Orang-orang terus mengejar Juriah yang terseret semakin jauh ke arah Selatan gedung, sampai di dekat bangunan kantin lama ada tanaman bonsai mini, yang ditanam berjejer sebagai pagar pembatas dengan tempat parkir.Tanaman bonsai itu bisa dilangkahi, tapi Juriah melewati tanaman tersebut dengan posisi badan terseret. Zubaidah dan Sofa menangis melihat penderitaan sang anak, sudah dapat ditebak pastilah kulit gadis itu terkelupas. Apalagi saat melewati tempat parkir gedung kantin lama, yang mana lantainya adalah semen cor keras.Air mata Juriah bercucuran, jangan ditanya seperti apa rasa badannya?Sakit, perih, panas, semua itu membaur menjadi satu. Belum lagi rasa sesak, karena sejak tadi dia merasa mulutnya dibekap oleh telapak tangan yang tidak terlihat.Badan Juriah terus terseret masuk ke dalam bangunan gedung kantin yang lama tidak terpakai, suasana gelap membuat semua orang menyalahkan flash ponsel mereka.Keadaan menjadi terang bend
Pagi hari keempat setelah malam mengerikan itu, Juriah kembali kedatangan pengunjung. Seorang pria setengah baya, berbadan tegap, memakai jaket coklat, tersenyum ramah menatapnya. Pria itu tidak datang sendiri, ia bersama tiga orang pria lain, yang berdiri siaga di depan pintu kamar perawatan Juriah.Selain tiga orang yang bersamanya, ada pula Sofa dan ibunya—Sofa yang berdandan ala wanita gipsi.Sikap Juriah dingin saja menyambut para tamu yang datang membesuknya, tatap mata gadis itu kosong dan ketika ditanya pun dia tidak menjawab.Setelah mendapat izin dari Gani dan Zubaidah, Ibunda Sofa memegang puncak kepala Juriah, mulut wanita itu komat-kamit seperti tengah membacakan mantra. Tidak lama kemudian Juriah menunduk, sebagian rambut menutupi wajahnya, gadis itu menangis tergugu.“Jangan takut anakku, sudah waktunya kau memberikan pengakuan kepada orang yang tepat,” ujar ibunda Sofa, seolah berbicara dengan sosok ya
*Lima Bulan Sebelum Kematian Dewi*"Hu!"Gadis berjilbab yang mengenakan pakaian perawat itu duduk dengan kesal dan mendengus marah, tiga pasang mata masing-masing milik Akmal, Sofa dan Maya menatapnya heran. Ketiganya sabar menunggu sampai kemarahan si gadis mereda, setelah mereka lihat si gadis jadi lebih tenang barulah Akmal mengajukan tanya."Kenapa lagi, Dew?""Kesal banget sama si botak! Ini sudah ketiga kalinya bahan skripsiku ditolak, revisi terus sampai aku ini capek!" dengus gadis yang tidak lain adalah Dewi teman sekamar Maya di Asrama."Lagian kamu ngapain sih buru-buru mau buat skripsi?" tanya Akmal lagi."Gak tau nih si Dewi, kayak yang kebelet nikah aja mau lulus cepat-cepat," komentar Sofa."Aku harus lulus tahun ini, karena tahun depan adik aku lulus SMA dan dia harus kuliah.""Lah terus kenapa kalau adik kamu lulus SMA?" tanya Sofa lagi."Sofa, kamu 'kan tau orang tua aku bukan sa
Dandi memompa tubuh Dewi lebih cepat lagi, dan segera mengakhiri tindakan cabul yang dilakukannya setelah panggilan kedua kembali terdengar.“Dandi ... ayo kita pulang!”Pemuda itu buru-buru menaikkan celana dan memasang kancingnya, sebelum pergi dia sempat berbisik kepada Dewi."Besok aku akan temui kamu, jangan cemas dan jangan ceritakan hal ini kepada siapapun, I love U." ucapnya dan mengecup bibir sang gadis, lalu pergi meninggalkan Dewi di ruangan itu."Dandi ...!""Iya, Ma." jawab Dandi."Ih kamu itu mengejutkan Mama saja, ayo pulang," ajak Ratna.Di dalam ruang rapat yang tanpa cahaya, hanya mengandalkan cahaya remang-remang pantulan lampu dari pintu gerbang. Dewi menangis, sambil mengenakan celananya kembali. Si gadis merasakan sakit pada bagian selangkangan, cukup lama dia duduk di ruangan itu menangis menyesali apa yang telah terjadi.Sampai kondisinya mulai tenang, dia baru kembali ke kamar. Saat dia kembali Maya telah terlelap, Dewi kembali menangisi nasibnya yang malang s
"Ternyata kamu sudah tidak perawan ya?" pertanyaan Umar sungguh menyakitkan perasaan Dewi, "tadinya saya mau loloskan skripsi kamu setelah menikmati tubuh kamu, tapi karena sudah tidak perawan saya merasa tertipu, saya cuma kasih kamu kompensasi perpanjangan waktu untuk revisi. Kamu harus setor hasil revisi dua Minggu lagi." ucap Umar sambil memasang kembali celananya.Setelah itu dengan tanpa rasa berdosa dia tinggalkan Dewi di ruangan tersebut, gadis itu kini menangis berurai air mata. Ingin rasanya dia menjerit marah kepada dunia, tetapi takut seisi dunia tahu kalau dirinya telah ternoda untuk kesekian kalinya."Kenapa? Kenapa sesulit ini untuk menggapai cita-citaku?" ratapnya.Malam itu Dewi kembali ke kamarnya, dengan linangan air mata. Lagi-lagi tidak seorangpun yang mengetahui deritanya, tidak juga Maya.Dewi menangis dalam kesunyian, membenamkan deritanya pada bantal. Tidak terasa berbulan sudah waktu berlalu Dewi ulai resah karena tamu bulanannya tidak
Di layar ponsel selebar enam inci itu terpampang gambar Ratna yang tengah mendesah, juga penampakan seorang laki-laki berkepala setengah botak yang sedang mencium puncak dadanya. Badan Ratna bergetar hebat, melihat rekaman vidio berdurasi tiga puluh detik tersebut."Bagaimana?" tanya Dandi."Da ... dari man ... mana, Kam ... kamu dapat gambar itu?" tanyanya tergagap.Dandi menghela napas, "Kamu pikir aku ini masih Dandi yang polos berseragam SMA, yang dulu bisa kamu pujuk dengan uang jajan, ketika kamu berselingkuh dengan papaku?" ejek Dandi.Air mata jatuh di pipi Ratna, "Aku mohon, Dandi. Hapus rekaman itu," pintanya."Tidak akan, rekaman ini adalah jaminan bahwa kamu tidak akan menanyakan perihal kalung itu lagi."Dandi masuk ke dalam kamar, dan menutup pintu. Tinggallah Ratna yang kini jatuh terduduk di lantai, dia tidak menyangka Dandi memergokinya dan mengambil rekaman perbuatannya.Dari rekaman yang diperlihatkan Dandi tadi, Ratna ingat betul
Dandi menggeleng, kedua tangan meremas rambutnya sendiri. "Ak aku bel belum siap, Dewi!" elaknya tergagap."Maksud kamu?" tanya Dewi cemas."Aku aku belum siap menikah," ulang Dandi."Tapi aku hamil, Kak. Ini anak kamu, anak kita!" seru Dewi mulai panik."Iya, aku tau! Tapi kamu ngerti 'kan, aku belum siap untuk menikah apalagi jadi seorang ayah!""Aku juga belum siap, Kak. Tapi kakak memaksa aku, kakak yang buat aku hamil!" Dewi balas berteriak."Kita gugurkan saja, ya?" usul Dandi tiba-tiba, pikiran pemuda itu dirasuki iblis yang menyusup di antara aliran darah kecemasan."Tidak! Aku tidak mau menjadi seorang pembunuh!" tolak Dewi.Dandi kembali meremas rambutnya dengan kedua tangan, sungguh dia tidak menyangka akan begini jadinya. Dewi bukanlah gadis pertama yang dipetik sari madunya oleh Dandi, seperti dikatakan Ratna sebelumnya, Dandi memang kerap meniduri para mahasiswi. Dengan bermodal jabatan dan uang yang dimiliki ayahnya, mudah saja bagi Dandi untuk membujuk para gadis-gadi
Semenjak pertemuannya dengan Ratna hari itu, kehidupan yang dilalui Dewi terasa semakin suram. Dandi yang semula menjadi pengharapan terakhir kini semakin sulit dihubungi, sudah beberapa minggu Dewi tidak berani pulang ke rumah, akhir pekan dihabiskannya di kamar asrama. Selain itu teman satu asrama pun mulai melirik curiga kepada bentuk tubuhnya, yang semakin hari semakin mengembang.Banyaknya hal yang dikhawatirkannya membuat Dewi mulai berhalusinasi, "Lebih baik kau mati saja, Dewi. Hidupmu sudah tidak berguna, wisuda belum tentu sementara waktu melahirkan semakin dekat." Entah bisikan siapa yang terdengar oleh telinga Dewi, yang jelas bisikan-bisikan itu selalu muncul seolah memberikan harapan baru untuknya."Kalau kau mati, mereka semua akan menyesal dan menangisi kematianmu." Terhasut oleh bisikan gaib tersebut, Dewi memutuskan untuk pergi membeli tali tambang kecil, dia hendak mengakhiri hidupnya sendiri sesuai bisikan yang dia dengar."Kau bodoh, Dewi. kau p