"Bagaimana?"
"Mereka tutup lebih awal. Intel tidak mendapatkan apa-apa." "Bagus. Biarkan tenang selama beberapa hari, setelah itu lakukan kembali. Lebih pintarlah sedikit, taruh barangnya di tempat yang tidak langsung terlihat." "Baik, Pak." Suara pintu berderit terbuka mengejutkan. "Sayang, aku buatkan pie apel. Makanlah selagi hangat." Mikaela masuk membawa baki besar. "Harum sekali." Benyamin tersenyum gugup. Untung gagang telepon sudah diletakkan pada tempatnya. Mikaela terpaku. Alisnya bertaut. Benyamin juga terpaku. "Kuharap kamu berhati-hati," cetus Mikaela. "Siapa yang bermain api akan terbakar, Suamiku." "Aku akan panggil pemadam kebakaran." Benyamin meringis. "Ayo dimakan." Mikaela meletakkan sepiring potongan pie apel di tengah meja.Sudah tiga hari belakangan Diana menaruh curiga terhadap Alex. Wajah lelaki itu tampak begitu serius mengamati laptop. Setiap kali Diana berusaha mendekat, Alex akan menutup laptop dan mengalihkan perhatiannya pada hal lain. Hari ini Diana akan mencoba pendekatan berbeda. Demi melaksanakan rencananya, Diana berdiri sejenak di bawah pancuran supaya seluruh tubuhnya basah. Rambut basahnya dibiarkan tergerai sementara selembar handuk besar dibalutkan ke tubuh. "Hei, kamu lebih suka yang mana? Pink atau putih?" Diana memegang dua buah gaun tidur. Dia tampak menggoda dengan tampilan seperti habis mandi. Alex memandangi tanpa berkedip. Berbagai adegan terbayang dalam pikirannya. "Alex? Kok diam saja?" tanya Diana dengan nada menggoda. Kakinya melangkah perlahan. "Ehm... Tidak dua-duanya, Princess." Alex menarik Diana ke pangkuannya. Rencananya berhasil! Diana melayangkan pan
"Hmm... Kita tidak perlu tempat yang besar kan? Cuma kita berdua, pendeta, dan hakim serta saksi untuk pencatatan sipil," ujar Alex. "Sepertinya begitu. Saksinya siapa? Tebakanku Jack." "Kita tidak punya teman lain." Alex tergelak. "Dia lebih dari cukup." Diana menyetujui. Venue yang mereka lihat sore ini berupa taman dengan pepohonan dan banyak sekali tanaman bunga hias yang tidak bergantung pada musim. Diana bisa membayangkan dirinya dan Alex berdiri berhadapan di bawah pohon dengan kain sutra putih menjuntai dari dahannya, saling mengucap janji setia. Diana mendekap wajahnya yang memerah. Memalukan sekali. Dilihatnya Alex sedang asyik mengamati pohon angsana yang sedang berbunga. "Kamu suka tempat ini? Atau mau lihat yang lain?" tanya Alex. "Aku suka." "Bisa membayangkan kita berdiri di sini?" "Kam
Semalam suntuk tidak ada kabar dari Alex. Diana mondar-mandir gelisah, tidak dapat beristirahat sedetik pun. Ingin rasanya pergi ke tempat Alex berada. Sekarang Diana mengerti kenapa Alex menyuruh Jack menjaganya. Salah satu alasannya adalah supaya dia tidak bertindak gegabah. Saat resah waktu terasa bergerak dengan lambat. Malam terasa berat karena ketidakpahaman terhadap situasi. Diana benci saat-saat tak berdaya seperti ini. Dia ingin seperti Alex atau Jack yang dapat terjun ke lautan api jika dibutuhkan. "Makanlah sesuatu. Alex pasti tidak ingin kamu pingsan kelaparan saat dia pulang nanti." Jack menyajikan mi goreng buatannya dalam piring. Diana berusaha untuk makan. "Tenang saja, Alex yang kukenal tidak akan jatuh dalam masalah semudah itu." "Kamu yakin?" "Sembilan puluh persen yakin." Diana tersenyum geli. Seandainya dia memiliki sahabat baik se
"Ampun, Bang, saya cuma orang suruhan! Mana berani saya lawan Abang? Kalau bukan karena diancam juga saya nggak bakal berani macam-macam, Bang!" Alex menatap lelaki kurus yang sedang berjongkok di hadapannya. Sorot matanya dipenuhi kemarahan. "Siapa yang menyuruhmu?" "Jangan, Bang. Ampun, saya akan menghilang dari kota ini, tolong--" Lolongan memilukan keluar dari mulut si lelaki kurus. "Pilih, tangan kanan atau kiri?" Alex memuntir lengan si lelaki kurus hingga sudut yang tidak wajar. "Saya tidak tahu!!" Sejurus kemudian si lelaki kurus menjerit. Engsel di siku kanannya bergeser. "Berikan namanya." Alex beralih ke lengan kiri yang belum cedera. Airmata mengalir di wajah si lelaki kurus, "Ampun, Bang... Nyawa saya taruhannya!" "Nama." Suara berderak kembali terdengar disusul lolongan kesakitan d
Semalaman Alex menatap layar laptop. Berbagai emosi melintas dalam dirinya. Keberadaan Diana yang sedang terlelap membuatnya menahan diri untuk melakukan perusakan. Alex tahu timbunan emosi ini harus dikeluarkan, jika ditahan terlalu lama akan berbahaya bagi orang-orang di sekitarnya. Tidak ada cara lain. Alex naik ke atap untuk menganiaya samsak. Setiap pukulan dan tendangan disertai bentakan kemarahan. Wajahnya diwarnai aura gelap yang dapat membuat setan cemburu. Samsak berayun liar. "Aku tahu kau ini makhluk malam, Vorst. Tapi coba pikirkan orang lain--" Jack terdiam begitu melihat wajah Alex. Sorot mata lelaki di hadapannya penuh dengan keinginan membunuh. Jack menghela nafas. Dia menjaga jarak aman dari Alex, "Kau sudah tahu pelakunya?" Alex memukul samsak sebagai jawaban. "Jack, bawa Diana pergi...," desis Alex. "Kau yakin?" tanya Jack. "P
Alex berkirim pesan singkat dengan Jack untuk mengetahui keadaan Diana. Hatinya resah saat mengetahui Diana sempat tidak sadarkan diri. Alex bergulat dengan emosi. Dia harus menemukan solusi secepat mungkin sebelum menjadi gila. Begitu matahari menyinari cakrawala Alex melajukan motor racingnya membelah ibukota. Dia ngebut dengan kecepatan 120km/jam. Jalanan dan kendaraan dilahapnya dengan manuver bak pembalap profesional. Motor berhenti di depan sebuah ruko berplang merk toko pakaian online. Alex melangkah masuk tanpa sedikit pun keraguan. Dia langsung naik ke lantai dua tanpa menghiraukan sapaan manis pelayan toko. Alex menggedor pintu stainless steel yang tampak kokoh. Sedetik kemudian pintu itu bergeser terbuka. Suasana temaram menyambut indera penglihatan Alex. "Silakan duduk," kata seorang lelaki yang duduk di belakang satu-satunya meja di ruangan itu. "Konfirmasikan ap
Atmosfer dalam mobil begitu menyesakkan. Jack sudah menyetel pendingin sampai suhu terendah tapi masih saja berkeringat. Diliriknya Diana yang begitu tenang. Jack menghela nafas untuk kesekian kalinya. 'Adik Kecil, aku akan melindungimu,' batin Jack. Ketegangan bertambah ketika mobil meluncur ke basement. Jack dan Diana berjalan beriringan menuju lift. Tidak satu suara pun tercetus saat lift menuju lantai tigapuluh. Diana bergegas keluar saat pintu lift terbuka. Matanya menyapu sekeliling. Di mana Alex? Jack mengikuti di belakang Diana dengan waspada. Tanda-tanda pengrusakan bertebaran di seluruh penthouse. "Alex?" Diana menangkap sesosok lelaki yang duduk di tempat tidur dalam keremangan. Tirai jendela tertutup dan tidak ada lampu menyala. Terdengar suara nafas tertahan. Jack mengawasi. "Kubilang bawa dia pergi." Suara Alex begitu dingin
Usai melampiaskan rasa frustasi Alex kembali ke kamar. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan keberadaan Diana. Entah akan menjadi hal baik atau buruk. Satu hal yang ingin dipastikan, ke mana langkah berikutnya menuju. Mata mereka bertatapan saat Alex menuju kamar mandi. Diana berpikir apa yang harus mereka bicarakan nanti. Saat Diana masih sibuk dengan pikirannya Alex telah selesai mandi. "Kamu sempat tidur?" tanya Diana. Alex tidak menjawab. Diana memperhatikan Alex berpakaian. "Aku membuatmu takut?" Alex duduk di tepi tempat tidur. "Sedikit." Diana tersenyum tipis. "Sebaiknya begitu," desah Alex. Hati Diana terasa perih. Perasaan Alex mengalir bebas ke dalam dirinya, bercampur dengan perasaannya sendiri. Diana menggigit bibir. "Jack menyebutku binatang bukan tanpa alasan, Princess...."