"Ashley!"
Emily melambaikan tangan sambil tersenyum lebar, saat melihat kedatangan temannya. Wanita cantik yang kini tampak sangat bersinar di usia dewasanya. Teman yang pernah dia khianati ketulusannya dan dia tusuk dari belakang. Emily kadang malu ketika Ashley masih bersikap sangat baik padanya setelah apa yang dia perbuat apa wanita itu di masa lalu. Ashley benar-benar seperti malaikat."Rajin sekali kau sudah datang, Em."Restoran masih belum buka. Emily kini masih membantu para karyawan beres-beres mempersiapkan meja untuk pelanggan. Dia tidak bekerja di sini, dia adalah pemilik restoran ini bersama dengan Ashley. Lima tahun yang lalu saat dirinya benar-benar di masa sulit, Ashley datang dan menawarkan ide brilian.Emily sama sekali tidak menyangka temannya itu masih bisa mempercayainya dan bahkan membantunya. Padahal dia masih sangat malu dengan kelakuannya hingga sekarang. Meski peristiwa itu sudah berlalu hampir tujuh tahun lamanya. Namun sikap Ashley masih sangat baik padanya. Dia menyesal telah mengkhianati sahabat terbaiknya hanya karena seorang lelaki yang tidak akan pernah bisa dia gapai."Kau seperti tidak mengenalku saja."Ashley tertawa, tentu Emily adalah anak yang rajin. Dia tahu itu. "Bagaimana Javier? Kau sudah mengantarnya 'kan? Jangan sampai kau lupa dengan anakmu gara-gara buru-buru ke sini.""Tentu saja tidak, aku sudah mengantarnya tadi. Kaumau kopi?" Emily menghentikan menyelesaikan pekerjaannya dan berjalan masuk ke area dapur. Dia menyerahkan bagian depan pada karyawan lain."Tidak usah, kemarilah, ada yang ingin kutanyakan padamu!" Ashley menyeretnya masuk ke ruangannya dan menutup pintu. Dia ingin mengobrol masalah pribadi dengan temannya itu."Ada apa? Kenapa kau terus tersenyum seperti itu? Kau membuatku takut." Emily refleks menjauhkan dirinya melihat Ashley tersenyum lebar dengan mata berbinar."Itu lho, soal chat-mu semalam. Kaubilang kau akan kencan dengan pria, bagaimana? Apakah berhasil, hm?" Ashley meletakkan kedua tangannya di pipi dan bertumpu pada meja. Sorot matanya yang ingin tahu, membuat Emily langsung tersenyum aneh."Iuh, jangan memasang wajah seperti itu! Kau tidak imut, Ashley. Menjijikkan.""Apa? Padahal Om Evan bilang aku imut. Kau keterlaluan, Em.""Yah, dia 'kan suamimu. Wajahmu yang jelek pasti akan disebut cantik olehnya." Emily berusaha menahan tawa melihat bibir Ashley yang mencebik. Sebenarnya, dia berbohong. Temannya memang awet muda meski sudah memiliki anak."Ah! Kenapa jadi ngomongin Om Evan sih! Kaumau mengalihkan pembicaraan 'kan? Tidak bisa, kali ini kau harus mengatakannya dengan jujur, apa semalam kencanmu berhasil?""Kapan aku menyebut kencan? Itu hanya makan malam biasa. Aku sudah sering melakukannya.""Ya, sama saja, Em. Itu kencan, kencan. Jadi bagaimana hasilnya? Kau tidak membuatnya kabur lagi 'kan? Ini sudah pria ke berapa?"Emily berdecak kesal. Hanya kepada Ashley dia selalu menceritakan apa yang terjadi soal kencan butanya. "Sayangnya tidak, jurusku tidak mempan padanya. Pria sialan—maksudku, pria itu malah mengajakku bertemu dengan orang tuanya semalam. Dia juga mengajakku menikah.""Apa? Kau serius? Kau tidak bohong 'kan?" Ashley sontak berteriak heboh dan binar matanya terlihat antusias. "Aaakhh, aku tidak percaya ini, akhirnya kau akan menikah juga. Aku ingin menjadi bridesmaid di pernikahanmu nanti!"Emily memutar matanya melihat betapa hebohnya Ashley. Siapa yang menikah, siapa yang kegirangan. "Masalahnya, aku tidak menyukai pria itu dan tidak mau menikah dengannya. Kau mengerti?""Kenapa? Apa pria itu jelek? Dia buruk rupa? Apa dia tidak jago di ranjang? Tipemu 'kan seperti James. Dia di bawah standar, ya?"Degh.Emily melebarkan matanya saat mendengar nama James disebut. Dia merasa hatinya menghangat setiap kali memikirkan lelaki itu. Namun juga terdapat rasa sedih dan penyesalan mendalam atas kemalangan yang menimpa lelaki itu. Dialah pelakunya. "Tidak, pria itu sempurna. Aku hanya tidak suka sikapnya.""Oh itu, harusnya kau tidak perlu merasa khawatir. Kau tahu 'kan aku dan Om Evan menikah bagaimana? Aku bahkan sangat membencinya ketika menikah, tapi kami kemudian saling mencintai. Kau juga pasti akan begitu. Jangan cemas, Em. Aku tahu kau wanita mandiri, tapi aku juga tahu kau juga butuh seseorang untuk menjadi tempatmu bersandar."Perkataan Ashley terdengar tulus. Itu sedikit membuat hati Emily tenang. Namun dia memiliki alasan untuk meragukan pernikahannya ini. Rasa trauma atas gagalnya pernikahannya dulu, juga menjadi salah satu penyebabnya. Kehidupan liar yang dijalaninya, juga membuat dia takut. Belum lagi kenyataan kalau bisa saja orang tuanya akan memanfaatkan situasi ini. "Aku akan pikirkan itu."***Emily memasuki kawasan sekolah dan memarkirkan mobilnya di area parkir. Siang ini, dia menyempatkan diri untuk menjemput anaknya sebelum kembali ke restoran. Bertepatan dengan kedatangannya, beberapa anak tampak berhamburan dari area kelas dan berjalan menuju parkiran. Ada yang bersama orang tuanya, ada juga yang sendiri atau bersama teman. Javier pasti sudah menunggu lama.Tidak mau membuat anaknya sedih, Emily bergegas keluar dan berjalan cepat dengan kacamata hitam yang bertengger di hidungnya. Itu semua karena matahari yang cukup terik, membuat pandangannya sedikit terhalangi. Beberapa anak melirik ke arahnya, tapi Emily tak memedulikan itu. Dia tetap melangkah dan membiarkan suara high heels-nya terdengar. Hingga akhirnya, dari kejauhan Emily bisa melihat keberadaan kelas anaknya yang bubar. Beberapa anak masih berkerumun.Emily mencari keberadaan Javier di antara kerumunan anak yang akhirnya pergi dan menyisakan beberapa anak. Tetapi dia menemukan sesuatu yang aneh saat ternyata ada seorang lelaki dewasa yang tengah berbincang dengan anak lelaki. Sialnya, anak laki-laki itu adalah anaknya. Javier! Posisinya yang membelakangi, membuat Emily tidak mengenalinya dan dia cemas jika itu orang jahat. Tak mau anaknya kenapa-kenapa, Emily langsung buru-buru menghampirinya dan menarik tangan putranya."Javier!""Mommy?""Javier, Mommy sudah sering bilang, jangan bicara sama orang asing," bisik Emily sambil membawa Javier menjauh, tapi putranya itu tampak ingin membantah."Tapi, Mommy—""Tidak ada tapi-tapian! Dengarkan Mommy!""Maaf, tapi aku bukan orang asing. Kau tidak perlu memarahi anakmu begitu, Emily.""Jangan ikut campur! Aku tidak bicara—"Emily yang berniat menumpahkan kemarahannya, seketika tertahan dan mengernyit saat merasa ada yang aneh dari perkataan lelaki yang bicara dengannya. Kepalanya refleks menoleh pada lelaki yang tadi bicara dengan anaknya. Menurunkan kecamatanya untuk melihat dengan jelas siapa yang bersuara. Namun saat matanya bertatapan dengan lelaki itu, kedua bola matanya melotot seketika. "KAU! Si bereng—""Ini masih area sekolah, jangan ajarkan anak-anak bahasa yang buruk."Nasihat itu seketika langsung membungkam ucapan Emily. Dia melirik anaknya yang menatapnya bingung. Semoga Javier tidak menuruti kebiasaan buruknya yang suka mengumpat. "Maafkan Mommy, Sayang."Setelah mengucapkan kalimat itu dengan rasa bersalah, Emily kembali menatap orang yang tidak lain adalah Keenan. "Kenapa kau ada di sini? Apa yang mau kaulakukan pada anakku?""Aku hanya berkunjung dan aku tidak tahu kalau Javier adalah anakmu.""Omong kosong! Kaupikir aku percaya orang sibuk sepertimu mau pergi ke sekolah tanpa maksud apa pun?"Keenan hanya tersenyum tipis dan melihat sekitar mereka sudah cukup sepi. Walau di beberapa bagian lain, masih banyak kelas yang ramai. Anak-anak masih belajar, tapi itu anak dengan tingkat yang lebih tinggi. Kawasan sekolah ini yang memang disatukan dari pendidikan dasar sampai menengah atas. "Kau benar, ini perintah Ibuku. Aku hanya menyelesaikan sedikit urusan di sini. Kalian mau pulang?""Bukan urusan—""Om mau ikut?"Emily menatap anaknya yang malah menawarkan tumpangan. "Javier!""Kenapa Mommy? Om Ken baik sama Iel. Om Ken nolongin Iel.""Nolongin?""Anakmu diganggu teman sekelasnya," jawab Keenan memperjelas ucapan Javier."Diganggu? Kamu diganggu bagaimana? Kamu dipukuli? Siapa yang melakukannya! Biar Mama hajar mereka!" Emily segera berjongkok dan memeriksa tubuh putranya dengan cemas. Sayangnya, Javier seolah ragu menjawab dan dia hanya diperlihatkan wajah muram sang anak. "Javier, ayo katakan. Kamu diganggu bagaimana?"Melihat anaknya tetap diam, Emily beralih pada Keenan. "Javier diganggu kenapa?"Sebelum menjawab, Keenan menatap anak lelaki itu dengan serius. "Javier, boleh Om—"Javier menggeleng cepat. "Nggak boleh! Iel nggak apa-apa, Mommy. Iel udah dorong anak-anak nakal tadi. Mereka nggak akan bilang Iel nggak punya Daddy lagi sekarang—eh."Javier refleks menutup mulutnya dengan kedua tangan mungilnya. Sayangnya, apa yang terlontar dari mulutnya sudah didengar oleh Emily yang kini ekspresinya berubah kaku."Mereka bilang begitu?"Emily memegang kedua bahu anaknya dengan kuat. Namun lagi-lagi, Javier tidak mau menjawab dan hanya menunduk. Berapa lama? Berapa lama ini terjadi? Emily tidak percaya ada yang mengejek putranya tidak punya ayah. Javier juga tidak pernah bercerita sebelumnya. "Javier?""No, Mommy, jangan sedih. Iel nggak apa-apa, kok." Javier menyusut air mata yang jatuh di pipi ibunya dan hal itu menjadi pemandangan yang menyentuh siapa pun yang melihatnya, termasuk Keenan yang kini tertegun."Jangan terlihat menyedihkan di depan anakmu. Javier anak laki-laki yang kuat," ucap Keenan sambil melirik Emily yang langsung menyusut air matanya. Lalu tatapannya beralih pada anak laki-laki itu. Dia tersenyum dan mengusap puncak kepala Javier. "Javier kamu benar, mulai sekarang anak-anak itu tidak akan mengganggumu lagi, karena kamu sekarang punya Daddy. Kamu bisa panggil Om, Daddy.""Ken—""Eh, Om Ken serius? Iel boleh panggil Daddy?" tanya Javier kebingungan, tapi matanya tampak bersinar."Iya."Javier baru saja akan berteriak kesenangan, tapi dia kemudian teringat dengan ibunya. Pandangan matanya pun beralih menatap Emily. "Tapi, Mommy—""Terserah kalian saja," ucap Emily dengan pasrah. Dia tidak tega saat melihat anaknya tampak ragu-ragu."Yeey! Iel punya Daddy baru! Iel punya Daddy!"Emily termenung di tempatnya melihat Javier begitu antusias memeluk Keenan. Putranya tampak sangat senang hanya karena lelaki itu memperbolehkannya memanggil Daddy. Apa selama ini, dia terlalu egois sampai tidak menyadari keinginan anaknya sendiri? Sihir apa yang Keenan lakukan sampai anaknya bersinar seperti itu? Emily belum pernah melihat Javier yang sesenang itu."Hey, soal ucapanmu tadi pada Javier. Kau tidak sungguh-sungguh 'kan?" tanya Emily sambil melirik Keenan yang menggendong Javier yang tertidur. Menuntun lelaki itu ke arah kamar anaknya. Pada akhirnya, Keenan harus ikut menumpang karena mobil jemputannya tidak datang. Sayangnya, tak hanya pergi bersama, mereka juga makan siang bersama hingga anaknya yang kekenyangan pun jatuh tertidur. Emily juga mau tak mau memberitahu Ashley kalau dia akan datang terlambat ke restoran. Melihat Javier yang senang pada Keenan, dia jadi sulit untuk menolak keinginan anaknya makan bersama."Yang mana?" Keenan meletakkan Javier di tempat tidurnya dan membantu melepaskan sepatu yang masih dipakai anak itu. Baru kemudian dia menoleh ke arah Emily. "Yang itu, memanggilmu Daddy. Apa-apaan itu, memangnya aku memperbolehkannya?""Kaubilang terserah, apa masalahnya? Kita juga akan menikah. Bukankah itu wajar? Dia akan jadi anakku juga," ucapnya. Keenan tanpa canggung duduk di pinggir ranjang sambil memerhatik
"Kami akan segera mempersiapkan pernikahannya dalam satu bulan."Itulah kesepakatan yang terjalin antara orang tua Keenan dan Emily saat semuanya berkumpul. Keduanya tampak sepakat dan tidak mau menunda waktu lebih lama untuk melaksanakan pernikahan. Bahkan pendapat Emily yang meminta pernikahan itu diundur, sama sekali tidak didengar. Ini merugikannya. Dia belum siap menikah, tapi mereka tidak mau mendengarnya. Lalu untuk apa kehadirannya di sini, jika pendapatnya saja tidak didengar? Kalau bukan karena kehadiran anaknya yang kini duduk di pangkuan Keenan dan sibuk memainkan rubrik, mungkin dia akan langsung kabur saat ini juga. Namun sekarang, Emily hanya bisa mengepalkan tangannya menahan kesal dan diam saat pembicaraan terus berlanjut, hingga acara makan malam bersama tiba. Ini adalah hari paling sial dan terburuk dalam hidupnya. Mulutnya bahkan tidak memiliki tenaga untuk mengunyah. Dia menyuapi Javier dan terus termenung. "Sayurnya juga dimakan dong, Sayang. Jangan dipisahin,"
"Anda sangat cantik."Emily menatap pantulan dirinya di depan cermin yang menggunakan gaun dengan model ball gown. Layaknya seorang princess dengan bagian bawah yang menjuntai. Bokong seksinya tidak terlihat. Ini juga seperti bukan dirinya. Pujian itu bahkan tak membuatmu puas. Emily justru mendecih kecewa, dia tidak menyukainya. Akan lebih baik jika Ashley yang mengenakan gaun seperti ini. Matanya kemudian beralih menatap sang pemilik butik yang masih terus tersenyum antusias. "Apa ada yang lain?""Ya?""Kurasa aku tidak cocok dengan gaun seperti ini," ucap Emily sambil melirik gaunnya dan melihat ekspresi sang pemilik yang tidak enak. "Maaf, bukan maksudku menghina desainnya. Gaunnya sangat bagus. Hanya saja, aku lebih suka gaun yang agak terbuka. Ini bukan seperti diriku.""Ah, gaun yang sudah jadi kalau tidak salah masih ada satu lagi, tapi saya tidak tahu apa ini sesuai dengan selera Anda atau tidak.""Kalau begitu, aku ingin melihatnya."Pemilik butik itu bergegas meninggalkann
"Ada apa denganmu? Tumben wajahmu kusut seperti itu?"Emily melirik temannya sekilas dan hanya menghela napas kasar, lalu kembali terdiam. Dia sama sekali tidak tertarik membahas apa yang terjadi. Bahkan rasanya, dia terlalu malas melakukan sesuatu. Memikirkan pernikahannya yang akan berlangsung dua minggu lagi, membuatnya pusing. Meski memang dia tidak lagi terlibat mengurusi ini itu. Semua tugasnya selesai, sekarang hanya orang tuanya dan orang tua Keenan yang bekerja. "Tante Em, Tante lagi sedih ya?"Pandangan mata Emily berpindah pada bocah perempuan yang tiba-tiba mendekatinya. Itu adalah Evelyn, anak temannya, Ashley, sekaligus teman bermain anaknya. Bocah yang berusia beberapa bulan lebih muda dari Javier. Evelyn sangat manis dan lucu, membuat dia selalu ingin mencubit pipi bulatnya. "Nggak kok. Tante nggak sedih, Sayang.""Mommy kenapa?" Kini giliran Javier yang mendekat. Anaknya juga menatap khawatir. Sorot matanya seolah hendak bertanya dan Emily hanya bisa mengusap lembut
Hari-hari yang paling menyibukkan sepanjang hidupnya, harus kembali Emily rasakan saat ini. Kepalanya pusing dan lelah mengurus pernikahan dadakannya. Namun tentu saja, ini tidak sebanding dengan masa lalu saat dia mengurus pernikahannya seorang diri. Meski memang, dulu dia melakukannya tanpa kenal lelah karena pernikahan itu adalah hal yang sangat diinginkannya. Beda dengan sekarang, di mana dia menikah karena tidak memiliki pilihan lain. Keenan juga jadi sering datang ke rumah ini tanpa mengabarinya. Anaknya, Javier, selalu menjadi alasan ketika lelaki itu ke sini. Semakin hari, Javier bahkan semakin dekat dengannya. Emily kadang khawatir melihat kedekatan itu, karena ayah kandung Javier bukanlah Keenan. Cepat atau lambat, dia juga harus memberitahu anaknya mengenai ayah biologisnya. "Huh." Emily mendesah kasar dan berjalan pelan menghampiri lemari. Dia mengambil satu setel pakaian. Emily hendak pergi mandi setelah selesai mengurus surat pernikahan. Sekarang, dia hanya tinggal men
Hari yang menegangkan akhirnya tiba. Hari di mana statusnya akan berubah menjadi seorang istri. Emily mendadak gugup serta takut sekaligus. Dia berdiri tidak nyaman di samping ayahnya. Pandangannya sedikit tak fokus. Emily merasa malu dan hanya bisa melangkah masuk mengikuti langkah ayahnya. Dia berusaha tenang saat melihat semua tatapan tertuju ke padanya. Ada banyak sekali orang yang melihatnya dan juga Keenan yang berdiri bersama Javier. Emily menelan ludah saat melihat calon suaminya sangat amat tampan, tapi perasaan sedih pun dirasakannya dan pandangannya seketika kembali tertunduk. Air mata menetes bersamaan dengan langkah kakinya yang kian mendekat. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya dia akhirnya akan menikah dengan orang lain selain kekasih tercintanya. Menikah dengan orang yang sama sekali tidak dia cintai. Namun dari posisinya kini, Emily melihat dengan jelas semua orang tersenyum. Bahkan Javier tampak berbinar bahagia. Suasana di sekitarnya pun tampak syahdu dan khidmat
"Lepaskan! Apa-apaan kau ini!"Keenan langsung menepis tangan Emily di area terlarangnya. Dia beringsut menjauh dan segera menarik selimut. Namun sialnya, Emily terus berusaha mendekat hingga Keenan yang sudah ada di ujung ranjang pun langsung terjatuh. Tawa Emily seketika pecah melihat Keenan terjatuh dengan sangat tidak elit. "Astaga, kau sangat payah!""Jangan menertawakanku!" gerutu Keenan sambil bangkit dengan cepat. Dia mengelus bokongnya yang terasa sakit, lalu kembali naik ke atas ranjang. Melirik Emily yang masih puas menertawakannya. "Ken, jika kau tidak tahu ini, ini kondom. Pria biasa memakainya, tapi aku tidak mau kau menggunakannya." "Kaupikir aku perlu menggunakannya?" Keenan merebut benda sialan itu dan langsung meletakkannya ke dalam laci. Emily membaringkan kembali tubuhnya. Kali ini dia tidak memunggungi Keenan. Suaminya itu pun melakukan hal yang sama, namun Keenan tidak menghadap ke arahnya. Lelaki itu terlentang. "Siapa yang tahu, kau 'kan mesum, Ken.""Yang
Emily bersenandung ria saat membereskan pakaian miliknya. Dia sampai tidak menyadari sang pemilik kamar masuk dan memerhatikannya. Berjalan pelan mendekatinya yang kini dalam posisi membelakangi. "Ah, akhirnya beres. Aku sangat lelah, tapi di mana aku harus menyimpan ini ya?"Ditatapnya tas kecil berisi mainannya dengan bingung. Emily tidak mungkin menyimpannya sembarangan. Tidak boleh sampai Keenan tahu. Sayangnya, dia tidak sadar jika lelaki itu saat ini justru ada di belakangnya dan terkejut melihat benda yang ada dalam tasnya. Hingga Keenan segera mengambilnya. "Apa ini? Bentuknya mirip—""Keenan! Apa yang kaulakukan di sini!" Emily refleks berteriak dan langsung merebut benda yang diambil Keenan. Dengan wajah merah padam, dia langsung menyembunyikan benda itu dan menutup tas kecilnya dengan cepat. "Ini kamarku juga, tentu saja aku di sini. Kenapa kau menyembunyikan itu? Benda mencurigakan itu bentuknya mirip alat kelamin pria." Emily menganga. Namun wajahnya malu bukan main. "