Share

Bagian 2

Gani mengemudikan mobil dalam kecepatan tinggi menuju terminal Bus Antar Kota Antar Provinsi, dia sudah menduga Juriah pastilah pergi dengan pemuda penjual ikan di pasar tradisional itu.

Sejak mengetahui kedekatan sang putri dengan si penjual ikan, Gani menentang dan melarang keras mereka berhubungan. Berkali-kali Gani mengingatkan Juriah untuk menjaga jarak dengan pemuda mana pun, karena sesungguhnya Juriah telah dijodohkan dengan Farid-putra sahabatnya yang tengah menempuh pendidikan di Kairo Mesir.

Sebelumnya Juriah selalu patuh pada aturan Gani, sampai kemudian Gani mengetahui kalau diam-diam Juriah kerap melakukan pertemuan dengan seorang pemuda bernama Ardi. Mengenai asal usul dan latar belakang keluarga pemuda itu, Gani tidak mencari lebih jauh lagi karena dia pikir semua itu tidaklah penting.

“Di sana, Pak!” tunjuk si mamang, Gani menepikan mobilnya di depan salah satu loket Bus.

Kepada petugas loket, Gani menyebutkan ciri-ciri anaknya dan bertanya apakah gadis dengan ciri-ciri yang disebutkan menaiki bus di loket itu?

Jawaban petugas loket kurang memuaskan hati Gani, “Halo Pak Yoga, anak saya dilarikan seseorang, mohon bantuan Bapak dan jajaran untuk melacak keberadaan mereka,” terdengar Gani bicara dengan seseorang lewat telepon.

Tidak lama kemudian, beberapa orang berpakaian polisi lengkap mendatangi Gani di loket bus, dibantu para petugas polisi itu Gani berhasil menggeledah daftar nama-nama penumpang bus berikut kota tujuan si penumpang. Ditemukanlah nama Ardi dan Juriah, keduanya hendak pergi ke Kota Padang dengan menaiki bus bernomor 4434.

Gani dan beberapa petugas polisi yang disewanya mengejar bus tersebut, bus yang mereka kejar berhenti di jalan yang jaraknya sekitar satu jam perjalanan dari pusat kota tempat loket berada. Sang sopir terpaksa berhenti setelah mendapatkan telepon dari loket, pihak loket memerintahkan sang sopir untuk berhenti atas perintah dari kepolisian.

Gani menaiki bus yang diduga membawa anaknya, empat orang petugas berseragam mengikuti Gani di belakang. Para penumpang bus merasa heran dan bertanya-tanya, mengapa para polisi memberhentikan perjalanan mereka?

“Papa,” Juriah bergumam pelan, dia menundukkan kepala, kedua tangan mencengkram kuat lengan Ardi yang duduk di sebelahnya.

“Bangsat! Mau kau bawa ke mana anak gadisku?!” hardik Gani seraya mencengkram kerah baju pemuda yang duduk di bangku tengah bus.

Bag! Bug! Bag! Bug!

Bogem mentah berkali-kali Gani layangkan ke wajah, dada, dan perut si pemuda.

“Papa cukup! Jangan pukuli Ardi. Pukul Ria saja, Ria yang salah Pa!” teriak Juriah berusaha melindungi sang kekasih dari amukan papanya.

Seorang petugas polisi menarik gadis itu, dan membiarkan Gani melampiaskan kemarahan kepada pemuda berkacamata tersebut.

Saat kondisi si pemuda sudah babak belur dan jatuh ke lantai bus, barulah dua orang petugas polisi melerai Gani dan menyeret laki-laki yang dikuasai emosi itu turun dari bus.

Juriah ikut ditarik turun, “Lepasin! Aku mau sama Ardi, aku gak mau pulang!” teriak gadis itu histeris menatap kekasihnya tertelungkup tak berdaya di lantai bus.

Plak! Tamparan Gani mendarat di pipi si gadis, “Dasar tidak tahu malu, kamu itu calon istri orang, mengapa malah pergi dengan pemuda tak punya masa depan itu ha?!” teriak Gani garang, membuat Juriah langsung terdiam. Gadis itu hanya bisa menangis terisak, ketika Gani mendorongnya masuk ke mobil dan membawanya pulang.

Bus Antar kota Antar Provinsi itu pun melanjutkan perjalanan, membawa para penumpang dan seorang pemuda yang terluka akibat pukulan bogem mentah yang dilancarkan Gani. Seorang penumpang bus, bapak tua berpeci putih membantu si pemuda untuk bangkit dan duduk kembali di kursinya. Sepanjang jalan si pemuda hanya diam, dan tidak seorang penumpang lain yang berani bertanya mengapa dirinya menjadi sasaran pemukulan?

“Juriah, makan ya Nak.” Pujuk Zubaidah kepada anak semata wayangnya.

Setelah hampir sepekan berlalu sejak drama pelarian yang gagal, Juriah masih saja mogok bicara dan mengurung diri di dalam kamar. dia seakan pasrah tapi tak rela melewati proses persiapan pernikahannya dengan Farid, yang tengah menghitung hari.

“Ria, kamu harus makan Nak, lihatlah badanmu semakin kurus, wajahmu juga pucat, nanti kamu tidak cantik di hari pernikahanmu,” kembali Zubaidah membujuk putrinya.

Juriah tetap membisu dan menutup rapat-rapat mulutnya, menolak makanan yang disuap-kan sang mama.

“Juriah, tolonglah Nak, kamu tidak kasiankah dengan Mama dan Papa?” tanya Zubaidah, kesabarannya mulai menipis menghadapi sikap sang anak.

Juriah yang sejak tadi hanya menunduk, kini mengangkat kepala menatap mamanya, “Apa Mama sama Papa pernah kasihan denganku?” tanyanya tajam.

Zubaidah termanga mendengar pertanyaan anaknya, dua puluh tahun dia merawat dan melayani Juriah, baru kali ini sang anak melayangkan pertanyaan tajam seperti itu.

“Kamu bertanya apakah Mama dan Papa pernah kasihan kepadamu?” Zubaidah balik bertanya, Juriah masih menatapnya, ibu dan anak itu saling tatap satu sama lain.

“Rasa yang kami miliki untukmu Nak, lebih dari rasa kasihan. Sembilan bulan sepuluh hari, Mama merawat dan mengasihimu di dalam perut. Setiap malam papamu mengabaikan rasa lelahnya demi untuk mengusap perut Mama, supaya kamu tenang di dalam dan Mama bisa tidur dengan lelap.

Mama berjuang menahan rasa sakit yang tak dapat digambarkan dengan kata-kata, demi untuk melahirkanmu ke dunia. Setelah kamu lahir, Mama dan papa-mu bergantian bangun tengah malam, untuk menggantikan popok-mu yang basah.

Kami tidak membiarkan orang lain merawatmu, karena kami ingin memastikan bahwa kamu terawat dengan baik di tangan kami berdua. Padahal kalau mau, papamu mampu membayar beberapa orang suster untuk mengasuh-mu tapi itu tidak kami lakukan karena rasa sayang kami kepadamu.

Sekarang, kamu berpikir kami tidak kasihan kepadamu hanya karena melarangmu berhubungan dengan pemuda pilihanmu itu?” cerca Zubaidah panjang lebar, dia menarik napas panjang.

Diletakkannya piring berisi nasi dan lauk pauk yang belum tersentuh itu ke meja kecil di sebelah tempat tidur Juriah, lalu dia bangkit dan berkata “Terserah kamu berpikir apa tentang kami, Juriah. Hanya Allah yang maha mengetahui betapa besar rasa sayang kami kepadamu, dan semua yang kami lakukan ini adalah perwujudan dari rasa sayang itu.”

Juriah menatap kepergian mamanya yang melangkah keluar dari kamar, tak sadar air matanya kembali jatuh membasahi pipi. Perasaan gadis itu menjadi campur aduk, dia merasa bersalah telah berkata tajam kepada mamanya, tapi sisi lain di hatinya masih saja mencemaskan kondisi Ardi-kekasihnya.

Bagaimana keadaan pemuda itu sekarang?

Apakah dia baik-baik saja, atau malah sakit parah akibat pemukulan yang dilakukan ayahnya?

Setiap hari selama sepekan ini, tak sejenak jua pikiran Juriah berpaling dari Ardi. Bayangan wajah pemuda itu selalu bermain di pelupuk mata, kelembutan suara si pemuda, sikap baik dan penuh perhatian, teramat sangat Juriah rindukan.

Semakin dekat hari pernikahan, semakin tersiksa batin Juriah. Gadis itu merasa tengah berjalan menuju sebuah gerbang yang akan memisahkannya dari Lazuardi, untuk selama-lamanya. Dia tak mau itu terjadi, tapi mencegah agar tak terjadi pun dia tak mampu. Yang mampu dilakukannya hanyalah menangis, dan dia membenci tangisannya nan tak berguna ini.

*****

Malam beranjak naik, Gani dikejutkan oleh suara teriakan yang berasal dari kamar Juriah. Tak ayal suara itu juga membangunkan Zubaidah, “Apa itu Pa?” tanya Zubaidah kepada suaminya.

Gani tak menjawab, melainkan bergegas keluar dari kamar untuk mengecek kamar Juriah.

Ceklek! Pintu kamar Juriah berhasil dibuka, Gani mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, tidak nampak keberadaan Juria di dalam sana.

“Juriah!” panggil Gani, sambil memeriksa kamar mandi dan jendela, untuk memastikan keberadaan anaknya.

“Juriah, di mana kamu Nak?” panggil Gani lagi, setelah memastikan kamar mandi kosong dan jendela kamar masih terkunci dengan baik.

“Aaaaakkh ....” terdengar suara menggeram dari langit-langit kamar, Gani dan Zubaidah serempak menengadah, betapa terkejutnya mereka melihat Juriah berada di langit-langit kamar dalam posisi merangkak. Sepasang tangan dan kaki gadis itu seakan menempel pada plafon kamar, sedangkan kepala menjuntai menghadap ke bawah, sepasang mata Juriah menatap tajam ke arah orang tuanya.

“Juriah, kamu kenapa Sayang? Ayo turun Nak,” pujuk Zubaidah berurai air mata, sungguh dia tak tega sekaligus tak mengerti bagaimana anaknya bisa menempel pada plafon seperti cicak.

“Aaaaaaaagh ...!” Juriah kembali berteriak, suaranya melengking tajam menyakitkan telinga orang yang mendengarkan.

Suara teriakan Juriah membuat para tetangga terjaga, awalnya mereka semua saling bertanya, siapakah yang berteriak di tengah malam buta?

Sampai pada teriakan ketiga, para warga akhirnya mengetahui asal suara itu. Suara teriakan tersebut berasal dari rumah Gani, tetangga mereka yang kaya dan juga keturunan Arab. Para warga pun berbondong-bondong mendatangi rumah Gani, mereka hendak memastikan bahwa tetangga mereka baik-baik saja, mereka cemas keluarga Gani menjadi sasaran perampokan, walaupun mereka tidak yakin itu terjadi mengingat kampung mereka ini terkenal aman dari tindak kejahatan.

Kembali ke Juriah yang menempel bagai cicak di plafon kamar, gadis itu kembali berteriak histeris begitu rumah dan kamarnya ramai didatangi para tetangga. Juriah tadinya tengah tertidur, tiba-tiba terbangun dan merasakan kepalanya sakit bagai dipukul benda keras, dia berniat meredakan rasa sakit itu dengan minum obat pereda nyeri.

Dengan menahan rasa sakit, Juriah membongkar laci nakas untuk mencari obat pereda nyeri, suara Juriah mengobrak-abrik laci nakas tapi tidak berhasil menemukan obat pereda nyeri. Tiba-tiba dia mendengar ada banyak suara yang berbisik di kupingnya, suara itu sangat ramai berucap dalam bahasa yang tidak dipahami maknanya. Seperti suara orang membaca mantra, kadang seperti suara kawanan lebah. Sakit kepala Juriah kian menjadi-jadi oleh gaung suara yang mengisi gendang telinganya.

Penderitaan Juriah kian bertambah-tambah, kala dia melihat sekawanan kalajengking memenuhi lantai kamarnya, binatang berbisa itu bergerak mendekatinya. Juriah merinding ketakutan, membayangkan tubuhnya diselimuti kawanan kalajengking.

Gadis itu bergerak mundur sampai punggungnya menyentuh dinding kamar, merasa terpojok tanpa sadar Juriah merayap memanjat dinding hingga sekarang tubuhnya menempel pada plafon.

Kehadiran orang tua dan para tetangga, semakin membuat Juriah ketakutan, gadis itu melihat orang-orang yang berkumpul seperti melihat hantu berwajah seram yang memanggil-manggil dirinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status