Bab 4
POV ADRIAN Setelah pertengkaranku malam ini dengan Najwa, aku memutuskan menenangkan diri, sedangkan Najwa, mungkin saat ini sedang menangis di kamarnya. Aku mungkin memang sangat keterlaluan pada Najwa, namun aku tak mungkin menuruti kemauannya yang konyol. Aku tahu, Najwa sangatlah pencemburu, aku tak mau membuatnya kecewa. Berhadapan dengan Ana, gadis itu ... tak bisa dipungkiri parasnya sangatlah cantik. Bahkan, tanpa polesan pun kecantikannya melebihi Najwa, hidungnya yang mancung dan matanya yang mampu menghipnotis setiap laki- laki yang memandangnya, membuatku memilih untuk bersikap seperti ini saja, aku tak mau jatuh cinta dan membuat Najwa terluka. Sayup-sayup terdengar suara langkah seseorang mendekat ke arahku. Kuhembuskan napas lelahku dan berbalik melihat siapa yang ada di belakangku. "Mas, aku mau membicarakan sesuatu," katanya padaku, ternyata yang menemuiku adalah Ana, Ana yang aku nikahi dalam waktu singkat, sungguh malang nasibnya, harus menjadi istri ke dua saat usianya masih begitu muda. "Mau ngomong apa?" ketusku. "Tadi ...." "Kamu mendengar semuanya?" sela-ku sebelum Ana menyelesaikan kalimatnya. Dia mengangguk Pelan. "Lalu?" tanyaku, kami pun berdiri, bersisian saat ini, sama-sama memandang langit malam yang bertabur bintang. "Aku kasihan sama Mbak Najwa, sepertinya dia terlalu berharap," ucapnya penuh kehati-hatian, aku tahu saat ini dia diliputi rasa takut. Kulirik Ana, dia masih setia dengan pemandangan langit malam ini, tak sedikitpun menoleh ke arahku. "Maksudmu?" tanyaku menegaskan. "Apa nggak sebaiknya kita sudahi saja pernikahan ini," kata Ana yang begitu mantap, kali ini dia mulai menunduk. "Ana, justru itu akan membuat Najwa semakin terluka," jawabku, aku tahu bagaimana sifat Najwa, jika tidak dituruti dia akan merajuk dan yang lebih mengkhawatirkan adalah penyakitnya. Yang kapan saja bisa drop kalau dia stress. "Tapi, nggak baik juga terus- terusan memberi harapan palsu pada Mbak Najwa," ucapnya lagi. "Maksudmu?!" "Mbak Najwa sangat menginginkan anak, dan kita? Kita nggak mungkin memberikan itu pada Mbak Najwa. Mustahil." "Kenapa Mustahil?" Pertanyaan bodoh yang aku tanyakan pada Ana membuatnya terlihat bingung sekaligus terkejut. "Kamu tau sendiri jawabannya, Mas," jawab Ana penuh makna. Hening. "Kamu mau melakukannya tanpa cinta, Ana? Kalau kamu mau mari kita lakukan sekarang, apa kamu siap?" kataku seraya mendekati Ana dan mencekal lengannya kasar. Masalah dengan Najwa membuatku kehilangan akal, ditambah mendengar perkataan Ana yang membuatku semakin pusing. Aku terus mendekati Ana dan memangkas jarak diantara kita. "Mas, kamu jangan macem-macem, ya!" ancam Ana, ia terus mundur, wajahnya terlihat sangat ketakutan. Aku terus mendekat, hingga ia kehabisan langkah, hingga tubuh Ana sudah berbenturan dengan dinding yang ada di samping balkon tak ada celah lagi baginya, aku menguncinya dengan kedua tanganku yang kuletakkan pada dinding itu. "Kamu mau Najwa bahagia, kan? Ayo, An kita lakukan!" Plak! "Lancang kamu, Mas!" tamparan keras mengenai tepat di pipiku dan ia mendorongku hingga aku menjauh darinya. Ana, gadis itu sekarang benar-benar marah padaku, dia meninggalkanku dengan mata yang berkaca-kaca. "Adrian! Apa yang kamu lakukan barusan?" batinku seraya memukul pagar balkon yang ada di depanku. Masalah ini sudah membuatku benar- benar gila. Aku segera masuk ke dalam, kukejar Ana, karena aku harus minta maaf padanya. Namun, kuurungkan niatku saat kulihat sudah ada Najwa di sana, mengikuti Ana yang berlari ke kamarnya.Bab. 5 POV ANA Aku masuk ke dalam kamarku, menenggelamkan wajahku pada bantal. Aku merasa begitu tidak berharganya aku sebagai wanita, hingga suamiku sendiri memperlakukan aku serendah itu. Air mataku pun tak bisa kubendung lagi. "Ana." Suara Mbak Najwa tiba-tiba muncul tanpa aku sadari, kuusap air mataku kasar dan berbalik menatapnya. "An, apa Mas Adrian menyakitimu?" tanya Mbak Najwa mendekatiku dan duduk di bibir ranjang, menatapku penuh selidik. "Nggak, Mbak," jawabku menutupi. "Kamu jangan membohongi mbak, An!" tanyanya lagi, aku bergeming. Kukumpulkan seluruh keberanianku, hari ini aku yang akan menyelesaikan masalah ini sendiri. "Mbak, aku ...." Deg ... Tiba- tiba aku teringat atas perkataan Umi, bahwa pernikahan maupun perceraian bukanlah hal yang bisa dibuat mainan. Jika kamu sudah memilih menjadi seorang istri, maka, sebaik-baiknya seorang istri adalah yang taat pada suami. Mas Adrian? Dia tidak menginginkan perceraian, namun juga tidak menginginkanku. Kuurung
POV ANAPagi ini aku dan Mbak Najwa mulai melakukan aktivitas kami di dapur, namun mbak Najwa terlihat lebih banyak diam."Masak apa, Mbak?" tanyaku."Omlet, An, kesukaan Mas Adrian.""Sini mbak aku bantuin." "Nggak usah, An. Bukannya kamu harus kerja?" jawabnya, rasanya ada yang berbeda hari ini. Bukannya baru tadi malam Mbak Najwa mengatakan akan membuat Mas Adrian mencintaiku? Harusnya dia mengajariku memasak makanan kesukaannya, cinta kan bisa saja datang dari perut kata orang."Oh, ya udah, Mbak, kalau gitu aku buatin susu nya, ya?" tawarku lagi"Udah dibuatin Bi Minah, An!" jawab Mbak Najwa."Ana, saya mau bicara," panggil Mas Adrian yang tiba-tiba sudah bersandar di daun pintu dapur. Aku tersentak, teringat kejadian semalam membuatku semakin malas melihatnya."Kenapa masih di situ? Sini!" panggilnya lagi, aku pun pamit pada Mbak Najwa dan mengikutinya, aku pikir pasti dia mau minta maaf karena kejadian semalam.Kami duduk di meja makan, berhadapan, jantungku mulai tak karuan m
POV AUTHORDion hembuskan napas kasarnya setelah keluar dari ruangan Profesor Wijaya. Hari ini cukup melelahkan bagi Dion. Dia dan Profesor Wijaya sampai harus bersitegang, rumah sakit terancam ditutup karena ada salah seorang pasien yang menuntut atas dugaan mal praktek, dan kondisi pasien pun saat ini masih dalam keadaan koma. Profesor menyuruh Dion menghubungi Mirza, cucunya yang tak banyak orang tau, karena Mirza sudah lama meninggalkan Jakarta. Ia memiliki hubungan yang buruk dengan keluarga besarnya. Ia merupakan Anak yang dulu digadang-gadang menjadi penerus perusahaan Ayahnya —Adi Wijaya, dengan IQ nya yang di atas rata- rata sejak kecil, namun Mirza memilih untuk dikeluarkan dari anggota keluarga Wijaya demi cita- citanya menjadi seorang Dokter.Keputusan Mirza membuat Adi Wijaya marah besar dan mengusirnya, walau sebenarnya Adi Wijaya hanya berniat menggertak Mirza saat itu. Sebelumnya, Dion dan Mirza dipertemukan dalam sebuah seminar di Jerman dan mereka saling bertukar no
8. Tugas POV MIRZA Kurenungi semua yang Dokter Dion katakan di telepon subuh tadi, kakekku saat ini sedang berjuang sendirian tanpa siapapun di belakangnya. Dari seluruh keturunan keluarga Wijaya, hanya akulah yang berprofesi sebagai Dokter dan itu pun sudah di coret dari keluarga Wijaya. Kakek tak bisa berbuat apa-apa waktu itu, karena papa termasuk orang yang keras kepala dan berambisi. Dia mengancam akan menutup rumah sakit kakek jika kakek membelaku saat itu. Sampai saat inipun yang aku dengar dari Dokter Dion, mereka tidak berhubungan baik sejak aku pergi meninggalkan Jakarta tujuh tahun yang lalu. Ponsel alarmku bergetar, waktu Jerman sudah menunjukkan pukul 08.00. Tandanya aku harus segera pergi ke rumah sakit. Dengan sepotong sandwich dan segelas susu aku mulai hariku yang gundah ini, lalu kupacu kuda besi hasil kerja kerasku dengan kecepatan tinggi. Setelah kupikirkan matang-matang, dengan berat hati akhirnya kuputuskan untuk mengundurkan diri dan kembali ke Indonesia.
POV AUTHORAlarm Ana memecah heningnya waktu subuh, Ana sengaja membuat catatan di ponselnya agar ia tak lupa dengan tugas negaranya untuk menjemput Dokter Mirza sebelum ia berangkat kerja. Ana segera menyiapkan diri untuk sholat subuh dan setelahnya ia hendak menengok keadaan Najwa, tapi nyatanya pintu kamar Najwa masih tertutup, itu tandanya mereka masih tidur. Diurungkanya niat Ana untuk menengok Najwa, ia tak ingin mengganggu waktu istirahat Najwa dan Adrian. Ana memutuskan untuk membantu Bi Minah di dapur menyiapkan sarapan, karena ia tahu Najwa sedang tidak sehat. Kali ini ia tak mau gegabah membuat masakan, ia hanya membantu Bi Minah memotong bahan dan selebihnya Bi Minah yang memasaknya.Tak terasa waktu sudah pukul 07.30 pagi, hari ini Bi Minah membuat menu sarapan bubur ayam kesukaan Mbak Najwa. Tak lama terlihat Mbak Najwa yang masih pucat turun dari tangga bersama Mas Adrian."Sini Mbak sarapan dulu," ajak Ana menarik kursi untuk Najwa duduki."Makasih, An," ucap Najwa ter
POV ANAAmbulans datang setelah aku menyelesaikan pekerjaanku, terlihat pria tampan itu menuliskan sesuatu dan memberikannya pada seseorang yang kelihatannya akan menemani korban ke rumah sakit, entah apa yang ia katakan pada laki- laki itu, jarak kami cukup jauh. "Astaga." Tiba- tiba aku teringat tugasku untuk menjemput dokter Mirza, kutinggalkan kerumunan orang di sana dan segera berlari masuk ke terminal 2 untuk kedatangan penerbangan internasional, aku harap Dokter Mirza masih menunggu. Segera kubentangkan tanda pengenal yang kubuat semalam. Namun, aku tak kunjung menemukan orang yang sudah Mbak Lia sebutkan ciri-cirinya. Tinggi, pake kacamata itu yang kuingat. Drrrt .... ponselku pun bergetar, telepon dari Dokter Dion masuk, sontak membuatku deg deg an, karena aku dan Dokter Dion tidak pernah berhubungan sebelumnya."Riana! Kamu dimana?" teriak Dokter Dion di seberang telepon."S_saya di Bandara, Dok!" jawabku tebata."Kamu telat, Dokter Mirza sudah naik taksi, dia marah karena
Aku segera berlari menuju ruang ganti, karena sudah waktunya pergantian shift, harusnya aku shift malam hari ini, yang dimulai pukul 9 malam nanti. Tapi, karena aku harus menemui Dokter Dion akhirnya aku tukar shift jadi shift sore daripada harus bolak-balik, karena kalau harus menunggu malam pasti Dokter Dion keburu pulang.Tok tok tok. Kuketuk ruangan dokter Dion setelah kupastikan sudah tak ada pasien lagi yang menunggu."Cari siapa, Mbak Ana?" tanya Mbak Vira, asisten dokter Dion."Dokter Dion nya ada?" tanyaku."Baru aja keluar," jawab mbak Vira."Waduh ... kalau boleh saya tahu, keluar kemana ya, Mbak? Saya harus segera menemuinya," tanyaku cemas."Nah, itu yang kurang tau, udah gini aja Ana, nanti kalau Dokter Dion datang, aku kabari, soalnya nggak tau kapan kembalinya, pasien juga sudah nggak ada. Kalau kamu tunggu kamu kan harus kerja," terangnya."Oh, iya, Mbak, makasih. Ini nomor saya, Mbak." Kuberikan ponselku pada asisten Dokter Dion dan aku pun segera meninggalkannya set
POV MirzaKuhubungi Dokter Dion, kukatakan bahwa aku sudah sampai di rumah sakit, dia mengajakku untuk makan siang terlebih dahulu di kantin rumah sakit, tak sengaja kulihat Ana, gadis yang menjemputku tapi gagal tadi berjalan melewati kantin, dia sudah mengenakan seragam perawat dan terlihat lebih rapi. Ia tampak mengelus perutnya, sepertinya dia lapar, kuamati setiap langkahnya, benar saja dia masuk ke kantin membeli sebuah roti dan minuman, lalu pergi tergesa."Mirza, kenapa bengong?" kejut Dokter Mirza menepuk pundakku."Itu Ana yang dokter suruh jemput saya, kan?" tanyaku melihat ke arah Ana pergi."Kamu sudah kenal? Bukannya tadi Ana nggak ketemu sama kamu?" "Tadi ketemu, Dok, cuma dia nggak tau aja kalau dia satu taksi sama Dokter Mirza, baginya dokter Mirza itu, tua, botak, kayak Albert Einstein," kataku tertawa, mengingat kata-kata itu."Mirza, Ana sudah punya suami!" katanya menatapku curiga, "O ya? Masih muda udah punya suami? Hebat juga, tapi apa hubungannya sama saya?"