Sial! Maki Alexander dalam hati. Bayangan gelap yang jatuh di wajahnya membuat Alexander terlihat berbahaya. Emosinya meluap campur aduk. Wanita muda polos yang baru saja diantarnya pulang melakukan hal yang membuat dirinya kacau. Apakah Diana sengaja atau hanya terlalu polos?
Alexander tersenyum. Kejadian itu membuktikan bahwa Diana menginginkan dirinya. Suara musik dari lantai bawah terdengar sayup teredam oleh dinding khusus di bagian dalam ruangan. Alexander ingin pergi menemui Diana. Dia ingin membuat wanita itu takluk di bawah dirinya. Alexander tahu dia harus melakukan pendekatan yang lebih lembut. Ingat, yang dihadapi saat ini bukan wanita yang berpengalaman dengan lelaki, tapi wanita yang masih suci. Alexander menelepon nomor Diana, tidak ada nada sambung. Sial! Wanita itu mematikan handphonenya! Alexander meninju dinding dengan frustasi. Masih ada cara lain. Alexander memerintahkan dua orang anak buahnya untuk memata-matai apartemen Diana. Dia tidak ingin wanita itu lepas dari tangannya. Pukul sembilan malam Alexander mendapat telepon dari salah satu anak buahnya bahwa Diana menampakkan diri. Dia melihat foto yang dikirimkan. Benar, itu dia! Wanita mungil berambut panjang yang membuatnya hampir gila. Alexander memerintahkan anak buahnya untuk membawa Diana ke penthouse tanpa kekerasan. Dia tidak ingin memberikan kesan buruk pada pertemuan ke dua mereka. Alexander bergegas pulang. Hatinya tidak sabar untuk bertemu. Diana berjalan mondar-mandir di penthouse sambil menatap kedua lelaki berbadan besar yang berjaga-jaga di depan lift. Dia marah karena ikut kemari dengan terpaksa. Kalau tatapan bisa membunuh, kedua lelaki itu pasti sudah terkapar. Diana sangat khawatir terhadap apa yang akan dilakukan Alexander. Pikiran itu membuatnya takut sekaligus berdebar. Diana menepuk pipi supaya sadar lelaki ini bukan untuknya. Tidak lama kemudian pintu lift terbuka dan sosok Alexander muncul. Matanya langsung mengunci Diana. Dia menyuruh kedua anak buahnya untuk pergi. Jantung Diana berdebar sangat kencang melihat Alexander berjalan menghampiri. Sebuah senyum menghiasi wajah Alexander yang tampan. Hati Diana menciut. Bagaimana cara melarikan diri dari situasi ini? "Kita bertemu lagi, Princess." Alexander berkata dengan perlahan, senang melihat efek suaranya terhadap Diana. "Kenapa aku dibawa kemari?" tanya Diana dengan berani. Matanya membalas tatapan Alexander. Alexander memojokkan Diana di jendela kaca, "Aku menginginkanmu, setelah apa yang kamu perdengarkan di telepon." Wajah Diana merah padam, "Aku tidak sengaja...." "Tapi sudah terjadi, Princess, dan kamu tidak bisa berbohong bahwa kamu tidak menginginkanku." Alexander menyentuh dagu Diana, ibu jarinya mengelus bibir wanita itu. Sentuhan Alexander membuat Diana mendesah lembut. Kenapa lelaki ini begitu menggoda? Pikirannya dibuat kacau oleh sentuhan Alexander. "Aku tidak mau...." Diana merasa dirinya melemah. "Aku akan memperlakukanmu dengan lembut. Aku ingin kamu mengingat saat pertamamu." Alexander berbicara begitu dekat dengan telinga Diana. Dia dapat mendengar nafas Diana yang mulai tersengal. "Tidak mau. Saat pertamaku kuberikan hanya untuk pasanganku...." "Betapa beruntungnya aku sekarang." Alexander tersenyum mendengar kepolosan Diana. "Bukan kamu!" "Kamu yakin? Karena aku menginginkanmu di sisiku." Diana menatap mata Alexander. Apakah perkataannya serius? Apakah lelaki ini mau bertanggungjawab setelah melakukannya? Diana tidak percaya. Dia memalingkan wajah. Gerakan Diana membuat lehernya terbuka. Alexander mencium leher Diana yang seputih pualam, membuat nafas wanita itu terhenti. Kedua tangan Diana mendorong dada Alexander dengan usaha yang sia-sia. "Mmmh... kamu harum sekali," desis Alexander. "Jangan...," rintih Diana. Dia memekik saat lidah Alexander menelusuri daun telinganya. Tubuhnya seperti dialiri listrik. Kedua tangan Diana tidak lagi mendorong Alexander. Tubuhnya yang goyah bertumpu pada lelaki itu. Alexander memeluk Diana dengan erat. Bibirnya menemukan bibir Diana yang lembut tapi tertutup rapat. Alexander menggoda dengan lidahnya. Diana terkesiap, pertahanannya runtuh. Perlahan dengan tuntunan Alexander, Diana mengimbangi gerakannya. Alexander mengangkat tubuh Diana dan membawanya ke dalam kamar. Dia membaringkan Diana dengan lembut. Tangan Diana menahan Alexander yang hendak menyingkap kaosnya. Alexander tidak memaksa, mereka hanya berciuman di tempat tidur. Dia harus memenangkan hati Diana sebelum melangkah lebih jauh. Ini adalah permainan kesabaran. Sebuah tantangan dengan hadiah yang sangat menawan. Nafas mereka memburu saat memisahkan diri. Mata mereka bertatapan dengan intens. Diana tidak percaya dirinya baru saja melakukan ciuman pertama dengan lelaki berbahaya ini. Ya. Diana terus berkata dalam hati bahwa lelaki ini bukan untuknya, tapi tubuhnya berkata lain. Lelaki ini membuat sesuatu bersemi dalam hatinya. Alexander mengelus pipi Diana dengan lembut, mengusir segala logika yang tersisa dalam pikiran. "Aku menginginkanmu, Princess." "Tapi aku tidak mau." "Kenapa?" "Aku tidak mengenalmu." "Kalau begitu kita mulai dengan perkenalan lagi? Namaku Alexander, tapi panggil aku Alex, atau Xander, terserah mana yang kamu suka. Apa lagi yang ingin kamu ketahui?" Diana merenung. Apakah dia harus mengikuti permainan Alex? "Apa yang kamu pikirkan? Wajahmu seperti sedang merencanakan pelarian." "Betul. Aku mau pulang." "Jangan takut, nanti aku akan mengantarmu." Diana tidak berkata apa-apa. "Kamu membuatku gila, Princess. Kenapa kamu tidak berhenti saat aku menelepon?" Wajah Diana memerah lagi, "Tidak tahu." "Aku senang, karena dengan demikian aku tahu bahwa ada harapan bagiku." Alexander tertawa pelan. "Tapi aku tidak bilang mau." "Kamu tidak perlu berkata apa-apa, ciumanmu sudah menjawab semuanya." Diana merengut, "Tidak adil. Kamu tidak memberiku kesempatan untuk bicara." "Baiklah. Mari kita bicara." Mereka mengobrol selama beberapa jam. Diana semakin mengagumi ketampanan Alexander. Usia mereka terpaut duabelas tahun dan dunia mereka berbeda bak siang dan malam, tapi ketertarikan yang terjadi di antara mereka tidak dapat disangkal. Perlahan Diana mulai bisa mengobrol dengan santai, meskipun dia harus tetap mewaspadai gerakan tangan Alexander yang siap mencari kesempatan saat lengah. "Kenapa tatomu berbentuk naga?" tanya Diana sambil melirik tato yang terlihat di lengan kanan Alexander. "Naga adalah makhluk mistis yang jadi pelindungku. Dia sudah melindungi keluargaku secara turun temurun." "Oh ya? Aku tidak percaya pada makhluk mistis." "Apakah kamu percaya Tuhan?" "Percaya dong." "Bukankah Tuhan juga bisa dikatakan sesuatu yang tidak kelihatan. Kenapa kamu mempercayainya? Bagaimana kalau itu cuma hal yang diceritakan orangtua supaya kita menurut pada kata-kata mereka?" "Ah, sulit dijelaskan, tapi yang pasti tidak begitu," rajuk Diana. Alexander tersenyum, "Baiklah. Aku tidak ingin imanmu goyah karena omonganku." "Memangnya kamu percaya Tuhan?" "Tentu saja." Diana menatap Alexander dengan kagum. Hati Alexander terasa hangat oleh sikap Diana. Dia merengkuh tubuh mungil wanita itu dan menariknya mendekat. Jika saja wanita lain Alex pasti sudah merobek pakaiannya. Tidak, dia terdorong untuk melindungi Diana. Sesuai janji Alexander mengantar Diana pulang. Diana tidak dapat mencegah saat Alexander ikut naik ke unit apartemennya di lantai duapuluh. Diana bahkan tidak dapat mencegah saat Alexander menerobos masuk dan memberinya ciuman penuh hasrat. Kedua lengan Alexander memeluk tubuh mungil Diana dengan erat membuatnya sedikit kesulitan bernafas. "Terimakasih untuk malam ini. Kamu memperbaiki kekacauan dalam hatiku," kata Alexander setelah puas menikmati bibir lembut Diana. "Tidak terimakasih?" Diana menyandarkan kepala di dada Alex sambil mengatur nafas. Alexander tertawa, "Aku akan merebut hatimu, Princess." "Kenapa? Kamu kan bisa mendekati wanita mana saja, kenapa harus aku?" "Karena kamu bukan wanita mana saja." Alexander mendekatkan wajah dan berbisik di telinga Diana, "Aku mengagumi kesucianmu." Diana terdiam. Tidak yakin apakah Alexander memuji atau menggoda. "Besok kamu masuk kerja?" Diana mengangguk. "Mau kuantar?" "Tidak usah..." "Yakin?" "Aku yakin. Lagipula jam aktifmu kan malam, bukan pagi atau siang." "Ternyata kamu perhatian juga ya?" "Siapapun bisa menyimpulkannya kok." "Kurasa tidak. By the way sudah memutuskan akan memanggilku apa?" "Alex." "Baiklah. Cepat sekali memutuskannya." Alex tertawa. "Kamu belum mau melepasku?" "Oh, kupikir kamu nyaman." Alex mengangkat kedua tangannya yang sedari tadi masih memeluk Diana. Diana mundur selangkah sambil menarik nafas dalam-dalam. Lega rasanya bisa menghirup udara bebas. "Baiklah, aku harus kembali ke club sebelum terjadi kekacauan. See you soon, Princess." Alex mengecup dahi Diana. "Oke." Alex meninggalkan apartemen Diana dengan senyum lebar di wajah. Dia sudah memastikan bahwa Diana harus menjadi miliknya seorang. Tidak ada lelaki yang boleh menyentuh wanita miliknya. Sepeninggal Alex, Diana cepat-cepat mengunci pintu. Dahinya menempel di daun pintu. Mengijinkan Alexander masuk ke dalam hidupnya terasa seperti membuat sebuah perjanjian yang buruk. Diana bukan penyuka bad boy tapi Alex membuatnya terpikat tanpa daya.Sebuah club malam yang berlokasi di pusat kota... Diana samar-samar melihat sosok lelaki tinggi ramping berjalan menuju ke arahnya. Kepala Diana terasa pusing, pandangannya berputar. Dia menggelengkan kepala berusaha menjaga dirinya supaya tetap sadar tapi percuma. Kedua kakinya mulai goyah dan pandangannya diliputi kegelapan. Alexander--lelaki yang dilihat Diana--menangkap tubuh yang terjatuh lunglai. Baginya tubuh mungil wanita ini seperti tidak berbobot. Dia menyapu keadaan di sekeliling. Mata Alexander yang tajam melihat dua orang lelaki muda sedang memandang ke arahnya. Ekspresi wajah kedua lelaki itu terkejut karena melihat dirinya menolong Diana. Alexander tahu kedua lelaki muda itu mengenali dirinya sebagai pemilik club ini. Mereka pun bergegas pergi. Setelah yakin situasi aman Alexander membopong Diana masuk ke dalam ruangan private di lantai atas. Dua orang bodyguard berbadan besar yang menjaga pintu me
Pagi ini terlihat kelabu bagi Diana. Episode french kiss-nya dengan Alex membuat Diana tidak dapat tidur semalaman. Alex dengan enak mengirimkan pesan singkat pada jam tiga subuh yang berisi ucapan selamat tidur. Seandainya lelaki itu tahu apa akibat dari perbuatannya, yaitu membuat seorang wanita muda yang malang tidak bisa terlelap. Diana tidak ingin memberitahu Alex. Dia tidak ingin lelaki itu mendatangi apartemennya dengan impulsif untuk sekedar meninabobokan, atau bahkan menculiknya pulang ke penthouse. Diana melangkah gontai menuju ruangan General Affair. Dia menghempaskan tubuh di kursi dan melempar tas ke tengah meja. Untung mejanya terletak di ruangan terpisah sehingga apa yang dia lakukan tidak akan diperhatikan orang, kecuali ada yang dengan sengaja melongokkan kepala ke dalam. Diana telungkup di atas meja. Kepalanya mulai terasa sakit. "Knock, knock. Good morning, Diana." Diana mengan
Mengetahui Diana sedang mandi membuat Alex gelisah. Dia berjalan mengelilingi ruangan depan beberapa ratus kali sampai mendengar bunyi 'klik' yang menandakan kunci pintu kamar dibuka. Matanya menatap kagum saat Diana muncul dengan rambut panjangnya yang masih basah. Pakaian santai Diana memperlihatkan sepasang kaki jenjang yang seputih pualam. Alex menelan ludah, Diana terlihat seksi. "Kamu tidak pergi ke club?" tanya Diana. Dia mengambil dua kaleng minuman dari kulkas dan memberikan satu untuk Alex. "Thanks." Alex langsung membuka dan meneguknya. "Mungkin nanti." "Mau istirahat sebentar? Katamu tidak bisa tidur?" "Aku mau kalau bersamamu." Alex mendekati Diana. Hatinya geli melihat Diana mundur selangkah. "Apa?" Spontan Diana menyilangkan tangan di dada. Lelaki ini benar-benar berbahaya. "Jangan takut Princess, aku janji tidak akan berbuat lebih jauh." Alex meletakkan
Keesokan pagi ketika Diana tiba di kantor dia menyadari beberapa orang menatapnya dengan aneh, termasuk Rudy. Diana berusaha mengabaikan hal itu supaya dapat menjalani hari dengan normal. Ada apa dengan orang-orang? Kalau ada masalah bukankah lebih baik dibicarakan langsung daripada bergunjing di belakang? Diana merapikan dokumen pengadaan barang sambil bernyanyi-nyanyi. Kalau saja Rudy tidak sok akrab melongok ke dalam, paginya pasti sempurna. "Wah, ada yang sedang gembira nih?" goda Rudy. "Biasa saja kok," sahut Diana cuek. "Apa karena pacarmu yang ganteng itu?" "Siapa?" "Yang kemarin sore menjemputmu itu loh, dengan mobil hitamnya yang keren?" Rudy senang karena berhasil mendapatkan perhatian Diana. "Maksudmu Alexander? Dia bukan pacarku." Diana mengangkat bahu. "Kok kalian terlihat mesra?" "Mesra sebagai tema
Tengah malam Diana terbangun oleh bunyi dering yang tidak putus. Tangannya menggapai-gapai ke atas meja kecil di samping tempat tidur. "Halo..." Suara Diana serak karena baru saja terbangun. "Hai Princess..., I miss you." "Alex, kamu masih di club?" "Sebentar lagi aku mau pulang. Kamu mau ke tempatku?" "Sekarang??" Rasa kantuk Diana langsung lenyap. "Aku sudah menunggu di bawah." "Apa?" "Kutunggu." Secepat yang memungkinkan Diana cuci muka dan sikat gigi. Hatinya berdebar menantikan pertemuan tengah malam ini. Alex tidak terdengar lelah. Apa rencananya? Diana memakai kaos dan legging selutut, menyambar tas selempangnya lalu berlari turun. Dimana Alex? Diana celingak-celinguk sesaat. Alex keluar dari mobilnya dan melambai. Diana bergegas menghampiri Alex yang langsung memeluknya erat. Kalau
Setiap malam Alex memiliki keinginan mampir di apartemen Diana untuk sekedar tidur. Sampai sekarang Alex tidak menemukan jawaban kenapa dia dapat tidur nyenyak ketika berdekatan dengan Diana. Apakah karena aroma tubuh Diana yang khas? Malam ini tidak ada kejadian yang berkesan di club. Seperti biasa wanita-wanita tidak berhenti menggoda dirinya. Alex menanggapi dengan cuek. Dia sudah tidak berminat terhadap mereka. Sekarang sudah jam satu pagi. Apakah Diana akan terbangun kalau ditelepon? Alex tahu Diana harus bangun pagi untuk bekerja, tapi dia tidak dapat menahan keinginannya. Dia harus mencari jalan keluar untuk mengatasi perbedaan waktu mereka. Nada sambung pertama berbunyi sampai habis. Alex langsung men-dial ulang. Nada sambung kedua pun berbunyi sampai habis. Baiklah. Mungkin Diana tidur nyenyak sampai tidak mendengar apapun. Jika keinginannya tidak tercapai, setidaknya Alex dapat me
Suara musik club menghentak liar sementara Alex dan Diana berada di lantai atas. Mereka sedang mengukur ruangan dengan langkah kaki. "Kamu lihat, ruangan ini sangat besar. Cukup untuk kita berdua. Aku bisa tambahkan meja untukmu disini." Alex menunjuk ke sudut di sebelah meja besar. "Hmmm.... Kamu benar. Di sini malah bisa tambah dua meja lagi." Diana melangkah dengan hati-hati. Dia membayangkan seperti apa rasanya duduk di dalam ruangan ini berdua saja dengan Alex. "Tidak. Aku mau tambah bufet di sisi sana." Alex menunjuk ke dinding di seberang mejanya. "Oh, kamu tidak ada ruangan pantry sih ya?" "Betul. Aku tidak mau membuat sekat tambahan atau menjebol dinding." Diana mengangguk perlahan. Dalam pikirannya dia dapat melihat seperti apa interior ruangan jika sudah terisi perabotan seperti dituturkan Alex. "Mulai berminat?" Alex mengerlin
Langkah Diana begitu berat saat berjalan ke ruangan Pak Albert yang berada tepat di sebelah ruangannya. Diana mengetuk pintu yang ditempeli plat bertuliskan 'HRD Manager'. "Masuk." Diana membuka pintu dan melangkah masuk. Pak Albert menatapnya dengan tajam. Kumis tebalnya miring sebelah mengikuti ekspresi wajah. "Duduk," perintah Pak Albert. "Ada apa Pak?" "Kamu yang jawab saya, ada apa denganmu?" "Maksudnya?" "Saya mendapat kabar bahwa kemarin kamu bolos kerja tanpa alasan, ternyata hanya untuk pacaran? Benar begitu?" tanya Pak Albert sambil sibuk menandatangani dokumen. "Kata siapa?" "Benar atau tidak?" Pak Albert kembali menatap Diana. "Saya bangun kesiangan, jam sepuluh. Jadi saya pikir percuma juga kalau datang ke kantor. Kemarin saya sedang tidak banyak pekerjaan juga." Diana memutuskan untuk ber
Hari kepulangan Ben adalah hari yang dinantikan semua orang, bahkan Alex pun berpikiran baik terhadap ayah mertuanya. Cederanya belum pulih seratus persen, tapi sudah tidak membahayakan. Ben pun bisa berjalan sendiri meskipun lebih lemah dari biasanya. "Bagaimana keadaanmu?" Ben bertanya pada Alex saat hanya ada mereka berdua di ruang tamu. "Apa? Seharusnya aku yang bertanya padamu." Ben meringis menahan tawa, "Tidak boleh bertanya? Lupakan saja niat baikku." Alex berdeham, "Kenapa Anda menghalangi pukulan Lao Hu?" Ben menatap Alex dengan pandangan rumit, "Kenapa? Karena kalau kamu terluka putriku akan bersedih." "Aku mengerti." Alex tersenyum. Ada sesuatu yang menarik dalam pikiran Ben. "Kenapa kamu melindungiku?" Ben bertanya kembali. "Karena Anda ayah istriku." Hening sesaat. Kedua lelaki berbeda generasi itu tampak
Alex dan Diana duduk di kursi taman rumah sakit yang menghadap ke arah kamar VIP. Mereka menikmati suasana yang cukup sejuk sambil mengobrol ringan. "Untung kamu tidak cedera berat seperti waktu itu," kata Diana. "Cuma keretakan rusuk sedikit. Aku masih bisa bermesraan denganmu," goda Alex. "Kamu nih, kata dokter jangan banyak bergerak dulu. Biar tidak berat tapi kalau dipaksa cederanya bisa bertambah." "Cedera apa? Istriku kan mungil dan ringan." Alex mengecup pipi Diana. "Serius dong," gerutu Diana. "Lihat, orang itu sudah keluar." Alex melirik ke satu arah. Diana menoleh ke arah kamar pasien. Tampak Li Wei dan Mikaela berdiri berhadapan. "Kamu bilang mereka ada hubungannya?" tanya Diana. "Rasanya begitu." Terlihat Mikaela merentangkan tangan. Li Wei ragu, maka Mikaela maju untuk memeluknya. Diana te
Suasana dalam kamar VIP di rumah sakit menjadi tegang karena kedatangan Li Wei. Lelaki muda itu datang untuk menjenguk keluarga Hartanto, namun tujuan utamanya adalah untuk bertemu Diana. "Mau apa kemari?" tanya Alex. "Aku datang dengan niat baik. Tanya saja ibu mertuamu." Li Wei tersenyum dingin. "Tidak ada niat baik dalam kepalamu. Aku belum memberimu pelajaran atas apa yang kau lakukan terhadap Diana," geram Alex. "Memangnya kau punya kemampuan?" Li Wei bahkan tidak menatap Alex. Pandangan matanya melembut saat menemukan sosok Diana yang bersembunyi di belakang Alex. "Jaga matamu, Anak Kecil." Alex menghalangi pandangan mata Li Wei. "Mata jelas-jelas punyaku. Memangnya pemandangan di kamar ini punyamu?" ejek Li Wei. "Huss... Kalian ini. Di rumah sakit masih aja mau berkelahi...," desis Mikaela. Dia terpaksa menghampiri anak-anak muda k
"Kau! Cari mati!" Lao Hu menjerit histeris. Darah mengalir ke wajahnya. "Kau yang cari mati, Tua Bangka!" bentak Ben. Alex benar-benar melongo. Bukannya kedua lelaki ini sama-sama tua? Lao Hu merangsek ke arah Ben. Dia hendak menghabisi pengganggu tak terduga ini dalam satu pukulan. Alex tidak tinggal diam. Dia segera menyerang dari samping, tepat mengenai bagian sisi kepala Lao Hu. Walaupun terkena tendangan tapi reaksi Lao Hu masih luar biasa. Lengannya mengibas ke samping membuat tubuh Alex terlempar ke dinding. "Ben! Hati-hati!" seru Mikaela. "Jangan keluar! Tetap di dalam!" Ben berseru pada istrinya. Lao Hu menatap ke arah Mikaela. Tatapan matanya berubah ganas. Ben menempatkan dirinya di antara Mikaela dan Lao Hu. "Heh, wanita yang cantik. Setelah kalian lelaki-lelaki tak berguna ini mati, akan kurebut wanita kalian!" Lao Hu tertawa
Matahari tinggi di puncak langit. Sederetan mobil hitam parkir tidak beraturan di luar gerbang kediaman Hartanto. Beberapa orang penjaga berteriak-teriak mengusir para pendatang yang tidak tahu diri itu. Pintu mobil terbuka nyaris berbarengan. Selusin lelaki bertubuh besar berwajah garang melompat turun. Niko dan Lao Hu turun setelah formasi terbentuk. Teriknya matahari membuat Lao Hu memicingkan mata. "Ini rumahnya?" tanya Lao Hu. "Betul, Bos. Alex sedang berada di sini." jawab Niko dengan hormat. Lao Hu menggerakkan kepala sebagai kode untuk anak buahnya. Kompak, selusin lelaki bertubuh besar merobohkan pintu gerbang. Besi baja terlihat tak berguna di hadapan mereka. Para penjaga berhamburan dari dalam rumah, semua membawa tongkat atau senjata tumpul lainnya. Seketika terjadi pertarungan sengit di pekarangan. Lao Hu dan Niko berjalan melewati mereka seolah tidak ada a
Genderang perang sudah ditabuh. Lao Hu berangkat ke kediaman Hartanto bersama Niko dan selusin anak buah mereka. Mobil hitam melaju beriringan tanpa rintangan berarti. Jika saja langit berubah jadi gelap disertai kilat menyambar dan guntur bertalu, mereka akan mirip seperti utusan dari neraka. Sayangnya langit begitu cerah tanpa awan sedikit pun. "Bos, Shi Fu Li tidak ikut?" tanya Niko perlahan. "Dia sudah mengatakan bahwa hari ini baik. Aku percaya padanya," sahut Lao Hu yang bersandar memejamkan mata. "Oh, baik kalau begitu." Niko tidak berani bertanya lagi. "Bangunkan aku kalau sudah sampai," kata Lao Hu. "Baik, Bos." Kediaman Hartanto... Alex menyeret Jack ke pekarangan. Dia butuh sedikit gerak badan. Jack yang masih mengantuk terus-menerus menggerutu. "Bacotmu seperti anak perempuan," ledek Alex.
"Shi Fu, bagaimana... Tadi...." Lao Hu yang sudah dapat bergerak kini kebingungan seperti orang baru terbangun dari tidur panjang. "Istirahatlah dulu. Cari hari lain untuk menghadapi Alexander. Terlalu banyak kejutan hari ini, tidak baik." Li Wei termenung. Lao Hu merasa tidak rela, tapi dia tidak berani membantah perkataan seorang Shi Fu Li. Dia membungkukkan badan dengan hormat dan kembali ke kamar. Li Wei menghela nafas. Percakapan singkat dengan Mikaela mengangkat selubung kegelapan dalam hatinya. Ada baiknya juga mengikuti nasihat Mikaela, mungkin dengan demikian dia dapat merebut hati Diana seperti seorang lelaki sejati. Huh, wanita yang dicintai ayahnya memang hebat. Tidak memiliki ilmu apa-apa tapi kekuatannya luar biasa. Sayang, sungguh sangat disayangkan ayah pergi terlalu cepat. Li Wei ingin sekali mendengarkan lagi kisah percintaan itu dari mulut ayahnya, dengan perspektif yang berb
Firasat buruk datang seperti angin dingin di tengah malam, membuat tubuh tidak nyaman dan pikiran tidak tenang. Mikaela menatap dua anak muda yang masih memejamkan mata karena kelelahan mental yang baru saja mereka lalui. Bagaimana mereka bisa melawan musuh yang akan datang? Mikaela keluar dari kamar Diana. Raut wajah yang biasanya lembut kini terlihat penuh tekad. Dia masuk ke kamarnya untuk berbicara dengan Ben. Dilihatnya Ben sedang duduk di meja sambil melihat-lihat dokumen. "Sayang?" panggil Mikaela. "Hmm," gumam Ben acuh tak acuh. Mikaela tersenyum. Lelaki yang telah dinikahinya selama tiga puluh lima tahun ini tampak lelah. Dia meletakkan tangan di bahu Ben. "Bersikap baiklah terhadap Alex, Sayang. Bagaimanapun juga dia suami putri kita...," desah Mikaela. "Hmm." "Aku mau keluar sebentar ya. Tolong jaga anak-anak." Mikaela me
Alex dan Diana memeriksa setiap sudut ruangan untuk menemukan keberadaan akar mantra tersebut. Tidak ada satu sudut pun yang lolos dari pemeriksaan. Entah berapa lama waktu berlalu, tapi Alex mulai merasa lelah. "Selain tempat ini masih ada lagi?" tanya Alex. "Ehm... Kita belum melihat semuanya." Alex menatap Diana, "Di mana?" "Itu." Diana menunjuk ke sebuah titik. Alex mengangkat kepala. Siapa sangka ada rak buku tersembunyi di atas sebuah pilar besar. Siapa pun yang tanpa sengaja melihat ke atas tidak akan dapat menemukannya. "Sepertinya aku harus memanjat." Alex menghela nafas. "Ada tangga di sana." Diana menunjuk ke bawah pilar. Benar saja, ada anak tangga yang dipahat pada pilar. Tangga melingkar itu baru menunjukkan wujudnya setelah mereka benar-benar memperhatikan. "Pikiranmu rumit sekali, Princess." Alex terseny