Bab 2. Istri ke dua
Setelah ijab kabul itu berlangsung, aku dan umi memutuskan untuk kembali ke panti. "Mbak, saya pulang dulu," pamitku pada Mbak Najwa yang masih terbaring lemah, namun wajahnya terlihat sangat berbinar. "Biar Mas Adrian ya, yang antar," tawar Mbak Najwa "Nggak usah, Mbak, aku udah pesen taksi online tadi," tolakku Melihat wajah Mas Adrian yang sangat tidak bersahabat itu, aku cukup tau diri. "Cancel aja, An!" seru Mbak Najwa. "Mas, kamu anter Umi sama Ana, ya!" perintah Mbak Najwa yang terkesan memaksa Mas Adrian. "Tapi, nanti kamu di sini sama siapa, Sayang?" kata Mas Adrian. Aku tahu dia hanya beralasan. "Ada suster, Mas!" jawab Mbak Najwa. "Ya sudah kalau kamu maksa, mari Umi, saya anter," ajak Mas Adrian pada Umi tanpa menoleh atau menyebut namaku sekalipun. Mas Adrian segera berpamitan pada Mbak Najwa dan mengecup kening Mbak Najwa penuh kasih sayang. Umi dan aku hanya bisa saling memandang melihat Mas Adrian yang begitu sayang pada Mbak Najwa. Pikiranku pun melayang, bagaimana bisa aku berada di tengah-tengah orang yang begitu saling mengasihi? Bisa dan kuatkah aku? Bagaimana aku bisa menjalani hari-hariku sebagai istri ke dua? Semua pikiran itu menguasai otakku saat ini. Hingga suara bariton Mas Adrian membuyarkan semuanya. "Ayo kita pergi!" ajak Mas Adrian, aku dan Umi mengekori Mas Adrian yang berjalan lebih dulu di depanku. Dalam perjalanan pulang, Mas Adrian terlihat asik ngobrol dengan Umi membahas panti, aku hanya bisa diam, duduk di bangku belakang. Memikirkan apa yang akan terjadi dengan kehidupanku setelah ini. Sampai akhirnya kita pun tiba di halaman panti. Aku dan Umi segera turun dari mobil, dan Mas Adrian bersiap untuk langsung pamit, namun umi mencegahnya. "Nak Adrian, Umi mau bicara sebentar, boleh?" ijin Umi. "Oh ... iya Umi," jawab Mas Adrian, kami pun masuk kedalam bersama. Aku memilih untuk tidak membaur dan masuk ke dalam kamar. POV ADRIAN Kami, aku dan Umi duduk di ruang tamu panti, wajah yang biasa terlihat teduh itu, kali ini terlihat begitu serius, membuatku semakin tegang. "Umi mau mengatakan apa, Umi?" tanyaku lembut, selain kami sudah saling kenal lama, aku juga sangat menghormati Umi Zubaidah. Sifatnya yang lembut, keibuan, dan penyayang membuatku nyaman saat aku berdekatan dengan beliau. "Nak Adrian, sekarang Ana sudah resmi menjadi istri Nak Adrian, Ana sudah Umi anggap seperti anak umi sendiri. Ndak gampang menjadi seorang istri, apalagi harus menjadi istri ke dua. Umi minta, Nak Adrian bersikap adil. Setidaknya, jangan pernah menyakiti Ana kalau memang Nak Adrian belum mencintainya." Nasehat umi untukku membuat aku tertunduk diam. "Ana masih sangat muda, pasti masih perlu banyak belajar, Umi harap Nak Adrian bisa memakluminya kalau Ana banyak kesalahan dalam berumah tangga. Umi titip Ana," sambung Umi, membuatku semakin tertunduk malu. Mungkin Umi sudah merasa bahwa aku tidak menyukai Ana dari tindakanku di rumah sakit tadi. "Umi, saya akan berusaha bersikap baik pada Ana, saya akan memberikan hak yang sama seperti Najwa pada Ana." Setelah lama terdiam akhirnya aku berani bersuara, Umi pun tersenyum ramah. POV ANA Tiga hari setelah dirawat, akhirnya Mbak Najwa diperbolehkan untuk pulang. Mbak Najwa langsung menemuiku untuk menjemputku di Panti. "An, hari ini mbak mau ajak kamu pulang ke rumah Mas Adrian, rumah kamu," kata Mbak Najwa, saat ini kami berada di ruang tamu panti asuhan, ada mas Adrian dengan muka masamnya dan ada Umi juga yang mendampingiku. "Apa nggak sebaiknya, aku disini aja Mbak!" Jawabku, sungguh hati ini masih belum ikhlas menjadi orang ketiga dalam rumah tangga orang lain. "Tempat istri adalah di rumah suaminya Ana, bersama suaminya!" Mbak Najwa tersenyum lembut sembari memegang tanganku. Deg ... aku tersentak, ada wanita sebaik dan seikhlas Mbak Najwa? Bagiku kalau seandainya dia laki- laki maka sebutan yang cocok untuk dia itu adalah jelmaan malaikat. "Tapi aku belum siap, Mbak," jawabku. "Kalau nggak dibiasakan gimana mau siap, An?" ujarnya lagi, membuatku semakin bimbang. "Ana, apa kata Nak Najwa benar, Nduk, kamu sudah menjadi istri sekarang, tempat istri adalah bersama suaminya, Nduk," sambung Umi, membuatku semakin tak bisa beralasan lagi. Aku terpaku, memikirkan semua perkataan Umi dan Mbak Najwa, memang benar, saat ini mau atau tidak mau aku adalah istri dari Mas Adrian. Kenyataan pahit itulah yang terjadi saat ini. Kuhela napas panjang, dengan berat hati akhirnya aku menganggukkan kepalaku pelan. Aku menuruti mbak Najwa untuk pulang bersamanya. Waktu semakin larut, kami segera berangkat meninggalkan panti menuju rumah Mas Adrian. Di perjalanan, kami tak banyak bicara, aku duduk di bangku belakang, memandang keluar jendela, sesekali melirik Mbak Najwa dan Mas Adrian yang berada di bangku bagian depan. Terlihat Mas Adrian menggenggam erat tangan Mbak Najwa, sedangkan tangan satunya sibuk memegang kemudi, entah kenapa aku merasa saat ini Mas Adrian memang sengaja ingin menunjukkan padaku, bahwa ia begitu mencintai Mbak Najwa. Aku tak peduli, aku hanya melihatnya sekilas, selebihnya aku menghabiskan waktu perjalananku dengan melihat pemandangan yang ada di sekelilingku. "Mas, lepasin dong, bahaya!" Bisik Mbak Najwa pada Mas Adrian terdengar samar di telingaku. "Aku kangen sama kamu, Sayang," jawab Mas Adrian tanpa rasa malunya. "Mas!" Mbak Najwa mendengus kesal, mungkin ia merasa tak enak padaku, dan akhirnya Mas Adrian melepaskan genggamannya. "An, kita mampir cari makan dulu, ya? kamu belum makan, kan?" tanya Mbak Najwa padaku. "Terserah mbak aja," jawabku malas. Hingga akhirnya Mas Adrian memarkirkan mobilnya di depan sebuah restoran, cukup besar dan mewah. Mas Adrian turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Mbak Najwa. Dan aku, tentu aku membuka pintuku sendiri, toh aku masih muda dan sehat, pikirku menghibur diri. "Kalau buka pintu buat aku, kamu buka juga dong buat Ana, Mas!" seru Mbak Najwa pada Mas Adrian saat aku baru keluar dari mobil. Mas Adrian berdecak kesal "Nggak papa, Mbak, aku bisa sendiri, toh aku masih kuat kalau cuma untuk membuka pintu mobil saja," sindirku pada Mas Adrian. Kamipun segera masuk ke restoran mewah itu, aku memesan nasi goreng dan jus jeruk. Sedangkan mereka, dua pasangan yang menurutku lebay itu masih sibuk memilih makanan kesukaan satu sama lain, aku hanya bisa merasa geli melihatnya. Aku fokus menghabiskan nasi goreng pesanan-ku dan Mas Adrian lebih fokus menyuapi Mbak Najwa. Benar- benar bagai melihat adegan romantis live di depan mataku. Kuhembuskan napas panjang karena sepertinya aku harus kebal melihat itu setiap harinya setelah ini. "Aku ke toilet dulu ya, Mas," pamit Mbak Najwa di sela- sela makan malam kami. "Mau aku anter, Sayang?" kata Mas Adrian hendak berdiri. "Nggak usah, kamu disini aja temani Ana," tolak Mbak Najwa. Mas Adrian pun duduk kembali dan Mbak Najwa segera pergi ke toilet. Sekarang kami hanya berdua, hanya ada mas Adrian dan aku yang duduk berhadapan. Entah kenapa aku merasa canggung, keringat dingin menguasai tubuhku saat ini, hingga Mas Adrian membuka percakapan. "An," panggilnya. "Hah? Iya," jawabku terkejut, lalu menyesap jus jeruk untuk mengurangi keteganganku. "Sekarang kamu memang sudah menjadi istri sahku. Aku akan memberikan nafkah lahir dengan adil, sama seperti Najwa. Karena aku sudah janji pada Umi. Namun, jangan pernah berharap lebih dariku. Karena hatiku hanya untuk Najwa," ucap Mas Adrian begitu mantap, tanpa memikirkan perasaanku sama sekali, setidaknya tidak perlu bilang bahwa itu kemauan Umi. "Aku menikah denganmu juga hanya karena Mbak Najwa. Jadi, kamu jangan khawatir kalau aku akan meminta lebih," jawabku tanpa menoleh dan tetap fokus pada jus jeruk. Kami segera pulang ke rumah setelah makan malam selesai. Sekarang, Mobil Mas Adrian memasuki sebuah komplek elit, terlihat banyak rumah mewah di sekeliling jalanan kami. Sampai akhirnya mobil Mas Adrian masuk ke dalam sebuah halaman yang memiliki pagar besi menjulang tinggi. Mbak Najwa segera mengajakku masuk ke dalam dan menyuruh Pak Anam membawa koperku ke kamar. Pak Anam sepertinya adalah satpam di rumah ini, terlihat dari baju yang dikenakanya. Aku masuk mengekori Mbak Najwa dan Mas Adrian. Rumah terlihat sangat sepi, karena kabarnya Pak Pramono dan ibu Pramono sedang pergi haji. Memang, baru kali ini aku masuk ke rumah yang begitu mewah, aku terpukau, rumah dua lantai yang terlihat begitu luas, ada kolam renang yang terletak di halaman belakang. Kuamati setiap sudut ruangan yang aku lewati, terlihat begitu indah, banyak sekali hiasan yang terbuat seperti kristal tertata begitu apik di sebuah lemari kaca yang besarnya hampir menyamai ruang tamu di panti, sungguh indah. "An!" panggil Mbak Najwa menepuk pundakku, sontak aku terkejut, dan mengakhiri kekagumanku pada rumah itu. "Eh, iya, Mbak," jawabku. "Ini kamarmu, An. Kamar mbak ada di sebelah, kalau kamu butuh apa- apa kamu ketok aja, atau minta sama Bi Minah," kata Mbak Najwa membukakan pintu kamar dan mengajakku masuk ke dalam, kamar yang cukup luas bagiku dibanding kamarku di panti, fasilitasnya juga cukup lengkap, ada kamar mandi di dalam dan juga televisi yang cukup besar bagiku. Sedangkan Mas Adrian? Tentu lebih memilih untuk langsung ke kamarnya ketimbang ikut mengantarku ke kamar. "Iya, Mbak, Makasih," jawabku. "O, ya, Mbak. Besok aku udah mulai kerja," kataku sebelum Mbak Najwa pergi. "Kamu? Kerja?!" Mbak Najwa melihatku heran sambil melipat dahinya. "Iya, Mbak, di Rumah Sakit tempat Mbak dirawat," jelasku, setelah aku kembali dari menjenguk Mbak Najwa dua hari yang lalu, Mbak Lia menghubungiku, bahwa ada rekrutmen karyawan di rumah sakit tempatnya bekerja. Dia tau prestasiku dan sebelumnya aku juga sempat tanya lowongan pekerjaan padanya. Mendengar itu, aku langsung menyerahkan CV ke rumah sakit itu dan Alhamdulillah aku diterima. "Ana, kamu nggak perlu kerja, Mas Adrian akan mencukupi kebutuhanmu, kamu nggak akan kekurangan," jelasnya padaku. "Mbak, ini cita- citaku, Mbak. Tolong mengerti, Mbak. Aku mohon!" Kutangkupkan kedua tanganku di dada, dengan wajah memelasku, aku mencoba merayu Mbak Najwa. Mbak Najwa menghembuskan napas lelahnya. "Kerja jadi perawat itu berat, An. Belum lagi harus sistem shift, Mbak nggak mau kamu kecapekan. Kamu harus memberi keturunan pada Mas Adrian." Deg ... jantungku serasa ingin loncat dari tempatnya. Mbak Najwa sepertinya terlalu berharap tanpa tau bagaimana sebenarnya hubunganku dengan suaminya itu. "Aku kan anak kesehatan, Mbak. Jadi aku tau benar bagaimana cara menjaga kesehatanku, Mbak," bujukku memegang tangan Mbak Najwa. "Hem ... Ya sudah lah, An. Kalau kamu maksa, tapi kamu harus janji. Kalau kamu capek, kamu harus berhenti," ucapnya mengalah. "Siap, Mbak," jawabku bersemangat. Pagi ini terasa lebih berwarna dan begitu indah. Pagi- pagi sekali aku sudah bersiap pergi ke Rumah Sakit karena aku tidak mau terlambat di hari pertamaku bekerja, aku harus memberikan kesan yang baik. "Kamu sudah rapi mau ke mana?" Ketus Mas Adrian yang duduk di meja makan, melihatku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sebenarnya kalau dibilang rapi sih biasa aja, tenaga kesehatan tidak diperbolehkan memakai seragam dari rumah, aku hanya memakai celana jeans dan kaos yang kututupi dengan outer rajut kesayanganku, maklum aku termasuk pecinta Korea. Akupun gugup melihat Mas Adrian yang seakan mengabsen penampilanku. Kutundukkan kepalaku dengan cepat. "Mau kerja, Mas," jawabku pelan. "Iya, Mas. Hari ini Ana diterima kerja. Duduk An, sarapan dulu!" seru Mbak Najwa yang baru kembali dari dapur, membawa dua piring nasi goreng, ia memberikannya padaku dan Mas Adrian. "Baguslah, jadi aku nggak sering- sering lihat kamu. Kalau bisa shift-nya malam aja terus, jadi, kalau aku di rumah kamu nggak di rumah," ceplos Mas Adrian tanpa perasaan. "Mas ...." Lembut Mbak Najwa melirik tajam suaminya yang juga suamiku itu. "Di Rumah sakit mana?" tanya Mas Adrian lagi. "Internasional Hospital" jawabku singkat. "Hebat juga bisa masuk di sana," kata Mas Adrian mengiringkan senyumnya. Aku tersenyum samar, aku tak tau apakah suamiku itu sekarang sedang memujiku atau mengejekku. "Udah, Mas makan dulu. An, ayo makan nanti telat. Mas Adrian akan mengantarmu hari ini," kata mbak Najwa, sontak membuatku dan Mas Adrian terkejut. "Aku? Anter dia?!" tanya Mas Adrian penuh penekanan. "Aku bisa naik taksi, Mbak. Dan hari ini aku sudah suruh orang ambil motorku di panti, besok aku bisa naik motor," selaku begitu melihat ekspresi wajah Mas Adrian. "Tapi, An." "Udahlah, Sayang. Biarin aja," potong Mas Adrian, Mbak Najwa mendengkus. Melihat Mbak Najwa yang kesal, Mas Adrian pun merasa bersalah. "Hari ini, saya drop kamu, hari ini aja!" kata Mas Adrian. Kuanggukkan kepalaku pelan. Mbak Najwa pun tersenyum senang. Kami segera berangkat setelah sarapan selesai. Seperti janjinya, Mas Adrian melajukan mobil Pajero sportnya dengan kencang, mengantarku ke rumah sakit. Dalam perjalanan kami hanya ditemani sebuah lagu dari Angga Chandra, Sampai tutup usia. Aku mendengarkan lagu yang mencerminkan kisah cinta sejati itu dengan khidmat, kudengarkan setiap liriknya, kuharapkan kisah cintaku bak lagu ini, namun sepertinya sulit setelah kulirik pria yang ada di sebelahku dengan muka datarnya itu. Tak terasa kita sudah berada di depan sebuah rumah sakit megah. Aku segera keluar, namun tiba- tiba Mas Adrian mengulurkan tangannya, aku tau maksudnya, segera kuraih tangan itu dan kukecup punggung tangan Mas Adrian. Ada rasa yang berbeda yang tak bisa kuartikan saat aku melakukannya, rasa berdebar, dan bahagia. "Nanti kamu pulang naik taksi aja, aku harus antar Najwa ke rumah mamanya!" kata Mas Adrian sebelum pergi. "Oh ... iya, Mas, Assalamua'laikum." "Wa'alaikumsalam," jawabnya. Mas Adrian pun segera pergi dari tempat itu. Aku berbalik memandang gedung megah di depanku. Bekerja di rumah sakit ini adalah impianku. Rumah Sakit tempatku bekerja termasuk salah satu rumah sakit terbesar dan terbaik di Jakarta, aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. "Fighting!" kataku seraya mengangkat dan mengepalkan tanganku, sebagai tanda semangatku sebelum memasuki gedung impianku.Bab 3 Aku segera masuk ke gedung itu, tiba- tiba ada yang menyamai langkahku. "Mbak Lia, ngagetin aja!" Hari ini aku dan Mbak Lia satu shift. Mbak Lia adalah orang yang baik, masih lajang di umurnya yang sudah hampir 30 tahun karena mbak Lia masih setia pada kekasihnya, seorang perwira polisi yang belum bisa pindah tempat dan rencananya akan menikah kalau sudah pindah tempat. "Tadi suami kamu?" tanya Mbak Lia tiba-tiba, aku memperlambat langkahku. "Iya, Mbak." "Tampan, sepertinya juga mapan, tapi sayang sudah punya istri," kata Mbak Lia tersenyum kecut, Mbak Lia sempat kecewa saat aku mengatakan tentang pernikahanku padanya. Menurutnya aku terlalu bodoh. "Mbak ...," kataku manja, Mbak Lia memang sudah menganggapku sebagai adiknya, dia sangat suka cara kerjaku, dan dia juga tau aku anak yatim piatu, jadi dia begitu perhatian padaku. "Ya udah, cepet ganti pakaianmu, kerja yang bagus ya, jangan mengecewakan mbak!" pesan mbak Lia padaku. "Siap, Bos!" jawabku semangat. *** H
Bab 4 POV ADRIAN Setelah pertengkaranku malam ini dengan Najwa, aku memutuskan menenangkan diri, sedangkan Najwa, mungkin saat ini sedang menangis di kamarnya. Aku mungkin memang sangat keterlaluan pada Najwa, namun aku tak mungkin menuruti kemauannya yang konyol. Aku tahu, Najwa sangatlah pencemburu, aku tak mau membuatnya kecewa. Berhadapan dengan Ana, gadis itu ... tak bisa dipungkiri parasnya sangatlah cantik. Bahkan, tanpa polesan pun kecantikannya melebihi Najwa, hidungnya yang mancung dan matanya yang mampu menghipnotis setiap laki- laki yang memandangnya, membuatku memilih untuk bersikap seperti ini saja, aku tak mau jatuh cinta dan membuat Najwa terluka. Sayup-sayup terdengar suara langkah seseorang mendekat ke arahku. Kuhembuskan napas lelahku dan berbalik melihat siapa yang ada di belakangku. "Mas, aku mau membicarakan sesuatu," katanya padaku, ternyata yang menemuiku adalah Ana, Ana yang aku nikahi dalam waktu singkat, sungguh malang nasibnya, harus menjadi istri ke du
Bab. 5 POV ANA Aku masuk ke dalam kamarku, menenggelamkan wajahku pada bantal. Aku merasa begitu tidak berharganya aku sebagai wanita, hingga suamiku sendiri memperlakukan aku serendah itu. Air mataku pun tak bisa kubendung lagi. "Ana." Suara Mbak Najwa tiba-tiba muncul tanpa aku sadari, kuusap air mataku kasar dan berbalik menatapnya. "An, apa Mas Adrian menyakitimu?" tanya Mbak Najwa mendekatiku dan duduk di bibir ranjang, menatapku penuh selidik. "Nggak, Mbak," jawabku menutupi. "Kamu jangan membohongi mbak, An!" tanyanya lagi, aku bergeming. Kukumpulkan seluruh keberanianku, hari ini aku yang akan menyelesaikan masalah ini sendiri. "Mbak, aku ...." Deg ... Tiba- tiba aku teringat atas perkataan Umi, bahwa pernikahan maupun perceraian bukanlah hal yang bisa dibuat mainan. Jika kamu sudah memilih menjadi seorang istri, maka, sebaik-baiknya seorang istri adalah yang taat pada suami. Mas Adrian? Dia tidak menginginkan perceraian, namun juga tidak menginginkanku. Kuurung
POV ANAPagi ini aku dan Mbak Najwa mulai melakukan aktivitas kami di dapur, namun mbak Najwa terlihat lebih banyak diam."Masak apa, Mbak?" tanyaku."Omlet, An, kesukaan Mas Adrian.""Sini mbak aku bantuin." "Nggak usah, An. Bukannya kamu harus kerja?" jawabnya, rasanya ada yang berbeda hari ini. Bukannya baru tadi malam Mbak Najwa mengatakan akan membuat Mas Adrian mencintaiku? Harusnya dia mengajariku memasak makanan kesukaannya, cinta kan bisa saja datang dari perut kata orang."Oh, ya udah, Mbak, kalau gitu aku buatin susu nya, ya?" tawarku lagi"Udah dibuatin Bi Minah, An!" jawab Mbak Najwa."Ana, saya mau bicara," panggil Mas Adrian yang tiba-tiba sudah bersandar di daun pintu dapur. Aku tersentak, teringat kejadian semalam membuatku semakin malas melihatnya."Kenapa masih di situ? Sini!" panggilnya lagi, aku pun pamit pada Mbak Najwa dan mengikutinya, aku pikir pasti dia mau minta maaf karena kejadian semalam.Kami duduk di meja makan, berhadapan, jantungku mulai tak karuan m
POV AUTHORDion hembuskan napas kasarnya setelah keluar dari ruangan Profesor Wijaya. Hari ini cukup melelahkan bagi Dion. Dia dan Profesor Wijaya sampai harus bersitegang, rumah sakit terancam ditutup karena ada salah seorang pasien yang menuntut atas dugaan mal praktek, dan kondisi pasien pun saat ini masih dalam keadaan koma. Profesor menyuruh Dion menghubungi Mirza, cucunya yang tak banyak orang tau, karena Mirza sudah lama meninggalkan Jakarta. Ia memiliki hubungan yang buruk dengan keluarga besarnya. Ia merupakan Anak yang dulu digadang-gadang menjadi penerus perusahaan Ayahnya —Adi Wijaya, dengan IQ nya yang di atas rata- rata sejak kecil, namun Mirza memilih untuk dikeluarkan dari anggota keluarga Wijaya demi cita- citanya menjadi seorang Dokter.Keputusan Mirza membuat Adi Wijaya marah besar dan mengusirnya, walau sebenarnya Adi Wijaya hanya berniat menggertak Mirza saat itu. Sebelumnya, Dion dan Mirza dipertemukan dalam sebuah seminar di Jerman dan mereka saling bertukar no
8. Tugas POV MIRZA Kurenungi semua yang Dokter Dion katakan di telepon subuh tadi, kakekku saat ini sedang berjuang sendirian tanpa siapapun di belakangnya. Dari seluruh keturunan keluarga Wijaya, hanya akulah yang berprofesi sebagai Dokter dan itu pun sudah di coret dari keluarga Wijaya. Kakek tak bisa berbuat apa-apa waktu itu, karena papa termasuk orang yang keras kepala dan berambisi. Dia mengancam akan menutup rumah sakit kakek jika kakek membelaku saat itu. Sampai saat inipun yang aku dengar dari Dokter Dion, mereka tidak berhubungan baik sejak aku pergi meninggalkan Jakarta tujuh tahun yang lalu. Ponsel alarmku bergetar, waktu Jerman sudah menunjukkan pukul 08.00. Tandanya aku harus segera pergi ke rumah sakit. Dengan sepotong sandwich dan segelas susu aku mulai hariku yang gundah ini, lalu kupacu kuda besi hasil kerja kerasku dengan kecepatan tinggi. Setelah kupikirkan matang-matang, dengan berat hati akhirnya kuputuskan untuk mengundurkan diri dan kembali ke Indonesia.
POV AUTHORAlarm Ana memecah heningnya waktu subuh, Ana sengaja membuat catatan di ponselnya agar ia tak lupa dengan tugas negaranya untuk menjemput Dokter Mirza sebelum ia berangkat kerja. Ana segera menyiapkan diri untuk sholat subuh dan setelahnya ia hendak menengok keadaan Najwa, tapi nyatanya pintu kamar Najwa masih tertutup, itu tandanya mereka masih tidur. Diurungkanya niat Ana untuk menengok Najwa, ia tak ingin mengganggu waktu istirahat Najwa dan Adrian. Ana memutuskan untuk membantu Bi Minah di dapur menyiapkan sarapan, karena ia tahu Najwa sedang tidak sehat. Kali ini ia tak mau gegabah membuat masakan, ia hanya membantu Bi Minah memotong bahan dan selebihnya Bi Minah yang memasaknya.Tak terasa waktu sudah pukul 07.30 pagi, hari ini Bi Minah membuat menu sarapan bubur ayam kesukaan Mbak Najwa. Tak lama terlihat Mbak Najwa yang masih pucat turun dari tangga bersama Mas Adrian."Sini Mbak sarapan dulu," ajak Ana menarik kursi untuk Najwa duduki."Makasih, An," ucap Najwa ter
POV ANAAmbulans datang setelah aku menyelesaikan pekerjaanku, terlihat pria tampan itu menuliskan sesuatu dan memberikannya pada seseorang yang kelihatannya akan menemani korban ke rumah sakit, entah apa yang ia katakan pada laki- laki itu, jarak kami cukup jauh. "Astaga." Tiba- tiba aku teringat tugasku untuk menjemput dokter Mirza, kutinggalkan kerumunan orang di sana dan segera berlari masuk ke terminal 2 untuk kedatangan penerbangan internasional, aku harap Dokter Mirza masih menunggu. Segera kubentangkan tanda pengenal yang kubuat semalam. Namun, aku tak kunjung menemukan orang yang sudah Mbak Lia sebutkan ciri-cirinya. Tinggi, pake kacamata itu yang kuingat. Drrrt .... ponselku pun bergetar, telepon dari Dokter Dion masuk, sontak membuatku deg deg an, karena aku dan Dokter Dion tidak pernah berhubungan sebelumnya."Riana! Kamu dimana?" teriak Dokter Dion di seberang telepon."S_saya di Bandara, Dok!" jawabku tebata."Kamu telat, Dokter Mirza sudah naik taksi, dia marah karena
Ana masuk dan menutup pintu dengan kasar lalu menguncinya dari dalam, bahkan saat aku masih terperangah.Kuusap wajahku. "Ya Allah, Ana ...."Tok ... tok ... tok .... "Sayang." Tak mau menyerah, aku pun mencoba untuk mengetuk pintu, namun tak ada jawaban."Sayang .,.." panggilku lagi, akhirnya terdengar suara kunci dibuka. "Alhamdulillah." Ak pun tersenyum lega. Pintu benar-benar dibuka."Nih, ambil," kata Ana memberikan bantal, selimut, dan mantel yang kuletakkan di ranjang tadi padaku."Apa ini?" sentakku sedikit kaget.Ana tak menjawab dan kembali menutup pintu rapat-rapat.Kuhela napas kasar, lalu dengan terpaksa berjalan menuju kamar Dokter Dion. Kupegang handel pintu, tapi tidak bisa terbuka, tertanda Dokter Dion pun mengunci pintu dari dalam. "Sengaja ni orang?" gerutuku, lalu mengacak rambut dengan frustasi.Brak!Brak!Brak!Akhirnya aku menggedor pintu kasar. "Dokter, Buka!" seruku, namun tak ada jawaban. "Dokter Dion! Saya dobrak, ni, kalau nggak buka!" ancamku lagi, na
Aku mengajak Ana untuk keluar dan Ana berkata akan menyusul, karena dia masih harus mencuci mukanya agar tidak terlihat sembab dan memakai hijab dulu.Aku keluar dari kamar dan kulihat Lidia sedang berbincang akrab dengan Dokter Dion, sepertinya mereka sedang membahas masalah kedokteran.Segera kuhampiri dan kusapa, "Lidia ...," kataku sedikit canggung,"Mirza ...." Dia berdiri hendak memelukku. Aku menolak, melangkah mundur ke belakang. "Maaf Lidia jangan biasakan memeluk laki-laki yang bukan suamimu," ujarku dengan nada datar."Mirza, kamu takut? Kita kan dulu biasa melakukannya," ujarnya dengan dahi berkerut bingung."Astaghfirullah," batinku mengingat betapa bodohnya aku dulu, betapa mudahnya aku melakukan itu padahal jelas itu salah dalam ajaranku."Itu dulu Lidia, sebelum saya sadar kalau semua itu salah." "Salah gimana? Ayo lah, Za, itu cuma sekedar sapaan saja kenapa jadi berlebihan?""Ehm ... Karena Mirza nya sudah datang, kalau begitu saya permisi. Za, saya tinggal," pamit
Aku kembali sekitar satu jam, ada beberapa masalah yang harus kuselesaikan. Kucari keberadaan Ana dan Dokter Dion. Kulihat Dokter Dion masih berada di tempat yang sama saat aku meninggalkannya tadi. Sepertinya Dokter Dion sedang membicarakan sesuatu untuk mencari tahu tentang alat yang kudengar dibutuhkan oleh Wijaya Hospital. Tapi Ana, Ana sama sekali tak terlihat di sana."Mana Ana?" tanyaku pada Dokter Dion."Ana? Tadi ada di sini," jawabnya melihat ke arah belakang."Kebiasaan Dokter.""Ke toilet mungkin, Za," sambung Dokter Dion.Kucari Ana ke toilet seperti apa yang dikatakan oleh Dokter Dion. Aku terkejut saat kulihat Ana dan Lidia keluar dari toilet bersamaan. Kuhentikan langkahku sejenak kala keduanya berjalan ke arahku."Mirza." Lidia memanggilku dan Ana memilih pergi, melewatiku begitu saja, tanpa melihat sekalipun ke arahku."Ana ...," panggilku, Ana tak menyahut, dan terus berlalu."Mirza," teriak Lidia, aku tak menyahut, kukejar Ana, entah mengapa aku yakin telah terj
Pengakuan Dokter Dion yang mengatakan sudah mengetahui statusku dan Ana sangatlah mencengangkan. Pasalnya dia sama sekali tidak memperlihatkan itu sejak aku menikah dengan Ana. Yang lebih membuatku cemas lagi adalah Dokter Dion mengatakan bahwa akhir-akhir ini kakekku sering keluar masuk ICU karena kondisi jantungnya yang semakin memburuk dan harus dipasang ring pula.Dokter Dion juga mengatakan, jika tak mau menggantikan, setidaknya persiapkan Ana untuk menggantikan kakek, itu pesan kakekku. Terdengar sangat konyol, mana mungkin aku membiarkan Ana memikul beban seberat itu. Ana masih terlalu muda, pengalamannya pun belum seberapa. Tentu saja aku tidak akan mengijinkan.Aku mengikuti Ana ke dapur setelah Dokter Dion masuk ke kamar untuk siap-siap pergi ke pameran. Karena tak mungkin siap-siap bersamanya, satu kamar dengannya dan ganti baju bersama, membayangkannya saja ngeri.Kubantu Ana untuk mencuci piring karena pakaian Ana sudah begitu rapi jika harus mencuci piring."Ana, sini b
POV MIRZADering ponsel dengan suara adzan subuh yang biasa kupakai untuk membangunkan tidurku akhirnya memecah waktu subuh, aku sengaja mengatur alarm dengan suara Adzan, kebetulan di lingkungan tempat tinggalku tidak terdapat masjid, sehingga aku menggunakan ponselku sebagai pengingat.Kumatikan alarm ponsel, lalu kulihat Ana masih tertidur pulas dalam dekapan. "Sayang ... bangun, sholat subuh yuk." Kugoncang pelan tubuh Ana yang kini sudah lengkap dengan piyamanya. "Hem." Hanya gumaman yang kudengar, selebihnya ia mengubah posisinya seraya menarik selimut, lalu kembali tidur. Aku menggelengkan kepala. Kuputuskan untuk membersihkan diri dan sholat terlebih dahulu, dan akan kubangunkan Ana kembali setelahnya.Aku bergegas kembali ke kamar Dokter Dion yang kusulap menjadi kamarku sebelum meraka datang, kuharap dia belum bangun sehingga tak menyadari bahwa semalam aku tidak ada bersamanya. Kubuka pintu dan kulihat dia masih sama pulasnya dengan Ana. Aku segera mandi dan menjalankan
POV ANAAku masuk ke kamar yang sudah ditunjukkan oleh sang empunya. Kubuka dan kututup kembali. Aku terkejut dengan apa yang aku lihat saat ini. Kamar yang begitu luas dengan dinding kaca besar yang terhubung langsung dengan pemandangan luar, pemandangan langit Berlin terlihat begitu nyata di hadapanku saat ini.Kusunggingkan senyumku saat kudekati ranjang besar di depanku. Di sana sudah tertata hiasan dengan kelopak bunga mawar bentuk love di atasnya. Terdapat pula piyama panjang yang sepertinya untukku, tak lupa dia siapkan pula dua handuk warna putih di dekat piyamaku. "Niat sekali," gumamku tersenyum geli melihat tingkah suamiku yang tak pernah kukira akan seromantis ini.Aku bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri, tak mungkin menyuguhi suamiku dengan tubuh bay keringat karena seharian berada di pesawat. Ya, sebelum aku berangkat ke Berlin, dia sudah berpesan bahwa akan meminta haknya padaku saat aku tiba di Jerman.Usai kubersihkan diri, aku duduk di depan cermin besar
Tiga Minggu KemudianPOV MirzaTiga minggu yang lalu, setelah aku meninggalkan Jakarta. Aku mendapat kabar yang begitu mengejutkan dari Mama soal Ana dan mantan mertuanya, yang bersi keras ingin menjadikan Ana sebagai menantunya lagi. Dan yang lebih mengejutkannya lagi, ternyata mantan mertua Ana adalah teman Mama dan rekan bisnis Papa. Aku marah begitu mendengar itu semua. Dan Mama, lebih marah lagi padaku, menurutnya itu semua terjadi karena sifat keras kepalaku yang tetap memilih Jerman, sehingga membuat Ana menanggung bebannya sendiri. Mama memarahiku habis- habisan.Aku tak masalah, mungkin Mama tak mengerti bagaimana profesiku berjalan. Aku tak bisa begitu saja meninggalkan pasienku, dan mementingkan kehidupan pribadiku dibanding nyawa orang lain. Aku terikat oleh sumpah. Mama juga bilang tentang bunga tanpa nama. Bunga yang sepertinya sudah dikirim beberapa kali untuk Ana dan terakhir Ana menolaknya. Aku berpikir, apa bunga yang dimaksud oleh Mama adalah bunga yang sama dengan
"Iya, Jeng. Nak Ana ini menantu kami dan kami ingin membawanya kembali ke rumah," kata Nyonya Pramono penuh percaya diri."MANTAN, Tante!" tegasku mengingatkan mereka."Tapi, saya sudah melamar Ana untuk Anak bungsu saya, i_ya kan Umi Zubaidah?" kata Tante Ratri yang membuatku lebih terkejut lagi. "Umi? Umi apa-apaan?" bisikku."Sudah, sudah, sudah! Apa-apaan ini, saya bisa pusing," kata Umi memegangi kepalanya."Tapi, Umi. Kami benar-benar ingin Ana menjadi menantu kami lagi," terang Pak Pramono."Berapa kali saya bilang, kalau saya ini, Ana, bukan barang yang main dibuang dan diambil." Keteganganpun mulai terjadi antara aku dan mantan mertuaku."Kami tidak pernah menganggap kamu sebagai barang, An. Justru kami sangat menyayangimu, mencari-cari kamu. Jangan menilai kami seperti itu," jelas Mama Mas Adrian.Kuhela napas panjang. "Oke, cukup semuanya. Mohon maaf, Tante, Tante, dan Om. Saya tidak berminat untuk menerima pinangan dari kalian semua. Karena saya sudah mempunyai pasangan,
POV ANAKuantar kepergian suamiku dengan senyuman subuh tadi, aku tak mau dia melihat kesedihan di wajahku yang bisa saja mengganggu pikiran dan pekerjaannya saat berada jauh dariku. Kutatap wajahku di depan cermin, kulihat tanda kepemilikan di leherku masih terlihat begitu jelas. "Kenapa baru sadar? Memalukan," gumamku.Kulupakan masalah tanda cinta itu, itu hak suamiku, aku tak bisa memarahinya. Kutatap lekat-lekat wajahku. Teringat perkataan suamiku yang lembut, namun, menyiratkan makna begitu dalam. "Bismillah." Kumantapkan hati untuk menutup aurat. Kuambil hijab pemberian Umi dan donatur Panti yang selama ini hanya kusimpan rapi dalam lemari. Jika Bu Ratri yang baru bertemu dengan Umi sekitar satu bulan yang lalu saja mampu merubah penampilannya menjadi anggun dan menutup rapat auratnya, kenapa aku yang dari kecil diasuh dan dibesarkan oleh Umi justru mengabaikan hal itu dan menganggap remeh meski berkali-kali Umi sering mengingatkanku. Kenapa harus menunggu suamiku dulu untu