Home / Pernikahan / Bukan Rahim Pengganti / 11. Bibit unggul yang hakiki

Share

11. Bibit unggul yang hakiki

Author: Novita Sadewa
last update Last Updated: 2024-09-18 10:33:27

Aku segera berlari menuju ruang ganti, karena sudah waktunya pergantian shift, harusnya aku shift malam hari ini, yang dimulai pukul 9 malam nanti. Tapi, karena aku harus menemui Dokter Dion akhirnya aku tukar shift jadi shift sore daripada harus bolak-balik, karena kalau harus menunggu malam pasti Dokter Dion keburu pulang.

Tok tok tok. Kuketuk ruangan dokter Dion setelah kupastikan sudah tak ada pasien lagi yang menunggu.

"Cari siapa, Mbak Ana?" tanya Mbak Vira, asisten dokter Dion.

"Dokter Dion nya ada?" tanyaku.

"Baru aja keluar," jawab mbak Vira.

"Waduh ... kalau boleh saya tahu, keluar kemana ya, Mbak? Saya harus segera menemuinya," tanyaku cemas.

"Nah, itu yang kurang tau, udah gini aja Ana, nanti kalau Dokter Dion datang, aku kabari, soalnya nggak tau kapan kembalinya, pasien juga sudah nggak ada. Kalau kamu tunggu kamu kan harus kerja," terangnya.

"Oh, iya, Mbak, makasih. Ini nomor saya, Mbak." Kuberikan ponselku pada asisten Dokter Dion dan aku pun segera meninggalkannya set
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Bukan Rahim Pengganti   12. Dia istri orang

    POV MirzaKuhubungi Dokter Dion, kukatakan bahwa aku sudah sampai di rumah sakit, dia mengajakku untuk makan siang terlebih dahulu di kantin rumah sakit, tak sengaja kulihat Ana, gadis yang menjemputku tapi gagal tadi berjalan melewati kantin, dia sudah mengenakan seragam perawat dan terlihat lebih rapi. Ia tampak mengelus perutnya, sepertinya dia lapar, kuamati setiap langkahnya, benar saja dia masuk ke kantin membeli sebuah roti dan minuman, lalu pergi tergesa."Mirza, kenapa bengong?" kejut Dokter Mirza menepuk pundakku."Itu Ana yang dokter suruh jemput saya, kan?" tanyaku melihat ke arah Ana pergi."Kamu sudah kenal? Bukannya tadi Ana nggak ketemu sama kamu?" "Tadi ketemu, Dok, cuma dia nggak tau aja kalau dia satu taksi sama Dokter Mirza, baginya dokter Mirza itu, tua, botak, kayak Albert Einstein," kataku tertawa, mengingat kata-kata itu."Mirza, Ana sudah punya suami!" katanya menatapku curiga, "O ya? Masih muda udah punya suami? Hebat juga, tapi apa hubungannya sama saya?"

    Last Updated : 2024-09-18
  • Bukan Rahim Pengganti   13. Adil hanyalah janji

    POV MIRZASegera aku menuju ruang ICU, kulakukan serangkaian pemeriksaan, Dokter Dion mendampingiku."Siapa yang menangani?" tanyaku sembari melakukan pemerikasaan."Dokter Arman, dokter umum, masih baru, sepertinya kena mental, dan jatuh sakit," jawab dokter Dion, akupun tersenyum."MRI, CT scan, Pemeriksaan darah, Elektroensefolografi EEG, dan lainnya?" tanyaku tanpa jeda."Sudah dilakukan semua, Dok" jawab salah satu perawat pria yang mendampingiku."Laporannya?" pintaku pada mereka."I_ini, Dok!" Seorang perawat wanita menyodorkan map padaku."Kenapa senyum- senyum?" tanyaku mengambil laporan dari tangannya setelah tak sengaja kulihat dia tersenyum padahal tak ada hal yang lucu."Dokter ganteng, udah punya pacar belum?" Kuhembuskan napas panjang dan kembali memeriksa laporan itu."Suster Mia!" sentak Dokter Dion memelototi perawat yang terlihat masih muda dan sepertinya lajang."Maaf, Dok, takut kalah start!" jawabnya menggelitik."Kenapa selang makanan dan obat nggak dipasang?"

    Last Updated : 2024-09-19
  • Bukan Rahim Pengganti   14. Pertengkaran

    POV ANASayang, panggilan yang bahkan tak pernah keluar dari mulut Mas Adrian untukku namun mereka setiap hari mengucapkannya di depan mataku. Kuhembuskan napas kasar, kutahan sekuat tenaga agar air mataku tak kembali jatuh. Aku bergegas menuju meja makan dan kubuka kotak kardus pemberian Mas Adrian. Di sana terlihat ayam bakar madu lengkap dengan nasi dan sambalnya. Aku tak mau membuang tenaga dengan terus menangisi hal yang mustahil untuk kugapai. Aku segera menyantap makanan itu, setidaknya Mas Adrian masih ingat bahwa ada aku juga di sini dengan membelikan makanan ini untukku.Aku beranjak ke kamar setelah makanan beralih ke perutku, kulirik di ruang tv masih ada Mas Adrian dan Mbak Najwa bercanda gurau. "Baru berapa menit janji-janji sekarang sudah mesra-mesra lagi!" keluhku kesal. Tak mau mengganggu, aku pun pergi ke kamar memainkan gawai membuka IG- ku. Sebuah notifikasi pesan masuk di ponselku, segera kubuka dan ternyata Mbak Lia mengirim pesan bahwa ia mengajakku untuk perg

    Last Updated : 2024-09-20
  • Bukan Rahim Pengganti   15. Cemburu

    POV NAJWAPagi- pagi sekali aku kembali ke rumah, karena Mas Adrian tak juga menjawab telepon dariku untuk menjemputku di rumah Mama. Kuputuskan untuk memesan taksi online. Aku harus menyiapkan sarapan untuk Mas Adrian dan juga Ana. "Assalamu'alaikum," sapaku begitu membuka pintu."Wa'alaikumsalam," jawab Bi Minah, rumah masih terlihat begitu sepi. Kemana perginya Mas Adrian dan Ana."Ana masih tidur ya, Bi?" tanyaku pada akhirnya. "Iya, Bu, kemarin malam sempat ribut sama Bapak.""Bapak? Maksudnya?""Pak Adrian sama Neng Ana ribut."Aku tersentak, Mas Adrian memang menolak saat aku mengajakknya menginap di rumah Mama dengan alasan masih harus menyelesaikan pekerjaannya di rumah, tapi ternyata aku sudah salah memberinya ijin.Mendengar jawaban dari Bi Minah, aku pun langsung bergegas menemui Ana, aku khawatir padanya mengingat kejadian di balkon beberapa waktu yang lalu.Dengan langkah yang kupercepat aku menaiki anak tangga. Kulihat pintu masih tertutup rapat, memang biasanya Ana

    Last Updated : 2024-09-21
  • Bukan Rahim Pengganti   16. Perasaan Ana

    POV ANAHari ini aku gagal lagi pergi kerja bersama Mas Adrian. Aku tahu mbak Najwa lebih membutuhkannya, tapi kenapa aku merasa Mbak Najwa banyak berubah dari tujuan awalnya yang ingin membuat Mas Adrian mencintaiku, sampai keinginan-keinginannya yang terkesan membuat aku dan Mas Adrian tak boleh semakin dekat. "Ah, sudahlah apa yang kamu pikirkan Ana, mbak Najwa tuh baik, kayak malaikat, masak punya niat kayak gitu?" gumamku memukul kepalaku pelan. Aku pun teringat akan kehamilan Mbak Najwa. "Pasti karena pengaruh kehamilannya, kenapa aku bisa lupa bertemu dengan Dokter Fajar?" Dokter fajar adalah dokter kanker di rumah sakit tempatku bekerja, ia jugalah dokter yang menangani Mbak Najwa.Aku pun bergegas menuju rumah sakit, mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, aku harus menemui dokter Fajar sebelum terlambat, menanyakan tentang kehamilan Mbak Najwa yang sempat tertunda karena kesibukanku kemarin.Kuparkir kendaraanku dan segera menuju ruang ganti."Mbak, Mbak ...." Terdengar

    Last Updated : 2024-09-21
  • Bukan Rahim Pengganti   17. Keinginan Najwa

    POV NAJWASetelah kepergian Ana, aku menahan Mas Adrian untuk tinggal sebentar."Mas, aku mau ngomong sebentar, boleh?" tanyaku tanpa berani menatap mata Mas Adrian."Kenapa harus minta ijin? Tentu saja boleh," jawabnya lembut, Mas Adrian memang tak pernah kasar padaku, hanya sekali selama pernikahan kami ia membentakku, yaitu saat Ana datang pertama kali malam itu."Mas, sepertinya keputusanku menikahkanmu dengan Ana adalah kesalahan,"" kataku ragu."Apa? Apa maksud kamu?" tanya Mas Adrian tak percaya."Aku mau kamu menceraikan Ana." Kuberanikan diri untuk mengatakan hal itu meski sebenarnya rasa takut menderaku."Najwa!" bentak Mas Adrian. Ya, lagi- lagi dia membentakku karena Ana."Kamu sadar apa yang barusan kamu bilang? Kamu sendiri yang memaksaku dan Ana untuk menikah, dan sekarang? Kamu mau aku membuat Ana menjadi janda di usiannya yang masih belum genap 23 tahun? Seharusnya kamu berpikir dulu sebelum memaksa kami untuk menikah?" jelasnya namun dengan penuh amarah."Awalnya a

    Last Updated : 2024-09-22
  • Bukan Rahim Pengganti   18. Pingsan

    Mirza dan Dokter Dion keluar ruang ICU setelah melihat perkembangan pasien, di luar pintu terlihat anak dari pasien itu sudah berdiri di depan pintu, menunggu Mirza keluar dari sana."Dokter, Saya akan mencabut tuntutan. Tapi, tolong selamatkan ibu saya, dia satu-satunya milik kami, tolong, Dok!" mohon pria itu dan tiba-tiba berlutut di hadapan Mirza."Berdirilah. Jangan khawatir, kami pasti akan melakukan yang terbaik dan saya yakin ibu Anda akan segera sadar. Berdoa saja," jawab Mirza membantu pria itu berdiri. Melihat apa yang dilakukan pria itu membuat Mirza teringat pada Mamanya yang sangat ia rindukan, semenjak ia meninggalkan Jakarta 7 tahun lalu, sejak itu pula mereka tak pernah lagi bertemu. Dokter Dion pun tersenyum, karena akhirnya masalah satu per satu mendapatkan titik terang. Mereka pun meninggalkan ruang ICU setelah kesepakatan dilakukan."Mirza," panggil Dokter Dion yang berjalan bersama Mirza,"Ya," jawab Mirza menghentikan langkahnya."Sepertinya pasien sudah me

    Last Updated : 2024-09-22
  • Bukan Rahim Pengganti   19. Menemui Mirza

    POV ANAHari ini Mas Adrian tidak pergi ke kantor, ia menemani mbak Najwa di rumah karena tak mungkin menyuruhku untuk tinggal, dia tau, pekerjaanku baru, dan pastinya tidak baik kalau harus ijin. Aku pun mulai kepikiran tentang kondisi Mbak Najwa yang hari ini kembali pingsan. Aku putuskan untuk segera berangkat ke rumah sakit dan menemui dokter Mirza sebelum shift sore dimulai.Kukendarai motorku dengan kecepatan tinggi, berharap dokter Mirza masih ada di rumah sakit. Setibanya aku di rumah sakit, aku tak langsung mengganti pakaianku dengan seragam dinas, karena waktu masih pukul satu siang, masih ada waktu satu jam untuk pergantian shift. Aku segera mengambil kemeja dokter Mirza yang kusimpan di dalam lokerku kemarin, setidaknya aku punya alasan untuk menemuinya sebelum mengutarakan keinginanku untuk berkonsultasi mengenai kehamilan Mbak Najwa.Tok tok tok.Kuketuk pintu ruangannya, mumpung jam istirahat, dan pasien sudah sepi."Masuk," perintahnya dari dalam.Kutarik handle pintu

    Last Updated : 2024-09-23

Latest chapter

  • Bukan Rahim Pengganti   99. Aku atasannya

    Ana masuk dan menutup pintu dengan kasar lalu menguncinya dari dalam, bahkan saat aku masih terperangah.Kuusap wajahku. "Ya Allah, Ana ...."Tok ... tok ... tok .... "Sayang." Tak mau menyerah, aku pun mencoba untuk mengetuk pintu, namun tak ada jawaban."Sayang .,.." panggilku lagi, akhirnya terdengar suara kunci dibuka. "Alhamdulillah." Ak pun tersenyum lega. Pintu benar-benar dibuka."Nih, ambil," kata Ana memberikan bantal, selimut, dan mantel yang kuletakkan di ranjang tadi padaku."Apa ini?" sentakku sedikit kaget.Ana tak menjawab dan kembali menutup pintu rapat-rapat.Kuhela napas kasar, lalu dengan terpaksa berjalan menuju kamar Dokter Dion. Kupegang handel pintu, tapi tidak bisa terbuka, tertanda Dokter Dion pun mengunci pintu dari dalam. "Sengaja ni orang?" gerutuku, lalu mengacak rambut dengan frustasi.Brak!Brak!Brak!Akhirnya aku menggedor pintu kasar. "Dokter, Buka!" seruku, namun tak ada jawaban. "Dokter Dion! Saya dobrak, ni, kalau nggak buka!" ancamku lagi, na

  • Bukan Rahim Pengganti   98. penjelasan

    Aku mengajak Ana untuk keluar dan Ana berkata akan menyusul, karena dia masih harus mencuci mukanya agar tidak terlihat sembab dan memakai hijab dulu.Aku keluar dari kamar dan kulihat Lidia sedang berbincang akrab dengan Dokter Dion, sepertinya mereka sedang membahas masalah kedokteran.Segera kuhampiri dan kusapa, "Lidia ...," kataku sedikit canggung,"Mirza ...." Dia berdiri hendak memelukku. Aku menolak, melangkah mundur ke belakang. "Maaf Lidia jangan biasakan memeluk laki-laki yang bukan suamimu," ujarku dengan nada datar."Mirza, kamu takut? Kita kan dulu biasa melakukannya," ujarnya dengan dahi berkerut bingung."Astaghfirullah," batinku mengingat betapa bodohnya aku dulu, betapa mudahnya aku melakukan itu padahal jelas itu salah dalam ajaranku."Itu dulu Lidia, sebelum saya sadar kalau semua itu salah." "Salah gimana? Ayo lah, Za, itu cuma sekedar sapaan saja kenapa jadi berlebihan?""Ehm ... Karena Mirza nya sudah datang, kalau begitu saya permisi. Za, saya tinggal," pamit

  • Bukan Rahim Pengganti   97. Pantas betah

    Aku kembali sekitar satu jam, ada beberapa masalah yang harus kuselesaikan. Kucari keberadaan Ana dan Dokter Dion. Kulihat Dokter Dion masih berada di tempat yang sama saat aku meninggalkannya tadi. Sepertinya Dokter Dion sedang membicarakan sesuatu untuk mencari tahu tentang alat yang kudengar dibutuhkan oleh Wijaya Hospital. Tapi Ana, Ana sama sekali tak terlihat di sana."Mana Ana?" tanyaku pada Dokter Dion."Ana? Tadi ada di sini," jawabnya melihat ke arah belakang."Kebiasaan Dokter.""Ke toilet mungkin, Za," sambung Dokter Dion.Kucari Ana ke toilet seperti apa yang dikatakan oleh Dokter Dion. Aku terkejut saat kulihat Ana dan Lidia keluar dari toilet bersamaan. Kuhentikan langkahku sejenak kala keduanya berjalan ke arahku."Mirza." Lidia memanggilku dan Ana memilih pergi, melewatiku begitu saja, tanpa melihat sekalipun ke arahku."Ana ...," panggilku, Ana tak menyahut, dan terus berlalu."Mirza," teriak Lidia, aku tak menyahut, kukejar Ana, entah mengapa aku yakin telah terj

  • Bukan Rahim Pengganti   96. Wanita masa lalu

    Pengakuan Dokter Dion yang mengatakan sudah mengetahui statusku dan Ana sangatlah mencengangkan. Pasalnya dia sama sekali tidak memperlihatkan itu sejak aku menikah dengan Ana. Yang lebih membuatku cemas lagi adalah Dokter Dion mengatakan bahwa akhir-akhir ini kakekku sering keluar masuk ICU karena kondisi jantungnya yang semakin memburuk dan harus dipasang ring pula.Dokter Dion juga mengatakan, jika tak mau menggantikan, setidaknya persiapkan Ana untuk menggantikan kakek, itu pesan kakekku. Terdengar sangat konyol, mana mungkin aku membiarkan Ana memikul beban seberat itu. Ana masih terlalu muda, pengalamannya pun belum seberapa. Tentu saja aku tidak akan mengijinkan.Aku mengikuti Ana ke dapur setelah Dokter Dion masuk ke kamar untuk siap-siap pergi ke pameran. Karena tak mungkin siap-siap bersamanya, satu kamar dengannya dan ganti baju bersama, membayangkannya saja ngeri.Kubantu Ana untuk mencuci piring karena pakaian Ana sudah begitu rapi jika harus mencuci piring."Ana, sini b

  • Bukan Rahim Pengganti   95. Digigit Dracula

    POV MIRZADering ponsel dengan suara adzan subuh yang biasa kupakai untuk membangunkan tidurku akhirnya memecah waktu subuh, aku sengaja mengatur alarm dengan suara Adzan, kebetulan di lingkungan tempat tinggalku tidak terdapat masjid, sehingga aku menggunakan ponselku sebagai pengingat.Kumatikan alarm ponsel, lalu kulihat Ana masih tertidur pulas dalam dekapan. "Sayang ... bangun, sholat subuh yuk." Kugoncang pelan tubuh Ana yang kini sudah lengkap dengan piyamanya. "Hem." Hanya gumaman yang kudengar, selebihnya ia mengubah posisinya seraya menarik selimut, lalu kembali tidur. Aku menggelengkan kepala. Kuputuskan untuk membersihkan diri dan sholat terlebih dahulu, dan akan kubangunkan Ana kembali setelahnya.Aku bergegas kembali ke kamar Dokter Dion yang kusulap menjadi kamarku sebelum meraka datang, kuharap dia belum bangun sehingga tak menyadari bahwa semalam aku tidak ada bersamanya. Kubuka pintu dan kulihat dia masih sama pulasnya dengan Ana. Aku segera mandi dan menjalankan

  • Bukan Rahim Pengganti   94. Hak dan kewajiban

    POV ANAAku masuk ke kamar yang sudah ditunjukkan oleh sang empunya. Kubuka dan kututup kembali. Aku terkejut dengan apa yang aku lihat saat ini. Kamar yang begitu luas dengan dinding kaca besar yang terhubung langsung dengan pemandangan luar, pemandangan langit Berlin terlihat begitu nyata di hadapanku saat ini.Kusunggingkan senyumku saat kudekati ranjang besar di depanku. Di sana sudah tertata hiasan dengan kelopak bunga mawar bentuk love di atasnya. Terdapat pula piyama panjang yang sepertinya untukku, tak lupa dia siapkan pula dua handuk warna putih di dekat piyamaku. "Niat sekali," gumamku tersenyum geli melihat tingkah suamiku yang tak pernah kukira akan seromantis ini.Aku bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri, tak mungkin menyuguhi suamiku dengan tubuh bay keringat karena seharian berada di pesawat. Ya, sebelum aku berangkat ke Berlin, dia sudah berpesan bahwa akan meminta haknya padaku saat aku tiba di Jerman.Usai kubersihkan diri, aku duduk di depan cermin besar

  • Bukan Rahim Pengganti   93. Obat tidur

    Tiga Minggu KemudianPOV MirzaTiga minggu yang lalu, setelah aku meninggalkan Jakarta. Aku mendapat kabar yang begitu mengejutkan dari Mama soal Ana dan mantan mertuanya, yang bersi keras ingin menjadikan Ana sebagai menantunya lagi. Dan yang lebih mengejutkannya lagi, ternyata mantan mertua Ana adalah teman Mama dan rekan bisnis Papa. Aku marah begitu mendengar itu semua. Dan Mama, lebih marah lagi padaku, menurutnya itu semua terjadi karena sifat keras kepalaku yang tetap memilih Jerman, sehingga membuat Ana menanggung bebannya sendiri. Mama memarahiku habis- habisan.Aku tak masalah, mungkin Mama tak mengerti bagaimana profesiku berjalan. Aku tak bisa begitu saja meninggalkan pasienku, dan mementingkan kehidupan pribadiku dibanding nyawa orang lain. Aku terikat oleh sumpah. Mama juga bilang tentang bunga tanpa nama. Bunga yang sepertinya sudah dikirim beberapa kali untuk Ana dan terakhir Ana menolaknya. Aku berpikir, apa bunga yang dimaksud oleh Mama adalah bunga yang sama dengan

  • Bukan Rahim Pengganti   92. Lupakan Dokter Mirza

    "Iya, Jeng. Nak Ana ini menantu kami dan kami ingin membawanya kembali ke rumah," kata Nyonya Pramono penuh percaya diri."MANTAN, Tante!" tegasku mengingatkan mereka."Tapi, saya sudah melamar Ana untuk Anak bungsu saya, i_ya kan Umi Zubaidah?" kata Tante Ratri yang membuatku lebih terkejut lagi. "Umi? Umi apa-apaan?" bisikku."Sudah, sudah, sudah! Apa-apaan ini, saya bisa pusing," kata Umi memegangi kepalanya."Tapi, Umi. Kami benar-benar ingin Ana menjadi menantu kami lagi," terang Pak Pramono."Berapa kali saya bilang, kalau saya ini, Ana, bukan barang yang main dibuang dan diambil." Keteganganpun mulai terjadi antara aku dan mantan mertuaku."Kami tidak pernah menganggap kamu sebagai barang, An. Justru kami sangat menyayangimu, mencari-cari kamu. Jangan menilai kami seperti itu," jelas Mama Mas Adrian.Kuhela napas panjang. "Oke, cukup semuanya. Mohon maaf, Tante, Tante, dan Om. Saya tidak berminat untuk menerima pinangan dari kalian semua. Karena saya sudah mempunyai pasangan,

  • Bukan Rahim Pengganti   91. Ketika mantan mertua dan ibu mertua bertemu

    POV ANAKuantar kepergian suamiku dengan senyuman subuh tadi, aku tak mau dia melihat kesedihan di wajahku yang bisa saja mengganggu pikiran dan pekerjaannya saat berada jauh dariku. Kutatap wajahku di depan cermin, kulihat tanda kepemilikan di leherku masih terlihat begitu jelas. "Kenapa baru sadar? Memalukan," gumamku.Kulupakan masalah tanda cinta itu, itu hak suamiku, aku tak bisa memarahinya. Kutatap lekat-lekat wajahku. Teringat perkataan suamiku yang lembut, namun, menyiratkan makna begitu dalam. "Bismillah." Kumantapkan hati untuk menutup aurat. Kuambil hijab pemberian Umi dan donatur Panti yang selama ini hanya kusimpan rapi dalam lemari. Jika Bu Ratri yang baru bertemu dengan Umi sekitar satu bulan yang lalu saja mampu merubah penampilannya menjadi anggun dan menutup rapat auratnya, kenapa aku yang dari kecil diasuh dan dibesarkan oleh Umi justru mengabaikan hal itu dan menganggap remeh meski berkali-kali Umi sering mengingatkanku. Kenapa harus menunggu suamiku dulu untu

DMCA.com Protection Status