POV ANA
Pagi ini aku dan Mbak Najwa mulai melakukan aktivitas kami di dapur, namun mbak Najwa terlihat lebih banyak diam. "Masak apa, Mbak?" tanyaku. "Omlet, An, kesukaan Mas Adrian." "Sini mbak aku bantuin." "Nggak usah, An. Bukannya kamu harus kerja?" jawabnya, rasanya ada yang berbeda hari ini. Bukannya baru tadi malam Mbak Najwa mengatakan akan membuat Mas Adrian mencintaiku? Harusnya dia mengajariku memasak makanan kesukaannya, cinta kan bisa saja datang dari perut kata orang. "Oh, ya udah, Mbak, kalau gitu aku buatin susu nya, ya?" tawarku lagi "Udah dibuatin Bi Minah, An!" jawab Mbak Najwa. "Ana, saya mau bicara," panggil Mas Adrian yang tiba-tiba sudah bersandar di daun pintu dapur. Aku tersentak, teringat kejadian semalam membuatku semakin malas melihatnya. "Kenapa masih di situ? Sini!" panggilnya lagi, aku pun pamit pada Mbak Najwa dan mengikutinya, aku pikir pasti dia mau minta maaf karena kejadian semalam. Kami duduk di meja makan, berhadapan, jantungku mulai tak karuan melihat tatapan Mas Adrian yang seolah mengisyaratkan, sesuatu yang begitu penting akan ia sampaikan padaku. "Mulai sekarang saya akan mengantar kamu kerja." "Hah?!" Aku membelalak tak percaya. "Kenapa?" "Nggak usah, Mas, motorku kan udah dateng," tolakku sopan. "Saya nggak ngasih pilihan," jawabnya tegas, semakin membuat hatiku berdebar-debar, ditambah wajahnya yang semakin hari semakin tampan membuatku berbunga- bunga. Aku tertunduk, terlihat Mbak Najwa menghampiri kami dan membawa masakan yang sudah dia siapkan tadi. "Ini sarapannya," kata Mbak Najwa meletakkan nasi dan omlet, tak lupa susu juga untuk kami. Aku segera mengambil nasi dan omlet, lalu menyantapnya. Sedangkan Mbak Najwa mengambil nasi untuk Mas Adrian. "Biar Ana yang melayaniku," kata Mas Adrian yang membuatku lagi-lagi harus tersedak di hadapan mereka. "Uhuk ... Uhuk ...." "Pelan- pelan, An," kata Mas Adrian sembari menuangkan segelas air dan memberikannya padaku. Sedangkan Mbak Najwa tiba-tiba berlari meninggalkan kami. Aku rasa saat ini mereka sedang bertengkar dan Mas Adrian sengaja membuat Mbak Najwa marah. "Kalau lagi marahan, nggak usah bawa-bawa aku, Mas!" kataku pada Mas Adrian, entah darimana datangnya keberanianku, sampai aku mampu mengatakan kalimat itu pada Mas Adrian. Dia melirikku tajam. Aku segera mengambilkan nasi serta lauk untuknya. Lalu kuraih tangannya dan berpamitan. "Assalamualaikum." "Mau ke mana? Kan saya yang mau anter kamu?" "Nggak usah, Mas. Mending selesaikan masalah sama Mbak Najwa dulu, stress nggak baik buat kesehatannya. Nganter aku kalau shift malam aja!" jawabku lalu pergi. "Waalaikumsalam," ujarnya lirih. Segera kuambil helm dan kustarter motor matic kesayanganku, kulajukan dengan kecepatan sedang membelah jalanan kota Jakarta yang cukup padat pagi ini. Dengan sepeda motor, tak perlu waktu lama, aku pun sampai di parkiran rumah sakit lebih cepat, terlihat Mbak Lia baru turun dari mobil dan menghampiriku. "An, serius kamu naik ini?" tanyanya sambil mengitari motorku. "Iya, emang kenapa? Bukannya dulu pas kuliah aku ke sini juga pake ini?" jawabku seraya melepas helm pink kesayangan dari kepalaku dan merapikan rambut yang sedikit berantakan. "Bukannya suami kamu orang kaya?" "Kaya atau nggak, nggak ada hubungannya." "O iya, aku lupa, kamu kan istri yang tak dianggap, kan? Makanya naik motor ini?" ujar Mbak Lia, mengejekku. "Enak aja, tadi Mas Adrian mau nganter aku tau. Cuma aku tolak." "Serius? Kenapa nggak mau?" tanyanya antusias. "Marahan sama istri pertama, aku mau dijadikan alat buat bikin Mbak Najwa cemburu, ya aku tolak lah, biar gini aku juga pinter kali." "Ye, dodol, itu sih lebih parah dari nggak dianggep!" kata Mbak Lia seraya mengacak rambutku, kami pun tertawa bersama. *** Kami segera mengganti pakaian dengan seragam dinas, saat kami keluar, tanpa sengaja aku mendengar percakapan Dokter Dion dan Direktur Utama Rumah Sakit, secara pintu mereka tidak tertutup sempurna. "Saya nggak mau tau, panggil Dokter Mirza secepatnya!" bentak Profesor Wijaya pada Dokter Dion yang merupakan orang kepercayaan Profesor Wijaya di rumah sakit tempatku bekerja, dia adalah dokter spesialis kandungan di rumah sakit ini. Profesor Wijaya adalah Direktur Utama, ia pemilik Rumah sakit yang sudah tak lagi muda, usianya sudah hampir mencapai 80 tahun, namun beliau masih tetap aktif sebagai konsultan di Rumah sakit ini. Sedangkan Dokter Mirza? Baru kali ini aku mendengar namanya, mungkin karena aku baru di sini jadi belum tahu siapa dia. "Tapi, Pak. Apa Dokter Mirza mau? Dokter Mirza sudah memutuskan untuk tidak kembali ke Indonesia sejak masalahnya dengan ...." "Kamu lupa siapa saya dan siapa Mirza?" sela Profesor Wijaya. "Tapi, Pak ...." "Saya nggak mau tau, masalah ini harus segera diselesaikan. Kamu kan masih suka berhubungan dengan Dokter Mirza, terserah usahamu bagaimana, karena hanya Dokter Mirza harapan kita satu-satunya!" "Eh, An. Ngapain masih bengong di situ? Ayo kerja!" ajak mbak Lia yang tadinya sudah berjalan di depanku namun, kembali menghampiriku setelah sadar aku masih mematung di depan pintu ruang direktur. "Eh, iya, Mbak," jawabku lalu berlari kecil menyamakan langkahku dengan Mbak Lia. "Mbak, rumah sakit kita emang ada masalah, ya?" tanyaku pada Mbak Lia yang sudah lebih lama kerja di sini. "Maksudnya?" tanya mbak Lia menghentikan langkahnya. "Tadi nggak sengaja aku dengar, Profesor Wijaya sama Dokter Dion bersitegang, terus sebut nama dokter, Dokter siapa ya?" tanyaku mencoba mengingat nama yang mereka sebut tadi. "Iya ... Dokter Mirza. Siapa Dokter Mirza, Mbak?" "Mirza? Mbak juga nggak tau, An. Udah nggak usah dipikirin, kita kan cuma bawahan, kalau masalah yang begituan sih biar diurus sama yang atas-atas aja, udah sana kerja!" seru Mbak Lia, memang benar juga sih apa katanya, mau masalah seperti apa juga kita cuma perawat yang posisinya di bawah, apa lagi aku, yang baru kerja dalam hitungan hari. Kamipun berpisah, aku segera ke ruang UGD dan Mbak Lia di bagian informasi.POV AUTHORDion hembuskan napas kasarnya setelah keluar dari ruangan Profesor Wijaya. Hari ini cukup melelahkan bagi Dion. Dia dan Profesor Wijaya sampai harus bersitegang, rumah sakit terancam ditutup karena ada salah seorang pasien yang menuntut atas dugaan mal praktek, dan kondisi pasien pun saat ini masih dalam keadaan koma. Profesor menyuruh Dion menghubungi Mirza, cucunya yang tak banyak orang tau, karena Mirza sudah lama meninggalkan Jakarta. Ia memiliki hubungan yang buruk dengan keluarga besarnya. Ia merupakan Anak yang dulu digadang-gadang menjadi penerus perusahaan Ayahnya —Adi Wijaya, dengan IQ nya yang di atas rata- rata sejak kecil, namun Mirza memilih untuk dikeluarkan dari anggota keluarga Wijaya demi cita- citanya menjadi seorang Dokter.Keputusan Mirza membuat Adi Wijaya marah besar dan mengusirnya, walau sebenarnya Adi Wijaya hanya berniat menggertak Mirza saat itu. Sebelumnya, Dion dan Mirza dipertemukan dalam sebuah seminar di Jerman dan mereka saling bertukar no
8. Tugas POV MIRZA Kurenungi semua yang Dokter Dion katakan di telepon subuh tadi, kakekku saat ini sedang berjuang sendirian tanpa siapapun di belakangnya. Dari seluruh keturunan keluarga Wijaya, hanya akulah yang berprofesi sebagai Dokter dan itu pun sudah di coret dari keluarga Wijaya. Kakek tak bisa berbuat apa-apa waktu itu, karena papa termasuk orang yang keras kepala dan berambisi. Dia mengancam akan menutup rumah sakit kakek jika kakek membelaku saat itu. Sampai saat inipun yang aku dengar dari Dokter Dion, mereka tidak berhubungan baik sejak aku pergi meninggalkan Jakarta tujuh tahun yang lalu. Ponsel alarmku bergetar, waktu Jerman sudah menunjukkan pukul 08.00. Tandanya aku harus segera pergi ke rumah sakit. Dengan sepotong sandwich dan segelas susu aku mulai hariku yang gundah ini, lalu kupacu kuda besi hasil kerja kerasku dengan kecepatan tinggi. Setelah kupikirkan matang-matang, dengan berat hati akhirnya kuputuskan untuk mengundurkan diri dan kembali ke Indonesia.
POV AUTHORAlarm Ana memecah heningnya waktu subuh, Ana sengaja membuat catatan di ponselnya agar ia tak lupa dengan tugas negaranya untuk menjemput Dokter Mirza sebelum ia berangkat kerja. Ana segera menyiapkan diri untuk sholat subuh dan setelahnya ia hendak menengok keadaan Najwa, tapi nyatanya pintu kamar Najwa masih tertutup, itu tandanya mereka masih tidur. Diurungkanya niat Ana untuk menengok Najwa, ia tak ingin mengganggu waktu istirahat Najwa dan Adrian. Ana memutuskan untuk membantu Bi Minah di dapur menyiapkan sarapan, karena ia tahu Najwa sedang tidak sehat. Kali ini ia tak mau gegabah membuat masakan, ia hanya membantu Bi Minah memotong bahan dan selebihnya Bi Minah yang memasaknya.Tak terasa waktu sudah pukul 07.30 pagi, hari ini Bi Minah membuat menu sarapan bubur ayam kesukaan Mbak Najwa. Tak lama terlihat Mbak Najwa yang masih pucat turun dari tangga bersama Mas Adrian."Sini Mbak sarapan dulu," ajak Ana menarik kursi untuk Najwa duduki."Makasih, An," ucap Najwa ter
POV ANAAmbulans datang setelah aku menyelesaikan pekerjaanku, terlihat pria tampan itu menuliskan sesuatu dan memberikannya pada seseorang yang kelihatannya akan menemani korban ke rumah sakit, entah apa yang ia katakan pada laki- laki itu, jarak kami cukup jauh. "Astaga." Tiba- tiba aku teringat tugasku untuk menjemput dokter Mirza, kutinggalkan kerumunan orang di sana dan segera berlari masuk ke terminal 2 untuk kedatangan penerbangan internasional, aku harap Dokter Mirza masih menunggu. Segera kubentangkan tanda pengenal yang kubuat semalam. Namun, aku tak kunjung menemukan orang yang sudah Mbak Lia sebutkan ciri-cirinya. Tinggi, pake kacamata itu yang kuingat. Drrrt .... ponselku pun bergetar, telepon dari Dokter Dion masuk, sontak membuatku deg deg an, karena aku dan Dokter Dion tidak pernah berhubungan sebelumnya."Riana! Kamu dimana?" teriak Dokter Dion di seberang telepon."S_saya di Bandara, Dok!" jawabku tebata."Kamu telat, Dokter Mirza sudah naik taksi, dia marah karena
Aku segera berlari menuju ruang ganti, karena sudah waktunya pergantian shift, harusnya aku shift malam hari ini, yang dimulai pukul 9 malam nanti. Tapi, karena aku harus menemui Dokter Dion akhirnya aku tukar shift jadi shift sore daripada harus bolak-balik, karena kalau harus menunggu malam pasti Dokter Dion keburu pulang.Tok tok tok. Kuketuk ruangan dokter Dion setelah kupastikan sudah tak ada pasien lagi yang menunggu."Cari siapa, Mbak Ana?" tanya Mbak Vira, asisten dokter Dion."Dokter Dion nya ada?" tanyaku."Baru aja keluar," jawab mbak Vira."Waduh ... kalau boleh saya tahu, keluar kemana ya, Mbak? Saya harus segera menemuinya," tanyaku cemas."Nah, itu yang kurang tau, udah gini aja Ana, nanti kalau Dokter Dion datang, aku kabari, soalnya nggak tau kapan kembalinya, pasien juga sudah nggak ada. Kalau kamu tunggu kamu kan harus kerja," terangnya."Oh, iya, Mbak, makasih. Ini nomor saya, Mbak." Kuberikan ponselku pada asisten Dokter Dion dan aku pun segera meninggalkannya set
POV MirzaKuhubungi Dokter Dion, kukatakan bahwa aku sudah sampai di rumah sakit, dia mengajakku untuk makan siang terlebih dahulu di kantin rumah sakit, tak sengaja kulihat Ana, gadis yang menjemputku tapi gagal tadi berjalan melewati kantin, dia sudah mengenakan seragam perawat dan terlihat lebih rapi. Ia tampak mengelus perutnya, sepertinya dia lapar, kuamati setiap langkahnya, benar saja dia masuk ke kantin membeli sebuah roti dan minuman, lalu pergi tergesa."Mirza, kenapa bengong?" kejut Dokter Mirza menepuk pundakku."Itu Ana yang dokter suruh jemput saya, kan?" tanyaku melihat ke arah Ana pergi."Kamu sudah kenal? Bukannya tadi Ana nggak ketemu sama kamu?" "Tadi ketemu, Dok, cuma dia nggak tau aja kalau dia satu taksi sama Dokter Mirza, baginya dokter Mirza itu, tua, botak, kayak Albert Einstein," kataku tertawa, mengingat kata-kata itu."Mirza, Ana sudah punya suami!" katanya menatapku curiga, "O ya? Masih muda udah punya suami? Hebat juga, tapi apa hubungannya sama saya?"
POV MIRZASegera aku menuju ruang ICU, kulakukan serangkaian pemeriksaan, Dokter Dion mendampingiku."Siapa yang menangani?" tanyaku sembari melakukan pemerikasaan."Dokter Arman, dokter umum, masih baru, sepertinya kena mental, dan jatuh sakit," jawab dokter Dion, akupun tersenyum."MRI, CT scan, Pemeriksaan darah, Elektroensefolografi EEG, dan lainnya?" tanyaku tanpa jeda."Sudah dilakukan semua, Dok" jawab salah satu perawat pria yang mendampingiku."Laporannya?" pintaku pada mereka."I_ini, Dok!" Seorang perawat wanita menyodorkan map padaku."Kenapa senyum- senyum?" tanyaku mengambil laporan dari tangannya setelah tak sengaja kulihat dia tersenyum padahal tak ada hal yang lucu."Dokter ganteng, udah punya pacar belum?" Kuhembuskan napas panjang dan kembali memeriksa laporan itu."Suster Mia!" sentak Dokter Dion memelototi perawat yang terlihat masih muda dan sepertinya lajang."Maaf, Dok, takut kalah start!" jawabnya menggelitik."Kenapa selang makanan dan obat nggak dipasang?"
Bab 1 "Selanjutnya, Riana Prastikasari, dari jurusan D3 Keperawatan, dengan indek prestasi komulatif 4,00," kata pembawa acara, tepuk tangan bergemuruh memenuhi gedung megah itu kala aku naik ke atas panggung untuk menerima penghargaan sebagai mahasiswa terbaik. Ya, hari ini adalah hari yang sangat membahagiakan bagiku, Riana Prasatikasari, namaku dipanggil sebagai mahasiswi dengan predikat cumlaude. Lulus kuliah tak lantas membuatku tenang, justru setelah inilah kehidupanku yang sesungguhnya akan aku jalani. Kunikmati soreku di depan panti selepas pulang dari acara wisuda kelulusan, sembari memikirkan bagaimana aku bisa dengan cepat mendapat pekerjaan setelah ini. "Ana!" Tiba- tiba seseorang memanggilku, aku menoleh, dan ternyata dia adalah Mbak Najwa. Ia adalah salah satu donatur terbesar di panti yang tidak lain dan tidak bukan adalah menantu dari keluarga Pramono. "Mbak," teriakku pada Mbak Najwa yang berlari kecil menghampiriku. Sore ini angin bertiup begitu kencan