Bab 3
Aku segera masuk ke gedung itu, tiba- tiba ada yang menyamai langkahku. "Mbak Lia, ngagetin aja!" Hari ini aku dan Mbak Lia satu shift. Mbak Lia adalah orang yang baik, masih lajang di umurnya yang sudah hampir 30 tahun karena mbak Lia masih setia pada kekasihnya, seorang perwira polisi yang belum bisa pindah tempat dan rencananya akan menikah kalau sudah pindah tempat. "Tadi suami kamu?" tanya Mbak Lia tiba-tiba, aku memperlambat langkahku. "Iya, Mbak." "Tampan, sepertinya juga mapan, tapi sayang sudah punya istri," kata Mbak Lia tersenyum kecut, Mbak Lia sempat kecewa saat aku mengatakan tentang pernikahanku padanya. Menurutnya aku terlalu bodoh. "Mbak ...," kataku manja, Mbak Lia memang sudah menganggapku sebagai adiknya, dia sangat suka cara kerjaku, dan dia juga tau aku anak yatim piatu, jadi dia begitu perhatian padaku. "Ya udah, cepet ganti pakaianmu, kerja yang bagus ya, jangan mengecewakan mbak!" pesan mbak Lia padaku. "Siap, Bos!" jawabku semangat. *** Hari ini pekerjaan lumayan padat. Aku ditempatkan di bagian UGD, banyak pasien masuk karena kebetulan lagi musim DBD. Aku pulang tepat pukul 9 malam, aku segera memesan taksi online. "Nggak dijemput suamimu, An?" tanya Mbak Lia yang sudah ada di depan kemudi, kugelengkan kepalaku. "Masuk, aku antar." "Nggak usa, Mbak. Aku udah pesan taksi, kok." "Udah nggak usah nolak, deh!" Akupun tak bisa menolaknya. Akhirnya Mbak Lia mengantarku pulang dengan mobil Avanza yang baru saja lunas dia kredit. Di perjalanan pulang kami cerita banyak hal, tak terkecuali pernikahanku. Mbak Lia semakin tersulut emosi saat mendengar perlakuan Mas Adrian padaku. "Ana, kalau kamu nggak kuat nggak usah dipaksa, ya. Mbak nggak mau kamu tersiksa!" pesan Mbak Lia sebelum ia pergi. "Tenang aja, Mbak," jawabku tersenyum. Tepat pukul setengah 10 malam aku sampai di rumah, mobil Pajero sport sudah terparkir cantik di halaman bersisian dengan motor matic kesayanganku. "Bukannya tadi bilang, mau anter Mbak Najwa ke rumah mamanya?" batinku bertanya. "Ah, sudah lah, bukan urusanku juga!" gumamku lalu aku masuk ke dalam rumah. "Assalamua'laikum." "Wa'alaikumsalam." Bi Minah menjawab. "Mbak Najwa sama Mas Adrian di rumah, Bi?" tanyaku setelah Bi Minah membukakan pintu untukku. "Iya, Neng, lagi nonton tv," jawab Bi Minah. Jelas, sudah pasti mengantar Mbak Najwa cuma akal- akalan Mas Adrian yang tidak ingin menjemputku. Kuhembuskan napas lelahku lalu aku segera berjalan menuju kamar. Kulewati ruang tv, terlihat di sana Mas Adrian sedang tidur di pangkuan Mbak Najwa, Mbak Najwa pun terlihat membelai rambut Mas Adrian sembari tertawa bersama melihat drama kesayangan Mbak Najwa. "Eh, Ana, kamu sudah pulang?" tanya Mbak Najwa, sebenarnya aku tak mau mengganggu, namun Mbak Najwa sepertinya melihat kedatanganku. "Makan dulu sebelum tidur, An!" sambung mbak Najwa. "Iya." Aku pun segera masuk ke kamar membersihkan diri dan mengganti pakaianku dengan piyama. Setelahnya, aku pergi ke dapur dan mengambil makanan seadanya. Lalu menyantapnya di meja makan, kebetulan meja makan ada di depan ruang tv, kali ini terlihat Mbak Najwa dan mas Adrian sudah mengubah posisinya dengan duduk berdampingan. "Hari pertama kamu kerja gimana, An?lancar?" tanya mbak Najwa setengah berteriak, karena jarak kami lumayan jauh dan berbenturan dengan suara televisi pula. "Alhamdulillah lancar, Mbak," jawabku, aku makan cukup lahap karena hari ini cukup menguras tenaga. "Maaf ya, An, tadi Mas Adrian nggak bisa jemput karena harus mengantar Mbak ke rumah Mama, Mamanya Mbak sakit," kata Mbak Najwa menghampiriku. "Uhuk ... uhuk ...." Aku tersedak mendengarnya, rupanya aku telah salah mengira tentang Mas Adrian. "Pelan, An," kata Mbak Najwa memberiku segelas air. "Nggak papa, Mbak. Tadi Ana juga diantar teman Ana kok, Mbak." "Kamu diantar temen kamu? Perempuan apa laki- laki?" sela Mas Adrian yang masih ada di depan TV. "Perempuan, Mas!" jawabku seadanya. Entah mengapa hatiku serasa berbunga mendengar Mas Adrian menanyakan hal itu. Apa itu artinya dia mulai cemburu? "Kamu cemburu ya, Mas?" tanya Mbak Najwa tersenyum. "Cemburu? Ya nggak lah, kalau dia sama cowok kalau sampai diapa- apain, saya juga yang repot, saya harus ngomong apa sama, Umi," jelas Mas Adrian. Ya, lagi-lagi dia melakukan itu karena Umi, aku tak mau berdebat, segera aku pamit untuk beristirahat. "Mbak, aku ke kamar dulu ya, ngantuk, besok harus berangkat pagi." "Ya udah, An. Kamu istirahat lah." Aku pun kembali ke kamar dan Mbak Najwa kembali menuju ke ruang TV. Saat aku melangkahkan kaki menaiki tangga, tiba- tiba langkahku melambat, saat sayup- sayup kudengar ada perdebatan kecil diantara Mas Adrian dan Mbak Najwa karena aku. "Mas, kamu harus bersikap lebih baik lagi dong sama Ana, dia istri kamu juga, kamu harus adil," kata Mbak Najwa. "Sayang, berapa kali aku bilang, aku cuma cinta sama kamu. Aku juga nggak mungkin mau nikah sama Ana kalau kamu nggak maksa waktu itu." "Tapi, Mas, dia istrimu, kamu bisa dosa kalau sampai nggak adil." "Adil yang bagaimana maumu, Najwa? Aku sudah menyiapkan kartu kredit untuknya, besok kamu tinggal kasih aja sama dia." "Bukan kartu kredit aja mas yang dibutuhkan seorang istri." "Lantas?!" "Kamu juga harus adil dalam memberikan nafkah batin, Mas!" "Najwa!" bentak Mas Adrian, membuatku terkejut. Kututup mulutku dengan tanganku, agar suaraku tidak terdengar dan segera pergi ke kamar. Kurenungi setiap kalimat yang baru saja aku dengar. Mas Adrian membentak mbak Najwa karena aku, pertengkaran yang terjadi diantara mereka karena aku. Buliran beningpun lolos dari pelupuk mataku, seandainya aku tidak menerima pernikahan ini, mungkin tidak akan ada pertengkaran antara dua hati yang begitu saling mengasihi. Karena keputusanku, aku membuat diriku sendiri tidak bahagia dan membuat Mas Adrian tersiksa. Dan yang paling aku sesali adalah Mbak Najwa pasti terluka dengan bentakan mas Adrian tadi. Kuusap air mataku.kasar, kupikir tak bisa berdiam diri seperti ini, aku harus berbuat sesuatu. Aku memutuskan untuk menemui Mas Adrian, aku segera keluar dari kamar dan mencari Mas Adrian. Terlihat sekilas ia berdiri di balkon. Mas Adrian sedang berdiri memandang langit malam, sendirian, kuhampiri dia, sebenarnya ada rasa takut saat menemuinya, mengingat seberapa bencinya dia padaku, lebih- lebih dalam kondisinya yang masih dalam emosi. Namun, apa boleh buat, aku harus melakukannya demi kebaikan kita semua. Aku harus mencari solusi atas masalah ini, di sini aku dan Mas Adrian yang salah karena telah menerima permintaan Mbak Najwa. Jadi, mungkin aku harus mencari jalan keluar dengannya.Bab 4 POV ADRIAN Setelah pertengkaranku malam ini dengan Najwa, aku memutuskan menenangkan diri, sedangkan Najwa, mungkin saat ini sedang menangis di kamarnya. Aku mungkin memang sangat keterlaluan pada Najwa, namun aku tak mungkin menuruti kemauannya yang konyol. Aku tahu, Najwa sangatlah pencemburu, aku tak mau membuatnya kecewa. Berhadapan dengan Ana, gadis itu ... tak bisa dipungkiri parasnya sangatlah cantik. Bahkan, tanpa polesan pun kecantikannya melebihi Najwa, hidungnya yang mancung dan matanya yang mampu menghipnotis setiap laki- laki yang memandangnya, membuatku memilih untuk bersikap seperti ini saja, aku tak mau jatuh cinta dan membuat Najwa terluka. Sayup-sayup terdengar suara langkah seseorang mendekat ke arahku. Kuhembuskan napas lelahku dan berbalik melihat siapa yang ada di belakangku. "Mas, aku mau membicarakan sesuatu," katanya padaku, ternyata yang menemuiku adalah Ana, Ana yang aku nikahi dalam waktu singkat, sungguh malang nasibnya, harus menjadi istri ke du
Bab. 5 POV ANA Aku masuk ke dalam kamarku, menenggelamkan wajahku pada bantal. Aku merasa begitu tidak berharganya aku sebagai wanita, hingga suamiku sendiri memperlakukan aku serendah itu. Air mataku pun tak bisa kubendung lagi. "Ana." Suara Mbak Najwa tiba-tiba muncul tanpa aku sadari, kuusap air mataku kasar dan berbalik menatapnya. "An, apa Mas Adrian menyakitimu?" tanya Mbak Najwa mendekatiku dan duduk di bibir ranjang, menatapku penuh selidik. "Nggak, Mbak," jawabku menutupi. "Kamu jangan membohongi mbak, An!" tanyanya lagi, aku bergeming. Kukumpulkan seluruh keberanianku, hari ini aku yang akan menyelesaikan masalah ini sendiri. "Mbak, aku ...." Deg ... Tiba- tiba aku teringat atas perkataan Umi, bahwa pernikahan maupun perceraian bukanlah hal yang bisa dibuat mainan. Jika kamu sudah memilih menjadi seorang istri, maka, sebaik-baiknya seorang istri adalah yang taat pada suami. Mas Adrian? Dia tidak menginginkan perceraian, namun juga tidak menginginkanku. Kuurung
POV ANAPagi ini aku dan Mbak Najwa mulai melakukan aktivitas kami di dapur, namun mbak Najwa terlihat lebih banyak diam."Masak apa, Mbak?" tanyaku."Omlet, An, kesukaan Mas Adrian.""Sini mbak aku bantuin." "Nggak usah, An. Bukannya kamu harus kerja?" jawabnya, rasanya ada yang berbeda hari ini. Bukannya baru tadi malam Mbak Najwa mengatakan akan membuat Mas Adrian mencintaiku? Harusnya dia mengajariku memasak makanan kesukaannya, cinta kan bisa saja datang dari perut kata orang."Oh, ya udah, Mbak, kalau gitu aku buatin susu nya, ya?" tawarku lagi"Udah dibuatin Bi Minah, An!" jawab Mbak Najwa."Ana, saya mau bicara," panggil Mas Adrian yang tiba-tiba sudah bersandar di daun pintu dapur. Aku tersentak, teringat kejadian semalam membuatku semakin malas melihatnya."Kenapa masih di situ? Sini!" panggilnya lagi, aku pun pamit pada Mbak Najwa dan mengikutinya, aku pikir pasti dia mau minta maaf karena kejadian semalam.Kami duduk di meja makan, berhadapan, jantungku mulai tak karuan m
POV AUTHORDion hembuskan napas kasarnya setelah keluar dari ruangan Profesor Wijaya. Hari ini cukup melelahkan bagi Dion. Dia dan Profesor Wijaya sampai harus bersitegang, rumah sakit terancam ditutup karena ada salah seorang pasien yang menuntut atas dugaan mal praktek, dan kondisi pasien pun saat ini masih dalam keadaan koma. Profesor menyuruh Dion menghubungi Mirza, cucunya yang tak banyak orang tau, karena Mirza sudah lama meninggalkan Jakarta. Ia memiliki hubungan yang buruk dengan keluarga besarnya. Ia merupakan Anak yang dulu digadang-gadang menjadi penerus perusahaan Ayahnya —Adi Wijaya, dengan IQ nya yang di atas rata- rata sejak kecil, namun Mirza memilih untuk dikeluarkan dari anggota keluarga Wijaya demi cita- citanya menjadi seorang Dokter.Keputusan Mirza membuat Adi Wijaya marah besar dan mengusirnya, walau sebenarnya Adi Wijaya hanya berniat menggertak Mirza saat itu. Sebelumnya, Dion dan Mirza dipertemukan dalam sebuah seminar di Jerman dan mereka saling bertukar no
8. Tugas POV MIRZA Kurenungi semua yang Dokter Dion katakan di telepon subuh tadi, kakekku saat ini sedang berjuang sendirian tanpa siapapun di belakangnya. Dari seluruh keturunan keluarga Wijaya, hanya akulah yang berprofesi sebagai Dokter dan itu pun sudah di coret dari keluarga Wijaya. Kakek tak bisa berbuat apa-apa waktu itu, karena papa termasuk orang yang keras kepala dan berambisi. Dia mengancam akan menutup rumah sakit kakek jika kakek membelaku saat itu. Sampai saat inipun yang aku dengar dari Dokter Dion, mereka tidak berhubungan baik sejak aku pergi meninggalkan Jakarta tujuh tahun yang lalu. Ponsel alarmku bergetar, waktu Jerman sudah menunjukkan pukul 08.00. Tandanya aku harus segera pergi ke rumah sakit. Dengan sepotong sandwich dan segelas susu aku mulai hariku yang gundah ini, lalu kupacu kuda besi hasil kerja kerasku dengan kecepatan tinggi. Setelah kupikirkan matang-matang, dengan berat hati akhirnya kuputuskan untuk mengundurkan diri dan kembali ke Indonesia.
POV AUTHORAlarm Ana memecah heningnya waktu subuh, Ana sengaja membuat catatan di ponselnya agar ia tak lupa dengan tugas negaranya untuk menjemput Dokter Mirza sebelum ia berangkat kerja. Ana segera menyiapkan diri untuk sholat subuh dan setelahnya ia hendak menengok keadaan Najwa, tapi nyatanya pintu kamar Najwa masih tertutup, itu tandanya mereka masih tidur. Diurungkanya niat Ana untuk menengok Najwa, ia tak ingin mengganggu waktu istirahat Najwa dan Adrian. Ana memutuskan untuk membantu Bi Minah di dapur menyiapkan sarapan, karena ia tahu Najwa sedang tidak sehat. Kali ini ia tak mau gegabah membuat masakan, ia hanya membantu Bi Minah memotong bahan dan selebihnya Bi Minah yang memasaknya.Tak terasa waktu sudah pukul 07.30 pagi, hari ini Bi Minah membuat menu sarapan bubur ayam kesukaan Mbak Najwa. Tak lama terlihat Mbak Najwa yang masih pucat turun dari tangga bersama Mas Adrian."Sini Mbak sarapan dulu," ajak Ana menarik kursi untuk Najwa duduki."Makasih, An," ucap Najwa ter
POV ANAAmbulans datang setelah aku menyelesaikan pekerjaanku, terlihat pria tampan itu menuliskan sesuatu dan memberikannya pada seseorang yang kelihatannya akan menemani korban ke rumah sakit, entah apa yang ia katakan pada laki- laki itu, jarak kami cukup jauh. "Astaga." Tiba- tiba aku teringat tugasku untuk menjemput dokter Mirza, kutinggalkan kerumunan orang di sana dan segera berlari masuk ke terminal 2 untuk kedatangan penerbangan internasional, aku harap Dokter Mirza masih menunggu. Segera kubentangkan tanda pengenal yang kubuat semalam. Namun, aku tak kunjung menemukan orang yang sudah Mbak Lia sebutkan ciri-cirinya. Tinggi, pake kacamata itu yang kuingat. Drrrt .... ponselku pun bergetar, telepon dari Dokter Dion masuk, sontak membuatku deg deg an, karena aku dan Dokter Dion tidak pernah berhubungan sebelumnya."Riana! Kamu dimana?" teriak Dokter Dion di seberang telepon."S_saya di Bandara, Dok!" jawabku tebata."Kamu telat, Dokter Mirza sudah naik taksi, dia marah karena
Aku segera berlari menuju ruang ganti, karena sudah waktunya pergantian shift, harusnya aku shift malam hari ini, yang dimulai pukul 9 malam nanti. Tapi, karena aku harus menemui Dokter Dion akhirnya aku tukar shift jadi shift sore daripada harus bolak-balik, karena kalau harus menunggu malam pasti Dokter Dion keburu pulang.Tok tok tok. Kuketuk ruangan dokter Dion setelah kupastikan sudah tak ada pasien lagi yang menunggu."Cari siapa, Mbak Ana?" tanya Mbak Vira, asisten dokter Dion."Dokter Dion nya ada?" tanyaku."Baru aja keluar," jawab mbak Vira."Waduh ... kalau boleh saya tahu, keluar kemana ya, Mbak? Saya harus segera menemuinya," tanyaku cemas."Nah, itu yang kurang tau, udah gini aja Ana, nanti kalau Dokter Dion datang, aku kabari, soalnya nggak tau kapan kembalinya, pasien juga sudah nggak ada. Kalau kamu tunggu kamu kan harus kerja," terangnya."Oh, iya, Mbak, makasih. Ini nomor saya, Mbak." Kuberikan ponselku pada asisten Dokter Dion dan aku pun segera meninggalkannya set