Hari kamis sore, beberapa hari setelah memergoki Umar di makam Dewi. "Kamu sudah dapat berita belum?" tanya Akmal sembari mengambil tempat duduk di sebelah Sofa."Berita apa?” Sofa balik bertanya, sejak Maya dirawat di rumah sakit dirinya tidak lagi tidur di kamar asrama, gadis itu memilih menginap di kamar Juriah."Pak Umar masuk rumah sakit, terkena penyakit cacar," jelas Akmal."Penyakit cacar aja, kirain berita apaan?" cibir Sofa."Tapi ini aneh, Sof. Semakin hari kondisinya bukan semakin membaik tapi semakin memburuk." jelas Akmal."Memburuk bagaimana?""Menurut kakak senior yang bertugas di RS tersebut, Luka cacarnya pak Umar bukan mengering, tapi malah semakin melebar dan berair. Setiap hari beliau merintih kepanasan, dan mengatakan badannya terbakar." tutur Akmal.“Loh Akmal, kapan sampai?” tanya Gani yang baru saja keluar dari dalam rumah.“Eh iya Om, ini baru juga sampai,” jawab Akmal se
Orang-orang terus mengejar Juriah yang terseret semakin jauh ke arah Selatan gedung, sampai di dekat bangunan kantin lama ada tanaman bonsai mini, yang ditanam berjejer sebagai pagar pembatas dengan tempat parkir.Tanaman bonsai itu bisa dilangkahi, tapi Juriah melewati tanaman tersebut dengan posisi badan terseret. Zubaidah dan Sofa menangis melihat penderitaan sang anak, sudah dapat ditebak pastilah kulit gadis itu terkelupas. Apalagi saat melewati tempat parkir gedung kantin lama, yang mana lantainya adalah semen cor keras.Air mata Juriah bercucuran, jangan ditanya seperti apa rasa badannya?Sakit, perih, panas, semua itu membaur menjadi satu. Belum lagi rasa sesak, karena sejak tadi dia merasa mulutnya dibekap oleh telapak tangan yang tidak terlihat.Badan Juriah terus terseret masuk ke dalam bangunan gedung kantin yang lama tidak terpakai, suasana gelap membuat semua orang menyalahkan flash ponsel mereka.Keadaan menjadi terang bend
Pagi hari keempat setelah malam mengerikan itu, Juriah kembali kedatangan pengunjung. Seorang pria setengah baya, berbadan tegap, memakai jaket coklat, tersenyum ramah menatapnya. Pria itu tidak datang sendiri, ia bersama tiga orang pria lain, yang berdiri siaga di depan pintu kamar perawatan Juriah.Selain tiga orang yang bersamanya, ada pula Sofa dan ibunya—Sofa yang berdandan ala wanita gipsi.Sikap Juriah dingin saja menyambut para tamu yang datang membesuknya, tatap mata gadis itu kosong dan ketika ditanya pun dia tidak menjawab.Setelah mendapat izin dari Gani dan Zubaidah, Ibunda Sofa memegang puncak kepala Juriah, mulut wanita itu komat-kamit seperti tengah membacakan mantra. Tidak lama kemudian Juriah menunduk, sebagian rambut menutupi wajahnya, gadis itu menangis tergugu.“Jangan takut anakku, sudah waktunya kau memberikan pengakuan kepada orang yang tepat,” ujar ibunda Sofa, seolah berbicara dengan sosok ya
*Lima Bulan Sebelum Kematian Dewi*"Hu!"Gadis berjilbab yang mengenakan pakaian perawat itu duduk dengan kesal dan mendengus marah, tiga pasang mata masing-masing milik Akmal, Sofa dan Maya menatapnya heran. Ketiganya sabar menunggu sampai kemarahan si gadis mereda, setelah mereka lihat si gadis jadi lebih tenang barulah Akmal mengajukan tanya."Kenapa lagi, Dew?""Kesal banget sama si botak! Ini sudah ketiga kalinya bahan skripsiku ditolak, revisi terus sampai aku ini capek!" dengus gadis yang tidak lain adalah Dewi teman sekamar Maya di Asrama."Lagian kamu ngapain sih buru-buru mau buat skripsi?" tanya Akmal lagi."Gak tau nih si Dewi, kayak yang kebelet nikah aja mau lulus cepat-cepat," komentar Sofa."Aku harus lulus tahun ini, karena tahun depan adik aku lulus SMA dan dia harus kuliah.""Lah terus kenapa kalau adik kamu lulus SMA?" tanya Sofa lagi."Sofa, kamu 'kan tau orang tua aku bukan sa
Dandi memompa tubuh Dewi lebih cepat lagi, dan segera mengakhiri tindakan cabul yang dilakukannya setelah panggilan kedua kembali terdengar.“Dandi ... ayo kita pulang!”Pemuda itu buru-buru menaikkan celana dan memasang kancingnya, sebelum pergi dia sempat berbisik kepada Dewi."Besok aku akan temui kamu, jangan cemas dan jangan ceritakan hal ini kepada siapapun, I love U." ucapnya dan mengecup bibir sang gadis, lalu pergi meninggalkan Dewi di ruangan itu."Dandi ...!""Iya, Ma." jawab Dandi."Ih kamu itu mengejutkan Mama saja, ayo pulang," ajak Ratna.Di dalam ruang rapat yang tanpa cahaya, hanya mengandalkan cahaya remang-remang pantulan lampu dari pintu gerbang. Dewi menangis, sambil mengenakan celananya kembali. Si gadis merasakan sakit pada bagian selangkangan, cukup lama dia duduk di ruangan itu menangis menyesali apa yang telah terjadi.Sampai kondisinya mulai tenang, dia baru kembali ke kamar. Saat dia kembali Maya telah terlelap, Dewi kembali menangisi nasibnya yang malang s
"Ternyata kamu sudah tidak perawan ya?" pertanyaan Umar sungguh menyakitkan perasaan Dewi, "tadinya saya mau loloskan skripsi kamu setelah menikmati tubuh kamu, tapi karena sudah tidak perawan saya merasa tertipu, saya cuma kasih kamu kompensasi perpanjangan waktu untuk revisi. Kamu harus setor hasil revisi dua Minggu lagi." ucap Umar sambil memasang kembali celananya.Setelah itu dengan tanpa rasa berdosa dia tinggalkan Dewi di ruangan tersebut, gadis itu kini menangis berurai air mata. Ingin rasanya dia menjerit marah kepada dunia, tetapi takut seisi dunia tahu kalau dirinya telah ternoda untuk kesekian kalinya."Kenapa? Kenapa sesulit ini untuk menggapai cita-citaku?" ratapnya.Malam itu Dewi kembali ke kamarnya, dengan linangan air mata. Lagi-lagi tidak seorangpun yang mengetahui deritanya, tidak juga Maya.Dewi menangis dalam kesunyian, membenamkan deritanya pada bantal. Tidak terasa berbulan sudah waktu berlalu Dewi ulai resah karena tamu bulanannya tidak
Di layar ponsel selebar enam inci itu terpampang gambar Ratna yang tengah mendesah, juga penampakan seorang laki-laki berkepala setengah botak yang sedang mencium puncak dadanya. Badan Ratna bergetar hebat, melihat rekaman vidio berdurasi tiga puluh detik tersebut."Bagaimana?" tanya Dandi."Da ... dari man ... mana, Kam ... kamu dapat gambar itu?" tanyanya tergagap.Dandi menghela napas, "Kamu pikir aku ini masih Dandi yang polos berseragam SMA, yang dulu bisa kamu pujuk dengan uang jajan, ketika kamu berselingkuh dengan papaku?" ejek Dandi.Air mata jatuh di pipi Ratna, "Aku mohon, Dandi. Hapus rekaman itu," pintanya."Tidak akan, rekaman ini adalah jaminan bahwa kamu tidak akan menanyakan perihal kalung itu lagi."Dandi masuk ke dalam kamar, dan menutup pintu. Tinggallah Ratna yang kini jatuh terduduk di lantai, dia tidak menyangka Dandi memergokinya dan mengambil rekaman perbuatannya.Dari rekaman yang diperlihatkan Dandi tadi, Ratna ingat betul
Dandi menggeleng, kedua tangan meremas rambutnya sendiri. "Ak aku bel belum siap, Dewi!" elaknya tergagap."Maksud kamu?" tanya Dewi cemas."Aku aku belum siap menikah," ulang Dandi."Tapi aku hamil, Kak. Ini anak kamu, anak kita!" seru Dewi mulai panik."Iya, aku tau! Tapi kamu ngerti 'kan, aku belum siap untuk menikah apalagi jadi seorang ayah!""Aku juga belum siap, Kak. Tapi kakak memaksa aku, kakak yang buat aku hamil!" Dewi balas berteriak."Kita gugurkan saja, ya?" usul Dandi tiba-tiba, pikiran pemuda itu dirasuki iblis yang menyusup di antara aliran darah kecemasan."Tidak! Aku tidak mau menjadi seorang pembunuh!" tolak Dewi.Dandi kembali meremas rambutnya dengan kedua tangan, sungguh dia tidak menyangka akan begini jadinya. Dewi bukanlah gadis pertama yang dipetik sari madunya oleh Dandi, seperti dikatakan Ratna sebelumnya, Dandi memang kerap meniduri para mahasiswi. Dengan bermodal jabatan dan uang yang dimiliki ayahnya, mudah saja bagi Dandi untuk membujuk para gadis-gadi
Puas memohon ampun dan bertafakur, Ardi pergi meninggalkan desa tersebut. Tujuannya pulang ke rumah ibunya, setelah menempuh perjalanan panjang dia sampai di kampung sang ibu tepat tengah malam."Ardi, kau pulang Nak?" Sambut ibunya dengan bahasa cinta.Kembali air mata Ardi tumpah, dia menjatuhkan diri berlutut di kaki ibunya. Hal itu membuat sang ibu bertanya-tanya, apakah yang telah menimpa anaknya?"Ibu, mohon jangan kutuk aku menjadi batu, berikan kesempatan bertobat sebagai manusia, biarkan aku mati berkalang tanah, jangan biarkan terpanggang panas, tertimpa hujan sepanjang masa, sebagaimana yang terjadi dengan Malin Kundang anak durhaka.""Ada apa ini Ardi? Apa sebenarnya yang telah kau lakukan?" tanya sang ibu penuh kebingungan.Kembali Ardi mencium kaki sang ibu, tidak sanggup lidahnya mengakui dosa. Namun, apapun akibatnya dia tetap harus bertanggung jawab. Sang ibu dengan sabar membujuk anaknya, setelah bersusah payah mengontrol emosi, dengan terb
Saat Maya dan Juriah mendapatkan teror. Keempat orang tersebut yakni, Gani, ayahnya Maya, ibunya Sofa, dan Sofa, masih berjuang menempuh jalanan sempit dan banyak akar pohon serta banyak lubang kubangan binatang. Ditambah lagi medan yang mendaki dan menurun, sungguh menguras tenaga mereka. Semakin jauh berjalan, kaki terasa semakin lelah, dan itu membuat langkah kian terseok. Hingga pukul dua dini hari barulah keempat orang itu sampai di tanah datar, tampak sebuah pondok berdiri di antara pohon pisang dan tanaman ketela.Suara binatang hutan bak kidung bidadari malam, kerlap-kerlip cahaya sayap kunang-kunang tidak jua mampu melepas penat yang mendera badan, hanya satu yang menjadi penyemangat, yaitu setitik pijar petromak di cela-cela dinding pondok sebagai pertanda didalamnya ada orang."Assalamualaikum!" seru Ayahnya Maya.Sunyi tidak ada jawaban."Pak Gaek! Keluarlah!" Kali ini Gani yang berteriak.Tidak lama kemudian pintu pondok terbuka, tampak Gaek Lun
Sama seperti yang dialami Maya, di dalam sel tahanannya Juriah juga mendapat teror mengerikan. Gadis itu berteriak histeris kala dia merasakan sakit pada bagian perut, suara jeritannya didengari oleh polisi yang bertugas malam itu. Beberapa orang bergerak mendatangi sel tahanan Juriah, untuk memastikan apa yang telah terjadi?Betapa terkejutnya mereka kala menemukan Juriah tidak lagi berdiri atau duduk di lantai, gadis itu kini merayap di dinding bagaikan cicak. Petugas polisi mengira hal itu dilakukan Juriah sebagai upaya untuk melarikan diri, “Hei Mbak, turun!” teriak polisi.Bukannya menuruti, Juriah malah berteriak kencang sambil menatap garang ke arah para polisi itu, diam-diam mereka semua merasakan tengkuk masing-masing jadi merinding.“Sepertinya nih cewek kerasukan,” bisik seorang petugas pada kawan di sebelahnya.“Bisa jadi, coba kita panggilkan Pak Rohman. Barangkali beliau bisa membantu,” saran sang teman.Pak Rohman adalah polisi senior yang pan
Hasibuan mendengar kata makian yang keluar dari mulut Ratna, dia mengikuti sang istri yang pergi meninggalkan kampus dan pulang ke rumah.Semenjak kejadian malam itu, Hasibuan melihat perubahan sikap Ratna dan Dandi yang tiba-tiba sering mengurung diri di kamar. Khawatir anaknya memiliki masalah sedangkan sebentar lagi pemuda itu harus berangkat ke luar negri, Hasibuan mencoba menemui putra semata wayangnya untuk mengajak si pemuda berbicara. Di luar dugaan Dandi justru mengatakan bahwa kekasihnya hamil, sungguh Hasibuan tidak tahu siapa gadis yang hamil itu? Dia sengaja tidak menanyakan langsung tentang identitas gadis itu, karena hendak mencari tahu sendiri latar belakang si gadis.Pikir Hasibuan, jika gadis tersebut berasal dari keluarga baik-baik dan terdidik, tidak ada salahnya menikahkan Dandi terlebih dulu sebelum pemuda itu berangkat untuk melanjutkan pendidikannya. Toh nanti di sana Dandi jadi memiliki teman dan ada yang mengurusnya, apabila telah menikah.
*Selasa Malam Rabu* Beberapa orang pria berbadan tegap, dan memakai pakaian serba gelap, bergerak menyebar di seputaran komplek perumahan subsidi bertipe Rumah Sangat Sederhana Sekali. Mereka tengah mengikuti pergerakan seseorang, yang berjalan cepat dan mengendap-endap menuju rumah kecil berdinding batako, yang berdiri terpencil di sudut komplek perumahan tersebut. Rumah itu dihuni oleh seorang janda dengan lima orang anaknya. Seseorang yang berjalan mengendap-endap itu mengetuk pintu, begitu pintu dibuka ia langsung masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan salam. "Pak rektor," ucap wanita setengah baya yang tadi membukakan pintu. "Bibi sekali lagi saya minta bibi jujur, di mana bibi simpan kalung itu?" Tanya orang yang dipanggil dengan sebutan pak rektor oleh si pemilik rumah. "Ya Allah, Pak. Harus berapa kali bibi katakan, bibi tidak menemukan apa-apa, kalung apa? Bibi tidak paham." jawab si wanita ketakutan. "Bi, saya akan pekerjakan bibi kembali di kampus dan akan sa
Juriah digiring ke ruang khusus perlindungan perempuan dan anak, gadis itu dihadapkan kepada penyidik yang beranggotakan dua orang, seorang intel polisi laki-laki, dan seorang penyidik wanita yang juga berprofesi sebagai psikolog."Nama kamu siapa?" tanya penyidik wanita."Juriah, Bu.""Benar kamu membacok orang ini?" tanya penyidik laki-laki sambil menunjuk gambar Anton.Juriah mengangguk, "Iya," jawabnya."Kamu kenal dengannya?"Juriah menggeleng, "Tidak.""Lantas kenapa kamu melukainya sampai dia tewas?""Karena dia ... dia ....""Karena apa?""Dia ... dia ... memperkosa saya," jawab Juriah.Tentu saja penyidik wanita itu terkejut, mendengar pengakuan Juriah."Ingat kapan dia memperkosa kamu?" tanya penyidik."Tadi malam sebelum saya membunuhnya,"Penyidik wanita itu menghela napas, “Ceritakan bagaimana kejadiannya?”Juriah dengan lancar menceritakan detail kejadian yang dialaminya semalam, sampai kemudian dia menya
Selasa pagi di jalan depan salah satu kampus keperawatan yang ada di Kota Padang, ramai kendaraan melambat untuk melihat sesuatu yang membuat banyak orang berkerumun. Sesosok jenazah laki-laki mengenakan seragam satpam, tergeletak di dekat pintu gerbang kampus dalam keadaan bersimbah darah.Polisi dan tim INAFIS yang tiba di lokasi langsung melakukan olah TKP dan mengevakuasi jenazah korban ke rumah sakit untuk dilakukan visum et repertum. Hasil investigasi sementara, korban diketahui bernama Anton, usia sekitar tiga puluh tahun lebih, dan berprofesi sebagai petugas keamanan kampus. Korban diketahui bertugas menjaga gedung kampus, dari pukul enam sore kemarin dan seharusnya berakhir pukul enam pagi ini. Korban pertama kali ditemukan, oleh rekan kerja yang akan bergantian sif dengan korban.Hasil pemeriksaan dokter kamar mayat, korban Anton diperkirakan meninggal sekitar dua sampai tiga jam sebelum ditemukan, sebab kematian akibat pendarahan hebat. Pada tubuh korban di
Setelah menempuh perjalanan cukup panjang dan melelahkan, Ardi tiba kembali di pondok Gaek Lungga. "Saya sudah dapat syarat yang dibutuhkan Pak." Ujarnya, sambil menyodorkan sesuatu yang terbungkus rapi di dalam kain kafan lusuh bernoda tanah.Gaek Lungga dapat mencium aroma bangkai, yang masih kentara dari benda terbungkus kain itu. "Bukalah," titahnya.Ardi dengan lincah membuka bungkusan yang dibawanya, sebuah tengkorak kepala manusia yang masih ada serpihan sisa daging juga lima lembar tali kafan. Gaek Lungga mengangguk melihat syarat utama yang cukup lengkap itu. "Apa dia seorang gadis?" tanyanya."Iya, dia tewas dianiaya dan jasadnya dibuang ke suatu tempat, baru ditemukan dua pekan setelah kematian, mirisnya lagi dia mati dalam keadaan hamil." Papar Ardi mengenai riwayat tengkorak kepala yang dibawa."Bagus, itu artinya ia mati dengan membawa dendam,” puji Gaek Lungga. “Baiklah, mari kita persiapkan segalanya.”Pertama-tama, laki-laki tua itu menyiapk
"Kalau tidak karena tekad yang bulat, tentulah tak mungkin berkayuh menerjang ombak. Kalau sekira boleh Apak bertanya, apa gerangan penuntun langkah Ananda berdua sampai di sini?" tanya Gaek Lungga, setelah dia menyajikan dua cangkir kopi serta sepiring ubi rebus ke hadapan Maya dan Ardi.Sebagai orang tua yang banyak makan asam garam pergaulan, Gaek Lungga dapat menangkap galau jiwa yang dipendam oleh tamunya. Namun, dia lebih suka mendengarkan pengakuan langsung dari orang yang bersangkutan."Luka di badan karena pukulan, bisa hilang tapi tetap meninggalkan bekas. Namun, luka batin sulit sekali dicari obat," jawab Ardi sambil menunduk menekuri nasib cintanya yang malang.Gaek Lungga menghela napas, "Jika bukan karena kehormatan pastilah ini karena perasaan, apakah tebakanku salah, Anak muda?""Tentang keduanya, Pak. Cinta dan ketulusan yang saya miliki tidak dipandang sebelah mata, lebih dari itu kehormatan saya sebagai laki-laki telah diinjak-injak di depan o