”Juriah,” Akmal menepuk pundak Juriah, membuat bayangan orang yang menggali tanah lenyap seketika.Juriah reflek menoleh, Akmal cepat mencengkram pergelangan tangan gadis itu sambil menatap ke arah lain karena Juriah tidak berbusana. Sofa sigap menyarungkan kain sarung ke tubuh Juriah, untuk menutupi aurat gadis tersebut.“Aku melihat ... aku melihat orang mengambil tengkorak manusia di sana,” adu Juriah tentang apa yang dilihatnya tadi.Akmal berjalan cepat menghampiri nisan yang ditunjuk Juriah, terlihat nama Dewi tertulis di papan nisan itu.“Apa kamu melihat wajahnya?” tanya Sofa berbisik.“Dia laki-laki, tinggi, masih muda, dan berkacamat ....”Kata-kata Juriah terpotong, karena tiba-tiba Sofa membekap mulutnya dan memberikan kode agar tidak melanjutkan kalimat.“Ada apa?” tanya Akmal sambil membetulkan posisi kacamatanya yang bergeser, pemuda itu heran melihat Sofa membekap mulut Juriah.Sofa menggele
Akmal memacu kendaraannya sekencang mungkin, mengikuti jalan yang diduga dilalui mobil misterius tadi. Hatinya, lega setelah melihat penampakan bagian belakang mobil itu.Si pemuda mulai memainkan kecerdikannya dalam menjaga jarak dengan mobil yang dikejar, agar si pengendara mobil tidak merasa tengah diikuti.Mobil melambat ketika mendekati area pemakaman umum, Akmal juga memperlambat laju mobilnya. Kuat dugaan si pengendara mobil akan berhenti di depan komplek pemakaman.Kecurigaan mereka kian bertambah terhadap orang itu, karena menyadari di komplek inilah Dewi, Seno, dan Yono dimakamkan. Namun, dugaan mereka meleset mobil yang mulai melambat tiba-tiba tancap gas."Kok gak dikejar, Mal?" tanya Sofa heran, ketika Akmal tetap diam di tempat sementara mobil itu melaju kencang meninggalkan gerbang komplek pemakaman."Biarin aja, ada yang lebih menarik untuk diselidiki," jawab Akmal sambil memarkirkan mobilnya di tempat yang agak terli
Hari kamis sore, beberapa hari setelah memergoki Umar di makam Dewi. "Kamu sudah dapat berita belum?" tanya Akmal sembari mengambil tempat duduk di sebelah Sofa."Berita apa?” Sofa balik bertanya, sejak Maya dirawat di rumah sakit dirinya tidak lagi tidur di kamar asrama, gadis itu memilih menginap di kamar Juriah."Pak Umar masuk rumah sakit, terkena penyakit cacar," jelas Akmal."Penyakit cacar aja, kirain berita apaan?" cibir Sofa."Tapi ini aneh, Sof. Semakin hari kondisinya bukan semakin membaik tapi semakin memburuk." jelas Akmal."Memburuk bagaimana?""Menurut kakak senior yang bertugas di RS tersebut, Luka cacarnya pak Umar bukan mengering, tapi malah semakin melebar dan berair. Setiap hari beliau merintih kepanasan, dan mengatakan badannya terbakar." tutur Akmal.“Loh Akmal, kapan sampai?” tanya Gani yang baru saja keluar dari dalam rumah.“Eh iya Om, ini baru juga sampai,” jawab Akmal se
Orang-orang terus mengejar Juriah yang terseret semakin jauh ke arah Selatan gedung, sampai di dekat bangunan kantin lama ada tanaman bonsai mini, yang ditanam berjejer sebagai pagar pembatas dengan tempat parkir.Tanaman bonsai itu bisa dilangkahi, tapi Juriah melewati tanaman tersebut dengan posisi badan terseret. Zubaidah dan Sofa menangis melihat penderitaan sang anak, sudah dapat ditebak pastilah kulit gadis itu terkelupas. Apalagi saat melewati tempat parkir gedung kantin lama, yang mana lantainya adalah semen cor keras.Air mata Juriah bercucuran, jangan ditanya seperti apa rasa badannya?Sakit, perih, panas, semua itu membaur menjadi satu. Belum lagi rasa sesak, karena sejak tadi dia merasa mulutnya dibekap oleh telapak tangan yang tidak terlihat.Badan Juriah terus terseret masuk ke dalam bangunan gedung kantin yang lama tidak terpakai, suasana gelap membuat semua orang menyalahkan flash ponsel mereka.Keadaan menjadi terang bend
Pagi hari keempat setelah malam mengerikan itu, Juriah kembali kedatangan pengunjung. Seorang pria setengah baya, berbadan tegap, memakai jaket coklat, tersenyum ramah menatapnya. Pria itu tidak datang sendiri, ia bersama tiga orang pria lain, yang berdiri siaga di depan pintu kamar perawatan Juriah.Selain tiga orang yang bersamanya, ada pula Sofa dan ibunya—Sofa yang berdandan ala wanita gipsi.Sikap Juriah dingin saja menyambut para tamu yang datang membesuknya, tatap mata gadis itu kosong dan ketika ditanya pun dia tidak menjawab.Setelah mendapat izin dari Gani dan Zubaidah, Ibunda Sofa memegang puncak kepala Juriah, mulut wanita itu komat-kamit seperti tengah membacakan mantra. Tidak lama kemudian Juriah menunduk, sebagian rambut menutupi wajahnya, gadis itu menangis tergugu.“Jangan takut anakku, sudah waktunya kau memberikan pengakuan kepada orang yang tepat,” ujar ibunda Sofa, seolah berbicara dengan sosok ya
*Lima Bulan Sebelum Kematian Dewi*"Hu!"Gadis berjilbab yang mengenakan pakaian perawat itu duduk dengan kesal dan mendengus marah, tiga pasang mata masing-masing milik Akmal, Sofa dan Maya menatapnya heran. Ketiganya sabar menunggu sampai kemarahan si gadis mereda, setelah mereka lihat si gadis jadi lebih tenang barulah Akmal mengajukan tanya."Kenapa lagi, Dew?""Kesal banget sama si botak! Ini sudah ketiga kalinya bahan skripsiku ditolak, revisi terus sampai aku ini capek!" dengus gadis yang tidak lain adalah Dewi teman sekamar Maya di Asrama."Lagian kamu ngapain sih buru-buru mau buat skripsi?" tanya Akmal lagi."Gak tau nih si Dewi, kayak yang kebelet nikah aja mau lulus cepat-cepat," komentar Sofa."Aku harus lulus tahun ini, karena tahun depan adik aku lulus SMA dan dia harus kuliah.""Lah terus kenapa kalau adik kamu lulus SMA?" tanya Sofa lagi."Sofa, kamu 'kan tau orang tua aku bukan sa
Dandi memompa tubuh Dewi lebih cepat lagi, dan segera mengakhiri tindakan cabul yang dilakukannya setelah panggilan kedua kembali terdengar.“Dandi ... ayo kita pulang!”Pemuda itu buru-buru menaikkan celana dan memasang kancingnya, sebelum pergi dia sempat berbisik kepada Dewi."Besok aku akan temui kamu, jangan cemas dan jangan ceritakan hal ini kepada siapapun, I love U." ucapnya dan mengecup bibir sang gadis, lalu pergi meninggalkan Dewi di ruangan itu."Dandi ...!""Iya, Ma." jawab Dandi."Ih kamu itu mengejutkan Mama saja, ayo pulang," ajak Ratna.Di dalam ruang rapat yang tanpa cahaya, hanya mengandalkan cahaya remang-remang pantulan lampu dari pintu gerbang. Dewi menangis, sambil mengenakan celananya kembali. Si gadis merasakan sakit pada bagian selangkangan, cukup lama dia duduk di ruangan itu menangis menyesali apa yang telah terjadi.Sampai kondisinya mulai tenang, dia baru kembali ke kamar. Saat dia kembali Maya telah terlelap, Dewi kembali menangisi nasibnya yang malang s
"Ternyata kamu sudah tidak perawan ya?" pertanyaan Umar sungguh menyakitkan perasaan Dewi, "tadinya saya mau loloskan skripsi kamu setelah menikmati tubuh kamu, tapi karena sudah tidak perawan saya merasa tertipu, saya cuma kasih kamu kompensasi perpanjangan waktu untuk revisi. Kamu harus setor hasil revisi dua Minggu lagi." ucap Umar sambil memasang kembali celananya.Setelah itu dengan tanpa rasa berdosa dia tinggalkan Dewi di ruangan tersebut, gadis itu kini menangis berurai air mata. Ingin rasanya dia menjerit marah kepada dunia, tetapi takut seisi dunia tahu kalau dirinya telah ternoda untuk kesekian kalinya."Kenapa? Kenapa sesulit ini untuk menggapai cita-citaku?" ratapnya.Malam itu Dewi kembali ke kamarnya, dengan linangan air mata. Lagi-lagi tidak seorangpun yang mengetahui deritanya, tidak juga Maya.Dewi menangis dalam kesunyian, membenamkan deritanya pada bantal. Tidak terasa berbulan sudah waktu berlalu Dewi ulai resah karena tamu bulanannya tidak