Share

2. Istri ke dua

Bab 2. Istri ke dua

Setelah ijab kabul itu berlangsung, aku dan umi memutuskan untuk kembali ke panti.

"Mbak, saya pulang dulu," pamitku pada Mbak Najwa yang masih terbaring lemah, namun wajahnya terlihat sangat berbinar.

"Biar Mas Adrian ya, yang antar," tawar Mbak Najwa

"Nggak usah, Mbak, aku udah pesen taksi online tadi," tolakku

Melihat wajah Mas Adrian yang sangat tidak bersahabat itu, aku cukup tau diri.

"Cancel aja, An!" seru Mbak Najwa.

"Mas, kamu anter Umi sama Ana, ya!" perintah Mbak Najwa yang terkesan memaksa Mas Adrian.

"Tapi, nanti kamu di sini sama siapa, Sayang?" kata Mas Adrian. Aku tahu dia hanya beralasan.

"Ada suster, Mas!" jawab Mbak Najwa.

"Ya sudah kalau kamu maksa, mari Umi, saya anter," ajak Mas Adrian pada Umi tanpa menoleh atau menyebut namaku sekalipun. Mas Adrian segera berpamitan pada Mbak Najwa dan mengecup kening Mbak Najwa penuh kasih sayang. Umi dan aku hanya bisa saling memandang melihat Mas Adrian yang begitu sayang pada Mbak Najwa. Pikiranku pun melayang, bagaimana bisa aku berada di tengah-tengah orang yang begitu saling mengasihi? Bisa dan kuatkah aku? Bagaimana aku bisa menjalani hari-hariku sebagai istri ke dua? Semua pikiran itu menguasai otakku saat ini. Hingga suara bariton Mas Adrian membuyarkan semuanya.

"Ayo kita pergi!" ajak Mas Adrian, aku dan Umi mengekori Mas Adrian yang berjalan lebih dulu di depanku.

Dalam perjalanan pulang, Mas Adrian terlihat asik ngobrol dengan Umi membahas panti, aku hanya bisa diam, duduk di bangku belakang. Memikirkan apa yang akan terjadi dengan kehidupanku setelah ini.

Sampai akhirnya kita pun tiba di halaman panti. Aku dan Umi segera turun dari mobil, dan Mas Adrian bersiap untuk langsung pamit, namun umi mencegahnya.

"Nak Adrian, Umi mau bicara sebentar, boleh?" ijin Umi.

"Oh ... iya Umi," jawab Mas Adrian, kami pun masuk kedalam bersama. Aku memilih untuk tidak membaur dan masuk ke dalam kamar.

POV ADRIAN

Kami, aku dan Umi duduk di ruang tamu panti, wajah yang biasa terlihat teduh itu, kali ini terlihat begitu serius, membuatku semakin tegang.

"Umi mau mengatakan apa, Umi?" tanyaku lembut, selain kami sudah saling kenal lama, aku juga sangat menghormati Umi Zubaidah. Sifatnya yang lembut, keibuan, dan penyayang membuatku nyaman saat aku berdekatan dengan beliau.

"Nak Adrian, sekarang Ana sudah resmi menjadi istri Nak Adrian, Ana sudah Umi anggap seperti anak umi sendiri. Ndak gampang menjadi seorang istri, apalagi harus menjadi istri ke dua. Umi minta, Nak Adrian bersikap adil. Setidaknya, jangan pernah menyakiti Ana kalau memang Nak Adrian belum mencintainya." Nasehat umi untukku membuat aku tertunduk diam.

"Ana masih sangat muda, pasti masih perlu banyak belajar, Umi harap Nak Adrian bisa memakluminya kalau Ana banyak kesalahan dalam berumah tangga. Umi titip Ana," sambung Umi, membuatku semakin tertunduk malu. Mungkin Umi sudah merasa bahwa aku tidak menyukai Ana dari tindakanku di rumah sakit tadi.

"Umi, saya akan berusaha bersikap baik pada Ana, saya akan memberikan hak yang sama seperti Najwa pada Ana." Setelah lama terdiam akhirnya aku berani bersuara, Umi pun tersenyum ramah.

POV ANA

Tiga hari setelah dirawat, akhirnya Mbak Najwa diperbolehkan untuk pulang. Mbak Najwa langsung menemuiku untuk menjemputku di Panti.

"An, hari ini mbak mau ajak kamu pulang ke rumah Mas Adrian, rumah kamu," kata Mbak Najwa, saat ini kami berada di ruang tamu panti asuhan, ada mas Adrian dengan muka masamnya dan ada Umi juga yang mendampingiku.

"Apa nggak sebaiknya, aku disini aja Mbak!" Jawabku, sungguh hati ini masih belum ikhlas menjadi orang ketiga dalam rumah tangga orang lain.

"Tempat istri adalah di rumah suaminya Ana, bersama suaminya!" Mbak Najwa tersenyum lembut sembari memegang tanganku.

Deg ... aku tersentak, ada wanita sebaik dan seikhlas Mbak Najwa? Bagiku kalau seandainya dia laki- laki maka sebutan yang cocok untuk dia itu adalah jelmaan malaikat.

"Tapi aku belum siap, Mbak," jawabku.

"Kalau nggak dibiasakan gimana mau siap, An?" ujarnya lagi, membuatku semakin bimbang.

"Ana, apa kata Nak Najwa benar, Nduk, kamu sudah menjadi istri sekarang, tempat istri adalah bersama suaminya, Nduk," sambung Umi, membuatku semakin tak bisa beralasan lagi.

Aku terpaku, memikirkan semua perkataan Umi dan Mbak Najwa, memang benar, saat ini mau atau tidak mau aku adalah istri dari Mas Adrian. Kenyataan pahit itulah yang terjadi saat ini.

Kuhela napas panjang, dengan berat hati akhirnya aku menganggukkan kepalaku pelan. Aku menuruti mbak Najwa untuk pulang bersamanya.

Waktu semakin larut, kami segera berangkat meninggalkan panti menuju rumah Mas Adrian. Di perjalanan, kami tak banyak bicara, aku duduk di bangku belakang, memandang keluar jendela, sesekali melirik Mbak Najwa dan Mas Adrian yang berada di bangku bagian depan. Terlihat Mas Adrian menggenggam erat tangan Mbak Najwa, sedangkan tangan satunya sibuk memegang kemudi, entah kenapa aku merasa saat ini Mas Adrian memang sengaja ingin menunjukkan padaku, bahwa ia begitu mencintai Mbak Najwa.

Aku tak peduli, aku hanya melihatnya sekilas, selebihnya aku menghabiskan waktu perjalananku dengan melihat pemandangan yang ada di sekelilingku.

"Mas, lepasin dong, bahaya!" Bisik Mbak Najwa pada Mas Adrian terdengar samar di telingaku.

"Aku kangen sama kamu, Sayang," jawab Mas Adrian tanpa rasa malunya.

"Mas!" Mbak Najwa mendengus kesal, mungkin ia merasa tak enak padaku, dan akhirnya Mas Adrian melepaskan genggamannya.

"An, kita mampir cari makan dulu, ya? kamu belum makan, kan?" tanya Mbak Najwa padaku.

"Terserah mbak aja," jawabku malas.

Hingga akhirnya Mas Adrian memarkirkan mobilnya di depan sebuah restoran, cukup besar dan mewah. Mas Adrian turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Mbak Najwa. Dan aku, tentu aku membuka pintuku sendiri, toh aku masih muda dan sehat, pikirku menghibur diri.

"Kalau buka pintu buat aku, kamu buka juga dong buat Ana, Mas!" seru Mbak Najwa pada Mas Adrian saat aku baru keluar dari mobil. Mas Adrian berdecak kesal

"Nggak papa, Mbak, aku bisa sendiri, toh aku masih kuat kalau cuma untuk membuka pintu mobil saja," sindirku pada Mas Adrian.

Kamipun segera masuk ke restoran mewah itu, aku memesan nasi goreng dan jus jeruk. Sedangkan mereka, dua pasangan yang menurutku lebay itu masih sibuk memilih makanan kesukaan satu sama lain, aku hanya bisa merasa geli melihatnya.

Aku fokus menghabiskan nasi goreng pesanan-ku dan Mas Adrian lebih fokus menyuapi Mbak Najwa. Benar- benar bagai melihat adegan romantis live di depan mataku. Kuhembuskan napas panjang karena sepertinya aku harus kebal melihat itu setiap harinya setelah ini.

"Aku ke toilet dulu ya, Mas," pamit Mbak Najwa di sela- sela makan malam kami.

"Mau aku anter, Sayang?" kata Mas Adrian hendak berdiri.

"Nggak usah, kamu disini aja temani Ana," tolak Mbak Najwa.

Mas Adrian pun duduk kembali dan Mbak Najwa segera pergi ke toilet.

Sekarang kami hanya berdua, hanya ada mas Adrian dan aku yang duduk berhadapan. Entah kenapa aku merasa canggung, keringat dingin menguasai tubuhku saat ini, hingga Mas Adrian membuka percakapan.

"An," panggilnya.

"Hah? Iya," jawabku terkejut, lalu menyesap jus jeruk untuk mengurangi keteganganku.

"Sekarang kamu memang sudah menjadi istri sahku. Aku akan memberikan nafkah lahir dengan adil, sama seperti Najwa. Karena aku sudah janji pada Umi. Namun, jangan pernah berharap lebih dariku. Karena hatiku hanya untuk Najwa," ucap Mas Adrian begitu mantap, tanpa memikirkan perasaanku sama sekali, setidaknya tidak perlu bilang bahwa itu kemauan Umi.

"Aku menikah denganmu juga hanya karena Mbak Najwa. Jadi, kamu jangan khawatir kalau aku akan meminta lebih," jawabku tanpa menoleh dan tetap fokus pada jus jeruk.

Kami segera pulang ke rumah setelah makan malam selesai. Sekarang, Mobil Mas Adrian memasuki sebuah komplek elit, terlihat banyak rumah mewah di sekeliling jalanan kami. Sampai akhirnya mobil Mas Adrian masuk ke dalam sebuah halaman yang memiliki pagar besi menjulang tinggi. Mbak Najwa segera mengajakku masuk ke dalam dan menyuruh Pak Anam membawa koperku ke kamar. Pak Anam sepertinya adalah satpam di rumah ini, terlihat dari baju yang dikenakanya.

Aku masuk mengekori Mbak Najwa dan Mas Adrian. Rumah terlihat sangat sepi, karena kabarnya Pak Pramono dan ibu Pramono sedang pergi haji. Memang, baru kali ini aku masuk ke rumah yang begitu mewah, aku terpukau, rumah dua lantai yang terlihat begitu luas, ada kolam renang yang terletak di halaman belakang. Kuamati setiap sudut ruangan yang aku lewati, terlihat begitu indah, banyak sekali hiasan yang terbuat seperti kristal tertata begitu apik di sebuah lemari kaca yang besarnya hampir menyamai ruang tamu di panti, sungguh indah.

"An!" panggil Mbak Najwa menepuk pundakku, sontak aku terkejut, dan mengakhiri kekagumanku pada rumah itu.

"Eh, iya, Mbak," jawabku.

"Ini kamarmu, An. Kamar mbak ada di sebelah, kalau kamu butuh apa- apa kamu ketok aja, atau minta sama Bi Minah," kata Mbak Najwa membukakan pintu kamar dan mengajakku masuk ke dalam, kamar yang cukup luas bagiku dibanding kamarku di panti, fasilitasnya juga cukup lengkap, ada kamar mandi di dalam dan juga televisi yang cukup besar bagiku.

Sedangkan Mas Adrian? Tentu lebih memilih untuk langsung ke kamarnya ketimbang ikut mengantarku ke kamar.

"Iya, Mbak, Makasih," jawabku.

"O, ya, Mbak. Besok aku udah mulai kerja," kataku sebelum Mbak Najwa pergi.

"Kamu? Kerja?!" Mbak Najwa melihatku heran sambil melipat dahinya.

"Iya, Mbak, di Rumah Sakit tempat Mbak dirawat," jelasku, setelah aku kembali dari menjenguk Mbak Najwa dua hari yang lalu, Mbak Lia menghubungiku, bahwa ada rekrutmen karyawan di rumah sakit tempatnya bekerja. Dia tau prestasiku dan sebelumnya aku juga sempat tanya lowongan pekerjaan padanya. Mendengar itu, aku langsung menyerahkan CV ke rumah sakit itu dan Alhamdulillah aku diterima.

"Ana, kamu nggak perlu kerja, Mas Adrian akan mencukupi kebutuhanmu, kamu nggak akan kekurangan," jelasnya padaku.

"Mbak, ini cita- citaku, Mbak. Tolong mengerti, Mbak. Aku mohon!" Kutangkupkan kedua tanganku di dada, dengan wajah memelasku, aku mencoba merayu Mbak Najwa.

Mbak Najwa menghembuskan napas lelahnya.

"Kerja jadi perawat itu berat, An. Belum lagi harus sistem shift, Mbak nggak mau kamu kecapekan. Kamu harus memberi keturunan pada Mas Adrian."

Deg ... jantungku serasa ingin loncat dari tempatnya. Mbak Najwa sepertinya terlalu berharap tanpa tau bagaimana sebenarnya hubunganku dengan suaminya itu.

"Aku kan anak kesehatan, Mbak.

Jadi aku tau benar bagaimana cara menjaga kesehatanku, Mbak," bujukku memegang tangan Mbak Najwa.

"Hem ... Ya sudah lah, An. Kalau kamu maksa, tapi kamu harus janji. Kalau kamu capek, kamu harus berhenti," ucapnya mengalah.

"Siap, Mbak," jawabku bersemangat.

Pagi ini terasa lebih berwarna dan begitu indah. Pagi- pagi sekali aku sudah bersiap pergi ke Rumah Sakit karena aku tidak mau terlambat di hari pertamaku bekerja, aku harus memberikan kesan yang baik.

"Kamu sudah rapi mau ke mana?" Ketus Mas Adrian yang duduk di meja makan, melihatku dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Sebenarnya kalau dibilang rapi sih biasa aja, tenaga kesehatan tidak diperbolehkan memakai seragam dari rumah, aku hanya memakai celana jeans dan kaos yang kututupi dengan outer rajut kesayanganku, maklum aku termasuk pecinta Korea.

Akupun gugup melihat Mas Adrian yang seakan mengabsen penampilanku. Kutundukkan kepalaku dengan cepat.

"Mau kerja, Mas," jawabku pelan.

"Iya, Mas. Hari ini Ana diterima kerja. Duduk An, sarapan dulu!" seru Mbak Najwa yang baru kembali dari dapur, membawa dua piring nasi goreng, ia memberikannya padaku dan Mas Adrian.

"Baguslah, jadi aku nggak sering- sering lihat kamu. Kalau bisa shift-nya malam aja terus, jadi, kalau aku di rumah kamu nggak di rumah," ceplos Mas Adrian tanpa perasaan.

"Mas ...." Lembut Mbak Najwa melirik tajam suaminya yang juga suamiku itu.

"Di Rumah sakit mana?" tanya Mas Adrian lagi.

"Internasional Hospital" jawabku singkat.

"Hebat juga bisa masuk di sana," kata Mas Adrian mengiringkan senyumnya. Aku tersenyum samar, aku tak tau apakah suamiku itu sekarang sedang memujiku atau mengejekku.

"Udah, Mas makan dulu. An, ayo makan nanti telat. Mas Adrian akan mengantarmu hari ini," kata mbak Najwa, sontak membuatku dan Mas Adrian terkejut.

"Aku? Anter dia?!" tanya Mas Adrian penuh penekanan.

"Aku bisa naik taksi, Mbak. Dan hari ini aku sudah suruh orang ambil motorku di panti, besok aku bisa naik motor," selaku begitu melihat ekspresi wajah Mas Adrian.

"Tapi, An."

"Udahlah, Sayang. Biarin aja," potong Mas Adrian, Mbak Najwa mendengkus. Melihat Mbak Najwa yang kesal, Mas Adrian pun merasa bersalah.

"Hari ini, saya drop kamu, hari ini aja!" kata Mas Adrian. Kuanggukkan kepalaku pelan. Mbak Najwa pun tersenyum senang.

Kami segera berangkat setelah sarapan selesai. Seperti janjinya, Mas Adrian melajukan mobil Pajero sportnya dengan kencang, mengantarku ke rumah sakit. Dalam perjalanan kami hanya ditemani sebuah lagu dari Angga Chandra, Sampai tutup usia. Aku mendengarkan lagu yang mencerminkan kisah cinta sejati itu dengan khidmat, kudengarkan setiap liriknya, kuharapkan kisah cintaku bak lagu ini, namun sepertinya sulit setelah kulirik pria yang ada di sebelahku dengan muka datarnya itu.

Tak terasa kita sudah berada di depan sebuah rumah sakit megah. Aku segera keluar, namun tiba- tiba Mas Adrian mengulurkan tangannya, aku tau maksudnya, segera kuraih tangan itu dan kukecup punggung tangan Mas Adrian. Ada rasa yang berbeda yang tak bisa kuartikan saat aku melakukannya, rasa berdebar, dan bahagia.

"Nanti kamu pulang naik taksi aja, aku harus antar Najwa ke rumah mamanya!" kata Mas Adrian sebelum pergi.

"Oh ... iya, Mas, Assalamua'laikum."

"Wa'alaikumsalam," jawabnya. Mas Adrian pun segera pergi dari tempat itu.

Aku berbalik memandang gedung megah di depanku. Bekerja di rumah sakit ini adalah impianku. Rumah Sakit tempatku bekerja termasuk salah satu rumah sakit terbesar dan terbaik di Jakarta, aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.

"Fighting!" kataku seraya mengangkat dan mengepalkan tanganku, sebagai tanda semangatku sebelum memasuki gedung impianku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status