Sebuah club malam yang berlokasi di pusat kota...
Diana samar-samar melihat sosok lelaki tinggi ramping berjalan menuju ke arahnya. Kepala Diana terasa pusing, pandangannya berputar. Dia menggelengkan kepala berusaha menjaga dirinya supaya tetap sadar tapi percuma. Kedua kakinya mulai goyah dan pandangannya diliputi kegelapan. Alexander--lelaki yang dilihat Diana--menangkap tubuh yang terjatuh lunglai. Baginya tubuh mungil wanita ini seperti tidak berbobot. Dia menyapu keadaan di sekeliling. Mata Alexander yang tajam melihat dua orang lelaki muda sedang memandang ke arahnya. Ekspresi wajah kedua lelaki itu terkejut karena melihat dirinya menolong Diana. Alexander tahu kedua lelaki muda itu mengenali dirinya sebagai pemilik club ini. Mereka pun bergegas pergi. Setelah yakin situasi aman Alexander membopong Diana masuk ke dalam ruangan private di lantai atas. Dua orang bodyguard berbadan besar yang menjaga pintu mengangguk pada Alexander. Tentu saja! Dia kan pemilik club ini. Alexander merebahkan Diana dengan lembut. Sekarang apa yang akan dilakukan terhadap wanita yang tidak sadarkan diri ini? Wanita ceroboh yang tidak menjaga gelas minumannya dengan waspada. Berjongkok di sisi tempat tidur, Alexander mengamati Diana. Wajahnya yang polos tanpa makeup terlihat cantik, bentuk wajah yang lonjong dengan dagu lancip, alis yang sempurna, bulumata lentik, hidung mungil, dan bibir yang berwarna merah muda. Rambut hitamnya yang panjang dibiarkan tergerai dengan indah. Alexander membuka tas mungil yang dibawa Diana untuk memeriksa apakah ada kartu identitas. Dia menemukan sebuah kartu identitas atas nama Diana Putri. Ada alamatnya juga, tapi alamat di kota tetangga. Tidak mungkin wanita ini keluar kota khusus untuk main ke club malam. Celaka. Bagaimana caranya memulangkan Diana tanpa tahu tempat tinggalnya? Alexander berpikir keras dan memutuskan untuk membawa Diana pulang ke penthouse-nya. Dirinya juga butuh istirahat setelah terjaga semalaman. **** Diana mengejapkan mata, tidurnya nyenyak sekali semalam. Dia menggeliat dan segera menyadari kehadiran seseorang di sampingnya. Diana menoleh dan melihat wajah seorang lelaki yang sedang tidur nyenyak. Dia mendekap mulut supaya tidak menjerit, tapi gerakannya membuat Alexander terbangun. Diana menarik selimut untuk menutupi dirinya. "Hei, tenang saja... aku tidak berbuat apa-apa...," kata Alexander dengan suara serak yang terdengar seksi. "Aku di mana?" Diana menggenggam selimut erat-erat. "Di kamarku..." Alexander menguap lebar, "Aku belum cukup tidur, jadi kamu harus menunggu sampai siang supaya bisa kuantar pulang, oke?" "Aku bisa pergi sendiri." Diana menoleh mengamati situasi di sekelilingnya. "Tidak bisa. Aku hanya punya satu kartu akses, Princess..." "Apa? Kenapa memanggilku begitu?" "Nama belakangmu Putri kan?" "Kok tahu?" "Aku harus mengecek identitas wanita yang pingsan di club-ku, jadi sorry aku membongkar tasmu. Tapi tenang saja, tidak ada yang hilang." "Aku pingsan?" Diana berusaha mengingat kejadian semalam. Semuanya terlihat samar dan tidak ada yang mencurigakan. Apakah dia pingsan karena lapar? "Kamu tidak sadar ada yang memasukkan obat dalam minumanmu." Mata Diana terbelalak, "Apa??" "Kamu beruntung aku melihat semuanya dari CCTV, kalau tidak kamu mungkin terbangun di tempat dan kondisi yang lebih buruk." "Siapa...." Diana tercekat, wajahnya memucat. "Betul, siapa yang mengajakmu bertemu di club-ku?" Pikiran Diana melayang pada ajakan teman-teman sekantornya untuk hangout di club malam. Dia menyetujui dan datang lebih awal hanya untuk mengetahui bahwa rencana itu mendadak telah dibatalkan. "Hmmm.... Baiklah, sementara kamu berpikir biarkan aku tidur. Kalau lapar carilah sesuatu di dapur." Alexander membalikkan badan. Diana menurunkan selimut dan menyadari kalau dirinya memakai baju kaos yang kebesaran. Ketika tangannya menyadari ketiadaan pakaian dalam, Diana panik. "Kamu yang mengganti pakaianku?" tanya Diana. Alexander mengerang, "Ya betul, terima kasih kembali." "Di mana pakaianku?" "Kamu tidak ingat juga? Baju dan jeansmu ketumpahan minuman entah apa. Aku tidak tahan baunya, dan kurasa kamu juga tidak akan mau memakai pakaian itu sampai pagi jadi kukirim ke laundry." Alexander berbalik lagi. "Oh..." "Aku tidak melihat apa pun, Princess, meskipun aku tergoda untuk membuka mata saat melepas pakaianmu." Senyum nakal terkembang di wajah Alexander. Wajah Diana merah padam. Dia kembali memeluk selimut. "Kamu manis sekali." Diana tidak menjawab pujian Alexander, wajahnya semakin merah. Lelaki kurang ajar, batin Diana, sudah melepas pakaian masih menggoda pula! Alexander menguap, "Kamu mau pulang sekarang?" "Iya, mau...." Diana menjawab dengan lirih. "Tunggu pakaianmu selesai di-laundry? Atau kamu mau pakai pakaianku?" "Ah, aku tunggu saja deh." "Baiklah." Alexander mengamati Diana. Segala tingkah laku wanita ini menarik baginya. Dari sikap Diana, Alexander bisa menebak kalau wanita ini belum pernah berada di tempat tidur bersama seorang lelaki. Betapa beruntung dirinya. "Ada apa di wajahku?" tanya Diana. "Wajahmu cantik. Aku tidak bosan memandangimu," kata Alexander terus-terang. Dia senang melihat wajah Diana yang memerah. Diana menunduk malu. Dia juga kagum melihat kegantengan Alexander, bedanya dia tidak akan seterus-terang itu. Tidak melakukan apa-apa membuat Diana gelisah. Dia berjalan mengitari penthouse sambil menghitung langkah. Pada putaran kelima Alexander keluar dari kamar, masih dengan wajah mengantuk dan dada telanjang. "Kupikir hanya mimpi, ternyata benaran ada wanita disini." Alexander tertawa. "Aku mandi sebentar setelah itu kuantar kamu pulang." Diana ternganga melihat tubuh bagian atas Alexander yang polos tanpa baju. Betapa indahnya, dengan otot-otot yang terbentuk sempurna. Tato berbentuk naga menghiasi tubuh sempurna itu melingkari sepanjang lengan kanan hingga dada. "Hello?" Alexander menjentikkan jari. Diana masih terpesona pada six packs Alexander sehingga dia tidak menjawab. Untung lelaki itu tidak menertawakannya. Sehabis mandi Alexander menelepon laundry supaya pakaian Diana dikirim ke penthouse. Sekejap mata Diana sudah berganti pakaiannya sendiri. Alexander memandangi Diana yang terlihat menggairahkan dengan kaos ketat dan skinny jeans. "Kamu punya pacar?" "Tidak," sahut Diana singkat. "Sayang sekali, lelaki di luar sana tidak melihat apa yang kulihat sekarang." Alexander tidak dapat menahan diri untuk mendekati Diana. "Apa?" Diana bergerak mundur sampai punggungnya bersandar di dinding. "Wanita muda yang cantik dan pemberani." Alexander meletakkan kedua tangan di dinding, mengurung Diana dengan keberadaannya. Wajahnya sedikit menunduk karena perbedaan tinggi badan mereka. Rona merah kembali merayap di wajah Diana. Lidahnya kelu berada dalam jarak sedekat ini dengan Alexander. "Kamu mau jadi pacarku?" tanya Alexander. "Tidak." Diana menjawab tanpa jeda. "Kenapa tidak?" "Aku tidak mengenalmu." "Oh... jadi kalau sudah kenal kamu mau?" "Belum tentu." "Kenapa?" Diana kehilangan kata-kata karena wajah Alexander begitu dekat dengannya. Dia hanya perlu berjinjit sedikit dan mereka akan bersentuhan. Pemikiran ini membuat kaki Diana goyah, dia menggigit bibir. "Hmmm... Apa yang kamu pikirkan?" Alexander menatap bibir Diana. "Tidak ada..." "Bolehkah aku menciummu?" Diana mengepalkan tangan. Pikirannya kacau. Apa yang harus dia lakukan? Alexander memperkecil jarak hingga mereka merasakan nafas masing-masing. Dia ingin melihat Diana menyerah pada godaannya. Selama ini tidak ada wanita yang dapat menolak didekati. "Jangan..." Diana menahan Alexander dengan kedua tangan di dada lelaki itu. Alexander mengangkat alis. Daya tahan Diana mengesankan. Alexander meraih kedua tangan Diana dan mengangkatnya ke atas kepala. Sepasang tangan mungil itu ditahan di dinding. Perlahan Alexander bergerak maju. Dia senang mendengar suara desahan lembut Diana saat bibir mereka bersentuhan. Mata Diana yang semula terbelalak karena kaget perlahan terpejam. Alexander dapat merasakan bahwa ini adalah ciuman pertama Diana. Pikiran itu membuat hasratnya meningkat. Alexander hendak memperdalam ciuman, lidahnya menggoda Diana untuk membuka diri. Lagi-lagi Alexander dibuat terkejut saat Diana memalingkan wajah. Wanita ini mampu melepaskan diri darinya? "Hentikan..." Mata Diana berkaca-kaca. Hati Alexander tersentuh dengan cara yang belum pernah dia rasakan. Tangannya melepas tangan Diana. Apakah dia terlalu agresif? "Aku mau pulang... please...," pinta Diana. Meskipun ciuman barusan membuatnya tidak ingin berhenti tapi Diana sadar bahwa apa yang mereka lakukan tidak tepat. Mereka bahkan tidak saling mengenal! "Baiklah." Alexander menyerah. Dia tahu tidak boleh memaksa karena Diana tidak seperti wanita-wanita lain. Anehnya Alexander merasa terdorong untuk melindungi Diana--bahkan dari dirinya sendiri! Diana mendekap dada seolah meletakkan sebuah perisai tak terlihat antara dirinya dan Alexander. Pemandangan ini membuat Alexander menghela nafas. "Come on." Alexander mendahului berjalan ke lift. Diana mengambil tas dan mengikuti Alexander. Dia memilih untuk memandangi ujung kaki sendiri daripada harus bertatapan dengan lelaki yang telah mencium tanpa seijinnya itu. Diana tidak yakin dapat menolak jika Alexander melakukannya lagi. Mereka turun menuju basement tempat parkir mobil penghuni gedung. Alexander menyetel lagu karena dia tidak tahan dengan keheningan yang mencekam. Diana memandang keluar jendela mobil. Dia sudah memberitahu apartemen tempat tinggalnya pada Alexander. "Ehm... Diana?" "Ya?" "Boleh aku minta nomor handphonemu?" Diana tampak ragu sebelum mengeluarkan handphone, "Berapa nomormu? Nanti ku miscall." Alexander terlihat gembira. Dia menyebutkan rangkaian nomor dan memperhatikan Diana mengetiknya di handphone. "Namamu siapa?" tanya Diana. "Alexander." Matanya tidak lepas dari handphone Diana. "Oke, ku miscall..." "Thanks. Kupikir kamu tidak mau memberi nomormu." Mata Alexander berbinar. Diana tersenyum. Dirinya lemah di hadapan Alexander. Lelaki ini membuatnya lemah! Huh, menyebalkan. Diana tidak dapat menyangkal ketertarikannya terhadap Alexander. "Call me anytime, Princess. Aku bisa menjadi teman ngobrol yang baik," kata Alexander. Mobil melaju dengan tenang menuju apartemen kediaman Diana. Beberapa jam lagi kehidupan malam akan mulai bergerak, saat itulah Alexander memulai kesibukannya. Kali ini dengan semangat yang baru. Alexander menepikan mobil di depan gerbang apartemen. Diana melompat turun setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih. Dia tidak menunggu Alexander melaju pergi tapi langsung saja masuk ke dalam gedung. Diana masuk ke lift yang sepi dan menekan tombol lantai duapuluh. Kakinya mengetuk-ngetuk lantai lift dengan gelisah sementara matanya menatap angka-angka digital yang terus bertambah. Pintu lift terbuka di lantai tujuan Diana. Setibanya di dalam apartemen, Diana cepat-cepat melepas pakaian dan mandi air hangat untuk mengusir segala kepenatan yang tersisa. Dia ingin melupakan kejadian di penthouse Alexander. Hatinya tercabik antara dua keinginan, bertemu kembali atau melupakan. Diana tahu Alexander bukan tipe lelaki yang baik baginya namun tubuhnya mengatakan lain. Tubuhnya menginginkan lebih. Diana keluar dari kamar mandi dengan berbalut handuk. Dia masuk ke kamar dan melihat bayangan dirinya di cermin. Diana memejamkan mata. Kelembutan sentuhan Alexander masih terasa nyata di bibirnya. Kehangatan dan aroma tubuhnya belum dapat dilupakan. Diana menghela nafas. Ada sebuah keinginan yang terpantik. Diana melepas handuk yang melilit tubuhnya. Perlahan Diana menyentuh tubuhnya sambil membayangkan sosok Alexander seolah lelaki itu berada disini. Sebentar saja Diana sudah bertumpu pada satu tangan di dinding dengan tangan yang lain bergerak bebas di antara kakinya. Gerakan Diana terhenti saat handphone berbunyi nyaring. Siapa sih? Mengganggu aktivitasnya saja. Diana mengeluarkan handphone dari tas dan terkejut melihat nama Alexander di layar. Dia ragu tapi dering tidak berhenti. "Halo?" sapa Diana dengan hati-hati. "Hai Princess." Suara Alexander terdengar dari ujung sana. Hati Diana meleleh mendengar suara yang berat dan seksi itu. Dia rebah di tempat tidur. "Kamu sedang apa?" tanya Alexander. "Aku baru selesai mandi...." Diana memejamkan mata, tangannya mulai bergerak lagi. "Oh, baguslah. Kamu belum sempat mandi di tempatku." "Iya betul..." Rasa itu mulai meningkat. Diana mempercepat gerakan tangan di antara kedua kakinya. "Entah kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkanmu." Diana sudah tidak mendengar perkataan Alexander, dia fokus pada sensasi di tubuhnya. "Bagaimana kalau kita--" Kata-kata Alexander terhenti. Diana mengerang saat tubuhnya dilanda gelombang kepuasan. Selama sedetik panca inderanya tidak berfungsi. Beberapa detik kemudian Diana teringat dirinya sedang berada di tengah percakapan dengan Alexander. Dia mendekap mulut melihat sambungan telepon tadi belum terputus. Hening. "Diana??" Suara Alexander yang berteriak frustasi terdengar dari ujung sana. Diana cepat-cepat memutus sambungan. Wajahnya merah padam. Kedua telapak tangannya mendekap wajah. Ya Tuhan, kenapa dia ceroboh sekali?? Bagaimana Alexander melihat dirinya sekarang?? Handphone berdering nyaring. Alexander menelepon. Diana mendiamkannya tapi lelaki itu tidak menyerah. Dia menelepon lagi, dan lagi, dan dua kali lagi sampai akhirnya berhenti. Diana menghembuskan nafas lega. Handphone berdenting menandakan ada pesan masuk. Diana melihat pesan singkat itu dan wajahnya semakin memerah. 'Perlukah aku kesana sekarang?' Dengan panik Diana membalas, 'TIDAK PERLU' Balasan dari Alexander langsung masuk, 'Bolehkah aku menemuimu lagi? Kamu membuatku tidak bisa fokus bekerja' Diana mematikan handphone dan meratapi kecerobohannya. Hidupnya tidak akan kembali normal bukan? Tidak setelah dia membiarkan seorang lelaki yang ganteng tapi berbahaya mendengarnya mencapai kepuasan. Rasanya ingin menghilang ditelan bumi.Pagi ini terlihat kelabu bagi Diana. Episode french kiss-nya dengan Alex membuat Diana tidak dapat tidur semalaman. Alex dengan enak mengirimkan pesan singkat pada jam tiga subuh yang berisi ucapan selamat tidur. Seandainya lelaki itu tahu apa akibat dari perbuatannya, yaitu membuat seorang wanita muda yang malang tidak bisa terlelap. Diana tidak ingin memberitahu Alex. Dia tidak ingin lelaki itu mendatangi apartemennya dengan impulsif untuk sekedar meninabobokan, atau bahkan menculiknya pulang ke penthouse. Diana melangkah gontai menuju ruangan General Affair. Dia menghempaskan tubuh di kursi dan melempar tas ke tengah meja. Untung mejanya terletak di ruangan terpisah sehingga apa yang dia lakukan tidak akan diperhatikan orang, kecuali ada yang dengan sengaja melongokkan kepala ke dalam. Diana telungkup di atas meja. Kepalanya mulai terasa sakit. "Knock, knock. Good morning, Diana." Diana mengan
Mengetahui Diana sedang mandi membuat Alex gelisah. Dia berjalan mengelilingi ruangan depan beberapa ratus kali sampai mendengar bunyi 'klik' yang menandakan kunci pintu kamar dibuka. Matanya menatap kagum saat Diana muncul dengan rambut panjangnya yang masih basah. Pakaian santai Diana memperlihatkan sepasang kaki jenjang yang seputih pualam. Alex menelan ludah, Diana terlihat seksi. "Kamu tidak pergi ke club?" tanya Diana. Dia mengambil dua kaleng minuman dari kulkas dan memberikan satu untuk Alex. "Thanks." Alex langsung membuka dan meneguknya. "Mungkin nanti." "Mau istirahat sebentar? Katamu tidak bisa tidur?" "Aku mau kalau bersamamu." Alex mendekati Diana. Hatinya geli melihat Diana mundur selangkah. "Apa?" Spontan Diana menyilangkan tangan di dada. Lelaki ini benar-benar berbahaya. "Jangan takut Princess, aku janji tidak akan berbuat lebih jauh." Alex meletakkan
Keesokan pagi ketika Diana tiba di kantor dia menyadari beberapa orang menatapnya dengan aneh, termasuk Rudy. Diana berusaha mengabaikan hal itu supaya dapat menjalani hari dengan normal. Ada apa dengan orang-orang? Kalau ada masalah bukankah lebih baik dibicarakan langsung daripada bergunjing di belakang? Diana merapikan dokumen pengadaan barang sambil bernyanyi-nyanyi. Kalau saja Rudy tidak sok akrab melongok ke dalam, paginya pasti sempurna. "Wah, ada yang sedang gembira nih?" goda Rudy. "Biasa saja kok," sahut Diana cuek. "Apa karena pacarmu yang ganteng itu?" "Siapa?" "Yang kemarin sore menjemputmu itu loh, dengan mobil hitamnya yang keren?" Rudy senang karena berhasil mendapatkan perhatian Diana. "Maksudmu Alexander? Dia bukan pacarku." Diana mengangkat bahu. "Kok kalian terlihat mesra?" "Mesra sebagai tema
Tengah malam Diana terbangun oleh bunyi dering yang tidak putus. Tangannya menggapai-gapai ke atas meja kecil di samping tempat tidur. "Halo..." Suara Diana serak karena baru saja terbangun. "Hai Princess..., I miss you." "Alex, kamu masih di club?" "Sebentar lagi aku mau pulang. Kamu mau ke tempatku?" "Sekarang??" Rasa kantuk Diana langsung lenyap. "Aku sudah menunggu di bawah." "Apa?" "Kutunggu." Secepat yang memungkinkan Diana cuci muka dan sikat gigi. Hatinya berdebar menantikan pertemuan tengah malam ini. Alex tidak terdengar lelah. Apa rencananya? Diana memakai kaos dan legging selutut, menyambar tas selempangnya lalu berlari turun. Dimana Alex? Diana celingak-celinguk sesaat. Alex keluar dari mobilnya dan melambai. Diana bergegas menghampiri Alex yang langsung memeluknya erat. Kalau
Setiap malam Alex memiliki keinginan mampir di apartemen Diana untuk sekedar tidur. Sampai sekarang Alex tidak menemukan jawaban kenapa dia dapat tidur nyenyak ketika berdekatan dengan Diana. Apakah karena aroma tubuh Diana yang khas? Malam ini tidak ada kejadian yang berkesan di club. Seperti biasa wanita-wanita tidak berhenti menggoda dirinya. Alex menanggapi dengan cuek. Dia sudah tidak berminat terhadap mereka. Sekarang sudah jam satu pagi. Apakah Diana akan terbangun kalau ditelepon? Alex tahu Diana harus bangun pagi untuk bekerja, tapi dia tidak dapat menahan keinginannya. Dia harus mencari jalan keluar untuk mengatasi perbedaan waktu mereka. Nada sambung pertama berbunyi sampai habis. Alex langsung men-dial ulang. Nada sambung kedua pun berbunyi sampai habis. Baiklah. Mungkin Diana tidur nyenyak sampai tidak mendengar apapun. Jika keinginannya tidak tercapai, setidaknya Alex dapat me
Suara musik club menghentak liar sementara Alex dan Diana berada di lantai atas. Mereka sedang mengukur ruangan dengan langkah kaki. "Kamu lihat, ruangan ini sangat besar. Cukup untuk kita berdua. Aku bisa tambahkan meja untukmu disini." Alex menunjuk ke sudut di sebelah meja besar. "Hmmm.... Kamu benar. Di sini malah bisa tambah dua meja lagi." Diana melangkah dengan hati-hati. Dia membayangkan seperti apa rasanya duduk di dalam ruangan ini berdua saja dengan Alex. "Tidak. Aku mau tambah bufet di sisi sana." Alex menunjuk ke dinding di seberang mejanya. "Oh, kamu tidak ada ruangan pantry sih ya?" "Betul. Aku tidak mau membuat sekat tambahan atau menjebol dinding." Diana mengangguk perlahan. Dalam pikirannya dia dapat melihat seperti apa interior ruangan jika sudah terisi perabotan seperti dituturkan Alex. "Mulai berminat?" Alex mengerlin
Langkah Diana begitu berat saat berjalan ke ruangan Pak Albert yang berada tepat di sebelah ruangannya. Diana mengetuk pintu yang ditempeli plat bertuliskan 'HRD Manager'. "Masuk." Diana membuka pintu dan melangkah masuk. Pak Albert menatapnya dengan tajam. Kumis tebalnya miring sebelah mengikuti ekspresi wajah. "Duduk," perintah Pak Albert. "Ada apa Pak?" "Kamu yang jawab saya, ada apa denganmu?" "Maksudnya?" "Saya mendapat kabar bahwa kemarin kamu bolos kerja tanpa alasan, ternyata hanya untuk pacaran? Benar begitu?" tanya Pak Albert sambil sibuk menandatangani dokumen. "Kata siapa?" "Benar atau tidak?" Pak Albert kembali menatap Diana. "Saya bangun kesiangan, jam sepuluh. Jadi saya pikir percuma juga kalau datang ke kantor. Kemarin saya sedang tidak banyak pekerjaan juga." Diana memutuskan untuk ber
Setelah mendapat SP satu dan mengetahui fakta bahwa Rudy adalah orang yang membiusnya di club, Diana jadi enggan ke kantor. Pagi ini dia hanya berbaring di tempat tidur dengan mata menatap langit-langit. Alex yang mampir saat subuh masih terlelap. Hati Diana sangat sedih mendapatkan perlakuan tidak adil. Selama ini dirinya tidak pernah menyakiti orang lain dengan sengaja. Dia hanya menjalani hari dengan normal dan sebisa mungkin menghindari konflik. Sayangnya itu tidak cukup. Hembusan nafas Alex membuat leher Diana hangat. Dia berpikir seandainya dirinya memiliki sedikit kepribadian Alex yang bebas dan pemberani, mungkin orang tidak akan berani berbuat seenaknya, mungkin dia akan berani menampar Gladys yang bermulut lancang, mungkin dia akan berani membela diri di hadapan Pak Albert, mungkin dia akan berani melaporkan Rudy berdasarkan kesaksian Alex dan bukti rekaman CCTV dari club. Langit sudah semakin ter
Hari kepulangan Ben adalah hari yang dinantikan semua orang, bahkan Alex pun berpikiran baik terhadap ayah mertuanya. Cederanya belum pulih seratus persen, tapi sudah tidak membahayakan. Ben pun bisa berjalan sendiri meskipun lebih lemah dari biasanya. "Bagaimana keadaanmu?" Ben bertanya pada Alex saat hanya ada mereka berdua di ruang tamu. "Apa? Seharusnya aku yang bertanya padamu." Ben meringis menahan tawa, "Tidak boleh bertanya? Lupakan saja niat baikku." Alex berdeham, "Kenapa Anda menghalangi pukulan Lao Hu?" Ben menatap Alex dengan pandangan rumit, "Kenapa? Karena kalau kamu terluka putriku akan bersedih." "Aku mengerti." Alex tersenyum. Ada sesuatu yang menarik dalam pikiran Ben. "Kenapa kamu melindungiku?" Ben bertanya kembali. "Karena Anda ayah istriku." Hening sesaat. Kedua lelaki berbeda generasi itu tampak
Alex dan Diana duduk di kursi taman rumah sakit yang menghadap ke arah kamar VIP. Mereka menikmati suasana yang cukup sejuk sambil mengobrol ringan. "Untung kamu tidak cedera berat seperti waktu itu," kata Diana. "Cuma keretakan rusuk sedikit. Aku masih bisa bermesraan denganmu," goda Alex. "Kamu nih, kata dokter jangan banyak bergerak dulu. Biar tidak berat tapi kalau dipaksa cederanya bisa bertambah." "Cedera apa? Istriku kan mungil dan ringan." Alex mengecup pipi Diana. "Serius dong," gerutu Diana. "Lihat, orang itu sudah keluar." Alex melirik ke satu arah. Diana menoleh ke arah kamar pasien. Tampak Li Wei dan Mikaela berdiri berhadapan. "Kamu bilang mereka ada hubungannya?" tanya Diana. "Rasanya begitu." Terlihat Mikaela merentangkan tangan. Li Wei ragu, maka Mikaela maju untuk memeluknya. Diana te
Suasana dalam kamar VIP di rumah sakit menjadi tegang karena kedatangan Li Wei. Lelaki muda itu datang untuk menjenguk keluarga Hartanto, namun tujuan utamanya adalah untuk bertemu Diana. "Mau apa kemari?" tanya Alex. "Aku datang dengan niat baik. Tanya saja ibu mertuamu." Li Wei tersenyum dingin. "Tidak ada niat baik dalam kepalamu. Aku belum memberimu pelajaran atas apa yang kau lakukan terhadap Diana," geram Alex. "Memangnya kau punya kemampuan?" Li Wei bahkan tidak menatap Alex. Pandangan matanya melembut saat menemukan sosok Diana yang bersembunyi di belakang Alex. "Jaga matamu, Anak Kecil." Alex menghalangi pandangan mata Li Wei. "Mata jelas-jelas punyaku. Memangnya pemandangan di kamar ini punyamu?" ejek Li Wei. "Huss... Kalian ini. Di rumah sakit masih aja mau berkelahi...," desis Mikaela. Dia terpaksa menghampiri anak-anak muda k
"Kau! Cari mati!" Lao Hu menjerit histeris. Darah mengalir ke wajahnya. "Kau yang cari mati, Tua Bangka!" bentak Ben. Alex benar-benar melongo. Bukannya kedua lelaki ini sama-sama tua? Lao Hu merangsek ke arah Ben. Dia hendak menghabisi pengganggu tak terduga ini dalam satu pukulan. Alex tidak tinggal diam. Dia segera menyerang dari samping, tepat mengenai bagian sisi kepala Lao Hu. Walaupun terkena tendangan tapi reaksi Lao Hu masih luar biasa. Lengannya mengibas ke samping membuat tubuh Alex terlempar ke dinding. "Ben! Hati-hati!" seru Mikaela. "Jangan keluar! Tetap di dalam!" Ben berseru pada istrinya. Lao Hu menatap ke arah Mikaela. Tatapan matanya berubah ganas. Ben menempatkan dirinya di antara Mikaela dan Lao Hu. "Heh, wanita yang cantik. Setelah kalian lelaki-lelaki tak berguna ini mati, akan kurebut wanita kalian!" Lao Hu tertawa
Matahari tinggi di puncak langit. Sederetan mobil hitam parkir tidak beraturan di luar gerbang kediaman Hartanto. Beberapa orang penjaga berteriak-teriak mengusir para pendatang yang tidak tahu diri itu. Pintu mobil terbuka nyaris berbarengan. Selusin lelaki bertubuh besar berwajah garang melompat turun. Niko dan Lao Hu turun setelah formasi terbentuk. Teriknya matahari membuat Lao Hu memicingkan mata. "Ini rumahnya?" tanya Lao Hu. "Betul, Bos. Alex sedang berada di sini." jawab Niko dengan hormat. Lao Hu menggerakkan kepala sebagai kode untuk anak buahnya. Kompak, selusin lelaki bertubuh besar merobohkan pintu gerbang. Besi baja terlihat tak berguna di hadapan mereka. Para penjaga berhamburan dari dalam rumah, semua membawa tongkat atau senjata tumpul lainnya. Seketika terjadi pertarungan sengit di pekarangan. Lao Hu dan Niko berjalan melewati mereka seolah tidak ada a
Genderang perang sudah ditabuh. Lao Hu berangkat ke kediaman Hartanto bersama Niko dan selusin anak buah mereka. Mobil hitam melaju beriringan tanpa rintangan berarti. Jika saja langit berubah jadi gelap disertai kilat menyambar dan guntur bertalu, mereka akan mirip seperti utusan dari neraka. Sayangnya langit begitu cerah tanpa awan sedikit pun. "Bos, Shi Fu Li tidak ikut?" tanya Niko perlahan. "Dia sudah mengatakan bahwa hari ini baik. Aku percaya padanya," sahut Lao Hu yang bersandar memejamkan mata. "Oh, baik kalau begitu." Niko tidak berani bertanya lagi. "Bangunkan aku kalau sudah sampai," kata Lao Hu. "Baik, Bos." Kediaman Hartanto... Alex menyeret Jack ke pekarangan. Dia butuh sedikit gerak badan. Jack yang masih mengantuk terus-menerus menggerutu. "Bacotmu seperti anak perempuan," ledek Alex.
"Shi Fu, bagaimana... Tadi...." Lao Hu yang sudah dapat bergerak kini kebingungan seperti orang baru terbangun dari tidur panjang. "Istirahatlah dulu. Cari hari lain untuk menghadapi Alexander. Terlalu banyak kejutan hari ini, tidak baik." Li Wei termenung. Lao Hu merasa tidak rela, tapi dia tidak berani membantah perkataan seorang Shi Fu Li. Dia membungkukkan badan dengan hormat dan kembali ke kamar. Li Wei menghela nafas. Percakapan singkat dengan Mikaela mengangkat selubung kegelapan dalam hatinya. Ada baiknya juga mengikuti nasihat Mikaela, mungkin dengan demikian dia dapat merebut hati Diana seperti seorang lelaki sejati. Huh, wanita yang dicintai ayahnya memang hebat. Tidak memiliki ilmu apa-apa tapi kekuatannya luar biasa. Sayang, sungguh sangat disayangkan ayah pergi terlalu cepat. Li Wei ingin sekali mendengarkan lagi kisah percintaan itu dari mulut ayahnya, dengan perspektif yang berb
Firasat buruk datang seperti angin dingin di tengah malam, membuat tubuh tidak nyaman dan pikiran tidak tenang. Mikaela menatap dua anak muda yang masih memejamkan mata karena kelelahan mental yang baru saja mereka lalui. Bagaimana mereka bisa melawan musuh yang akan datang? Mikaela keluar dari kamar Diana. Raut wajah yang biasanya lembut kini terlihat penuh tekad. Dia masuk ke kamarnya untuk berbicara dengan Ben. Dilihatnya Ben sedang duduk di meja sambil melihat-lihat dokumen. "Sayang?" panggil Mikaela. "Hmm," gumam Ben acuh tak acuh. Mikaela tersenyum. Lelaki yang telah dinikahinya selama tiga puluh lima tahun ini tampak lelah. Dia meletakkan tangan di bahu Ben. "Bersikap baiklah terhadap Alex, Sayang. Bagaimanapun juga dia suami putri kita...," desah Mikaela. "Hmm." "Aku mau keluar sebentar ya. Tolong jaga anak-anak." Mikaela me
Alex dan Diana memeriksa setiap sudut ruangan untuk menemukan keberadaan akar mantra tersebut. Tidak ada satu sudut pun yang lolos dari pemeriksaan. Entah berapa lama waktu berlalu, tapi Alex mulai merasa lelah. "Selain tempat ini masih ada lagi?" tanya Alex. "Ehm... Kita belum melihat semuanya." Alex menatap Diana, "Di mana?" "Itu." Diana menunjuk ke sebuah titik. Alex mengangkat kepala. Siapa sangka ada rak buku tersembunyi di atas sebuah pilar besar. Siapa pun yang tanpa sengaja melihat ke atas tidak akan dapat menemukannya. "Sepertinya aku harus memanjat." Alex menghela nafas. "Ada tangga di sana." Diana menunjuk ke bawah pilar. Benar saja, ada anak tangga yang dipahat pada pilar. Tangga melingkar itu baru menunjukkan wujudnya setelah mereka benar-benar memperhatikan. "Pikiranmu rumit sekali, Princess." Alex terseny