Share

Bagian 5

Sementara itu, Maya-gadis sembilan belas tahun yang merupakan mahasiswi keperawatan terbangun karena merasa perutnya mulas. Dilihatnya jam yang melingkar di pergelangan tangan kanan, jarumnya menunjuk ke angka dua. Gadis itu mencoba untuk tidur lagi, tapi perut semakin melilit.

Panggilan alam itu tak dapat lagi ditahan, mau tidak mau Maya harus pergi ke toilet sekarang. Dia turun dari kasur, tidak lupa ponsel dikantonginya lalu secara perlahan dia membuka pintu kamar. Kesunyian menyambut, tiupan angin seperti hembusan napas seseorang yang tidak terlihat oleh pandangan.

Walau jantung berdebar, perasaan takut dan tidak nyaman menguasai, Maya tetap melangkah menuju toilet.

Wush!

Sekelebat bayangan berwarna putih melintas di antara dahan pohon, membuat Maya terperanjat dan sejenak menghentikan langkah. Sesuatu yang muncul dan menghilang secara tiba-tiba, memberikan sensasi menakutkan.

Sampai di tujuan Maya segera masuk ke salah satu bilik khusus untuk membuang hajat, pikirannya sudah tidak lagi aneh-aneh. Di bilik sebelah, Juriah semakin ketakutan kala mendengar suara kran yang dinyalakan Maya. Pikiran Juriah menjadi macam-macam, dan itu membuatnya kembali terisak-isak menangis karena ketakutan.

Maya yang mendengar suara tangis dari bilik sebelah tidak kalah heran, suara tangis itu menggambarkan seseorang yang panik dan ketakutan. Merasa penasaran, Maya bergegas mengakhiri kegiatannya.

Dengan penuh tanda tanya dia hampiri pintu bilik sebelah, ingin mengetuk tetapi ragu.

Akhirnya dia mendorong daun pintu tanpa mengetuknya terlebih dulu, pintu terbuka dengan mudah dan Maya terbelalak mendapati Juriah duduk meringkuk di atas kloset sambil menangis.

Melihat kemunculan Maya, Juriah merasa takut sekaligus marah.

"Juriah, ngapain kamu nangis di sini?" tanya Maya tak mengerti mengapa gadis yang baru menempati rumah di sebelah asrama bisa berada di toilet asrama lantai dua.

"Pergi, jangan ganggu aku, kamu siapa?" usir Juriah.

Maya kian keheranan mengetahui Juriah tidak mengenalinya, "Aku Maya masa kamu gak kenal aku, Ria?" tanya Maya seraya melangkah mendekati Juriah, wajah gadis itu sangat pucat dan ketika Maya menyentuh tangan Juriah, terasa kalau suhu tubuh gadis itu terasa panas seperti orang demam.

"Kamu ngapain di sini, bukannya di rumahmu juga ada toilet sendiri?” tanya Maya heran.

"Kamu beneran Maya?" tanya Juriah di antara isak tangisnya.

"Ya ampun, Ria. Kalau bukan Maya jadi kamu pikir aku ini siapa?" protes Maya.

Mendengar itu Juriah langsung memeluk Maya erat, "Aku terkurung di sini sejak pukul sembilan malam, kenapa kamu tega tinggalin aku?” protes Juriah.

“Aku tinggalin kamu? Maksud kamu apa? Aku gak paham,” cerca Maya semakin tidak mengerti.

“Tadi kamu minta temani aku ke toilet, pas aku terkunci di sini kamu malah pergi, aku panggil-panggil kamu gak gubris,” cerita Juriah di antara suara tangisnya.

Maya memeluk teman baruya itu, “Maafkan aku ya, Juriah. Tapi demi Allah aku gak ada ajak kamu ke toilet, aku ketiduran dari jam tujuh malam, jadi mana mungkin mengajak kamu ke toilet, kalau tidak percaya kamu bisa tanya teman sekamarku,” jelas Maya.

Juriah mengangkat kepalanya untuk melihat wajah Maya, tidak sedikit pun tergambar kebohongan di sana. “Trus siapa yang ajak aku ke toilet?” Tanya Juriah.

Maya tidak menjawab pertanyaan Juriah, dia mengajak gadis itu untuk segera pergi meninggalkan toilet. Maya maklum kalau Juriah tidak tahu apa-apa tentang berbagai keganjilan, yang terjadi di sekitar kampus dan asrama beberapa waktu terakhir ini.

Asrama putri memang terasa sedikit lebih angker, sejak salah seorang mahasiswa putri penghuni asrama ditemukan membusuk di suatu tempat yang jauh dari lingkungan kampus mereka.

Sementara itu di rumahnya, Zubaidah terbangun karena hendak menunaikan sholat malam.

Di sebelahnya terlihat Gani sudah tertidur, Zubaidah tidak tahu pukul berapa suaminya kembali. Wanita itu turun dari ranjang, dan berjalan menuju kamar sebelah untuk mengecek kondisi Juriah. Tampak anaknya itu tidur dengan posisi miring menghadap dinding, Zubaidah melanjutkan niatnya pergi ke belakang untuk berwudhu.

Baru setengah jalan langkah Zubaidah terhenti karena mendengar suara ketukan di pintu utama, sepasang alis wanita itu menyatu menandakan rasa heran yang menghinggapi perasaannya.

“Ma ... buka pintu, Ma ....”

Deg! Jantung Zubaidah berdetak lebih kencang dari sebelumnya, ketika telinga mendengar suara Juriah memanggil meminta dibukakan pintu. Bergegas Zubaidah kembali ke kamar anaknya, dia terperangah saat melihat ranjang tidur Juriah tampak kosong, padahal tadi jelas-jelas anak gadisnya itu ada di sana.

“Ma ... Pa ... bukain pintu, ini Ria.” Kembali terdengar suara Juriah memanggil orang tuanya, Zubaidah bergegas menuju ke arah pintu, memutar kunci sebanyak dua kali dan saat daun pintu terbuka tampaklah Juriah bersama Maya berdiri di teras rumah.

“Juriah, kapan kamu keluar? Tadi Mama lihat kamu masih tidur,” tanya Zubaidah keheranan.

“Juriah terkunci di toilet sejak pukul sembilan malam tadi, Tante. Kebetulan Maya kebelet BAB jadinya Maya dengar Juriah nangis,” jelas Maya.

Sepasang pangkal alis Zubaidah kembali menyatu, dia tidak percaya dengan keterangan Maya, karena jelas-jelas semalam dia melihat Juriah masuk dan mengunci pintu. Lalu barusan, dia juga melihat Juriah masih tertidur di kamarnya, sampai kemudian Zubaidah mendengar anaknya itu minta dibukakan pintu.

“Ya sudah, ayo masuk.” Zubaidah menarik tangan anak gadisnya itu.

“Tante tunggu,” Maya menahan Zubaidah yang hendak menutup kembali pintu rumahnya.

“Apa boleh Maya menginap? Maya takut pulang ke kamar sendirian,” rengek Maya penuh harap.

“Ya sudah masuklah,” Zubaidah mempersilahkan Maya untuk masuk juga.

Maya dan Juriah masuk ke dalam kamar gadis itu, mereka merebahkan badan berdampingan di atas ranjang.

“May, apa kamu punya pacar?” tanya Juriah, dia merubah posisi badan jadi miring ke arah Maya.

Yang ditanya tersenyum lantas menggeleng, “Kalau kamu?” Maya balik bertanya.

Juriah menarik napas dan mengangguk, “Aku datang ke kota ini untuk mencarinya, kami akan segera menikah,” cerita Juriah.

“Orang tua kamu setuju kalian menikah? Tidakkah terlalu muda?” tanya Maya mulai serius.

“Awalnya tidak, malahan aku dijodohkan dengan lain orang, tapi guru ngajiku sewaktu kecil berkata, Papa dan Mama harus mencari pacarku itu dan menikahkan kami.”

“Kenapa begitu?” tanya Maya heran.

“Karena kami saling mencintai, aku selalu teringat sama dia dan selalu merasa kalau dirinya memanggil-manggil nama ....” kalimat Juriah menggantung, sepasang mata gadis itu menatap tajam ke arah pintu kamar.

Maya yang masih menunggu kalimat lanjutan dari Juriah, merasa heran setelah hampir tiga puluh detik gadis itu masih tak berkedip menatap ke satu arah. Merasa penasaran, Maya pun ikut melihat ke arah yang dilihat Juriah.

Betapa terkejutnya Maya, melihat seorang gadis yang teramat sangat dikenalnya berdiri di dekat pintu kamar. “Dewi,”gumam Maya pelan seperti sebuah desisan.

Gadis yang berdiri di dekat pintu tersenyum ke arah Maya, “Lihat ini Maya, cantik bukan?” tanyanya seraya memamerkan boneka beruang kepada Maya.

“Dewi awas!” teriak Maya, saat melihat sebuah palu melayang ke arah kening gadis yang berdiri di dekat pintu. Namun, peringatan itu terlambat karena Dewi tak sempat menghindar dan palu itu menghantam telak pada bagian keningnya.

Maya menutup kedua mata, tak sanggup dia bertahan melihat cairan merah kental memercik dari kening Dewi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status