sulit bergerak. Sementara Emily ada di depannya. Wanita cantik yang menatap seakan ingin menghabisinya. Dia salah apa? "Tentu saja, Javier anak yang manis."Brak!Sebuah tinju langsung melayang dan Keenan refleks memejamkan matanya karena kaget. Tetapi, beberapa saat kemudian, dirinya tidak merasakan apa pun. Hingga matanya perlahan kembali terbuka dan mendapati Emily melotot ke arahnya. Apa lagi ini?"Terkutuklah kau, Ken! Kau memang predator anak, aku akan melenyapkanmu dari muka bumi ini sekarang juga! Ikut aku!" ucap Emily dengan penuh amarah. Sebisa mungkin dia berusaha agar tidak berteriak dan langsung menarik tangan Keenan keluar ruangan."APA? Predator anak? Kau gila, ya! Aku tidak seperti itu! Aku normal, Emily. Aku bukan pedofil!" Keenan memekik keras tidak terima. Dia juga menghentikan langkahnya. Dia tidak mengerti kenapa wanita ini bisa menuduhnya predator anak. Emily sepertinya gila dan dia akan menikahi wanita gila ini. "Kau salah paham. Aku menyukai anakmu seperti orang tua pada anaknya.""Jangan berbohong.""Terserah kau saja. Aku harus kembali ke kantor sekarang." Keenan berusaha menyingkirkan tubuh Emily yang menghalanginya. Dia ingin keluar dari kamar rumah, sebelum wanita gila itu melaksanakan apa yang ada di kepalanya."Hey, siapa yang mengizinkanmu pergi!"Emily dengan cepat kembali menarik tangan Keenan dan menjatuhkan lelaki itu di sofa. Dia tanpa ragu menduduki lelaki itu."T-turun dari sana.""Kenapa? Kau terangsang?" Emily dengan berani menggerakan pinggulnya. Dia ingin memberi pelajaran para Keenan. Namun sepertinya lelaki itu benar-benar tidak tertarik padanya? Dia yang penasaran, berniat membuka resleting Keenan, tapi sebelum itu terjadi, tangannya sudah dicengkeram kuat."Emily!" Keenan menggeram dan langsung membanting tubuh Emily ke samping. Dia merapikan kembali pakaiannya dengan wajah tegang. "Jangan lakukan itu dan dengar, aku tidak memiliki maksud buruk pada anakmu.""Bagaimana aku bisa memegang perkataanmu? Kau ada di sekolah anakku dan menolongnya. Apa itu modus baru?""Tidak. Itu hanya kebetulan. Aku bersumpah. Aku juga datang ke sekolah karena permintaan Ibuku. Aku sudah menjelaskannya tadi." Keenan sebisa mungkin menyembunyikan wajahnya yang merah. Menghindari kontak mata dari Emily. "Jika tidak percaya, kau bisa menghubungi Ibuku. Aku harus pergi sekarang."Emily bergeming di tempatnya. Dia mengangkat bahunya tak acuh. Tentu saja dia tidak akan menghubungi nyonya Silvi. Untuk saat ini, Emily akan memilih melupakan masalahnya dengan Keenan, karena dia harus kembali ke restoran. "Ani, tolong jaga Javier, ya. Aku harus kembali ke restoran.""Baik, Nyonya."Keenan yang tak sengaja mendengar percakapan Emily, sontak menghentikan langkahnya dan kembali berbalik. Dia menatap bingung ke arah wanita itu. "Kau akan meninggalkan Javier sendiri?""Tidak, ada pengasuh. Kenapa?""Aneh saja. Kau terlihat sangat menyayangi anakmu, tapi kau juga membiarkannya tanpa pengawasanmu.""Maksudmu, aku bukan ibu yang baik karena menelantarkan anakku, huh?" Emily berkacak pinggang. Hatinya memanas mendengar ucapan Keenan yang kasar. "Kaupikir siapa yang bisa menyekolahkannya selain aku? Siapa yang akan memberinya makan? Tempat tinggal dan segalanya? Tidak ada yang bisa kuandalkan di dunia ini."Keenan tersentak mendengar bentakan keras Emily. Namun yang lebih mengejutkan adalah saat dia melihat tatapan terluka di mata wanita itu. Membuatnya menyadari perkataannya telah menyinggung. "Maaf jika kau tersinggung. Aku tidak bermaksud menuduhmu seperti itu. Aku hanya berpikir, kenapa kau tidak meminta bantuan orang tuamu? Kupikir, mereka pasti senang merawat cucumu."Perkataan Keenan seketika membuat Emily tertawa dan refleks membuang muka. Apa lelaki itu bercanda? Yang ada anaknya kelaparan jika dititipkan pada orang tuanya. Ibunya pasti tidak akan mau mengurusnya. Dari sejak kecil, mereka selalu begitu, bahkan janji yang mereka katakan pun, tidak ditepati. "Pergilah jika sudah bicaranya. Orangmu akan datang 'kan?"Emily bergegas kembali berjalan menuju pintu. Dia harus cepat kembali ke restoran dan membantu para karyawannya. Kasihan, Ashley juga sendiri. Namun saat dia akan keluar, tangannya tiba-tiba digenggam dan tubuhnya dipeluk dari belakang. Emily melotot dan refleks menoleh. "Hei!""Jika kita menikah, kau tidak perlu susah cari uang. Rawatlah dan besarkan Javier.""Apa?""Di balik sikap kasarmu, kau wanita yang tangguh dan ibu yang penyayang." Keenan menatap Emily cukup lama. Dia mengamati garis wajah wanita itu, sebelum kemudian melepaskan genggaman tangannya dan pergi begitu saja."Dasar berengsek! Bicara apa dia! Keenan! Awas kau ya! Siapa yang mau menikah denganmu?"***"Apa? Jadi itu benar? Pria itu bilang begitu? Kenapa kau tidak membawanya makan siang di sini, Emily! Anak ini, padahal aku sangat penasaran dengan priamu.""Aku tidak mau dia bertemu denganmu. Kau pasti akan mempermalukanku habis-habisan," jawab Emily sambil memutar bola matanya."Astaga! Tapi 'kan kita bisa untung! Dia bisa jadi langganan tetap restoran ini. Bisa-bisanya kau membawa pelanggan ke tempat lain."Emily mengalihkan pandangannya ke sekeliling. Dia melihat restoran ini sangat ramai. Mungkin mereka harus merekrut pekerja baru lagi. "Lihatlah, tanpa kami pun, tempat ini tidak akan kekurangan pelanggan. Sudahlah, berhenti bicara padaku, aku harus membantu yang lain. Sebaiknya kau cepat buat pamflet untuk promosi atau buat lowongan. Kita kekurangan karyawan.""Kau selalu seperti itu, dasar sok sibuk.""Berhenti menggerutu dan bertingkah manja, Ashley. Kau bukan anak remaja lagi.""Ya, ya, Bu Bos."Emily tersenyum simpul melihat Ashley akhirnya pergi dan tidak menempel lagi di sekitarnya. Dia bisa bebas dari pertanyaan wanita itu dan fokus melayani pelanggan. Keseharian yang menyenangkan untuknya, meski pekerjaan ini jauh berbeda dari sebelumnya. Namun setidaknya, di sini dialah bosnya.Emily tidak perlu lagi mendapat tekanan seperti apa yang terjadi di kantornya dulu. Dia juga punya waktu lebih banyak untuk bersama Javier. Keputusannya untuk resign waktu itu adalah pilihan yang tepat, walau dia sempat luntang-lantung karena tidak mendapatkan pekerjaan dan pernikahannya batal. Sekarang, sepertinya ada hikmah di balik itu semua. Emily berjanji tidak akan mengulang kesalahannya di masa lalu."Pesanan meja nomor 25? Corn bread, curly lasagna and lemonade?" Emily menyebut pesanan dari seorang pelanggan laki-laki yang dia hampiri. "Silakan dinikmati."Sayangnya saat akan pergi, pelanggan lelaki itu tiba-tiba menggenggam tangannya. Memaksa Emily untuk mau tak mau berbalik."Nona, sebentar. Siapa nama Anda?""Maaf?" Emily menaikkan alisnya bingung. Itu adalah pelanggan yang selama ini selalu datang dan selalu ingin dilayani olehnya. Duduk di meja khusus paling pojok seorang diri."Emm, apakah malam ini Anda memiliki waktu?"Kebingungan yang sempat terlihat di wajah Emily, seketika berubah dengan ekspresi terkejut. Dia langsung menarik tangannya dan tersenyum. Berusaha untuk tetap sopan. Walau semua makian sudah ada di ujung lidahnya. "Saya hanya punya waktu untuk anak saya. Maaf, Tuan.""Begitu ya, kalau begitu, berapa usia anak Anda? Saya menyukai anak kecil."Brak!Hancur sudah semua pertahanan yang berusaha Emily tahan sejak tadi. Dia tanpa aba-aba langsung menggebrak meja dengan nampan di tangannya. Mengagetkan lelaki itu dan beberapa orang yang melihat. Emily hanya tersenyum manis dan menundukkan kepalanya sembari minta maaf. "Ah, maafkan saya, Tuan. Tangan saya terpeleset. Ucapan Anda mengejutkan saya."Lelaki itu tersadar dari keterkejutannya dan tertawa canggung. "Ti-tidak apa-apa, tapi apa perkataan saya ada yang salah?"Emily memegang pipinya dan menatap lelaki itu sambil berkaca-kaca. "Beberapa hari lalu ada seorang pedofil yang mengucapkan itu pada anak saya. Saya jadi takut. Ah, tapi saya tidak bermaksud menuduh Anda sama seperti itu. Saya bersumpah, saya hanya terkejut.""Tidak apa-apa. Saya tidak seperti itu," ucap lelaki itu sambil menahan jengkel. Menyadari maksud terselubung dari perkataan Emily."Anda sangat murah hati. Kalau begitu, saya permisi, Tuan. Masih banyak pelanggan yang harus saya layani." Emily langsung berbalik dan pergi terburu-buru tanpa menunggu waktu lebih lama. Entah mengapa, dia jadi kesal sendiri. Begitu ke dapur, Emily langsung disambut oleh Ashley yang berpangku tangan sambil menggelengkan kepala."Kau masih tetap sama, Emily. Dia pelanggan.""Dia pria berengsek.""Kami akan segera mempersiapkan pernikahannya dalam satu bulan."Itulah kesepakatan yang terjalin antara orang tua Keenan dan Emily saat semuanya berkumpul. Keduanya tampak sepakat dan tidak mau menunda waktu lebih lama untuk melaksanakan pernikahan. Bahkan pendapat Emily yang meminta pernikahan itu diundur, sama sekali tidak didengar. Ini merugikannya. Dia belum siap menikah, tapi mereka tidak mau mendengarnya. Lalu untuk apa kehadirannya di sini, jika pendapatnya saja tidak didengar? Kalau bukan karena kehadiran anaknya yang kini duduk di pangkuan Keenan dan sibuk memainkan rubrik, mungkin dia akan langsung kabur saat ini juga. Namun sekarang, Emily hanya bisa mengepalkan tangannya menahan kesal dan diam saat pembicaraan terus berlanjut, hingga acara makan malam bersama tiba. Ini adalah hari paling sial dan terburuk dalam hidupnya. Mulutnya bahkan tidak memiliki tenaga untuk mengunyah. Dia menyuapi Javier dan terus termenung. "Sayurnya juga dimakan dong, Sayang. Jangan dipisahin,"
"Anda sangat cantik."Emily menatap pantulan dirinya di depan cermin yang menggunakan gaun dengan model ball gown. Layaknya seorang princess dengan bagian bawah yang menjuntai. Bokong seksinya tidak terlihat. Ini juga seperti bukan dirinya. Pujian itu bahkan tak membuatmu puas. Emily justru mendecih kecewa, dia tidak menyukainya. Akan lebih baik jika Ashley yang mengenakan gaun seperti ini. Matanya kemudian beralih menatap sang pemilik butik yang masih terus tersenyum antusias. "Apa ada yang lain?""Ya?""Kurasa aku tidak cocok dengan gaun seperti ini," ucap Emily sambil melirik gaunnya dan melihat ekspresi sang pemilik yang tidak enak. "Maaf, bukan maksudku menghina desainnya. Gaunnya sangat bagus. Hanya saja, aku lebih suka gaun yang agak terbuka. Ini bukan seperti diriku.""Ah, gaun yang sudah jadi kalau tidak salah masih ada satu lagi, tapi saya tidak tahu apa ini sesuai dengan selera Anda atau tidak.""Kalau begitu, aku ingin melihatnya."Pemilik butik itu bergegas meninggalkann
"Ada apa denganmu? Tumben wajahmu kusut seperti itu?"Emily melirik temannya sekilas dan hanya menghela napas kasar, lalu kembali terdiam. Dia sama sekali tidak tertarik membahas apa yang terjadi. Bahkan rasanya, dia terlalu malas melakukan sesuatu. Memikirkan pernikahannya yang akan berlangsung dua minggu lagi, membuatnya pusing. Meski memang dia tidak lagi terlibat mengurusi ini itu. Semua tugasnya selesai, sekarang hanya orang tuanya dan orang tua Keenan yang bekerja. "Tante Em, Tante lagi sedih ya?"Pandangan mata Emily berpindah pada bocah perempuan yang tiba-tiba mendekatinya. Itu adalah Evelyn, anak temannya, Ashley, sekaligus teman bermain anaknya. Bocah yang berusia beberapa bulan lebih muda dari Javier. Evelyn sangat manis dan lucu, membuat dia selalu ingin mencubit pipi bulatnya. "Nggak kok. Tante nggak sedih, Sayang.""Mommy kenapa?" Kini giliran Javier yang mendekat. Anaknya juga menatap khawatir. Sorot matanya seolah hendak bertanya dan Emily hanya bisa mengusap lembut
Hari-hari yang paling menyibukkan sepanjang hidupnya, harus kembali Emily rasakan saat ini. Kepalanya pusing dan lelah mengurus pernikahan dadakannya. Namun tentu saja, ini tidak sebanding dengan masa lalu saat dia mengurus pernikahannya seorang diri. Meski memang, dulu dia melakukannya tanpa kenal lelah karena pernikahan itu adalah hal yang sangat diinginkannya. Beda dengan sekarang, di mana dia menikah karena tidak memiliki pilihan lain. Keenan juga jadi sering datang ke rumah ini tanpa mengabarinya. Anaknya, Javier, selalu menjadi alasan ketika lelaki itu ke sini. Semakin hari, Javier bahkan semakin dekat dengannya. Emily kadang khawatir melihat kedekatan itu, karena ayah kandung Javier bukanlah Keenan. Cepat atau lambat, dia juga harus memberitahu anaknya mengenai ayah biologisnya. "Huh." Emily mendesah kasar dan berjalan pelan menghampiri lemari. Dia mengambil satu setel pakaian. Emily hendak pergi mandi setelah selesai mengurus surat pernikahan. Sekarang, dia hanya tinggal men
Hari yang menegangkan akhirnya tiba. Hari di mana statusnya akan berubah menjadi seorang istri. Emily mendadak gugup serta takut sekaligus. Dia berdiri tidak nyaman di samping ayahnya. Pandangannya sedikit tak fokus. Emily merasa malu dan hanya bisa melangkah masuk mengikuti langkah ayahnya. Dia berusaha tenang saat melihat semua tatapan tertuju ke padanya. Ada banyak sekali orang yang melihatnya dan juga Keenan yang berdiri bersama Javier. Emily menelan ludah saat melihat calon suaminya sangat amat tampan, tapi perasaan sedih pun dirasakannya dan pandangannya seketika kembali tertunduk. Air mata menetes bersamaan dengan langkah kakinya yang kian mendekat. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya dia akhirnya akan menikah dengan orang lain selain kekasih tercintanya. Menikah dengan orang yang sama sekali tidak dia cintai. Namun dari posisinya kini, Emily melihat dengan jelas semua orang tersenyum. Bahkan Javier tampak berbinar bahagia. Suasana di sekitarnya pun tampak syahdu dan khidmat
"Lepaskan! Apa-apaan kau ini!"Keenan langsung menepis tangan Emily di area terlarangnya. Dia beringsut menjauh dan segera menarik selimut. Namun sialnya, Emily terus berusaha mendekat hingga Keenan yang sudah ada di ujung ranjang pun langsung terjatuh. Tawa Emily seketika pecah melihat Keenan terjatuh dengan sangat tidak elit. "Astaga, kau sangat payah!""Jangan menertawakanku!" gerutu Keenan sambil bangkit dengan cepat. Dia mengelus bokongnya yang terasa sakit, lalu kembali naik ke atas ranjang. Melirik Emily yang masih puas menertawakannya. "Ken, jika kau tidak tahu ini, ini kondom. Pria biasa memakainya, tapi aku tidak mau kau menggunakannya." "Kaupikir aku perlu menggunakannya?" Keenan merebut benda sialan itu dan langsung meletakkannya ke dalam laci. Emily membaringkan kembali tubuhnya. Kali ini dia tidak memunggungi Keenan. Suaminya itu pun melakukan hal yang sama, namun Keenan tidak menghadap ke arahnya. Lelaki itu terlentang. "Siapa yang tahu, kau 'kan mesum, Ken.""Yang
Emily bersenandung ria saat membereskan pakaian miliknya. Dia sampai tidak menyadari sang pemilik kamar masuk dan memerhatikannya. Berjalan pelan mendekatinya yang kini dalam posisi membelakangi. "Ah, akhirnya beres. Aku sangat lelah, tapi di mana aku harus menyimpan ini ya?"Ditatapnya tas kecil berisi mainannya dengan bingung. Emily tidak mungkin menyimpannya sembarangan. Tidak boleh sampai Keenan tahu. Sayangnya, dia tidak sadar jika lelaki itu saat ini justru ada di belakangnya dan terkejut melihat benda yang ada dalam tasnya. Hingga Keenan segera mengambilnya. "Apa ini? Bentuknya mirip—""Keenan! Apa yang kaulakukan di sini!" Emily refleks berteriak dan langsung merebut benda yang diambil Keenan. Dengan wajah merah padam, dia langsung menyembunyikan benda itu dan menutup tas kecilnya dengan cepat. "Ini kamarku juga, tentu saja aku di sini. Kenapa kau menyembunyikan itu? Benda mencurigakan itu bentuknya mirip alat kelamin pria." Emily menganga. Namun wajahnya malu bukan main. "
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih empat jam, mereka akhirnya tiba di vila keluarga Keenan. Vila yang terletak di area dataran tinggi itu, membuat udara sekitar terasa dingin menggigit meski siang hari. Apalagi saat sore dan malam. Namun di saat senja, mereka bisa menyaksikan keindahan saat matahari terbenam sekaligus merenungi keindahan alam yang sedikit berbeda. Tempat yang cocok untuk healing. Emily yang pertama turun lebih dulu dan membawa barangnya dalam bagasi. Membuat Keenan yang melihat itu segera mendekat. Membantu mengeluarkannya. Sayangnya, Emily hanya diam saja dan malah membiarkan Keenan melakukannya sendiri. Semenjak pesan yang Ashley kirimkan, wanita itu terus memasang ekspresi murung dan tanpa semangat. "Ada apa denganmu? Kau memikirkan lelaki itu?" tanya Keenan saat mereka memasuki vila dan disambut oleh orang yang selama ini mengurus vilanya. Namun perhatian Keenan terpecah dengan Emily. Hingga dia tak terlalu menghiraukannya. "Aku baik-baik saja. Aku ingin