Share

6. Siapa Mirza?

POV ANA

Pagi ini aku dan Mbak Najwa mulai melakukan aktivitas kami di dapur, namun mbak Najwa terlihat lebih banyak diam.

"Masak apa, Mbak?" tanyaku.

"Omlet, An, kesukaan Mas Adrian."

"Sini mbak aku bantuin."

"Nggak usah, An. Bukannya kamu harus kerja?" jawabnya, rasanya ada yang berbeda hari ini. Bukannya baru tadi malam Mbak Najwa mengatakan akan membuat Mas Adrian mencintaiku? Harusnya dia mengajariku memasak makanan kesukaannya, cinta kan bisa saja datang dari perut kata orang.

"Oh, ya udah, Mbak, kalau gitu aku buatin susu nya, ya?" tawarku lagi

"Udah dibuatin Bi Minah, An!" jawab Mbak Najwa.

"Ana, saya mau bicara," panggil Mas Adrian yang tiba-tiba sudah bersandar di daun pintu dapur. Aku tersentak, teringat kejadian semalam membuatku semakin malas melihatnya.

"Kenapa masih di situ? Sini!" panggilnya lagi, aku pun pamit pada Mbak Najwa dan mengikutinya, aku pikir pasti dia mau minta maaf karena kejadian semalam.

Kami duduk di meja makan, berhadapan, jantungku mulai tak karuan melihat tatapan Mas Adrian yang seolah mengisyaratkan, sesuatu yang begitu penting akan ia sampaikan padaku.

"Mulai sekarang saya akan mengantar kamu kerja."

"Hah?!" Aku membelalak tak percaya.

"Kenapa?"

"Nggak usah, Mas, motorku kan udah dateng," tolakku sopan.

"Saya nggak ngasih pilihan," jawabnya tegas, semakin membuat hatiku berdebar-debar, ditambah wajahnya yang semakin hari semakin tampan membuatku berbunga- bunga.

Aku tertunduk, terlihat Mbak Najwa menghampiri kami dan membawa masakan yang sudah dia siapkan tadi.

"Ini sarapannya," kata Mbak Najwa meletakkan nasi dan omlet, tak lupa susu juga untuk kami. Aku segera mengambil nasi dan omlet, lalu menyantapnya. Sedangkan Mbak Najwa mengambil nasi untuk Mas Adrian.

"Biar Ana yang melayaniku," kata Mas Adrian yang membuatku lagi-lagi harus tersedak di hadapan mereka.

"Uhuk ... Uhuk ...."

"Pelan- pelan, An," kata Mas Adrian sembari menuangkan segelas air dan memberikannya padaku. Sedangkan Mbak Najwa tiba-tiba berlari meninggalkan kami. Aku rasa saat ini mereka sedang bertengkar dan Mas Adrian sengaja membuat Mbak Najwa marah.

"Kalau lagi marahan, nggak usah bawa-bawa aku, Mas!" kataku pada Mas Adrian, entah darimana datangnya keberanianku, sampai aku mampu mengatakan kalimat itu pada Mas Adrian. Dia melirikku tajam. Aku segera mengambilkan nasi serta lauk untuknya. Lalu kuraih tangannya dan berpamitan.

"Assalamualaikum."

"Mau ke mana? Kan saya yang mau anter kamu?"

"Nggak usah, Mas. Mending selesaikan masalah sama Mbak Najwa dulu, stress nggak baik buat kesehatannya. Nganter aku kalau shift malam aja!" jawabku lalu pergi.

"Waalaikumsalam," ujarnya lirih.

Segera kuambil helm dan kustarter motor matic kesayanganku, kulajukan dengan kecepatan sedang membelah jalanan kota Jakarta yang cukup padat pagi ini. Dengan sepeda motor, tak perlu waktu lama, aku pun sampai di parkiran rumah sakit lebih cepat, terlihat Mbak Lia baru turun dari mobil dan menghampiriku.

"An, serius kamu naik ini?" tanyanya sambil mengitari motorku.

"Iya, emang kenapa? Bukannya dulu pas kuliah aku ke sini juga pake ini?" jawabku seraya melepas helm pink kesayangan dari kepalaku dan merapikan rambut yang sedikit berantakan.

"Bukannya suami kamu orang kaya?"

"Kaya atau nggak, nggak ada hubungannya."

"O iya, aku lupa, kamu kan istri yang tak dianggap, kan? Makanya naik motor ini?" ujar Mbak Lia, mengejekku.

"Enak aja, tadi Mas Adrian mau nganter aku tau. Cuma aku tolak."

"Serius? Kenapa nggak mau?" tanyanya antusias.

"Marahan sama istri pertama, aku mau dijadikan alat buat bikin Mbak Najwa cemburu, ya aku tolak lah, biar gini aku juga pinter kali."

"Ye, dodol, itu sih lebih parah dari nggak dianggep!" kata Mbak Lia seraya mengacak rambutku, kami pun tertawa bersama.

***

Kami segera mengganti pakaian dengan seragam dinas, saat kami keluar, tanpa sengaja aku mendengar percakapan Dokter Dion dan Direktur Utama Rumah Sakit, secara pintu mereka tidak tertutup sempurna.

"Saya nggak mau tau, panggil Dokter Mirza secepatnya!" bentak Profesor Wijaya pada Dokter Dion yang merupakan orang kepercayaan Profesor Wijaya di rumah sakit tempatku bekerja, dia adalah dokter spesialis kandungan di rumah sakit ini.

Profesor Wijaya adalah Direktur Utama, ia pemilik Rumah sakit yang sudah tak lagi muda, usianya sudah hampir mencapai 80 tahun, namun beliau masih tetap aktif sebagai konsultan di Rumah sakit ini. Sedangkan Dokter Mirza? Baru kali ini aku mendengar namanya, mungkin karena aku baru di sini jadi belum tahu siapa dia.

"Tapi, Pak. Apa Dokter Mirza mau? Dokter Mirza sudah memutuskan untuk tidak kembali ke Indonesia sejak masalahnya dengan ...."

"Kamu lupa siapa saya dan siapa Mirza?" sela Profesor Wijaya.

"Tapi, Pak ...."

"Saya nggak mau tau, masalah ini harus segera diselesaikan. Kamu kan masih suka berhubungan dengan Dokter Mirza, terserah usahamu bagaimana, karena hanya Dokter Mirza harapan kita satu-satunya!"

"Eh, An. Ngapain masih bengong di situ? Ayo kerja!" ajak mbak Lia yang tadinya sudah berjalan di depanku namun, kembali menghampiriku setelah sadar aku masih mematung di depan pintu ruang direktur.

"Eh, iya, Mbak," jawabku lalu berlari kecil menyamakan langkahku dengan Mbak Lia.

"Mbak, rumah sakit kita emang ada masalah, ya?" tanyaku pada Mbak Lia yang sudah lebih lama kerja di sini.

"Maksudnya?" tanya mbak Lia menghentikan langkahnya.

"Tadi nggak sengaja aku dengar, Profesor Wijaya sama Dokter Dion bersitegang, terus sebut nama dokter, Dokter siapa ya?" tanyaku mencoba mengingat nama yang mereka sebut tadi.

"Iya ... Dokter Mirza. Siapa Dokter Mirza, Mbak?"

"Mirza? Mbak juga nggak tau, An. Udah nggak usah dipikirin, kita kan cuma bawahan, kalau masalah yang begituan sih biar diurus sama yang atas-atas aja, udah sana kerja!" seru Mbak Lia, memang benar juga sih apa katanya, mau masalah seperti apa juga kita cuma perawat yang posisinya di bawah, apa lagi aku, yang baru kerja dalam hitungan hari. Kamipun berpisah, aku segera ke ruang UGD dan Mbak Lia di bagian informasi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status