Share

Bagian 3

"Gasiang batali jo kain kafan, di patang kamih malam jumaaik. Gasiang tangkurak nan den mainkan, putuihnyo gasiang putuih makrifat.¹"

Di sebuah ruang sempit dan pengap, seseorang tengah memutar gasing yang terikat tali di kedua belah jari tengah tangan kanan dan kirinya.

Gasing tangan tersebut berputar di atas bara pedupaan yang terus mengeluarkan asap putih pekat berbau kemenyan.

"Gasiang tangkurak, bawoklah pasan. Jikoknyo lalok, tolong jagokan. Jikoknyo tagak, suruh bajalan. Di siko kini denai nantikan.²"

Orang itu kembali melafalkan mantra dengan mulutnya, sementara gasing terus berputar dengan kencang seiring kelincahan tangannya menarik ulur tali pengikat.

"Tolonglah japuik, japuiklah bawok. Suruhnyo sujuik di kaki denai, jikok tak namuah tanggang matonyo, tanggang salero bianyo rasaik. Datang sijundai bianyo gilo, siang jo malam mancari denai.³"

Puih!

Orang itu menyemburkan bubuk kemenyan dari mulutnya ke atas bara menyala, kembali asap putih pekat membumbung ke udara menebarkan bau kemenyan yang terbawa oleh hembusan angin malam.

Tepat pukul dua belas malam Jum’at berikutnya, Juriah yang tengah terlelap tiba-tiba terbangun karena mendengar ada suara memanggil namanya. Suara itu begitu jelas dan seperti suara Ardi sang kekasih, si gadis turun dari tempat tidur dan berjalan ke arah pintu. Menekan handle pintu beberapa kali tapi pintu gagal terbuka karena terkunci dari luar, sejak kejadian malam sebelumnya, Gani memutuskan mengunci pintu kamar sang putri untuk menjaga hal yang tak diinginkan.

Juriah melangkah ke arah jendela, menggoyang-goyang daun jendela supaya terbuka. Namun, usahanya sia-sia karena daun jendela pun telah dipaku dari luar. Suara yang memanggil namanya semakin ramai, Juriah merasa kepalanya sakit, telinga berdenging, dan suara itu seperti kaset kusut, tumpang tindih memanggil-manggil namanya.

Hidung Juriah mencium aroma kemenyan yang begitu tajam, hembusan angin membuat tengkuknya merinding. Dirinya merasa tidak sendiri di dalam kamar ini, saat menoleh ke arah samping satu sosok mengerikan berdiri dengan tangan terulur ke arahnya.

Sosok itu seorang perempuan muda, di bagian keningnya terdapat lubang selebar tutup botol. Dari lubang itu mengalir darah bercampur nanah, dan juga belatung hidup. Tidak hanya bagian keningnya yang berlubang, bagian perut juga menganga luka yang cukup besar memperlihatkan keseluruhan isi dalam perut. Sama seperti di kening, dari perut yang terluka juga mengalir darah berbau busuk dan berwarna kehitaman.

"Aaaaaaah!" Juriah menjerit histeri, dan jeritannya itu tidak hanya membangunkan seisi rumah, tetapi kembali membangunkan para tetangga.

"Aaaaaaah!"

"Pak haji, tolong anak saya," pinta Gani begitu melihat kemunculan Haji Sujono-ulama di kampung itu.

“Di mana dia?" tanya Haji Sujono

Gani membawa laki-laki kharismatik itu ke lantai atas, menuju kamar Juriah, Zubaidah bergegas membuka pintu kamar anaknya, meski belum melihat keadaan Juriah tapi Gani sudah bisa menebak bahwa kondisi anaknya tidak beda dengan yang terjadi pada pekan sebelum ini.

"Astaghfirullah!" Haji Sujono berseru, begitu melihat kondisi Juriah di langit-langit kamar, gadis itu merayap bagai cicak, sepasang matanya menatap tajam, wajahnya memerah, rambut menjuntai menutupi sebagian wajahnya yang garang.

"Aaaagrrrrr!"

Kreepeek

Kreepeek

Kreepeek

Juriah menggeram marah, tangannya menggaruk langit-langit kamar hingga menimbulkan suara seperti cakaran kucing.

Haji Sujono segera membacakan ayat-ayat ruqiyah, di atas sana Juriah menitikkan air mata. Dia seperti berada dalam dua dimensi berbeda, sebelah telinganya mendengar ayat-ayat yang dibacakan Haji Sujono. Sedangkan telinga sebelah lagi mendengar suara-suara aneh yang terus memanggil-manggil namanya.

Bayangan wajah ayahnya yang bengis saat memukuli Ardi bermain di benak, silih berganti muncul dan bertukar dengan wajah sang kekasih yang babak belur. Sebentar kebencian meluap-luap di dalam dada, sebentar lagi rasa iba dan bersalah mengguncang jiwa.

"Aaaaah!"

Untuk kali keempat Juriah kembali berteriak garang, tidak hanya berteriak dia juga semakin ganas mencakar langit-langit kamar. Ujung-ujung jarinya mulai mengeluarkan darah, Zubaidah yang melihat kondisi putrinya kembali menangis histeris dan memohon-mohon agar Juriah menghentikan aksinya itu.

Hampir satu jam berlalu, keadaan belum dapat dikendalikan. Haji Sujono masih terus membacakan ayat-ayat ruqyah, Juriah tidak lagi menggaruk-garuk tetapi dia masih terus menjerit-jerit dengan suara lantang dan tinggi.

Menjelang pukul satu Haji Sujono mulai kelelahan, tugasnya digantikan oleh seorang pemuda bernama Dani-seorang santri lulusan sebuah pesantren di pulau Jawa.

Sampai menjelang masuk waktu subuh Juriah tiba-tiba kembali berteriak kencang, bersamaan hilangnya suara teriakan tubuh si gadis tiba-tiba melayang jatuh ke lantai. Beruntung semua telah dipersiapkan, lantai kamar telah dialasi dengan dua lapis kasur yang tebal dan empuk.

"Juriah!" Zubaidah berteriak histeris, dia melompat memeluk tubuh sang anak. Kondisi Juriah benar-benar memprihatinkan, wajahnya pucat, bibir membiru, sepuluh ujung jari tangannya terkelupas, kuku ber-patahan.

Juriah membuka matanya, kesadarannya telah kembali dan dia menangis menahan sakit pada jari-jarinya.

"Sakit Ma,” keluh Juriah kepada mamanya. “Banyak orang memanggil-manggil Ria, mereka mengajak Ria pergi!"

Semua orang mendengar kata-kata Juriah, mereka meraba kuduk masing-masing.

Gani menunduk dan melangkah keluar kamar, seolah tak ingin mendengar keluhan anaknya.

Zubaidah dengan telaten membersihkan luka di ujung-ujung jari anaknya menggunakan cairan pembersih luka, lalu mengoleskan cairan antiseptik di luka itu, dia juga menyeka wajah anaknya dengan lap bersih yang dicelupkan ke air hangat.

*****

Tidak terasa hari berganti minggu dan pekan berganti bulan, rencana pernikahan Juriah dan Farid batal dilaksanakan mengingat kondisi Juriah yang semakin hari bukan membaik malah semakin tidak karu-karuan.

Badan Juriah kini semakin kurus, pipi kempot seperti orang tua, setiap malam Jum'at Juriah selalu berteriak histeris meminta dibukakan pintu. Apabila tidak dibukakan, maka dia akan merayap memanjat dinding seperti cicak. Pernah pula di suatu malam Gani membiarkan anaknya itu ke luar, maka orang sekampung dibuat repot mengejarnya.

Juriah berlari kencang meninggalkan rumah, hal yang paling meresahkan adalah; gadis itu melepaskan pakaian yang dikenakannya. Sejak itu, pada saat Juriah kumat Gani terpaksa mengikat kaki dan tangan anaknya, untuk mengantisipasi agar Juriah tidak memanjat dinding dan merayap di plafon, atau berlari tanpa pakaian di sepanjang jalan.

“Menurut pengamatan dan melihat ciri-ciri yang ditunjukkan Nak Ria ketika hilang kesadaran, besar dugaan kalau Nak Ria terkena penyakit sijundai,” ujar Haji Sujono.

“Penyakit apa itu, Pak Haji?” tanya Gani yang baru pertama kali mendengar nama penyakit yang disebutkan Haji Sujono.

“Semacam penyakit yang diakibatkan oleh kiriman guna-guna, atau kata lainnya Nak Ria terkena santet.”

“Astagfirullah ...!” baik Gani maupun Zubaidah serempak beristighfar, mendengar apa yang dikatakan Haji Sujono tentang sakitnya anak mereka.

“Apa Pak Haji bisa mengobati Ria? Tolonglah anak kami, Pak Haji.” Pinta Zubaidah setengah menghibah berharap orang yang duduk di depannya itu mau berbelas kasih kepada anaknya.

“Bukan tidak mau, tapi saya tidak mampu,” jawaban Haji Sujono membuat Zubaidah merasa kehilangan harapan.

Catatan kaki: 1. Gasing bertali si kain kafan, di petang kamis malam jum’at. Gasing tengkorak yang aku mainkan, putusnya gasing putus makrifat.

2. Gasing tengkorak bawalah pesan, jika dia tidur tolong bangunkan, jika berdiri suruh berjalan, di sini sekarang aku nantikan.

3. tolonglah jemput, jemput dan bawa, suruh dia sujud di kakiku, jika tak mau tahan matanya, tahan selera biar dia rasa. Datangkan si jundai(hantu) biar dia gila, siang dan malam mencariku.

Tiga mantra di atas dikutip dari syair lagu “Gasiang Tangkurak” yang berasal dari Sumatera Barat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status