Share

Bab 8

Setelah jenazah Seno dan Yono selesai diotopsi, keduanya dipulangkan ke rumah duka masing-masing. Maya, Akmal. Sofa, dan semua teman kampus serta dosen datang melayat.

Di rumah Yono, Maya melihat seorang gadis berkerudung putih kumal, berada di deretan para keluarga, gadis itu tersenyum sinis menatap jenazah yang tengah ditangisi keluarga. Menyadari dirinya ditatap, gadis itu perlahan mengangkat kepala dan menyeringai ke arah Maya.

“Astagfirullah, Dewi!” Maya berseru membuat semua orang terkejut dan menatap ke arahnya, sosok gadis berkerudung putih kusam hilang dari pandangan. Maya gelagapan, perlahan dia mundur dan menyingkir dari rumah duka.

“May ... Maya, tunggu!” seru Sofa seraya berlari kecil menyibak kerumunan pelayat untuk mengejar Maya yang telah berada di luar pekarangan rumah duka.

Sofa memeluk Maya, yang menangis ketakutan. “Aku ... aku melihat Dewi, Sof.” Ujarnya memberi tahu Sofa.

“Udah udah, tenang ya, kamu jangan ngomong aneh-aneh, ingat Dewi sudah meninggal,” pujuk Sofa. Tak berselang lama Akmal datang menghampiri kedua gadis itu.

“Kenapa? Apa kalian gak mau ikut ke makam?” tanya Akmal yang tidak mengetahui alasan sebenarnya kedua gadis meninggalkan pekarangan rumah Yono.

“Kita ke rumah Seno aja yuk, aku dengar tadi katanya mereka akan dimakamkan di komplek yang sama, jadi kita ngiring jenazah dari rumah Seno aja,” usul Sofa.

Akmal mengangguk, “Baiklah, ayo.”

Ketiga sahabat itu berjalan menuju mobil yang terparkir, mereka sampai di rumah Seno saat jenazah siap diantarkan ke makam.

"Baiklah semuanya, karena jenazah telah siap maka saatnya untuk kita menyempurnakan fardhu kifayah ini dengan mengantarkan jenazah ke tempat peristirahatan yang terakhir." ucap seorang bapak yang memimpin proses pelepasan jenazah.

Semua orang berdiri dan mundur beberapa langkah, untuk memberi ruang kepada tim pengangkat keranda berisi jenazah Seno keluar dari ruang utama rumah duka.

Dalam perjalanan menuju makam, baik Maya, Sofa, maupun Akmal tidak berkata apa-apa. Mereka mengikuti setiap proses pemakaman tanpa suara sama sekali, sampai dengan saat tanah kuburan selesai ditimbun dan para pelayat berangsur meninggalkan lokasi makam.

Sofa yang menggandeng Maya terkejut, karena tiba-tiba mendengar suara teriakan seorang pria dari arah makam Seno. Ketika dia menoleh, mata gadis itu terbelalak melihat jenazah Seno, yang masih terbungkus kain kafan melayang di udara dengan posisi terbalik.

"Sof ... ak ... aku tak ... takut," keluh Maya, tangan gemetaran dan basah oleh keringat dingin.

Pandangan kedua gadis itu tidak lepas dari jasad Seno yang berayun-ayun di udara, dari mulutnya terus terdengar lolong kesakitan campur ketakutan. Di dahan pohon kamboja, duduk berjuntai kaki seorang perempuan muda dengan tampilan mengerikan. Wajahnya berlumuran cairan warna merah, yang terus mengucur dari kening nan berlubang. Begitu pula perutnya, memiliki luka menganga memperlihatkan keseluruhan isi perut termasuk janin yang menjuntai di selangkangan.

"Hihihihi ... baru kau tahu seperti apa sakitnya 'kan, Seno? itu belum seberapa dibandingkan sakit yang aku rasakan, hihihihi ...." sosok perempuan di atas pohon tertawa melengking memekakkan telinga.

Sofa berusaha melafalkan ayat-ayat pendek yang dihafalnya, sambil terus menatap sosok perempuan di atas pohon dengan tatapan iba.

"Huhuhuhu ...." sosok perempuan itu tiba-tiba menangis, "sakit, sakit sekali, mereka menyiksaku!" ujarnya.

Maya yang sejak tadi gemetar ketakutan, ikut pula menangis.

"Maya, Sofa, ayo pulang ngapain kalian bengong di sini?"

Teguran dan tepukan pada pundak keduanya menyadarkan Maya dan Sofa, apa yang mereka lihat barusan lenyap seketika. Berganti dengan kehadiran Akmal yang mengajak keduanya untuk segera meninggalkan komplek pemakaman.

******

Akibat penampakan yang mereka lihat di komplek pemakaman Seno tadi, Sofa dan Maya merasa takut tidur di kamar asrama. Bukan tanpa alasan ketakutan keduannya, pasalnya sosok perempuan yang duduk menjuntai di pohon bunga kamboja siang tadi adalah Dewi-teman sekamar mereka. Lebih dari sebulan yang lalu, Dewi tiba-tiba menghilang selama dua pekan. Keluarga dan pihak kampus mencari dan melaporkan perihal hilangnya Dewi, sampai kemudian gadis itu ditemukan membusuk di sebuah gudang koosong yang berada di tengah semak belukar.

Polisi menduga Dewi tewas dibunuh, hasil outopsi jenazah menunjukkan ada luka hantaman benda tumpul pada tulang tengkorak korban, selain itu janin yang ditemukan disekitar jenazah terlihat keluar sebelum korban meninggal, dan janin itu keluar bukan di jalan yang seharusnya.

Akmal teman mereka sempat dicurigai sebagai pelaku, karena selama ini semua orang mengetahui jika Akmal adalah kekasih Dewi. Namun kemudian, uji DNA terhadap kerangka janin yang diduga hasil hubungan Dewi dan Akmal membuktikan kalau janin tersebut bukan darah daging Akmal. Maka dengan tidak ditemukannya barang bukti dan juga saksi, serta kuatnya alibi yang dimiliki Akmal, pemuda itu akhirnya dibebaskan dari segala tuduhan.

Karena merasa takut akan kemunculan Dewi di kamar mereka, Maya dan Sofa meminta izin menginap di rumah Juriah. Gani dan Zubaidah membolehkan kedua gadis itu menginap, ketika melihat Juriah begitu akrab dengan keduanya.

Ketiga gadis itu asyik bercerita hingga larut malam, sesekali mereka tertawa, keasyikan ini membuat Maya dan Sofa melupakan kejadian menakutkan yang mereka lihat di komplek pemakaman.

Ceklek!

Suara handle pintu yang terbuka membuat ketiganya terdiam, tiga pasang mata sama melihat ke arah pintu kamar yang tadinya tertutup rapat kini terbuka sendiri.

Tanpa berkata apa-apa Juriah bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah pintu, awalnya Maya dan Sofa mengira kalau gadis itu akan menutup kembali pintu kamar. Namun, mereka heran ketika Juriah terus berjalan menuju pintu utama. Lebih heran lagi, ketika pintu utama kembali terbuka dengan sendirinya sebelum Juriah menyentuh handle.

"Aneh, kamu bangunin tante sama Om biar aku ikutin Juriah," berkata Sofa kepada Maya, meskipun mulai dicekam perasaan takut tapi Maya mengangguk setuju.

Sofa berlari cepat ke arah luar guna mengejar Juriah yang entah hendak pergi ke mana, sedangkan Maya bergegas mengetuk pintu kamar Gani dan Zubaidah memberitahu keduanya kalau Juriah pergi tanpa kata.

Sofa terus berlari mengejar Juriah yang telah berjalan jauh ke arah kanan, menuju gerbang ke arah gedung kampus.

"Ria tunggu," panggil Sofa.

Juriah menghentikan langkah dan tersadar di mana kini dirinya berada, tidak lagi di dalam kamar melainkan berada di jalan yang sangat gelap sebelum gedung kampus. Perasaan takut seketika menguasai gadis itu, dia menoleh kebelakang untuk memastikan siapa yang memanggilnya tadi?

Wajah Juriah semakin pucat melihat sosok yang melangkah perlahan mendekati, "Dew ... Dewi," gumamnya dengan bibir bergetar menahan ketakutan.

Juriah melangkah mundur, terus mundur berusaha menjauh dari sosok Dewi yang terus mendekat.

"Ria, kenapa kamu?" panggil Sofa yang bingung melihat Juriah ketakutan.

"Tidak! pergi kamu, pergi! jangan ganggu aku!" teriak Juriah sambil terus bergerak mundur. Di depannya sosok Dewi yang berlumuran darah terus mendekati.

"Juriah stop, jangan mundur terus, di belakang kamu itu tangga!" seru Sofa cemas.

"Pergi kamu pergi! Aaaaaa!" Juriah melayang jatuh.

Tap! Gani berhasil menangkap tangan anaknya, “Ma tolong, berat!" serunya berusaha sekuat tenaga bertahan agar tidak ikut terjatuh.

Zubaidah menahan badan suaminya, sedangkan Maya membantu menarik Juriah naik kembali.

"Hu! akhirnya," ucap Maya lega setelah berhasil menarik Juriah.

"Hihihihihi ...." suara prempuan tertawa melengking, membuat bulu kuduk mereka merinding.

"Kalian dengar suara itu?" tanya Maya, baik Gani, Zubaidah dan Sofa sama mengangguk pertanda mereka semua mendengar apa yang didengar oleh Maya.

"Ayo Pa, cepat gotong Juriah pulang," rengek Zubaidah kepada suaminya.

Belum lagi Gani bergerak, Maya dan Sofa sudah menangis ketakutan karena melihat penampakan Dewi yang mengerikan.

"Hihihihi ... sakit, tolong aku kesakitan," jin qorin Dewi merintih meminta pertolongan, sosok itu melayang mendekati mereka. Jarak antara Dewi dengan mereka begitu dekat, sangat jelas mereka melihat luka yang menganga di perut Dewi.

Dewi menyeringai sambil memasukkan tangannya ke dalam rongga perut yang terbuka lebar, seperti mengeruk sesuatu lalu disodorkan ke dekat wajah Maya dan Sofa. Namun begitu, baik Gani dan Zubaidah juga dapat melihat apa yang ada di telapak tangan Dewi.

"Tolong, tolong berikan anak ini kepada bapaknya," pinta Dewi.

"Uekh!" Maya mengeluarkan suara seperti orang mau muntah, melihat janin merah seukuran anak kucing yang baru dilahirkan, bergerak-gerak di atas telapak tangan Dewi nan berlumuran darah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status