Mirza dan Dokter Dion keluar ruang ICU setelah melihat perkembangan pasien, di luar pintu terlihat anak dari pasien itu sudah berdiri di depan pintu, menunggu Mirza keluar dari sana."Dokter, Saya akan mencabut tuntutan. Tapi, tolong selamatkan ibu saya, dia satu-satunya milik kami, tolong, Dok!" mohon pria itu dan tiba-tiba berlutut di hadapan Mirza."Berdirilah. Jangan khawatir, kami pasti akan melakukan yang terbaik dan saya yakin ibu Anda akan segera sadar. Berdoa saja," jawab Mirza membantu pria itu berdiri. Melihat apa yang dilakukan pria itu membuat Mirza teringat pada Mamanya yang sangat ia rindukan, semenjak ia meninggalkan Jakarta 7 tahun lalu, sejak itu pula mereka tak pernah lagi bertemu. Dokter Dion pun tersenyum, karena akhirnya masalah satu per satu mendapatkan titik terang. Mereka pun meninggalkan ruang ICU setelah kesepakatan dilakukan."Mirza," panggil Dokter Dion yang berjalan bersama Mirza,"Ya," jawab Mirza menghentikan langkahnya."Sepertinya pasien sudah me
POV ANAHari ini Mas Adrian tidak pergi ke kantor, ia menemani mbak Najwa di rumah karena tak mungkin menyuruhku untuk tinggal, dia tau, pekerjaanku baru, dan pastinya tidak baik kalau harus ijin. Aku pun mulai kepikiran tentang kondisi Mbak Najwa yang hari ini kembali pingsan. Aku putuskan untuk segera berangkat ke rumah sakit dan menemui dokter Mirza sebelum shift sore dimulai.Kukendarai motorku dengan kecepatan tinggi, berharap dokter Mirza masih ada di rumah sakit. Setibanya aku di rumah sakit, aku tak langsung mengganti pakaianku dengan seragam dinas, karena waktu masih pukul satu siang, masih ada waktu satu jam untuk pergantian shift. Aku segera mengambil kemeja dokter Mirza yang kusimpan di dalam lokerku kemarin, setidaknya aku punya alasan untuk menemuinya sebelum mengutarakan keinginanku untuk berkonsultasi mengenai kehamilan Mbak Najwa.Tok tok tok.Kuketuk pintu ruangannya, mumpung jam istirahat, dan pasien sudah sepi."Masuk," perintahnya dari dalam.Kutarik handle pintu
Begitu aku kembali dan memberikan helm hitam milik Aryo. "Terus, ini motornya siapa yang bawa?" tanyaku.Aku berpikir mungkin Dokter Mirza tidak bisa membawa motor, aku memang awam dengan kehidupan luar negeri, tapi, di negara maju orang dengan sepeda motor lebih jarang ditemui, sehingga bisa saja dia mengurungkan niatnya untuk makan sate."Ya kamu lah. Masak saya?" jawabnya enteng sekali. "Dokter nggak bisa bawa? Masak dokter setinggi ini terus saya segini, suruh saya yang bawa?" tanyaku.setengah menyindirnya."La kalau saya yang bawa dikira saya tukang ojek, nggak mau saya," jawabnya menyebalkan."La emang kalau saya yang bawa orang bakal ngira apa?""Ngira kalau mobil saya mogok terus nebeng sama kamu." Kuhembuskan napas kasar, berdebat dengan orang di atas rata-rata hanya akan membuang waktu bagi orang yang kemampuannya sedang sepertiku. "Ya udah deh, buruan naik. Jaga jarak, tas ini buat pembatas ya, jangan dipindah," seruku, meletakkan tas dibelakangku."Hemm, buruan jalan, n
Aku sampai di rumah tepat pukul 10 lewat 30 menit, kubuka pintu yang masih belum terkunci. Aku tak mengetuknya karena tak ingin mengganggu istirahat para penghuninya. Aku segera menguncinya kembali setelah aku masuk.Saat aku berbalik dan hendak menuju kamar, Mas Adrian dan Mbak Najwa mengejutkanku. Mereka sudah duduk di ruang tamu, sepertinya sedang menunggu kedatanganku. Perasaanku mulai tak enak melihat raut wajah mereka. Karena tak biasanya di jam segini mereka masih terjaga."Assalamu'alaikum," sapaku."Wa'alaikumsalam," jawab mereka."Ada apa? Kenapa semua masih belum tidur?" tanyaku menghampiri mereka dengan langkah ragu. Mereka masih bergeming menatapku, tapi tak menjawab pertanyaanku.Hingga akhirnya kulihat selembar kertas dan bolpoin tergeletak di atas meja yang ada di depanku saat ini, tepatnya meja ruang tamu."Apa ini?" tanyaku. Karena tak ada yang menjawab, aku pun mengambil kertas itu, kubaca perlahan dengan penuh ke hati-hatian.Jantungku berdegup kencang kala kubaca
POV MIRZAAku kembali memesan sate dan sayur untuk kubawa pulang ke apartemen setelah motor Ana tak lagi terlihat. Tak berselang lama sate pun kudapatkan, aku segera naik taksi menuju apartemen yang jaraknya tak begitu jauh.Kubuka pintu apartemen. "Assalamu'alaikum," sapaku, karena aku tahu di dalam Mama sudah menunggu.Mama yang belum sempat kutemui dalam beberapa hari ini setibanya aku di Jakarta, karena kesibukanku di rumah sakit kakek. Aku memberikan kunci apartemenku saat dia menolak untuk pergi dari warung sate tadi."Wa'alaikumsalam, Anak Mama ... Kesayangan Mama" jawabnya menghampiriku dan menciumiku."Mama jangan gini, Mirza udah dewasa, Ma, malu!" tolakku menghindar."Malu sama siapa? Nggak ada siapa-siapa, Nak," jawabnya."Malu sama umur, Ma," kataku sambil melepas sepatuku."Dasar bocah, 7 tahun kamu nggak ketemu sama Mama, sekalinya ketemu nggak mau mama cium? Kamu ninggalin Mama dari masih sangat muda, bagi Mama, kamu tetep bayi Mama," ucapnya seraya menjewer telinga
Aku pergi ke balkon dan mengangkat telepon dari nomor yang tidak dikenal itu. "Halo." Terdengar suara laki- laki dari seberang telepon. "Iya, dengan siapa?" tanyaku. "Ini benar dengan Dokter Mirza?" "Iya, saya sendiri," jawabku. "Saya mau kasih tau, ini istri bapak pingsan di depan cafe." "Hah? Istri?!" kataku dengan suara keras, perkataan laki-laki di telepon itu sangat mengejutkan bagiku. "Yang bener aja, Mas. Saya belum punya istri, saya belum nikah, Anda salah sambung!" Kupelankan suaraku karena kulihat mama sempat menoleh saat aku sebut istri tadi. "Alah kalau pasangan lagi ribut emang suka nggak ngakuin, kalian ribut, kan? Sampe istrinya kabur, bawa-bawa koper segala, bawa motor sendirian pula," jawabnya malah menuduhku. "Apa? Motor?" tanyaku yang semakin bingung. "Iya, lagi pula kalau wanita ini nggak kenal sama bapak, nggak mungkin saya sampai telepon bapak dan dapat nomor bapak." "Jangan mengada-ada, kalian jangan coba main-main sama saya!" ancamku yang s
POV AUTHORKediaman keluarga Adi Wijaya."Mama dari mana ? Kenapa larut malam gini baru pulang?" tanya Adi Wijaya pada istrinya yang baru pulang."Arisan, Pa, sekalian Mama mampir beli sate di depan kantor kamu. Katanya papa mau makan sate, nih ambil." "Selarut ini?" "Iya antri," jawab Bu Ratri, istri Adi wijaya yang tidak lain adalah mama dari Mirza."Papa makan aja, mama mau mandi dulu, gerah.""Ini sudah larut, masak papa makan, Ma?" "Nggak papa, sayang kalau nggak di makan mubazir," jawab Bu Ratri masuk ke kamar mandi.Adi Wijaya pun pergi ke bawah untuk mengambil piring, karena ia tau istrinya akan marah jika ia tak memakannya."Rania, kamu panasin sayurnya. Papa mau makan," perintah Adi Wijaya saat berpapasan dengan Rania yang terlihat baru saja pulang dari pemotretan."Bibi nggak ada, Pa?" tanya Rania mencibikkan bibirnya."Bibi sudah tidur, kamu yang masih bangun," jawanya, Adi Wijaya memang tak begitu suka dengan Rania, melihat Rania yang meninggalkan Mirza hanya karena
POV MIRZAAku terbangun saat alarm subuh yang kupasang berdering, seberapa larut pun aku tidur, aku tetap akan terbangun di waktu subuh dan tak pernah bisa untuk bangun kesiangan. Kubuka mata dan kuambil air wudhu, kubentangkan sajadah di ruang tamu, karena tak mungkin aku beribadah di dalam kamar, ada Ana yang masih membutuhkan istirahat, yang akan terbangun jika aku beraktifitas di sana.Usai sembahyang subuh, tak lupa ku baca walau hanya beberapa ayat, kebiasaan yang kuakukan sejak aku terusir dari keluarga Wijaya, kebiasaan yang mampu membuat hatiku lebih tenang dan damai.Aku menyambangi Ana di kamar usai sembahyang subuh. Setelah kupastikan suhunya normal, aku pun bergegas ke supermarket yang ada di lantai bawah apartemen untuk membeli bahan makanan. Saat aku tiba di lantai bawah, seseorang memanggilku."Mas," panggilnya, aku pun menoleh ke arah suara. Ternyata, dia adalah karyawan cafe semalam."Mas, ini kunci motornya, motornya sudah saya taruh di parkiran apartemen. Maaf, sem
Ana masuk dan menutup pintu dengan kasar lalu menguncinya dari dalam, bahkan saat aku masih terperangah.Kuusap wajahku. "Ya Allah, Ana ...."Tok ... tok ... tok .... "Sayang." Tak mau menyerah, aku pun mencoba untuk mengetuk pintu, namun tak ada jawaban."Sayang .,.." panggilku lagi, akhirnya terdengar suara kunci dibuka. "Alhamdulillah." Ak pun tersenyum lega. Pintu benar-benar dibuka."Nih, ambil," kata Ana memberikan bantal, selimut, dan mantel yang kuletakkan di ranjang tadi padaku."Apa ini?" sentakku sedikit kaget.Ana tak menjawab dan kembali menutup pintu rapat-rapat.Kuhela napas kasar, lalu dengan terpaksa berjalan menuju kamar Dokter Dion. Kupegang handel pintu, tapi tidak bisa terbuka, tertanda Dokter Dion pun mengunci pintu dari dalam. "Sengaja ni orang?" gerutuku, lalu mengacak rambut dengan frustasi.Brak!Brak!Brak!Akhirnya aku menggedor pintu kasar. "Dokter, Buka!" seruku, namun tak ada jawaban. "Dokter Dion! Saya dobrak, ni, kalau nggak buka!" ancamku lagi, na
Aku mengajak Ana untuk keluar dan Ana berkata akan menyusul, karena dia masih harus mencuci mukanya agar tidak terlihat sembab dan memakai hijab dulu.Aku keluar dari kamar dan kulihat Lidia sedang berbincang akrab dengan Dokter Dion, sepertinya mereka sedang membahas masalah kedokteran.Segera kuhampiri dan kusapa, "Lidia ...," kataku sedikit canggung,"Mirza ...." Dia berdiri hendak memelukku. Aku menolak, melangkah mundur ke belakang. "Maaf Lidia jangan biasakan memeluk laki-laki yang bukan suamimu," ujarku dengan nada datar."Mirza, kamu takut? Kita kan dulu biasa melakukannya," ujarnya dengan dahi berkerut bingung."Astaghfirullah," batinku mengingat betapa bodohnya aku dulu, betapa mudahnya aku melakukan itu padahal jelas itu salah dalam ajaranku."Itu dulu Lidia, sebelum saya sadar kalau semua itu salah." "Salah gimana? Ayo lah, Za, itu cuma sekedar sapaan saja kenapa jadi berlebihan?""Ehm ... Karena Mirza nya sudah datang, kalau begitu saya permisi. Za, saya tinggal," pamit
Aku kembali sekitar satu jam, ada beberapa masalah yang harus kuselesaikan. Kucari keberadaan Ana dan Dokter Dion. Kulihat Dokter Dion masih berada di tempat yang sama saat aku meninggalkannya tadi. Sepertinya Dokter Dion sedang membicarakan sesuatu untuk mencari tahu tentang alat yang kudengar dibutuhkan oleh Wijaya Hospital. Tapi Ana, Ana sama sekali tak terlihat di sana."Mana Ana?" tanyaku pada Dokter Dion."Ana? Tadi ada di sini," jawabnya melihat ke arah belakang."Kebiasaan Dokter.""Ke toilet mungkin, Za," sambung Dokter Dion.Kucari Ana ke toilet seperti apa yang dikatakan oleh Dokter Dion. Aku terkejut saat kulihat Ana dan Lidia keluar dari toilet bersamaan. Kuhentikan langkahku sejenak kala keduanya berjalan ke arahku."Mirza." Lidia memanggilku dan Ana memilih pergi, melewatiku begitu saja, tanpa melihat sekalipun ke arahku."Ana ...," panggilku, Ana tak menyahut, dan terus berlalu."Mirza," teriak Lidia, aku tak menyahut, kukejar Ana, entah mengapa aku yakin telah terj
Pengakuan Dokter Dion yang mengatakan sudah mengetahui statusku dan Ana sangatlah mencengangkan. Pasalnya dia sama sekali tidak memperlihatkan itu sejak aku menikah dengan Ana. Yang lebih membuatku cemas lagi adalah Dokter Dion mengatakan bahwa akhir-akhir ini kakekku sering keluar masuk ICU karena kondisi jantungnya yang semakin memburuk dan harus dipasang ring pula.Dokter Dion juga mengatakan, jika tak mau menggantikan, setidaknya persiapkan Ana untuk menggantikan kakek, itu pesan kakekku. Terdengar sangat konyol, mana mungkin aku membiarkan Ana memikul beban seberat itu. Ana masih terlalu muda, pengalamannya pun belum seberapa. Tentu saja aku tidak akan mengijinkan.Aku mengikuti Ana ke dapur setelah Dokter Dion masuk ke kamar untuk siap-siap pergi ke pameran. Karena tak mungkin siap-siap bersamanya, satu kamar dengannya dan ganti baju bersama, membayangkannya saja ngeri.Kubantu Ana untuk mencuci piring karena pakaian Ana sudah begitu rapi jika harus mencuci piring."Ana, sini b
POV MIRZADering ponsel dengan suara adzan subuh yang biasa kupakai untuk membangunkan tidurku akhirnya memecah waktu subuh, aku sengaja mengatur alarm dengan suara Adzan, kebetulan di lingkungan tempat tinggalku tidak terdapat masjid, sehingga aku menggunakan ponselku sebagai pengingat.Kumatikan alarm ponsel, lalu kulihat Ana masih tertidur pulas dalam dekapan. "Sayang ... bangun, sholat subuh yuk." Kugoncang pelan tubuh Ana yang kini sudah lengkap dengan piyamanya. "Hem." Hanya gumaman yang kudengar, selebihnya ia mengubah posisinya seraya menarik selimut, lalu kembali tidur. Aku menggelengkan kepala. Kuputuskan untuk membersihkan diri dan sholat terlebih dahulu, dan akan kubangunkan Ana kembali setelahnya.Aku bergegas kembali ke kamar Dokter Dion yang kusulap menjadi kamarku sebelum meraka datang, kuharap dia belum bangun sehingga tak menyadari bahwa semalam aku tidak ada bersamanya. Kubuka pintu dan kulihat dia masih sama pulasnya dengan Ana. Aku segera mandi dan menjalankan
POV ANAAku masuk ke kamar yang sudah ditunjukkan oleh sang empunya. Kubuka dan kututup kembali. Aku terkejut dengan apa yang aku lihat saat ini. Kamar yang begitu luas dengan dinding kaca besar yang terhubung langsung dengan pemandangan luar, pemandangan langit Berlin terlihat begitu nyata di hadapanku saat ini.Kusunggingkan senyumku saat kudekati ranjang besar di depanku. Di sana sudah tertata hiasan dengan kelopak bunga mawar bentuk love di atasnya. Terdapat pula piyama panjang yang sepertinya untukku, tak lupa dia siapkan pula dua handuk warna putih di dekat piyamaku. "Niat sekali," gumamku tersenyum geli melihat tingkah suamiku yang tak pernah kukira akan seromantis ini.Aku bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri, tak mungkin menyuguhi suamiku dengan tubuh bay keringat karena seharian berada di pesawat. Ya, sebelum aku berangkat ke Berlin, dia sudah berpesan bahwa akan meminta haknya padaku saat aku tiba di Jerman.Usai kubersihkan diri, aku duduk di depan cermin besar
Tiga Minggu KemudianPOV MirzaTiga minggu yang lalu, setelah aku meninggalkan Jakarta. Aku mendapat kabar yang begitu mengejutkan dari Mama soal Ana dan mantan mertuanya, yang bersi keras ingin menjadikan Ana sebagai menantunya lagi. Dan yang lebih mengejutkannya lagi, ternyata mantan mertua Ana adalah teman Mama dan rekan bisnis Papa. Aku marah begitu mendengar itu semua. Dan Mama, lebih marah lagi padaku, menurutnya itu semua terjadi karena sifat keras kepalaku yang tetap memilih Jerman, sehingga membuat Ana menanggung bebannya sendiri. Mama memarahiku habis- habisan.Aku tak masalah, mungkin Mama tak mengerti bagaimana profesiku berjalan. Aku tak bisa begitu saja meninggalkan pasienku, dan mementingkan kehidupan pribadiku dibanding nyawa orang lain. Aku terikat oleh sumpah. Mama juga bilang tentang bunga tanpa nama. Bunga yang sepertinya sudah dikirim beberapa kali untuk Ana dan terakhir Ana menolaknya. Aku berpikir, apa bunga yang dimaksud oleh Mama adalah bunga yang sama dengan
"Iya, Jeng. Nak Ana ini menantu kami dan kami ingin membawanya kembali ke rumah," kata Nyonya Pramono penuh percaya diri."MANTAN, Tante!" tegasku mengingatkan mereka."Tapi, saya sudah melamar Ana untuk Anak bungsu saya, i_ya kan Umi Zubaidah?" kata Tante Ratri yang membuatku lebih terkejut lagi. "Umi? Umi apa-apaan?" bisikku."Sudah, sudah, sudah! Apa-apaan ini, saya bisa pusing," kata Umi memegangi kepalanya."Tapi, Umi. Kami benar-benar ingin Ana menjadi menantu kami lagi," terang Pak Pramono."Berapa kali saya bilang, kalau saya ini, Ana, bukan barang yang main dibuang dan diambil." Keteganganpun mulai terjadi antara aku dan mantan mertuaku."Kami tidak pernah menganggap kamu sebagai barang, An. Justru kami sangat menyayangimu, mencari-cari kamu. Jangan menilai kami seperti itu," jelas Mama Mas Adrian.Kuhela napas panjang. "Oke, cukup semuanya. Mohon maaf, Tante, Tante, dan Om. Saya tidak berminat untuk menerima pinangan dari kalian semua. Karena saya sudah mempunyai pasangan,
POV ANAKuantar kepergian suamiku dengan senyuman subuh tadi, aku tak mau dia melihat kesedihan di wajahku yang bisa saja mengganggu pikiran dan pekerjaannya saat berada jauh dariku. Kutatap wajahku di depan cermin, kulihat tanda kepemilikan di leherku masih terlihat begitu jelas. "Kenapa baru sadar? Memalukan," gumamku.Kulupakan masalah tanda cinta itu, itu hak suamiku, aku tak bisa memarahinya. Kutatap lekat-lekat wajahku. Teringat perkataan suamiku yang lembut, namun, menyiratkan makna begitu dalam. "Bismillah." Kumantapkan hati untuk menutup aurat. Kuambil hijab pemberian Umi dan donatur Panti yang selama ini hanya kusimpan rapi dalam lemari. Jika Bu Ratri yang baru bertemu dengan Umi sekitar satu bulan yang lalu saja mampu merubah penampilannya menjadi anggun dan menutup rapat auratnya, kenapa aku yang dari kecil diasuh dan dibesarkan oleh Umi justru mengabaikan hal itu dan menganggap remeh meski berkali-kali Umi sering mengingatkanku. Kenapa harus menunggu suamiku dulu untu