Sebuah mobil boks berhenti di depan club. Seorang lelaki menurunkan kotak-kotak berisi minuman beralkohol. Jack memeriksa semuanya. Saat kotak dibuka Jack mengernyit. Dia memanggil si pengantar barang.
"Hei, Bung. Apa ini?" tanya Jack. "Sesuai surat jalan, Pak. Saya tidak hafal satu persatu," ujar si pengantar barang. "Maksudku, kenapa semuanya tidak ada pita cukai?? Siapa yang urus pesanan ini??" "Pita cukai?" Si pengantar barang melongok ke kotak. "Loh? Biasanya dikirim ada kok, bukan yang polosan gini?" "Kamu tunggu sebentar." Jack bergegas melapor pada Alex. Segera saja orang-orang mengerumuni barang kiriman yang beresiko tersebut. Alex menyuruh semua barang dikembalikan. Dia tidak mau didatangi pihak berwajib hanya karena ketiadaan pita cukai. "Malam ini kita batasi limapuluh persen pengunjung. Semuanya buka mata dan telinga, l"Bagaimana?" "Mereka tutup lebih awal. Intel tidak mendapatkan apa-apa." "Bagus. Biarkan tenang selama beberapa hari, setelah itu lakukan kembali. Lebih pintarlah sedikit, taruh barangnya di tempat yang tidak langsung terlihat." "Baik, Pak." Suara pintu berderit terbuka mengejutkan. "Sayang, aku buatkan pie apel. Makanlah selagi hangat." Mikaela masuk membawa baki besar. "Harum sekali." Benyamin tersenyum gugup. Untung gagang telepon sudah diletakkan pada tempatnya. Mikaela terpaku. Alisnya bertaut. Benyamin juga terpaku. "Kuharap kamu berhati-hati," cetus Mikaela. "Siapa yang bermain api akan terbakar, Suamiku." "Aku akan panggil pemadam kebakaran." Benyamin meringis. "Ayo dimakan." Mikaela meletakkan sepiring potongan pie apel di tengah meja.
Sudah tiga hari belakangan Diana menaruh curiga terhadap Alex. Wajah lelaki itu tampak begitu serius mengamati laptop. Setiap kali Diana berusaha mendekat, Alex akan menutup laptop dan mengalihkan perhatiannya pada hal lain. Hari ini Diana akan mencoba pendekatan berbeda. Demi melaksanakan rencananya, Diana berdiri sejenak di bawah pancuran supaya seluruh tubuhnya basah. Rambut basahnya dibiarkan tergerai sementara selembar handuk besar dibalutkan ke tubuh. "Hei, kamu lebih suka yang mana? Pink atau putih?" Diana memegang dua buah gaun tidur. Dia tampak menggoda dengan tampilan seperti habis mandi. Alex memandangi tanpa berkedip. Berbagai adegan terbayang dalam pikirannya. "Alex? Kok diam saja?" tanya Diana dengan nada menggoda. Kakinya melangkah perlahan. "Ehm... Tidak dua-duanya, Princess." Alex menarik Diana ke pangkuannya. Rencananya berhasil! Diana melayangkan pan
"Hmm... Kita tidak perlu tempat yang besar kan? Cuma kita berdua, pendeta, dan hakim serta saksi untuk pencatatan sipil," ujar Alex. "Sepertinya begitu. Saksinya siapa? Tebakanku Jack." "Kita tidak punya teman lain." Alex tergelak. "Dia lebih dari cukup." Diana menyetujui. Venue yang mereka lihat sore ini berupa taman dengan pepohonan dan banyak sekali tanaman bunga hias yang tidak bergantung pada musim. Diana bisa membayangkan dirinya dan Alex berdiri berhadapan di bawah pohon dengan kain sutra putih menjuntai dari dahannya, saling mengucap janji setia. Diana mendekap wajahnya yang memerah. Memalukan sekali. Dilihatnya Alex sedang asyik mengamati pohon angsana yang sedang berbunga. "Kamu suka tempat ini? Atau mau lihat yang lain?" tanya Alex. "Aku suka." "Bisa membayangkan kita berdiri di sini?" "Kam
Semalam suntuk tidak ada kabar dari Alex. Diana mondar-mandir gelisah, tidak dapat beristirahat sedetik pun. Ingin rasanya pergi ke tempat Alex berada. Sekarang Diana mengerti kenapa Alex menyuruh Jack menjaganya. Salah satu alasannya adalah supaya dia tidak bertindak gegabah. Saat resah waktu terasa bergerak dengan lambat. Malam terasa berat karena ketidakpahaman terhadap situasi. Diana benci saat-saat tak berdaya seperti ini. Dia ingin seperti Alex atau Jack yang dapat terjun ke lautan api jika dibutuhkan. "Makanlah sesuatu. Alex pasti tidak ingin kamu pingsan kelaparan saat dia pulang nanti." Jack menyajikan mi goreng buatannya dalam piring. Diana berusaha untuk makan. "Tenang saja, Alex yang kukenal tidak akan jatuh dalam masalah semudah itu." "Kamu yakin?" "Sembilan puluh persen yakin." Diana tersenyum geli. Seandainya dia memiliki sahabat baik se
"Ampun, Bang, saya cuma orang suruhan! Mana berani saya lawan Abang? Kalau bukan karena diancam juga saya nggak bakal berani macam-macam, Bang!" Alex menatap lelaki kurus yang sedang berjongkok di hadapannya. Sorot matanya dipenuhi kemarahan. "Siapa yang menyuruhmu?" "Jangan, Bang. Ampun, saya akan menghilang dari kota ini, tolong--" Lolongan memilukan keluar dari mulut si lelaki kurus. "Pilih, tangan kanan atau kiri?" Alex memuntir lengan si lelaki kurus hingga sudut yang tidak wajar. "Saya tidak tahu!!" Sejurus kemudian si lelaki kurus menjerit. Engsel di siku kanannya bergeser. "Berikan namanya." Alex beralih ke lengan kiri yang belum cedera. Airmata mengalir di wajah si lelaki kurus, "Ampun, Bang... Nyawa saya taruhannya!" "Nama." Suara berderak kembali terdengar disusul lolongan kesakitan d
Semalaman Alex menatap layar laptop. Berbagai emosi melintas dalam dirinya. Keberadaan Diana yang sedang terlelap membuatnya menahan diri untuk melakukan perusakan. Alex tahu timbunan emosi ini harus dikeluarkan, jika ditahan terlalu lama akan berbahaya bagi orang-orang di sekitarnya. Tidak ada cara lain. Alex naik ke atap untuk menganiaya samsak. Setiap pukulan dan tendangan disertai bentakan kemarahan. Wajahnya diwarnai aura gelap yang dapat membuat setan cemburu. Samsak berayun liar. "Aku tahu kau ini makhluk malam, Vorst. Tapi coba pikirkan orang lain--" Jack terdiam begitu melihat wajah Alex. Sorot mata lelaki di hadapannya penuh dengan keinginan membunuh. Jack menghela nafas. Dia menjaga jarak aman dari Alex, "Kau sudah tahu pelakunya?" Alex memukul samsak sebagai jawaban. "Jack, bawa Diana pergi...," desis Alex. "Kau yakin?" tanya Jack. "P
Alex berkirim pesan singkat dengan Jack untuk mengetahui keadaan Diana. Hatinya resah saat mengetahui Diana sempat tidak sadarkan diri. Alex bergulat dengan emosi. Dia harus menemukan solusi secepat mungkin sebelum menjadi gila. Begitu matahari menyinari cakrawala Alex melajukan motor racingnya membelah ibukota. Dia ngebut dengan kecepatan 120km/jam. Jalanan dan kendaraan dilahapnya dengan manuver bak pembalap profesional. Motor berhenti di depan sebuah ruko berplang merk toko pakaian online. Alex melangkah masuk tanpa sedikit pun keraguan. Dia langsung naik ke lantai dua tanpa menghiraukan sapaan manis pelayan toko. Alex menggedor pintu stainless steel yang tampak kokoh. Sedetik kemudian pintu itu bergeser terbuka. Suasana temaram menyambut indera penglihatan Alex. "Silakan duduk," kata seorang lelaki yang duduk di belakang satu-satunya meja di ruangan itu. "Konfirmasikan ap
Atmosfer dalam mobil begitu menyesakkan. Jack sudah menyetel pendingin sampai suhu terendah tapi masih saja berkeringat. Diliriknya Diana yang begitu tenang. Jack menghela nafas untuk kesekian kalinya. 'Adik Kecil, aku akan melindungimu,' batin Jack. Ketegangan bertambah ketika mobil meluncur ke basement. Jack dan Diana berjalan beriringan menuju lift. Tidak satu suara pun tercetus saat lift menuju lantai tigapuluh. Diana bergegas keluar saat pintu lift terbuka. Matanya menyapu sekeliling. Di mana Alex? Jack mengikuti di belakang Diana dengan waspada. Tanda-tanda pengrusakan bertebaran di seluruh penthouse. "Alex?" Diana menangkap sesosok lelaki yang duduk di tempat tidur dalam keremangan. Tirai jendela tertutup dan tidak ada lampu menyala. Terdengar suara nafas tertahan. Jack mengawasi. "Kubilang bawa dia pergi." Suara Alex begitu dingin
Hari kepulangan Ben adalah hari yang dinantikan semua orang, bahkan Alex pun berpikiran baik terhadap ayah mertuanya. Cederanya belum pulih seratus persen, tapi sudah tidak membahayakan. Ben pun bisa berjalan sendiri meskipun lebih lemah dari biasanya. "Bagaimana keadaanmu?" Ben bertanya pada Alex saat hanya ada mereka berdua di ruang tamu. "Apa? Seharusnya aku yang bertanya padamu." Ben meringis menahan tawa, "Tidak boleh bertanya? Lupakan saja niat baikku." Alex berdeham, "Kenapa Anda menghalangi pukulan Lao Hu?" Ben menatap Alex dengan pandangan rumit, "Kenapa? Karena kalau kamu terluka putriku akan bersedih." "Aku mengerti." Alex tersenyum. Ada sesuatu yang menarik dalam pikiran Ben. "Kenapa kamu melindungiku?" Ben bertanya kembali. "Karena Anda ayah istriku." Hening sesaat. Kedua lelaki berbeda generasi itu tampak
Alex dan Diana duduk di kursi taman rumah sakit yang menghadap ke arah kamar VIP. Mereka menikmati suasana yang cukup sejuk sambil mengobrol ringan. "Untung kamu tidak cedera berat seperti waktu itu," kata Diana. "Cuma keretakan rusuk sedikit. Aku masih bisa bermesraan denganmu," goda Alex. "Kamu nih, kata dokter jangan banyak bergerak dulu. Biar tidak berat tapi kalau dipaksa cederanya bisa bertambah." "Cedera apa? Istriku kan mungil dan ringan." Alex mengecup pipi Diana. "Serius dong," gerutu Diana. "Lihat, orang itu sudah keluar." Alex melirik ke satu arah. Diana menoleh ke arah kamar pasien. Tampak Li Wei dan Mikaela berdiri berhadapan. "Kamu bilang mereka ada hubungannya?" tanya Diana. "Rasanya begitu." Terlihat Mikaela merentangkan tangan. Li Wei ragu, maka Mikaela maju untuk memeluknya. Diana te
Suasana dalam kamar VIP di rumah sakit menjadi tegang karena kedatangan Li Wei. Lelaki muda itu datang untuk menjenguk keluarga Hartanto, namun tujuan utamanya adalah untuk bertemu Diana. "Mau apa kemari?" tanya Alex. "Aku datang dengan niat baik. Tanya saja ibu mertuamu." Li Wei tersenyum dingin. "Tidak ada niat baik dalam kepalamu. Aku belum memberimu pelajaran atas apa yang kau lakukan terhadap Diana," geram Alex. "Memangnya kau punya kemampuan?" Li Wei bahkan tidak menatap Alex. Pandangan matanya melembut saat menemukan sosok Diana yang bersembunyi di belakang Alex. "Jaga matamu, Anak Kecil." Alex menghalangi pandangan mata Li Wei. "Mata jelas-jelas punyaku. Memangnya pemandangan di kamar ini punyamu?" ejek Li Wei. "Huss... Kalian ini. Di rumah sakit masih aja mau berkelahi...," desis Mikaela. Dia terpaksa menghampiri anak-anak muda k
"Kau! Cari mati!" Lao Hu menjerit histeris. Darah mengalir ke wajahnya. "Kau yang cari mati, Tua Bangka!" bentak Ben. Alex benar-benar melongo. Bukannya kedua lelaki ini sama-sama tua? Lao Hu merangsek ke arah Ben. Dia hendak menghabisi pengganggu tak terduga ini dalam satu pukulan. Alex tidak tinggal diam. Dia segera menyerang dari samping, tepat mengenai bagian sisi kepala Lao Hu. Walaupun terkena tendangan tapi reaksi Lao Hu masih luar biasa. Lengannya mengibas ke samping membuat tubuh Alex terlempar ke dinding. "Ben! Hati-hati!" seru Mikaela. "Jangan keluar! Tetap di dalam!" Ben berseru pada istrinya. Lao Hu menatap ke arah Mikaela. Tatapan matanya berubah ganas. Ben menempatkan dirinya di antara Mikaela dan Lao Hu. "Heh, wanita yang cantik. Setelah kalian lelaki-lelaki tak berguna ini mati, akan kurebut wanita kalian!" Lao Hu tertawa
Matahari tinggi di puncak langit. Sederetan mobil hitam parkir tidak beraturan di luar gerbang kediaman Hartanto. Beberapa orang penjaga berteriak-teriak mengusir para pendatang yang tidak tahu diri itu. Pintu mobil terbuka nyaris berbarengan. Selusin lelaki bertubuh besar berwajah garang melompat turun. Niko dan Lao Hu turun setelah formasi terbentuk. Teriknya matahari membuat Lao Hu memicingkan mata. "Ini rumahnya?" tanya Lao Hu. "Betul, Bos. Alex sedang berada di sini." jawab Niko dengan hormat. Lao Hu menggerakkan kepala sebagai kode untuk anak buahnya. Kompak, selusin lelaki bertubuh besar merobohkan pintu gerbang. Besi baja terlihat tak berguna di hadapan mereka. Para penjaga berhamburan dari dalam rumah, semua membawa tongkat atau senjata tumpul lainnya. Seketika terjadi pertarungan sengit di pekarangan. Lao Hu dan Niko berjalan melewati mereka seolah tidak ada a
Genderang perang sudah ditabuh. Lao Hu berangkat ke kediaman Hartanto bersama Niko dan selusin anak buah mereka. Mobil hitam melaju beriringan tanpa rintangan berarti. Jika saja langit berubah jadi gelap disertai kilat menyambar dan guntur bertalu, mereka akan mirip seperti utusan dari neraka. Sayangnya langit begitu cerah tanpa awan sedikit pun. "Bos, Shi Fu Li tidak ikut?" tanya Niko perlahan. "Dia sudah mengatakan bahwa hari ini baik. Aku percaya padanya," sahut Lao Hu yang bersandar memejamkan mata. "Oh, baik kalau begitu." Niko tidak berani bertanya lagi. "Bangunkan aku kalau sudah sampai," kata Lao Hu. "Baik, Bos." Kediaman Hartanto... Alex menyeret Jack ke pekarangan. Dia butuh sedikit gerak badan. Jack yang masih mengantuk terus-menerus menggerutu. "Bacotmu seperti anak perempuan," ledek Alex.
"Shi Fu, bagaimana... Tadi...." Lao Hu yang sudah dapat bergerak kini kebingungan seperti orang baru terbangun dari tidur panjang. "Istirahatlah dulu. Cari hari lain untuk menghadapi Alexander. Terlalu banyak kejutan hari ini, tidak baik." Li Wei termenung. Lao Hu merasa tidak rela, tapi dia tidak berani membantah perkataan seorang Shi Fu Li. Dia membungkukkan badan dengan hormat dan kembali ke kamar. Li Wei menghela nafas. Percakapan singkat dengan Mikaela mengangkat selubung kegelapan dalam hatinya. Ada baiknya juga mengikuti nasihat Mikaela, mungkin dengan demikian dia dapat merebut hati Diana seperti seorang lelaki sejati. Huh, wanita yang dicintai ayahnya memang hebat. Tidak memiliki ilmu apa-apa tapi kekuatannya luar biasa. Sayang, sungguh sangat disayangkan ayah pergi terlalu cepat. Li Wei ingin sekali mendengarkan lagi kisah percintaan itu dari mulut ayahnya, dengan perspektif yang berb
Firasat buruk datang seperti angin dingin di tengah malam, membuat tubuh tidak nyaman dan pikiran tidak tenang. Mikaela menatap dua anak muda yang masih memejamkan mata karena kelelahan mental yang baru saja mereka lalui. Bagaimana mereka bisa melawan musuh yang akan datang? Mikaela keluar dari kamar Diana. Raut wajah yang biasanya lembut kini terlihat penuh tekad. Dia masuk ke kamarnya untuk berbicara dengan Ben. Dilihatnya Ben sedang duduk di meja sambil melihat-lihat dokumen. "Sayang?" panggil Mikaela. "Hmm," gumam Ben acuh tak acuh. Mikaela tersenyum. Lelaki yang telah dinikahinya selama tiga puluh lima tahun ini tampak lelah. Dia meletakkan tangan di bahu Ben. "Bersikap baiklah terhadap Alex, Sayang. Bagaimanapun juga dia suami putri kita...," desah Mikaela. "Hmm." "Aku mau keluar sebentar ya. Tolong jaga anak-anak." Mikaela me
Alex dan Diana memeriksa setiap sudut ruangan untuk menemukan keberadaan akar mantra tersebut. Tidak ada satu sudut pun yang lolos dari pemeriksaan. Entah berapa lama waktu berlalu, tapi Alex mulai merasa lelah. "Selain tempat ini masih ada lagi?" tanya Alex. "Ehm... Kita belum melihat semuanya." Alex menatap Diana, "Di mana?" "Itu." Diana menunjuk ke sebuah titik. Alex mengangkat kepala. Siapa sangka ada rak buku tersembunyi di atas sebuah pilar besar. Siapa pun yang tanpa sengaja melihat ke atas tidak akan dapat menemukannya. "Sepertinya aku harus memanjat." Alex menghela nafas. "Ada tangga di sana." Diana menunjuk ke bawah pilar. Benar saja, ada anak tangga yang dipahat pada pilar. Tangga melingkar itu baru menunjukkan wujudnya setelah mereka benar-benar memperhatikan. "Pikiranmu rumit sekali, Princess." Alex terseny