Bab 1
"Selanjutnya, Riana Prastikasari, dari jurusan D3 Keperawatan, dengan indek prestasi komulatif 4,00," kata pembawa acara, tepuk tangan bergemuruh memenuhi gedung megah itu kala aku naik ke atas panggung untuk menerima penghargaan sebagai mahasiswa terbaik. Ya, hari ini adalah hari yang sangat membahagiakan bagiku, Riana Prasatikasari, namaku dipanggil sebagai mahasiswi dengan predikat cumlaude. Lulus kuliah tak lantas membuatku tenang, justru setelah inilah kehidupanku yang sesungguhnya akan aku jalani. Kunikmati soreku di depan panti selepas pulang dari acara wisuda kelulusan, sembari memikirkan bagaimana aku bisa dengan cepat mendapat pekerjaan setelah ini. "Ana!" Tiba- tiba seseorang memanggilku, aku menoleh, dan ternyata dia adalah Mbak Najwa. Ia adalah salah satu donatur terbesar di panti yang tidak lain dan tidak bukan adalah menantu dari keluarga Pramono. "Mbak," teriakku pada Mbak Najwa yang berlari kecil menghampiriku. Sore ini angin bertiup begitu kencang, hingga daun dan rerumputan begitu lincah bergoyang. Kami, aku dan Mbak Najwa memilih menghabiskan waktu sore kami di bawah pohon mangga yang ada di halaman panti. Mbak Najwa sengaja datang untuk memberi selamat atas kelulusanku, aku mendapat gelar AMD. Keperawatan. Keluarga Pramono jugalah yang membiayai sekolahku sampai akhirnya aku lulus D3 Keperawatan. Sebenarnya cita-citaku sih, dokter. Dokter kandungan, kalau pun tidak, minimal bidan lah, tapi aku cukup tau diri, sudah bisa sekolah saja ,Alhamdulillah. "Ana, selamat, ya, atas kelulusan kamu. Mbak dengar juga kamu dapat predikat cumlaude, ya? Mbak bangga lo dengernya," kata Mbak Najwa, dia memang sangat baik padaku, bahkan dia sudah menganggapku seperti adiknya sendiri. "Makasih, Mbak. Ini juga berkat kebaikan Mbak dan keluarga Mbak," terangku. "Karena kamu sudah lulus, Mbak mau minta sesuatu sama kamu!" kata Mbak Najwa padaku. Dahiku pun mengerut bingung. "Mbak mau minta apa? Mbak kan udah punya segalanya. Insyaallah, Ana pasti akan berusaha semampu Ana. Asal jangan minta yang mahal-mahal, aku kan belum kerja dan menghasilkan uang, Mbak!" candaku pada Mbak Najwa. Mbak Najwa pun tersenyum. Mbak Najwa adalah salah satu wanita yang sangat aku kagumi, selain parasnya yang cantik, dia juga begitu baik dan begitu menyayangi adik- adik yang ada di panti. Dengan adanya Mbak Najwa yang selalu ada untuk kami, dapat sedikit mengurangi bebanku sebagai anak tertua di panti. Entah apa salahku, hingga sampai sebesar ini tak ada yang mengadopsi-ku. Padahal kalau wajah, aku juga tidak jelek-jelek amat, sih. "Dasar anak nakal!" celetuk Mbak Najwa sambil mencubit lembut hidung mancungku. "Mbak, jangan dicubit, nanti kalau tambah mancung Mbak kalah cantik tau," candaku lagi, kami pun tertawa bersama. "Ana ... menikahlah dengan Mas Adrian!" ucap Mbak Najwa di tengah tawa, aku semakin tertawa mendengar perkataan Mbak Najwa. Karena aku pikir dia hanya bercanda. "An, jangan ketawa, Mbak serius, nggak becanda, An!" katanya lagi dengan wajah yang lebih serius. Deg ...! Aku terkejut, bahkan aku tak menyangka Mbak Najwa akan meminta hal seberat itu padaku. "Jadilah maduku, An!" pinta Mbak Najwa dengan begitu mantap dan ringan. Aku bergeming tak percaya. Mbak Najwa adalah istri dari Mas Adrian, sudah hampir 8 tahun pernikahan, mereka belum juga dikaruniai momongan, hingga akhirnya Mbak Najwa divonis kanker rahim, dan kemungkinan besar tidak bisa memberikan keturunan pada keluarga besar Pramono. Mas Adrian adalah anak satu-satunya dari keluarga itu. Sebenarnya, keluarga Pramono tidak mempermasalahkan hal itu, namun, Mbak Najwa bersi keras untuk menikahkan Mas Adrian dengan wanita lain sebelum dirinya menghembuskan napas terakhir. Dia memang pernah mengutarakan tentang keinginannya untuk memberi madu pada Mas Adrian, tapi aku sungguh tak percaya kalau dia memintaku dan kenapa harus aku? Ini sungguh berat bagiku. "Mbak, maaf aku nggak bisa, Mbak. Bagaimana mungkin aku menikah dengan Mas Adrian? Dia adalah suamimu, Mbak. Mas Adrian juga sangat mencintaimu, nggak mungkin juga Mas Adrian mau menikah denganku," tolakku lembut. "Mas Adrian pasti mau kalau aku memintanya dengan sungguh-sungguh, aku mohon!" Tiba-tiba Mbak Najwa berlutut di hadapanku dengan wajah penuh kesedihan, aku merasa sangat bersalah melihat Mbak Najwa yang sudah sangat baik harus berlutut pada seorang Ana yang bukan siapa-siapa. "Mbak, jangan gini, Mbak." Niatku membantu Mbak Najwa untuk berdiri, namun Mbak Najwa menolaknya. "Nggak, An, kalau kamu belum menjawab pertanyaan Mbak, Mbak nggak akan beranjak dari sini!" tolak mbak Najwa menepis tanganku. Hatiku semakin bimbang. Ya, Mas Adrian memang sosok pria yang sangat baik, tampan, dan juga mapan. Namun, di sisi lain, aku merasa tidak siap menjadi istri kedua. Tapi Mbak Najwa juga sangat baik dan berjasa padaku. Aku terus berpikir, netraku tak berpindah dari sosok Mbak Najwa yang masih kekeh berlutut di hadapanku dengan wajah yang penuh harap. Lama, kami saling diam dan tak ada suara, sampai akhirnya aku putuskan untuk menerima permintaan Mbak Najwa dengan syarat. "Baiklah, Mbak, aku akan menerima pernikahan itu jika Mas Adrian juga menerimanya!" kataku, dengan sangat berat hati aku memutuskan semua itu, tapi aku yakin bahwa Mas Adrian pasti akan menolak mengingat besarnya cinta Mas Adrian pada Mbak Najwa. "Terimakasih, An, kamu memang sangat baik. Tak salah aku memilihmu untuk menjadi maduku. Aku akan pulang dan menanyakan itu pada Mas Adrian," kata Mbak Najwa sumringah, lalu kubantu ia untuk berdiri. Begitu bahagianya Mbak Najwa saat mendengar jawaban dariku, dia pun segera pergi untuk menemui Mas Adrian. Kulangkahkan kakiku dengan langkah yang begitu berat, aku masuk ke panti menemui Umi, Umi Zubaidah, orang yang merawatku sejak aku masih bayi. Umi masih sibuk di dapur menyiapkan makan malam adik-adik panti bersama Mbok Sum, orang yang membantu Umi mengurus anak-anak panti. "Ana? Kamu dari mana saja, Nduk? Jam segini baru pulang?" tanya Umi Zubaidah yang menyadari kedatanganku. Umi Zubaidah memang orang asli Surabaya yang ditugaskan yayasan untuk mengurus panti di Jakarta, jadi bicaranya agak medok. "Umi ...," lirihku, kuhempaskan tubuhku di kursi dekat dapur, di mana Mbok Sum dan Umi sibuk dengan aktifitasnya. "Kenapa, Ana?" tanya Umi Zubaidah menghentika aktifitasnya, lalu menghampiriku dan duduk bersamaku. "Umi, hari ini Mbak Najwa memintaku untuk menjadi istri kedua suaminya?" "Opo?!" sentak Umi begitu mendengar kata-kataku. "Umi, bagaimana ini, Umi?" keluhku, kupeluk Umi dan kulepaskan semua bebanku. Karena Umilah yang selalu membuatku tenang setiap aku ada dalam masalah. "Ana, Nduk ... kalau kamu merasa berat, harusnya kamu ndak usah terima," kata Umi padaku sambil mengelus punggungku lembut. "Umi, Mbak Najwa sudah sangat baik padaku dan pada panti ini, bahkan sudah menyekolahkan aku sampai aku lulus. Bagaimana bisa aku menolaknya?" jelasku pada Umi. "Nduk ... masalah pernikahan itu bukan masalah sepele, itu keputusan untuk seumur hidupmu. Jadi, jangan kamu jadikan balas budi sebagai taruhan untuk masa depanmu, Nduk," ujar Umi, kulepaskan pelukanku pada Umi perlahan. "Tapi, Umi. Mbak Najwa memohon hingga berlutut padaku, aku sungguh tidak tega, apa lagi kalau Mbak Najwa membahas penyakitnya Umi," jelasku pada Umi. "An, berbagi suami itu ndak gampang, Nduk. Kamu itu masih muda, cantik, kenapa harus jadi istri kedua?" ucap Umi sambil merapikan rambutku yang terlihat acak-acakan seolah mencerminkan keadaan hatiku saat ini. "Tapi aku sudah berjanji, Umi. Apa yang harus aku katakan pada Mbak Najwa?" rengekku pada Umi. "Apa yang sudah kamu janjikan?" tanya Umi. "Aku berjanji, jika Mas Adrian menerima, aku juga akan menerima, Umi! Dan sepertinya Mbak Najwa langsung menemui Mas Adrian setelah itu, Umi!" ucapku cemas. "Kita berdo'a saja, An. Semoga Nak Adrian menolak pernikahan itu," kata Umi, aku tak menjawab hanya kuanggukkan perlahan kepalaku. Tak lama setelah aku berkeluh kesah pada Umi, telepon panti pun berbunyi dan Umi segera mengangkatnya. "Siapa, Umi yang telepon?" tanyaku setelah Umi kembali dari mengangkat teleponnya. "Nak Adrian, An yang telepon. Najwa sakit, dan sekarang dirawat di rumah sakit tempatmu pernah praktek dulu, dan kamu diminta untuk ke sana sekarang." "Mbak Najwa sakit? Ana diminta ke sana? Ada apa ya, Umi? Kenapa perasaan Ana nggak enak?" "Ana, jangan berprasangka buruk, semua kejadian itu biasanya dari prasangka kita sendiri." kata Umi menenangkan. "Baiklah Umi, Umi ikut kan, Mi?" tanyaku. "Iya nanti Umi temani," jawab Umi. Segera, kuambil ponsel dan kupesan taksi online, agar aku dan Umi bisa lebih cepat sampai rumah sakit. Hanya butuh waktu kurang dari satu jam aku dan Umi sampai di rumah sakit tempat Mbak Najwa dirawat. Segera kami menuju ke bagian informasi untuk bertanya di mana ruangan Mbak Najwa dirawat. "Maaf, Mbak, pasien atas nama Najwa Kamila dirawat di kamar nomer berapa, ya?" tanyaku pada bagian informasi yang sudah tak asing lagi denganku karena aku sempat praktek di sana saat kuliah. "Ana? Kamu mau jenguk pasien Najwa?" tanya Mbak Lia yang bertugas. "Iya, Mbak," jawabku "Najwa Kamila di rawat di kamar VIP nomor 03," jawab Mbak Lia. "Makasih, Mbak." Segera, aku dan Umi menuju ruangan yang diberitahukan oleh Mbak Lia. Cekrek! Begitu aku membuka pintu, kulihat Mbak Najwa masih terbaring pucat di ranjang rumah sakit, tak berdaya. Di sana terlihat ada Mas Adrian yang duduk di samping Mbak Najwa dan ada beberapa orang lagi di sana seperti sedang menunggu seseorang. Perasaanku mulai tak tenang, hingga suara lemah Mbak Najwa membuyarkan lamunanku. "An, kemarilah," perintah Mbak Najwa. Aku segera menghampirinya dengan perasaan cemas, kugenggam tangannya dan dia berkata. "Menikahlah dengan Mas Adrian, dia sudah menyetujuinya," lirih Mbak Najwa. Deg ... seketika tubuhku terasa lemah bagai tak bertulang, jantungku berdebar kencang, bibirku kelu, aku tak bisa berkata. Kulirik Umi yang juga masih mematung di depan pintu. Umi pasti juga sama terkejutnya sepertiku mendengar perkataan Mbak Najwa yang begitu cepat menagih janjinya. "Mbak ... aku...." "Kamu sudah berjanji, An. Mas Adrian juga sudah menyetujuinya. Apa lagi yang kau pikirkan?" potong Mbak Najwa. Aku tetap bergeming. "Pak penghulu, tolong nikahkan Mas Adrian dengan Ana!" seru Mbak Najwa. Ternyata benar, orang yang sekarang di hadapanku adalah penghulu. Aku melihat Mas Adrian yang juga masih bergeming. Dari sorot mata Mas Adrian, aku tau Mas Adrian juga terpaksa menerima pernikahan ini karena Mbak Najwa yang memohon seperti Mbak Najwa melakukannya padaku. Mas Adrian tak berani menolak, Mas Adrian hanya melakukan perintah dari Mbak Najwa. Hingga ijab kabul benar-benar terjadi diantara aku dan Mas Adrian. Bagaikan mimpi di siang bolong, hari ini aku menjadi seorang istri, istri kedua suamiku. Satu hari dengan kebahagiaan karena lulus dengan predikat cumlaude sekaligus kesedihan karena harus menjadi istri kedua.Bab 2. Istri ke dua Setelah ijab kabul itu berlangsung, aku dan umi memutuskan untuk kembali ke panti. "Mbak, saya pulang dulu," pamitku pada Mbak Najwa yang masih terbaring lemah, namun wajahnya terlihat sangat berbinar. "Biar Mas Adrian ya, yang antar," tawar Mbak Najwa "Nggak usah, Mbak, aku udah pesen taksi online tadi," tolakku Melihat wajah Mas Adrian yang sangat tidak bersahabat itu, aku cukup tau diri. "Cancel aja, An!" seru Mbak Najwa. "Mas, kamu anter Umi sama Ana, ya!" perintah Mbak Najwa yang terkesan memaksa Mas Adrian. "Tapi, nanti kamu di sini sama siapa, Sayang?" kata Mas Adrian. Aku tahu dia hanya beralasan. "Ada suster, Mas!" jawab Mbak Najwa. "Ya sudah kalau kamu maksa, mari Umi, saya anter," ajak Mas Adrian pada Umi tanpa menoleh atau menyebut namaku sekalipun. Mas Adrian segera berpamitan pada Mbak Najwa dan mengecup kening Mbak Najwa penuh kasih sayang. Umi dan aku hanya bisa saling memandang melihat Mas Adrian yang begitu sayang pada Mbak Najwa. Pi
Bab 3 Aku segera masuk ke gedung itu, tiba- tiba ada yang menyamai langkahku. "Mbak Lia, ngagetin aja!" Hari ini aku dan Mbak Lia satu shift. Mbak Lia adalah orang yang baik, masih lajang di umurnya yang sudah hampir 30 tahun karena mbak Lia masih setia pada kekasihnya, seorang perwira polisi yang belum bisa pindah tempat dan rencananya akan menikah kalau sudah pindah tempat. "Tadi suami kamu?" tanya Mbak Lia tiba-tiba, aku memperlambat langkahku. "Iya, Mbak." "Tampan, sepertinya juga mapan, tapi sayang sudah punya istri," kata Mbak Lia tersenyum kecut, Mbak Lia sempat kecewa saat aku mengatakan tentang pernikahanku padanya. Menurutnya aku terlalu bodoh. "Mbak ...," kataku manja, Mbak Lia memang sudah menganggapku sebagai adiknya, dia sangat suka cara kerjaku, dan dia juga tau aku anak yatim piatu, jadi dia begitu perhatian padaku. "Ya udah, cepet ganti pakaianmu, kerja yang bagus ya, jangan mengecewakan mbak!" pesan mbak Lia padaku. "Siap, Bos!" jawabku semangat. *** H
Bab 4 POV ADRIAN Setelah pertengkaranku malam ini dengan Najwa, aku memutuskan menenangkan diri, sedangkan Najwa, mungkin saat ini sedang menangis di kamarnya. Aku mungkin memang sangat keterlaluan pada Najwa, namun aku tak mungkin menuruti kemauannya yang konyol. Aku tahu, Najwa sangatlah pencemburu, aku tak mau membuatnya kecewa. Berhadapan dengan Ana, gadis itu ... tak bisa dipungkiri parasnya sangatlah cantik. Bahkan, tanpa polesan pun kecantikannya melebihi Najwa, hidungnya yang mancung dan matanya yang mampu menghipnotis setiap laki- laki yang memandangnya, membuatku memilih untuk bersikap seperti ini saja, aku tak mau jatuh cinta dan membuat Najwa terluka. Sayup-sayup terdengar suara langkah seseorang mendekat ke arahku. Kuhembuskan napas lelahku dan berbalik melihat siapa yang ada di belakangku. "Mas, aku mau membicarakan sesuatu," katanya padaku, ternyata yang menemuiku adalah Ana, Ana yang aku nikahi dalam waktu singkat, sungguh malang nasibnya, harus menjadi istri ke du
Bab. 5 POV ANA Aku masuk ke dalam kamarku, menenggelamkan wajahku pada bantal. Aku merasa begitu tidak berharganya aku sebagai wanita, hingga suamiku sendiri memperlakukan aku serendah itu. Air mataku pun tak bisa kubendung lagi. "Ana." Suara Mbak Najwa tiba-tiba muncul tanpa aku sadari, kuusap air mataku kasar dan berbalik menatapnya. "An, apa Mas Adrian menyakitimu?" tanya Mbak Najwa mendekatiku dan duduk di bibir ranjang, menatapku penuh selidik. "Nggak, Mbak," jawabku menutupi. "Kamu jangan membohongi mbak, An!" tanyanya lagi, aku bergeming. Kukumpulkan seluruh keberanianku, hari ini aku yang akan menyelesaikan masalah ini sendiri. "Mbak, aku ...." Deg ... Tiba- tiba aku teringat atas perkataan Umi, bahwa pernikahan maupun perceraian bukanlah hal yang bisa dibuat mainan. Jika kamu sudah memilih menjadi seorang istri, maka, sebaik-baiknya seorang istri adalah yang taat pada suami. Mas Adrian? Dia tidak menginginkan perceraian, namun juga tidak menginginkanku. Kuurung
POV ANAPagi ini aku dan Mbak Najwa mulai melakukan aktivitas kami di dapur, namun mbak Najwa terlihat lebih banyak diam."Masak apa, Mbak?" tanyaku."Omlet, An, kesukaan Mas Adrian.""Sini mbak aku bantuin." "Nggak usah, An. Bukannya kamu harus kerja?" jawabnya, rasanya ada yang berbeda hari ini. Bukannya baru tadi malam Mbak Najwa mengatakan akan membuat Mas Adrian mencintaiku? Harusnya dia mengajariku memasak makanan kesukaannya, cinta kan bisa saja datang dari perut kata orang."Oh, ya udah, Mbak, kalau gitu aku buatin susu nya, ya?" tawarku lagi"Udah dibuatin Bi Minah, An!" jawab Mbak Najwa."Ana, saya mau bicara," panggil Mas Adrian yang tiba-tiba sudah bersandar di daun pintu dapur. Aku tersentak, teringat kejadian semalam membuatku semakin malas melihatnya."Kenapa masih di situ? Sini!" panggilnya lagi, aku pun pamit pada Mbak Najwa dan mengikutinya, aku pikir pasti dia mau minta maaf karena kejadian semalam.Kami duduk di meja makan, berhadapan, jantungku mulai tak karuan m
POV AUTHORDion hembuskan napas kasarnya setelah keluar dari ruangan Profesor Wijaya. Hari ini cukup melelahkan bagi Dion. Dia dan Profesor Wijaya sampai harus bersitegang, rumah sakit terancam ditutup karena ada salah seorang pasien yang menuntut atas dugaan mal praktek, dan kondisi pasien pun saat ini masih dalam keadaan koma. Profesor menyuruh Dion menghubungi Mirza, cucunya yang tak banyak orang tau, karena Mirza sudah lama meninggalkan Jakarta. Ia memiliki hubungan yang buruk dengan keluarga besarnya. Ia merupakan Anak yang dulu digadang-gadang menjadi penerus perusahaan Ayahnya —Adi Wijaya, dengan IQ nya yang di atas rata- rata sejak kecil, namun Mirza memilih untuk dikeluarkan dari anggota keluarga Wijaya demi cita- citanya menjadi seorang Dokter.Keputusan Mirza membuat Adi Wijaya marah besar dan mengusirnya, walau sebenarnya Adi Wijaya hanya berniat menggertak Mirza saat itu. Sebelumnya, Dion dan Mirza dipertemukan dalam sebuah seminar di Jerman dan mereka saling bertukar no
8. Tugas POV MIRZA Kurenungi semua yang Dokter Dion katakan di telepon subuh tadi, kakekku saat ini sedang berjuang sendirian tanpa siapapun di belakangnya. Dari seluruh keturunan keluarga Wijaya, hanya akulah yang berprofesi sebagai Dokter dan itu pun sudah di coret dari keluarga Wijaya. Kakek tak bisa berbuat apa-apa waktu itu, karena papa termasuk orang yang keras kepala dan berambisi. Dia mengancam akan menutup rumah sakit kakek jika kakek membelaku saat itu. Sampai saat inipun yang aku dengar dari Dokter Dion, mereka tidak berhubungan baik sejak aku pergi meninggalkan Jakarta tujuh tahun yang lalu. Ponsel alarmku bergetar, waktu Jerman sudah menunjukkan pukul 08.00. Tandanya aku harus segera pergi ke rumah sakit. Dengan sepotong sandwich dan segelas susu aku mulai hariku yang gundah ini, lalu kupacu kuda besi hasil kerja kerasku dengan kecepatan tinggi. Setelah kupikirkan matang-matang, dengan berat hati akhirnya kuputuskan untuk mengundurkan diri dan kembali ke Indonesia.
POV AUTHORAlarm Ana memecah heningnya waktu subuh, Ana sengaja membuat catatan di ponselnya agar ia tak lupa dengan tugas negaranya untuk menjemput Dokter Mirza sebelum ia berangkat kerja. Ana segera menyiapkan diri untuk sholat subuh dan setelahnya ia hendak menengok keadaan Najwa, tapi nyatanya pintu kamar Najwa masih tertutup, itu tandanya mereka masih tidur. Diurungkanya niat Ana untuk menengok Najwa, ia tak ingin mengganggu waktu istirahat Najwa dan Adrian. Ana memutuskan untuk membantu Bi Minah di dapur menyiapkan sarapan, karena ia tahu Najwa sedang tidak sehat. Kali ini ia tak mau gegabah membuat masakan, ia hanya membantu Bi Minah memotong bahan dan selebihnya Bi Minah yang memasaknya.Tak terasa waktu sudah pukul 07.30 pagi, hari ini Bi Minah membuat menu sarapan bubur ayam kesukaan Mbak Najwa. Tak lama terlihat Mbak Najwa yang masih pucat turun dari tangga bersama Mas Adrian."Sini Mbak sarapan dulu," ajak Ana menarik kursi untuk Najwa duduki."Makasih, An," ucap Najwa ter
Akhirnya aku sampai di Rumah sakit. Aku berlari menuju UGD setelah mengganti bajuku dengan baju seragam. Teman satu shift-ku pun sudah lengkap dan terlihat sangat sibuk, sepertinya baru saja ada kecelakaan bus. Begitu banyak pasien dari luka ringan hingga berat, teriakan, dan tangisan dari keluarga pasien pun memenuhi ruangan. Benar-benar merasa tidak enak, saat kondisi seperti ini malah datang terlambat."Kenapa baru datang?" tanya Hanin yang terlihat begitu sibuk membersihkan luka pasien."Maaf, " kataku, tanpa banyak lagi beralasan aku segera kubantu mereka. Sepertinya kami harus bekerja keras malam ini.Kesibukan kami baru mereda saat adzan subuh berkumandang."Akhirnya ...," kata Hanin menghempaskan tubuhnya di kursi."Tidurlah dulu, Nin, nanti kita gantian," ujarku yang ikut duduk di kursi sebelah Hanin."Kamu yakin? Kamu tadi juga kerja keras banget lo, An. Mumpung kosong pasien kita tidur sama-sama aja, An, toh nanti mereka akan bangunin kalau ada pasien datang," usul Hanin.
POV ANAHari ini akhirnya kurasakan lagi dekapan suamiku yang sudah sekian lama aku tak merasakannya, kenyamanan dan kehangatan hadir menyelimuti. Hingga semua itu berubah sakit setelah kebohongan yang ia lakukan selama ini terungkap. Ia berkata bahwa ia adalah bagian dari keluarga Wijaya, anak dari Pak Adi Wijaya malah. Bukan masalah siapa dia atau apa, tapi yang membuatku kecewa adalah kenapa harus melandasi sebuah hubungan dengan kebohongan?Kulepas pelukannya dariku, hatiku kacau, orang yang begitu kupercaya semakin memperlihatkan watak aslinya, pembohong. Ya, entah berapa kebohongan lagi yang sudah disimpan olehnya, aku pun tak tahu."Ana, jangan pergi, kita selesaikan baik-baik," cegahnya saat aku mengambil tasku dan membuka pintu."Tiga bulan, Mas, kenapa baru memberitahuku setelah kamu mendapatkan semuanya dariku?" "Apa maksudmu, Ana, apa kamu menyesal?" Aku tak menjawab, lebih baik menghentikan pertengkaran dari pada ucapanku semakin tidak terkontrol dan memperkeruh keada
POV MirzaSetelah kepulangan Ana satu bulan yang lalu, hatiku mulai gamang. Setiap hari aku memikirkan bagaimana agar bisa segera bersama Ana. Kuputuskan untuk turut serta dalam mencari dokter pengganti. Sebab, menunggu pihak rumah sakit mencari penggantiku itu akan memakan waktu lama. Kuhubungi semua rekan yang mungkin bisa membantu. Dan akhirnya usahaku berbuah manis, tak perlu menunggu terlalu lama, kami pun mendapatkan dokter pengganti yang kebetulan adalah sahabat lamaku. Mungkin ini adalah jalan yang diberikan Tuhan padaku.Hari ini aku tiba di Jakarta, bagaimana dengan perasaanku? Tentu saja aku lega dan bahagia, tapi kebahagiaan itu sedikit terganggu saat kami harus bertemu dengan Rania. Mengejutkan memang, tapi masalah harus dihadapi bukan dihindari."Hai, Mirza," sapanya begitu aku dan Ana masuk ke dalam Cafe."Hai," jawabku, kugenggam erat tangan Ana, lalu meninggalkan Rania."Pantaskah seorang perawat biasa masuk ke dalam keluarga ....""Yang lebih tidak pantas lagi adala
POV Ana"Umi, aku pergi ke bandara dulu, mau jemput Mas Dirga," teriakku memakai sepatu, ya hari yang ditunggu akhirnya datang juga. Suamiku pulang ke tanah air dan akan menetap di Jakarta. "Naik motor, An?" tanya Umi keluar dari dapur."Nggak, naik taksi, barangnya pasti banyak. Kan Mas Dirga pulang ke Indonesia selamanya," jawabku masih sibuk dengan sepatuku."Sudah Umi bilang jangan panggil Dirga, Umi bingung," protes Umi."Ya, ya, Dokter Mirza.""Kenapa panggil suami sendiri dokter?""Mas Mirza ...," ralatku yang tak ingin terus berdebat."Itu mending, Umi nggak bingung kalau itu.""Mungkin Ana nggak akan pulang malam ini, Mi, dia pasti akan menawanku," kataku terkekeh pelan sembari merapikan pasmina yang menjuntai panjang."Assalamu'alaikum, Umi," pamitku kucium pipi umi dan kukecup punggung tangannya."Wa'alaikumsalam."Aku bergegas keluar karena taksi sudah kupesan.Langkahku terhenti saat kulihat seseorang yang sangat kubenci berdiri lagi di depanku, Mas Adrian, penampilannya
Satu bulan berikutnya.POV NAJWAPagi ini kami duduk di meja makan. Aku, Mama, dan Papa, itu lah kebiasaan kami selama satu bulan terakhir. Lalu bagaimana dengan suamiku?Dia selalu berangkat lebih pagi dari hari-hari sebelumnya. Sejak Mama dan Papa mengatakan bahwa Ana memiliki pria lain, sejak itu pula Mas Adrian mengikuti dan mencari tahu siapa laki-laki itu, bahkan rela menunggu di depan panti setiap hari hanya untuk mengetahui siapa yang menjemput atau mengantar Ana.Sejak perpisahannya dengan Ana hidupnya semakin tidak terurus, lebih-lebih setelah satu bulan yang lalu, Ana mengembalikan semua bunga yang ia kirim dan menolak kedatangan Papa dan Mama, menolak kembali pada kami. Ya, aku tahu, apa yang dilakukan Mas Adrian, aku mengijinkan, tapi semua sudah terlambat. Penyesalan selalu datang di belakang, itulah yang kualami sekarang. Apa yang kulakukan pada Ana sangatlah tidak pantas, aku yang memaksanya dan aku pula yang mencampakkannya. Bagai barang yang sudah tak kubutuhkan aku
"Cari ini, Sayang ...?" tanyanya memperlihatkan kunci kamar di tangan, kuhampiri dan kuraih, tapi gagal. Dia memasukkan ke dalam baju lapis tiganya dengan cepat. "Nih Ambil sendiri kalau mau," katanya sembari mengangkat kedua tangan. Menantangku.Bagai senjata makan tuan, aku yang harusnya mengunci pintu namun justru aku sendiri yang dikunci. Aku berdecak dan berbalik meninggalkannya, dia menarik tanganku hingga aku jatuh di atas pangkuannya. "Mau ke mana?" tanyanya dengan tatapan yang mengerikan."Mau apa?" tegasku memundurkan wajah."Jangan macam-macam," sambungku berusaha melepaskan tangan yang tiba-tiba saja melingkari pinggangku."Udah marahnya, jangan marah-marah terus. Jangan mengisi kebersamaan yang cuma sebentar ini dengan amarah. Marah, boleh, tapi jangan membiarkan kemarahan itu berlarut, atau bahkan menginap sampai hari esok, Ana," ucapnya penuh kelembutan, lagi-lagi dia membuatku malu dengan caranya menyelesaikan masalah tanpa adanya amarah, yang terlihat di wajahnya sa
Akhirnya aku mengikuti Dokter Dion, pergi mencari buah tangan untuk profesor, tentu saja masih dengan disopiri oleh tuan rumah kami.Aku duduk di bangku belakang, malam ini salju terlihat sudah reda, sehingga kami tidak begitu tersiksa saat berada di luar rumah. Walau demikian kami tetap memakai mantel tebal, mantel coklat susu pemberian Mas Dirga yang kupakai untuk melindungi tubuhku dari dinginnya kota Berlin malam ini. Dan yang membuatku tak habis fikir, Mas Dirga memakai mantel yang senada denganku. Bagaimana bisa? Di depan Dokter Dion memakai mantel yang sama?"Mau makan apa, Ana?" tanya Mas Dirga melirikku dari kaca spion."Ya, terserah, lagian mana saya thau makanan apa yang ada di sini? Kalau saya mau makan ketoprak juga, nggak ada kan?" Ketus aku menjawab karena memang masih sedikit kesal.Dokter Dion terlihat menahan tawa, sedangkan suamiku menghela nafasnya lalu tersenyum, senyum yang dipaksakan."Mirza, Ana bener, mana Ana tahu, Ana baru sekali ke sini," timpal dokter Dion
Ana masuk dan menutup pintu dengan kasar lalu menguncinya dari dalam, bahkan saat aku masih terperangah.Kuusap wajahku. "Ya Allah, Ana ...."Tok ... tok ... tok .... "Sayang." Tak mau menyerah, aku pun mencoba untuk mengetuk pintu, namun tak ada jawaban."Sayang .,.." panggilku lagi, akhirnya terdengar suara kunci dibuka. "Alhamdulillah." Ak pun tersenyum lega. Pintu benar-benar dibuka."Nih, ambil," kata Ana memberikan bantal, selimut, dan mantel yang kuletakkan di ranjang tadi padaku."Apa ini?" sentakku sedikit kaget.Ana tak menjawab dan kembali menutup pintu rapat-rapat.Kuhela napas kasar, lalu dengan terpaksa berjalan menuju kamar Dokter Dion. Kupegang handel pintu, tapi tidak bisa terbuka, tertanda Dokter Dion pun mengunci pintu dari dalam. "Sengaja ni orang?" gerutuku, lalu mengacak rambut dengan frustasi.Brak!Brak!Brak!Akhirnya aku menggedor pintu kasar. "Dokter, Buka!" seruku, namun tak ada jawaban. "Dokter Dion! Saya dobrak, ni, kalau nggak buka!" ancamku lagi, na
Aku mengajak Ana untuk keluar dan Ana berkata akan menyusul, karena dia masih harus mencuci mukanya agar tidak terlihat sembab dan memakai hijab dulu.Aku keluar dari kamar dan kulihat Lidia sedang berbincang akrab dengan Dokter Dion, sepertinya mereka sedang membahas masalah kedokteran.Segera kuhampiri dan kusapa, "Lidia ...," kataku sedikit canggung,"Mirza ...." Dia berdiri hendak memelukku. Aku menolak, melangkah mundur ke belakang. "Maaf Lidia jangan biasakan memeluk laki-laki yang bukan suamimu," ujarku dengan nada datar."Mirza, kamu takut? Kita kan dulu biasa melakukannya," ujarnya dengan dahi berkerut bingung."Astaghfirullah," batinku mengingat betapa bodohnya aku dulu, betapa mudahnya aku melakukan itu padahal jelas itu salah dalam ajaranku."Itu dulu Lidia, sebelum saya sadar kalau semua itu salah." "Salah gimana? Ayo lah, Za, itu cuma sekedar sapaan saja kenapa jadi berlebihan?""Ehm ... Karena Mirza nya sudah datang, kalau begitu saya permisi. Za, saya tinggal," pamit