POV ANA
Pagi ini aku dan Mbak Najwa mulai melakukan aktivitas kami di dapur, namun mbak Najwa terlihat lebih banyak diam. "Masak apa, Mbak?" tanyaku. "Omlet, An, kesukaan Mas Adrian." "Sini mbak aku bantuin." "Nggak usah, An. Bukannya kamu harus kerja?" jawabnya, rasanya ada yang berbeda hari ini. Bukannya baru tadi malam Mbak Najwa mengatakan akan membuat Mas Adrian mencintaiku? Harusnya dia mengajariku memasak makanan kesukaannya, cinta kan bisa saja datang dari perut kata orang. "Oh, ya udah, Mbak, kalau gitu aku buatin susu nya, ya?" tawarku lagi "Udah dibuatin Bi Minah, An!" jawab Mbak Najwa. "Ana, saya mau bicara," panggil Mas Adrian yang tiba-tiba sudah bersandar di daun pintu dapur. Aku tersentak, teringat kejadian semalam membuatku semakin malas melihatnya. "Kenapa masih di situ? Sini!" panggilnya lagi, aku pun pamit pada Mbak Najwa dan mengikutinya, aku pikir pasti dia mau minta maaf karena kejadian semalam. Kami duduk di meja makan, berhadapan, jantungku mulai tak karuan melihat tatapan Mas Adrian yang seolah mengisyaratkan, sesuatu yang begitu penting akan ia sampaikan padaku. "Mulai sekarang saya akan mengantar kamu kerja." "Hah?!" Aku membelalak tak percaya. "Kenapa?" "Nggak usah, Mas, motorku kan udah dateng," tolakku sopan. "Saya nggak ngasih pilihan," jawabnya tegas, semakin membuat hatiku berdebar-debar, ditambah wajahnya yang semakin hari semakin tampan membuatku berbunga- bunga. Aku tertunduk, terlihat Mbak Najwa menghampiri kami dan membawa masakan yang sudah dia siapkan tadi. "Ini sarapannya," kata Mbak Najwa meletakkan nasi dan omlet, tak lupa susu juga untuk kami. Aku segera mengambil nasi dan omlet, lalu menyantapnya. Sedangkan Mbak Najwa mengambil nasi untuk Mas Adrian. "Biar Ana yang melayaniku," kata Mas Adrian yang membuatku lagi-lagi harus tersedak di hadapan mereka. "Uhuk ... Uhuk ...." "Pelan- pelan, An," kata Mas Adrian sembari menuangkan segelas air dan memberikannya padaku. Sedangkan Mbak Najwa tiba-tiba berlari meninggalkan kami. Aku rasa saat ini mereka sedang bertengkar dan Mas Adrian sengaja membuat Mbak Najwa marah. "Kalau lagi marahan, nggak usah bawa-bawa aku, Mas!" kataku pada Mas Adrian, entah darimana datangnya keberanianku, sampai aku mampu mengatakan kalimat itu pada Mas Adrian. Dia melirikku tajam. Aku segera mengambilkan nasi serta lauk untuknya. Lalu kuraih tangannya dan berpamitan. "Assalamualaikum." "Mau ke mana? Kan saya yang mau anter kamu?" "Nggak usah, Mas. Mending selesaikan masalah sama Mbak Najwa dulu, stress nggak baik buat kesehatannya. Nganter aku kalau shift malam aja!" jawabku lalu pergi. "Waalaikumsalam," ujarnya lirih. Segera kuambil helm dan kustarter motor matic kesayanganku, kulajukan dengan kecepatan sedang membelah jalanan kota Jakarta yang cukup padat pagi ini. Dengan sepeda motor, tak perlu waktu lama, aku pun sampai di parkiran rumah sakit lebih cepat, terlihat Mbak Lia baru turun dari mobil dan menghampiriku. "An, serius kamu naik ini?" tanyanya sambil mengitari motorku. "Iya, emang kenapa? Bukannya dulu pas kuliah aku ke sini juga pake ini?" jawabku seraya melepas helm pink kesayangan dari kepalaku dan merapikan rambut yang sedikit berantakan. "Bukannya suami kamu orang kaya?" "Kaya atau nggak, nggak ada hubungannya." "O iya, aku lupa, kamu kan istri yang tak dianggap, kan? Makanya naik motor ini?" ujar Mbak Lia, mengejekku. "Enak aja, tadi Mas Adrian mau nganter aku tau. Cuma aku tolak." "Serius? Kenapa nggak mau?" tanyanya antusias. "Marahan sama istri pertama, aku mau dijadikan alat buat bikin Mbak Najwa cemburu, ya aku tolak lah, biar gini aku juga pinter kali." "Ye, dodol, itu sih lebih parah dari nggak dianggep!" kata Mbak Lia seraya mengacak rambutku, kami pun tertawa bersama. *** Kami segera mengganti pakaian dengan seragam dinas, saat kami keluar, tanpa sengaja aku mendengar percakapan Dokter Dion dan Direktur Utama Rumah Sakit, secara pintu mereka tidak tertutup sempurna. "Saya nggak mau tau, panggil Dokter Mirza secepatnya!" bentak Profesor Wijaya pada Dokter Dion yang merupakan orang kepercayaan Profesor Wijaya di rumah sakit tempatku bekerja, dia adalah dokter spesialis kandungan di rumah sakit ini. Profesor Wijaya adalah Direktur Utama, ia pemilik Rumah sakit yang sudah tak lagi muda, usianya sudah hampir mencapai 80 tahun, namun beliau masih tetap aktif sebagai konsultan di Rumah sakit ini. Sedangkan Dokter Mirza? Baru kali ini aku mendengar namanya, mungkin karena aku baru di sini jadi belum tahu siapa dia. "Tapi, Pak. Apa Dokter Mirza mau? Dokter Mirza sudah memutuskan untuk tidak kembali ke Indonesia sejak masalahnya dengan ...." "Kamu lupa siapa saya dan siapa Mirza?" sela Profesor Wijaya. "Tapi, Pak ...." "Saya nggak mau tau, masalah ini harus segera diselesaikan. Kamu kan masih suka berhubungan dengan Dokter Mirza, terserah usahamu bagaimana, karena hanya Dokter Mirza harapan kita satu-satunya!" "Eh, An. Ngapain masih bengong di situ? Ayo kerja!" ajak mbak Lia yang tadinya sudah berjalan di depanku namun, kembali menghampiriku setelah sadar aku masih mematung di depan pintu ruang direktur. "Eh, iya, Mbak," jawabku lalu berlari kecil menyamakan langkahku dengan Mbak Lia. "Mbak, rumah sakit kita emang ada masalah, ya?" tanyaku pada Mbak Lia yang sudah lebih lama kerja di sini. "Maksudnya?" tanya mbak Lia menghentikan langkahnya. "Tadi nggak sengaja aku dengar, Profesor Wijaya sama Dokter Dion bersitegang, terus sebut nama dokter, Dokter siapa ya?" tanyaku mencoba mengingat nama yang mereka sebut tadi. "Iya ... Dokter Mirza. Siapa Dokter Mirza, Mbak?" "Mirza? Mbak juga nggak tau, An. Udah nggak usah dipikirin, kita kan cuma bawahan, kalau masalah yang begituan sih biar diurus sama yang atas-atas aja, udah sana kerja!" seru Mbak Lia, memang benar juga sih apa katanya, mau masalah seperti apa juga kita cuma perawat yang posisinya di bawah, apa lagi aku, yang baru kerja dalam hitungan hari. Kamipun berpisah, aku segera ke ruang UGD dan Mbak Lia di bagian informasi.POV AUTHORDion hembuskan napas kasarnya setelah keluar dari ruangan Profesor Wijaya. Hari ini cukup melelahkan bagi Dion. Dia dan Profesor Wijaya sampai harus bersitegang, rumah sakit terancam ditutup karena ada salah seorang pasien yang menuntut atas dugaan mal praktek, dan kondisi pasien pun saat ini masih dalam keadaan koma. Profesor menyuruh Dion menghubungi Mirza, cucunya yang tak banyak orang tau, karena Mirza sudah lama meninggalkan Jakarta. Ia memiliki hubungan yang buruk dengan keluarga besarnya. Ia merupakan Anak yang dulu digadang-gadang menjadi penerus perusahaan Ayahnya —Adi Wijaya, dengan IQ nya yang di atas rata- rata sejak kecil, namun Mirza memilih untuk dikeluarkan dari anggota keluarga Wijaya demi cita- citanya menjadi seorang Dokter.Keputusan Mirza membuat Adi Wijaya marah besar dan mengusirnya, walau sebenarnya Adi Wijaya hanya berniat menggertak Mirza saat itu. Sebelumnya, Dion dan Mirza dipertemukan dalam sebuah seminar di Jerman dan mereka saling bertukar no
8. Tugas POV MIRZA Kurenungi semua yang Dokter Dion katakan di telepon subuh tadi, kakekku saat ini sedang berjuang sendirian tanpa siapapun di belakangnya. Dari seluruh keturunan keluarga Wijaya, hanya akulah yang berprofesi sebagai Dokter dan itu pun sudah di coret dari keluarga Wijaya. Kakek tak bisa berbuat apa-apa waktu itu, karena papa termasuk orang yang keras kepala dan berambisi. Dia mengancam akan menutup rumah sakit kakek jika kakek membelaku saat itu. Sampai saat inipun yang aku dengar dari Dokter Dion, mereka tidak berhubungan baik sejak aku pergi meninggalkan Jakarta tujuh tahun yang lalu. Ponsel alarmku bergetar, waktu Jerman sudah menunjukkan pukul 08.00. Tandanya aku harus segera pergi ke rumah sakit. Dengan sepotong sandwich dan segelas susu aku mulai hariku yang gundah ini, lalu kupacu kuda besi hasil kerja kerasku dengan kecepatan tinggi. Setelah kupikirkan matang-matang, dengan berat hati akhirnya kuputuskan untuk mengundurkan diri dan kembali ke Indonesia.
POV AUTHORAlarm Ana memecah heningnya waktu subuh, Ana sengaja membuat catatan di ponselnya agar ia tak lupa dengan tugas negaranya untuk menjemput Dokter Mirza sebelum ia berangkat kerja. Ana segera menyiapkan diri untuk sholat subuh dan setelahnya ia hendak menengok keadaan Najwa, tapi nyatanya pintu kamar Najwa masih tertutup, itu tandanya mereka masih tidur. Diurungkanya niat Ana untuk menengok Najwa, ia tak ingin mengganggu waktu istirahat Najwa dan Adrian. Ana memutuskan untuk membantu Bi Minah di dapur menyiapkan sarapan, karena ia tahu Najwa sedang tidak sehat. Kali ini ia tak mau gegabah membuat masakan, ia hanya membantu Bi Minah memotong bahan dan selebihnya Bi Minah yang memasaknya.Tak terasa waktu sudah pukul 07.30 pagi, hari ini Bi Minah membuat menu sarapan bubur ayam kesukaan Mbak Najwa. Tak lama terlihat Mbak Najwa yang masih pucat turun dari tangga bersama Mas Adrian."Sini Mbak sarapan dulu," ajak Ana menarik kursi untuk Najwa duduki."Makasih, An," ucap Najwa ter
POV ANAAmbulans datang setelah aku menyelesaikan pekerjaanku, terlihat pria tampan itu menuliskan sesuatu dan memberikannya pada seseorang yang kelihatannya akan menemani korban ke rumah sakit, entah apa yang ia katakan pada laki- laki itu, jarak kami cukup jauh. "Astaga." Tiba- tiba aku teringat tugasku untuk menjemput dokter Mirza, kutinggalkan kerumunan orang di sana dan segera berlari masuk ke terminal 2 untuk kedatangan penerbangan internasional, aku harap Dokter Mirza masih menunggu. Segera kubentangkan tanda pengenal yang kubuat semalam. Namun, aku tak kunjung menemukan orang yang sudah Mbak Lia sebutkan ciri-cirinya. Tinggi, pake kacamata itu yang kuingat. Drrrt .... ponselku pun bergetar, telepon dari Dokter Dion masuk, sontak membuatku deg deg an, karena aku dan Dokter Dion tidak pernah berhubungan sebelumnya."Riana! Kamu dimana?" teriak Dokter Dion di seberang telepon."S_saya di Bandara, Dok!" jawabku tebata."Kamu telat, Dokter Mirza sudah naik taksi, dia marah karena
Aku segera berlari menuju ruang ganti, karena sudah waktunya pergantian shift, harusnya aku shift malam hari ini, yang dimulai pukul 9 malam nanti. Tapi, karena aku harus menemui Dokter Dion akhirnya aku tukar shift jadi shift sore daripada harus bolak-balik, karena kalau harus menunggu malam pasti Dokter Dion keburu pulang.Tok tok tok. Kuketuk ruangan dokter Dion setelah kupastikan sudah tak ada pasien lagi yang menunggu."Cari siapa, Mbak Ana?" tanya Mbak Vira, asisten dokter Dion."Dokter Dion nya ada?" tanyaku."Baru aja keluar," jawab mbak Vira."Waduh ... kalau boleh saya tahu, keluar kemana ya, Mbak? Saya harus segera menemuinya," tanyaku cemas."Nah, itu yang kurang tau, udah gini aja Ana, nanti kalau Dokter Dion datang, aku kabari, soalnya nggak tau kapan kembalinya, pasien juga sudah nggak ada. Kalau kamu tunggu kamu kan harus kerja," terangnya."Oh, iya, Mbak, makasih. Ini nomor saya, Mbak." Kuberikan ponselku pada asisten Dokter Dion dan aku pun segera meninggalkannya set
POV MirzaKuhubungi Dokter Dion, kukatakan bahwa aku sudah sampai di rumah sakit, dia mengajakku untuk makan siang terlebih dahulu di kantin rumah sakit, tak sengaja kulihat Ana, gadis yang menjemputku tapi gagal tadi berjalan melewati kantin, dia sudah mengenakan seragam perawat dan terlihat lebih rapi. Ia tampak mengelus perutnya, sepertinya dia lapar, kuamati setiap langkahnya, benar saja dia masuk ke kantin membeli sebuah roti dan minuman, lalu pergi tergesa."Mirza, kenapa bengong?" kejut Dokter Mirza menepuk pundakku."Itu Ana yang dokter suruh jemput saya, kan?" tanyaku melihat ke arah Ana pergi."Kamu sudah kenal? Bukannya tadi Ana nggak ketemu sama kamu?" "Tadi ketemu, Dok, cuma dia nggak tau aja kalau dia satu taksi sama Dokter Mirza, baginya dokter Mirza itu, tua, botak, kayak Albert Einstein," kataku tertawa, mengingat kata-kata itu."Mirza, Ana sudah punya suami!" katanya menatapku curiga, "O ya? Masih muda udah punya suami? Hebat juga, tapi apa hubungannya sama saya?"
POV MIRZASegera aku menuju ruang ICU, kulakukan serangkaian pemeriksaan, Dokter Dion mendampingiku."Siapa yang menangani?" tanyaku sembari melakukan pemerikasaan."Dokter Arman, dokter umum, masih baru, sepertinya kena mental, dan jatuh sakit," jawab dokter Dion, akupun tersenyum."MRI, CT scan, Pemeriksaan darah, Elektroensefolografi EEG, dan lainnya?" tanyaku tanpa jeda."Sudah dilakukan semua, Dok" jawab salah satu perawat pria yang mendampingiku."Laporannya?" pintaku pada mereka."I_ini, Dok!" Seorang perawat wanita menyodorkan map padaku."Kenapa senyum- senyum?" tanyaku mengambil laporan dari tangannya setelah tak sengaja kulihat dia tersenyum padahal tak ada hal yang lucu."Dokter ganteng, udah punya pacar belum?" Kuhembuskan napas panjang dan kembali memeriksa laporan itu."Suster Mia!" sentak Dokter Dion memelototi perawat yang terlihat masih muda dan sepertinya lajang."Maaf, Dok, takut kalah start!" jawabnya menggelitik."Kenapa selang makanan dan obat nggak dipasang?"
POV ANASayang, panggilan yang bahkan tak pernah keluar dari mulut Mas Adrian untukku namun mereka setiap hari mengucapkannya di depan mataku. Kuhembuskan napas kasar, kutahan sekuat tenaga agar air mataku tak kembali jatuh. Aku bergegas menuju meja makan dan kubuka kotak kardus pemberian Mas Adrian. Di sana terlihat ayam bakar madu lengkap dengan nasi dan sambalnya. Aku tak mau membuang tenaga dengan terus menangisi hal yang mustahil untuk kugapai. Aku segera menyantap makanan itu, setidaknya Mas Adrian masih ingat bahwa ada aku juga di sini dengan membelikan makanan ini untukku.Aku beranjak ke kamar setelah makanan beralih ke perutku, kulirik di ruang tv masih ada Mas Adrian dan Mbak Najwa bercanda gurau. "Baru berapa menit janji-janji sekarang sudah mesra-mesra lagi!" keluhku kesal. Tak mau mengganggu, aku pun pergi ke kamar memainkan gawai membuka IG- ku. Sebuah notifikasi pesan masuk di ponselku, segera kubuka dan ternyata Mbak Lia mengirim pesan bahwa ia mengajakku untuk perg
Akhirnya aku sampai di Rumah sakit. Aku berlari menuju UGD setelah mengganti bajuku dengan baju seragam. Teman satu shift-ku pun sudah lengkap dan terlihat sangat sibuk, sepertinya baru saja ada kecelakaan bus. Begitu banyak pasien dari luka ringan hingga berat, teriakan, dan tangisan dari keluarga pasien pun memenuhi ruangan. Benar-benar merasa tidak enak, saat kondisi seperti ini malah datang terlambat."Kenapa baru datang?" tanya Hanin yang terlihat begitu sibuk membersihkan luka pasien."Maaf, " kataku, tanpa banyak lagi beralasan aku segera kubantu mereka. Sepertinya kami harus bekerja keras malam ini.Kesibukan kami baru mereda saat adzan subuh berkumandang."Akhirnya ...," kata Hanin menghempaskan tubuhnya di kursi."Tidurlah dulu, Nin, nanti kita gantian," ujarku yang ikut duduk di kursi sebelah Hanin."Kamu yakin? Kamu tadi juga kerja keras banget lo, An. Mumpung kosong pasien kita tidur sama-sama aja, An, toh nanti mereka akan bangunin kalau ada pasien datang," usul Hanin.
POV ANAHari ini akhirnya kurasakan lagi dekapan suamiku yang sudah sekian lama aku tak merasakannya, kenyamanan dan kehangatan hadir menyelimuti. Hingga semua itu berubah sakit setelah kebohongan yang ia lakukan selama ini terungkap. Ia berkata bahwa ia adalah bagian dari keluarga Wijaya, anak dari Pak Adi Wijaya malah. Bukan masalah siapa dia atau apa, tapi yang membuatku kecewa adalah kenapa harus melandasi sebuah hubungan dengan kebohongan?Kulepas pelukannya dariku, hatiku kacau, orang yang begitu kupercaya semakin memperlihatkan watak aslinya, pembohong. Ya, entah berapa kebohongan lagi yang sudah disimpan olehnya, aku pun tak tahu."Ana, jangan pergi, kita selesaikan baik-baik," cegahnya saat aku mengambil tasku dan membuka pintu."Tiga bulan, Mas, kenapa baru memberitahuku setelah kamu mendapatkan semuanya dariku?" "Apa maksudmu, Ana, apa kamu menyesal?" Aku tak menjawab, lebih baik menghentikan pertengkaran dari pada ucapanku semakin tidak terkontrol dan memperkeruh keada
POV MirzaSetelah kepulangan Ana satu bulan yang lalu, hatiku mulai gamang. Setiap hari aku memikirkan bagaimana agar bisa segera bersama Ana. Kuputuskan untuk turut serta dalam mencari dokter pengganti. Sebab, menunggu pihak rumah sakit mencari penggantiku itu akan memakan waktu lama. Kuhubungi semua rekan yang mungkin bisa membantu. Dan akhirnya usahaku berbuah manis, tak perlu menunggu terlalu lama, kami pun mendapatkan dokter pengganti yang kebetulan adalah sahabat lamaku. Mungkin ini adalah jalan yang diberikan Tuhan padaku.Hari ini aku tiba di Jakarta, bagaimana dengan perasaanku? Tentu saja aku lega dan bahagia, tapi kebahagiaan itu sedikit terganggu saat kami harus bertemu dengan Rania. Mengejutkan memang, tapi masalah harus dihadapi bukan dihindari."Hai, Mirza," sapanya begitu aku dan Ana masuk ke dalam Cafe."Hai," jawabku, kugenggam erat tangan Ana, lalu meninggalkan Rania."Pantaskah seorang perawat biasa masuk ke dalam keluarga ....""Yang lebih tidak pantas lagi adala
POV Ana"Umi, aku pergi ke bandara dulu, mau jemput Mas Dirga," teriakku memakai sepatu, ya hari yang ditunggu akhirnya datang juga. Suamiku pulang ke tanah air dan akan menetap di Jakarta. "Naik motor, An?" tanya Umi keluar dari dapur."Nggak, naik taksi, barangnya pasti banyak. Kan Mas Dirga pulang ke Indonesia selamanya," jawabku masih sibuk dengan sepatuku."Sudah Umi bilang jangan panggil Dirga, Umi bingung," protes Umi."Ya, ya, Dokter Mirza.""Kenapa panggil suami sendiri dokter?""Mas Mirza ...," ralatku yang tak ingin terus berdebat."Itu mending, Umi nggak bingung kalau itu.""Mungkin Ana nggak akan pulang malam ini, Mi, dia pasti akan menawanku," kataku terkekeh pelan sembari merapikan pasmina yang menjuntai panjang."Assalamu'alaikum, Umi," pamitku kucium pipi umi dan kukecup punggung tangannya."Wa'alaikumsalam."Aku bergegas keluar karena taksi sudah kupesan.Langkahku terhenti saat kulihat seseorang yang sangat kubenci berdiri lagi di depanku, Mas Adrian, penampilannya
Satu bulan berikutnya.POV NAJWAPagi ini kami duduk di meja makan. Aku, Mama, dan Papa, itu lah kebiasaan kami selama satu bulan terakhir. Lalu bagaimana dengan suamiku?Dia selalu berangkat lebih pagi dari hari-hari sebelumnya. Sejak Mama dan Papa mengatakan bahwa Ana memiliki pria lain, sejak itu pula Mas Adrian mengikuti dan mencari tahu siapa laki-laki itu, bahkan rela menunggu di depan panti setiap hari hanya untuk mengetahui siapa yang menjemput atau mengantar Ana.Sejak perpisahannya dengan Ana hidupnya semakin tidak terurus, lebih-lebih setelah satu bulan yang lalu, Ana mengembalikan semua bunga yang ia kirim dan menolak kedatangan Papa dan Mama, menolak kembali pada kami. Ya, aku tahu, apa yang dilakukan Mas Adrian, aku mengijinkan, tapi semua sudah terlambat. Penyesalan selalu datang di belakang, itulah yang kualami sekarang. Apa yang kulakukan pada Ana sangatlah tidak pantas, aku yang memaksanya dan aku pula yang mencampakkannya. Bagai barang yang sudah tak kubutuhkan aku
"Cari ini, Sayang ...?" tanyanya memperlihatkan kunci kamar di tangan, kuhampiri dan kuraih, tapi gagal. Dia memasukkan ke dalam baju lapis tiganya dengan cepat. "Nih Ambil sendiri kalau mau," katanya sembari mengangkat kedua tangan. Menantangku.Bagai senjata makan tuan, aku yang harusnya mengunci pintu namun justru aku sendiri yang dikunci. Aku berdecak dan berbalik meninggalkannya, dia menarik tanganku hingga aku jatuh di atas pangkuannya. "Mau ke mana?" tanyanya dengan tatapan yang mengerikan."Mau apa?" tegasku memundurkan wajah."Jangan macam-macam," sambungku berusaha melepaskan tangan yang tiba-tiba saja melingkari pinggangku."Udah marahnya, jangan marah-marah terus. Jangan mengisi kebersamaan yang cuma sebentar ini dengan amarah. Marah, boleh, tapi jangan membiarkan kemarahan itu berlarut, atau bahkan menginap sampai hari esok, Ana," ucapnya penuh kelembutan, lagi-lagi dia membuatku malu dengan caranya menyelesaikan masalah tanpa adanya amarah, yang terlihat di wajahnya sa
Akhirnya aku mengikuti Dokter Dion, pergi mencari buah tangan untuk profesor, tentu saja masih dengan disopiri oleh tuan rumah kami.Aku duduk di bangku belakang, malam ini salju terlihat sudah reda, sehingga kami tidak begitu tersiksa saat berada di luar rumah. Walau demikian kami tetap memakai mantel tebal, mantel coklat susu pemberian Mas Dirga yang kupakai untuk melindungi tubuhku dari dinginnya kota Berlin malam ini. Dan yang membuatku tak habis fikir, Mas Dirga memakai mantel yang senada denganku. Bagaimana bisa? Di depan Dokter Dion memakai mantel yang sama?"Mau makan apa, Ana?" tanya Mas Dirga melirikku dari kaca spion."Ya, terserah, lagian mana saya thau makanan apa yang ada di sini? Kalau saya mau makan ketoprak juga, nggak ada kan?" Ketus aku menjawab karena memang masih sedikit kesal.Dokter Dion terlihat menahan tawa, sedangkan suamiku menghela nafasnya lalu tersenyum, senyum yang dipaksakan."Mirza, Ana bener, mana Ana tahu, Ana baru sekali ke sini," timpal dokter Dion
Ana masuk dan menutup pintu dengan kasar lalu menguncinya dari dalam, bahkan saat aku masih terperangah.Kuusap wajahku. "Ya Allah, Ana ...."Tok ... tok ... tok .... "Sayang." Tak mau menyerah, aku pun mencoba untuk mengetuk pintu, namun tak ada jawaban."Sayang .,.." panggilku lagi, akhirnya terdengar suara kunci dibuka. "Alhamdulillah." Ak pun tersenyum lega. Pintu benar-benar dibuka."Nih, ambil," kata Ana memberikan bantal, selimut, dan mantel yang kuletakkan di ranjang tadi padaku."Apa ini?" sentakku sedikit kaget.Ana tak menjawab dan kembali menutup pintu rapat-rapat.Kuhela napas kasar, lalu dengan terpaksa berjalan menuju kamar Dokter Dion. Kupegang handel pintu, tapi tidak bisa terbuka, tertanda Dokter Dion pun mengunci pintu dari dalam. "Sengaja ni orang?" gerutuku, lalu mengacak rambut dengan frustasi.Brak!Brak!Brak!Akhirnya aku menggedor pintu kasar. "Dokter, Buka!" seruku, namun tak ada jawaban. "Dokter Dion! Saya dobrak, ni, kalau nggak buka!" ancamku lagi, na
Aku mengajak Ana untuk keluar dan Ana berkata akan menyusul, karena dia masih harus mencuci mukanya agar tidak terlihat sembab dan memakai hijab dulu.Aku keluar dari kamar dan kulihat Lidia sedang berbincang akrab dengan Dokter Dion, sepertinya mereka sedang membahas masalah kedokteran.Segera kuhampiri dan kusapa, "Lidia ...," kataku sedikit canggung,"Mirza ...." Dia berdiri hendak memelukku. Aku menolak, melangkah mundur ke belakang. "Maaf Lidia jangan biasakan memeluk laki-laki yang bukan suamimu," ujarku dengan nada datar."Mirza, kamu takut? Kita kan dulu biasa melakukannya," ujarnya dengan dahi berkerut bingung."Astaghfirullah," batinku mengingat betapa bodohnya aku dulu, betapa mudahnya aku melakukan itu padahal jelas itu salah dalam ajaranku."Itu dulu Lidia, sebelum saya sadar kalau semua itu salah." "Salah gimana? Ayo lah, Za, itu cuma sekedar sapaan saja kenapa jadi berlebihan?""Ehm ... Karena Mirza nya sudah datang, kalau begitu saya permisi. Za, saya tinggal," pamit