Mengetahui Diana sedang mandi membuat Alex gelisah. Dia berjalan mengelilingi ruangan depan beberapa ratus kali sampai mendengar bunyi 'klik' yang menandakan kunci pintu kamar dibuka. Matanya menatap kagum saat Diana muncul dengan rambut panjangnya yang masih basah. Pakaian santai Diana memperlihatkan sepasang kaki jenjang yang seputih pualam. Alex menelan ludah, Diana terlihat seksi.
"Kamu tidak pergi ke club?" tanya Diana. Dia mengambil dua kaleng minuman dari kulkas dan memberikan satu untuk Alex. "Thanks." Alex langsung membuka dan meneguknya. "Mungkin nanti." "Mau istirahat sebentar? Katamu tidak bisa tidur?" "Aku mau kalau bersamamu." Alex mendekati Diana. Hatinya geli melihat Diana mundur selangkah. "Apa?" Spontan Diana menyilangkan tangan di dada. Lelaki ini benar-benar berbahaya. "Jangan takut Princess, aku janji tidak akan berbuat lebih jauh." Alex meletakkan tangan di pinggang Diana dan menariknya mendekat. Wajahnya dibenamkan di leher Diana. Alex menghirup aroma tubuhnya dalam-dalam. Diana mencengkeram kemeja Alex. Matanya terpejam saat kulit mereka bersentuhan. "Temani aku tidur sebentar." Hembusan nafas Alex menggelitik telinga Diana. "Tapi...," desah Diana. Suaranya berkhianat! "Kamu boleh mengikat tanganku kalau mau." Alex tersenyum. Diana menggigit bibir. Lelaki ini serius? "Hmmm... kebiasaan kecilmu itu sangat menggemaskan." Alex menunduk mendekatkan wajahnya. Diana memekik tertahan saat Alex menggigit bibir bawahnya dengan lembut. Perlahan Alex membawa Diana dalam sesi french kiss yang panas. Tubuh mungil Diana goyah dalam pelukannya. Alex bertahan sekuat tenaga untuk tidak menyentuh bagian tubuh Diana yang tertutup pakaian. Dia ingin Diana mempercayainya karena mungkin dengan demikian hatinya akan terbuka untuk Alex. Sebentar saja mereka berdua sudah berada di dalam kamar, rebah bersisian di atas tempat tidur. Alex terlelap dengan wajah terbenam di dada Diana. Nafasnya lambat teratur menandakan Alex benar-benar tidur nyenyak. Jari-jari Diana memainkan rambut Alex. Ternyata rambutnya lembut juga. Diana mencoba untuk beristirahat juga. Dia menyandarkan kepala ke belakang dan memejamkan mata. Tidak disangka dirinya dapat terlelap. Diana terbangun oleh suara orang yang berbicara dengan nada tegas. Perlahan dia membuka mata. Rupanya Alex. Lelaki itu sedang berbicara serius dengan seseorang di handphone. Diana menggeliat seperti kucing. Sambil berbaring miring matanya mengamati sosok Alex yang berdiri di jendela. Tubuh Alex tinggi ramping. Pakaian longgar yang dikenakan menyamarkan bentuk tubuhnya yang berotot, namun tidak dapat menyembunyikan tato yang melingkar di lengan. Percakapan usai. Alex menghela nafas. Dia menjejalkan handphonenya ke dalam saku jeans. Sekarang kembali pada Diana. "Sudah bangun rupanya." Alex berjongkok di sisi tempat tidur supaya mata mereka sejajar. "Kamu mau pergi sekarang?" "Sebentar lagi. Anak buahku menangkap basah orang yang memasukkan obat tidur di gelas minuman seorang wanita." "Oh..." Diana teringat pada apa yang terjadi pada dirinya. "Kamu mau ikut?" Alex memainkan rambut Diana di jarinya. "Besok pagi aku kerja." "Hampir lupa. Kalau begitu weekend saja ya?" Diana termenung, bagaimana cara menolak ajakan Alex? Alasan apa yang harus digunakan? "Kamu tidak punya alasan untuk menolak, Princess. Daripada tidak ada kerjaan disini lebih baik menemaniku. Aku pastikan kamu aman bersamaku." Senyum menawan Alexander menggoyahkan tekad Diana. Rasa penasaran terbit di hati Diana. "Ayolah, aku tahu kamu mau," bujuk Alex. "Baiklah. Tapi aku tidak bisa bergadang loh." "Tidak apa-apa, aku punya kamar pribadi di club." "Kamar pribadi?" Diana mengerutkan alis. "Atau kita bisa menghabiskan waktu di ruangan kantorku." Alex cepat-cepat menambahkan. "Berapa banyak wanita yang sudah kamu ajak kesana?" Alex terdiam sesaat. "Aku tidak mau jadi wanitamu seperti itu." "Kamu tidak seperti mereka. Aku tidak memperlakukanmu seperti wanita lain, Princess. Kamu istimewa untukku." Diana tidak mempercayainya. "Aku tidak merobek pakaianmu kan?" goda Alex. Wajah Diana memerah, dalam pikiran langsung terbayang bagaimana kalau Alex benar-benar berbuat seperti itu. Diana bergerak gelisah. "Jangan bilang kalau kamu sedang membayangkannya." Tatapan Alex menjadi gelap. "Apa sih?" Diana bangkit hendak memberi jarak antara dirinya dan Alex, tapi lelaki itu menahannya di tempat tidur. Dengan cepat Alex sudah berada di atas Diana. "Aku bisa melihatnya di wajahmu. Apa kamu akan melakukannya lagi jika sedang sendirian?" "Melakukan apa?" Jantung Diana berdebar tidak karuan. Kenapa Alex bisa menebak apa yang ada dalam pikirannya?? "Aku bisa membantumu, Princess." "Jangan," pinta Diana. "Kamu membuatku gila...." Alex mencium bibir Diana dengan kasar. Diana berusaha melepaskan diri tapi Alex memegangi kedua pergelangan tangannya. Tubuh mereka tidak berjarak sehingga kehangatan Alex membuat Diana panas. Pikirannya dipenuhi rasa takut tapi tubuhnya mengantisipasi sentuhan Alex. "Kalau kamu bilang berhenti, aku akan berhenti...," desis Alex. Dia sedang bertaruh. Tangan kanan Alex melepas cengkeraman pada pergelangan tangan Diana dan bergerak ke bawah. Dirasakannya tubuh Diana menegang saat tangannya menyelip masuk ke dalam baju kaos. Alex merasakan kulit Diana yang sangat lembut. Perlahan Alex menyingkap baju kaos yang menghalangi pergerakan dan pandangan matanya, menampakkan bagian perut Diana yang putih mulus. "Alex, jangan...," pinta Diana dengan suara bergetar. Alex menatap Diana, "Kamu yakin?" Dirinya setengah berharap. Diana mengangguk lemah. Alex berperang dengan dirinya. Dia merasa Diana akan menyerah jika dirinya bertindak lebih berani, tapi apa yang akan terjadi sesudahnya? Di sisi lain Diana pun mengalami peperangan yang serupa. Sentuhan Alex membuat Diana menginginkan lebih. Akan tetapi, apakah dia siap menyerahkan saat pertamanya pada seorang lelaki yang baru dikenal beberapa hari? Apa yang dia inginkan? Kepuasan atau tanggung jawab? Alex menjatuhkan diri ke sisi Diana sambil mengerang frustasi. Sekuat tenaga Alex menahan hasratnya yang sudah memuncak. Semua demi seorang wanita, padahal biasanya dia tidak peduli. Alex harus melepaskan hasratnya jika ingin berfungsi normal sepanjang malam ini. Dia masuk ke kamar mandi. Diana membenamkan wajah di bantal. Dia khawatir Alex kecewa terhadap dirinya dan langsung pergi. Ternyata lelaki itu hanya masuk ke kamar mandi. Diana tidak tahu apa yang dilakukan Alex disana tapi dia keluar dengan ekspresi yang berbeda, seolah ada beban yang terangkat darinya. Mereka bertatapan sesaat. Alex terlebih dahulu mengalihkan pandangan. "Aku harus pergi sekarang." "Baiklah." Alex duduk di tepi tempat tidur, tangannya meraih tangan Diana dan menggenggamnya erat. Sepasang matanya menatap sayu. "Apakah aku membuatmu takut?" tanya Alex. "Kadang-kadang." Alex tersenyum, "Aku sudah berjanji akan memperlakukanmu dengan baik, Princess... Maafkan aku hampir tidak dapat menahan diri." Diana mengangguk. Sampai mati pun dia tidak akan mengatakan bahwa dirinya juga mengalami hal yang sama. "See you soon." Alex mengecup dahi Diana dengan lembut--sesuatu yang juga tidak pernah dia lakukan terhadap wanita lain. Diana membuatnya melakukan hal-hal yang tidak biasa dia lakukan.Keesokan pagi ketika Diana tiba di kantor dia menyadari beberapa orang menatapnya dengan aneh, termasuk Rudy. Diana berusaha mengabaikan hal itu supaya dapat menjalani hari dengan normal. Ada apa dengan orang-orang? Kalau ada masalah bukankah lebih baik dibicarakan langsung daripada bergunjing di belakang? Diana merapikan dokumen pengadaan barang sambil bernyanyi-nyanyi. Kalau saja Rudy tidak sok akrab melongok ke dalam, paginya pasti sempurna. "Wah, ada yang sedang gembira nih?" goda Rudy. "Biasa saja kok," sahut Diana cuek. "Apa karena pacarmu yang ganteng itu?" "Siapa?" "Yang kemarin sore menjemputmu itu loh, dengan mobil hitamnya yang keren?" Rudy senang karena berhasil mendapatkan perhatian Diana. "Maksudmu Alexander? Dia bukan pacarku." Diana mengangkat bahu. "Kok kalian terlihat mesra?" "Mesra sebagai tema
Tengah malam Diana terbangun oleh bunyi dering yang tidak putus. Tangannya menggapai-gapai ke atas meja kecil di samping tempat tidur. "Halo..." Suara Diana serak karena baru saja terbangun. "Hai Princess..., I miss you." "Alex, kamu masih di club?" "Sebentar lagi aku mau pulang. Kamu mau ke tempatku?" "Sekarang??" Rasa kantuk Diana langsung lenyap. "Aku sudah menunggu di bawah." "Apa?" "Kutunggu." Secepat yang memungkinkan Diana cuci muka dan sikat gigi. Hatinya berdebar menantikan pertemuan tengah malam ini. Alex tidak terdengar lelah. Apa rencananya? Diana memakai kaos dan legging selutut, menyambar tas selempangnya lalu berlari turun. Dimana Alex? Diana celingak-celinguk sesaat. Alex keluar dari mobilnya dan melambai. Diana bergegas menghampiri Alex yang langsung memeluknya erat. Kalau
Setiap malam Alex memiliki keinginan mampir di apartemen Diana untuk sekedar tidur. Sampai sekarang Alex tidak menemukan jawaban kenapa dia dapat tidur nyenyak ketika berdekatan dengan Diana. Apakah karena aroma tubuh Diana yang khas? Malam ini tidak ada kejadian yang berkesan di club. Seperti biasa wanita-wanita tidak berhenti menggoda dirinya. Alex menanggapi dengan cuek. Dia sudah tidak berminat terhadap mereka. Sekarang sudah jam satu pagi. Apakah Diana akan terbangun kalau ditelepon? Alex tahu Diana harus bangun pagi untuk bekerja, tapi dia tidak dapat menahan keinginannya. Dia harus mencari jalan keluar untuk mengatasi perbedaan waktu mereka. Nada sambung pertama berbunyi sampai habis. Alex langsung men-dial ulang. Nada sambung kedua pun berbunyi sampai habis. Baiklah. Mungkin Diana tidur nyenyak sampai tidak mendengar apapun. Jika keinginannya tidak tercapai, setidaknya Alex dapat me
Suara musik club menghentak liar sementara Alex dan Diana berada di lantai atas. Mereka sedang mengukur ruangan dengan langkah kaki. "Kamu lihat, ruangan ini sangat besar. Cukup untuk kita berdua. Aku bisa tambahkan meja untukmu disini." Alex menunjuk ke sudut di sebelah meja besar. "Hmmm.... Kamu benar. Di sini malah bisa tambah dua meja lagi." Diana melangkah dengan hati-hati. Dia membayangkan seperti apa rasanya duduk di dalam ruangan ini berdua saja dengan Alex. "Tidak. Aku mau tambah bufet di sisi sana." Alex menunjuk ke dinding di seberang mejanya. "Oh, kamu tidak ada ruangan pantry sih ya?" "Betul. Aku tidak mau membuat sekat tambahan atau menjebol dinding." Diana mengangguk perlahan. Dalam pikirannya dia dapat melihat seperti apa interior ruangan jika sudah terisi perabotan seperti dituturkan Alex. "Mulai berminat?" Alex mengerlin
Langkah Diana begitu berat saat berjalan ke ruangan Pak Albert yang berada tepat di sebelah ruangannya. Diana mengetuk pintu yang ditempeli plat bertuliskan 'HRD Manager'. "Masuk." Diana membuka pintu dan melangkah masuk. Pak Albert menatapnya dengan tajam. Kumis tebalnya miring sebelah mengikuti ekspresi wajah. "Duduk," perintah Pak Albert. "Ada apa Pak?" "Kamu yang jawab saya, ada apa denganmu?" "Maksudnya?" "Saya mendapat kabar bahwa kemarin kamu bolos kerja tanpa alasan, ternyata hanya untuk pacaran? Benar begitu?" tanya Pak Albert sambil sibuk menandatangani dokumen. "Kata siapa?" "Benar atau tidak?" Pak Albert kembali menatap Diana. "Saya bangun kesiangan, jam sepuluh. Jadi saya pikir percuma juga kalau datang ke kantor. Kemarin saya sedang tidak banyak pekerjaan juga." Diana memutuskan untuk ber
Setelah mendapat SP satu dan mengetahui fakta bahwa Rudy adalah orang yang membiusnya di club, Diana jadi enggan ke kantor. Pagi ini dia hanya berbaring di tempat tidur dengan mata menatap langit-langit. Alex yang mampir saat subuh masih terlelap. Hati Diana sangat sedih mendapatkan perlakuan tidak adil. Selama ini dirinya tidak pernah menyakiti orang lain dengan sengaja. Dia hanya menjalani hari dengan normal dan sebisa mungkin menghindari konflik. Sayangnya itu tidak cukup. Hembusan nafas Alex membuat leher Diana hangat. Dia berpikir seandainya dirinya memiliki sedikit kepribadian Alex yang bebas dan pemberani, mungkin orang tidak akan berani berbuat seenaknya, mungkin dia akan berani menampar Gladys yang bermulut lancang, mungkin dia akan berani membela diri di hadapan Pak Albert, mungkin dia akan berani melaporkan Rudy berdasarkan kesaksian Alex dan bukti rekaman CCTV dari club. Langit sudah semakin ter
Selesai dengan urusannya di kamar mandi Alex melangkah keluar dengan segar. Dia melihat Diana sedang sibuk di dapur. Jam berapa sekarang? Apakah Diana tidak berangkat kerja? Alex menuju dapur dengan penasaran. "Kamu tidak pergi kerja?" tanya Alex. "Malas," sahut Diana singkat. Tangannya bergerak lincah memotong bawang. Alex memperhatikan wanita mungil di hadapannya. Meskipun kepalanya tertunduk tapi dia masih bisa melihat pipi yang merona. Sepertinya Diana masih malu dengan sentuhan yang tidak disengaja tadi. "Baiklah. Aku akan menemanimu sepanjang hari ini," kata Alex senang. Diana melirik tangan Alex yang ada di atas meja. Tangannya besar dengan urat bertonjolan. Pantas saja sentuhannya membuat sakit. Diana kembali tertunduk malu. "Masih terasa sakit?" tanya Alex. Diana mengangguk. Alex membayangkan mengusap bagian dada Diana u
Diana menghela nafas. Matanya berkali-kali membaca surat pengunduran diri yang dia ketik di PC. Tidak ada orang yang dapat mengetahui apa yang dikerjakan Diana karena layar PC-nya membelakangi pintu ruangan. Setelah menghela nafas satu kali lagi Diana menyimpan ketikannya dengan nama file: RESIGN. Tadi pagi Pak Albert memanggilnya lagi karena membolos tanpa pemberitahuan untuk kedua kali. SP satu segera naik pangkat menjadi SP dua, yang berarti pemotongan gaji. Hal ini membuat hati Diana semakin tawar. Handphone Diana berbunyi nyaring. Loh, rupanya sudah jam setengah lima sore? Begitu asyiknya mengetik surat pengunduran diri sampai lupa waktu? Diana tertawa geli dengan tingkahnya sendiri. "Halo?" sapa Diana. "Hei Princess. Mau ke pantai?" tanya Alex tanpa basa-basi. "Sore begini? Nanti masuk angin loh..." "Aku bawa jaket untukmu." "Hah? Ukuran badanmu
Hari kepulangan Ben adalah hari yang dinantikan semua orang, bahkan Alex pun berpikiran baik terhadap ayah mertuanya. Cederanya belum pulih seratus persen, tapi sudah tidak membahayakan. Ben pun bisa berjalan sendiri meskipun lebih lemah dari biasanya. "Bagaimana keadaanmu?" Ben bertanya pada Alex saat hanya ada mereka berdua di ruang tamu. "Apa? Seharusnya aku yang bertanya padamu." Ben meringis menahan tawa, "Tidak boleh bertanya? Lupakan saja niat baikku." Alex berdeham, "Kenapa Anda menghalangi pukulan Lao Hu?" Ben menatap Alex dengan pandangan rumit, "Kenapa? Karena kalau kamu terluka putriku akan bersedih." "Aku mengerti." Alex tersenyum. Ada sesuatu yang menarik dalam pikiran Ben. "Kenapa kamu melindungiku?" Ben bertanya kembali. "Karena Anda ayah istriku." Hening sesaat. Kedua lelaki berbeda generasi itu tampak
Alex dan Diana duduk di kursi taman rumah sakit yang menghadap ke arah kamar VIP. Mereka menikmati suasana yang cukup sejuk sambil mengobrol ringan. "Untung kamu tidak cedera berat seperti waktu itu," kata Diana. "Cuma keretakan rusuk sedikit. Aku masih bisa bermesraan denganmu," goda Alex. "Kamu nih, kata dokter jangan banyak bergerak dulu. Biar tidak berat tapi kalau dipaksa cederanya bisa bertambah." "Cedera apa? Istriku kan mungil dan ringan." Alex mengecup pipi Diana. "Serius dong," gerutu Diana. "Lihat, orang itu sudah keluar." Alex melirik ke satu arah. Diana menoleh ke arah kamar pasien. Tampak Li Wei dan Mikaela berdiri berhadapan. "Kamu bilang mereka ada hubungannya?" tanya Diana. "Rasanya begitu." Terlihat Mikaela merentangkan tangan. Li Wei ragu, maka Mikaela maju untuk memeluknya. Diana te
Suasana dalam kamar VIP di rumah sakit menjadi tegang karena kedatangan Li Wei. Lelaki muda itu datang untuk menjenguk keluarga Hartanto, namun tujuan utamanya adalah untuk bertemu Diana. "Mau apa kemari?" tanya Alex. "Aku datang dengan niat baik. Tanya saja ibu mertuamu." Li Wei tersenyum dingin. "Tidak ada niat baik dalam kepalamu. Aku belum memberimu pelajaran atas apa yang kau lakukan terhadap Diana," geram Alex. "Memangnya kau punya kemampuan?" Li Wei bahkan tidak menatap Alex. Pandangan matanya melembut saat menemukan sosok Diana yang bersembunyi di belakang Alex. "Jaga matamu, Anak Kecil." Alex menghalangi pandangan mata Li Wei. "Mata jelas-jelas punyaku. Memangnya pemandangan di kamar ini punyamu?" ejek Li Wei. "Huss... Kalian ini. Di rumah sakit masih aja mau berkelahi...," desis Mikaela. Dia terpaksa menghampiri anak-anak muda k
"Kau! Cari mati!" Lao Hu menjerit histeris. Darah mengalir ke wajahnya. "Kau yang cari mati, Tua Bangka!" bentak Ben. Alex benar-benar melongo. Bukannya kedua lelaki ini sama-sama tua? Lao Hu merangsek ke arah Ben. Dia hendak menghabisi pengganggu tak terduga ini dalam satu pukulan. Alex tidak tinggal diam. Dia segera menyerang dari samping, tepat mengenai bagian sisi kepala Lao Hu. Walaupun terkena tendangan tapi reaksi Lao Hu masih luar biasa. Lengannya mengibas ke samping membuat tubuh Alex terlempar ke dinding. "Ben! Hati-hati!" seru Mikaela. "Jangan keluar! Tetap di dalam!" Ben berseru pada istrinya. Lao Hu menatap ke arah Mikaela. Tatapan matanya berubah ganas. Ben menempatkan dirinya di antara Mikaela dan Lao Hu. "Heh, wanita yang cantik. Setelah kalian lelaki-lelaki tak berguna ini mati, akan kurebut wanita kalian!" Lao Hu tertawa
Matahari tinggi di puncak langit. Sederetan mobil hitam parkir tidak beraturan di luar gerbang kediaman Hartanto. Beberapa orang penjaga berteriak-teriak mengusir para pendatang yang tidak tahu diri itu. Pintu mobil terbuka nyaris berbarengan. Selusin lelaki bertubuh besar berwajah garang melompat turun. Niko dan Lao Hu turun setelah formasi terbentuk. Teriknya matahari membuat Lao Hu memicingkan mata. "Ini rumahnya?" tanya Lao Hu. "Betul, Bos. Alex sedang berada di sini." jawab Niko dengan hormat. Lao Hu menggerakkan kepala sebagai kode untuk anak buahnya. Kompak, selusin lelaki bertubuh besar merobohkan pintu gerbang. Besi baja terlihat tak berguna di hadapan mereka. Para penjaga berhamburan dari dalam rumah, semua membawa tongkat atau senjata tumpul lainnya. Seketika terjadi pertarungan sengit di pekarangan. Lao Hu dan Niko berjalan melewati mereka seolah tidak ada a
Genderang perang sudah ditabuh. Lao Hu berangkat ke kediaman Hartanto bersama Niko dan selusin anak buah mereka. Mobil hitam melaju beriringan tanpa rintangan berarti. Jika saja langit berubah jadi gelap disertai kilat menyambar dan guntur bertalu, mereka akan mirip seperti utusan dari neraka. Sayangnya langit begitu cerah tanpa awan sedikit pun. "Bos, Shi Fu Li tidak ikut?" tanya Niko perlahan. "Dia sudah mengatakan bahwa hari ini baik. Aku percaya padanya," sahut Lao Hu yang bersandar memejamkan mata. "Oh, baik kalau begitu." Niko tidak berani bertanya lagi. "Bangunkan aku kalau sudah sampai," kata Lao Hu. "Baik, Bos." Kediaman Hartanto... Alex menyeret Jack ke pekarangan. Dia butuh sedikit gerak badan. Jack yang masih mengantuk terus-menerus menggerutu. "Bacotmu seperti anak perempuan," ledek Alex.
"Shi Fu, bagaimana... Tadi...." Lao Hu yang sudah dapat bergerak kini kebingungan seperti orang baru terbangun dari tidur panjang. "Istirahatlah dulu. Cari hari lain untuk menghadapi Alexander. Terlalu banyak kejutan hari ini, tidak baik." Li Wei termenung. Lao Hu merasa tidak rela, tapi dia tidak berani membantah perkataan seorang Shi Fu Li. Dia membungkukkan badan dengan hormat dan kembali ke kamar. Li Wei menghela nafas. Percakapan singkat dengan Mikaela mengangkat selubung kegelapan dalam hatinya. Ada baiknya juga mengikuti nasihat Mikaela, mungkin dengan demikian dia dapat merebut hati Diana seperti seorang lelaki sejati. Huh, wanita yang dicintai ayahnya memang hebat. Tidak memiliki ilmu apa-apa tapi kekuatannya luar biasa. Sayang, sungguh sangat disayangkan ayah pergi terlalu cepat. Li Wei ingin sekali mendengarkan lagi kisah percintaan itu dari mulut ayahnya, dengan perspektif yang berb
Firasat buruk datang seperti angin dingin di tengah malam, membuat tubuh tidak nyaman dan pikiran tidak tenang. Mikaela menatap dua anak muda yang masih memejamkan mata karena kelelahan mental yang baru saja mereka lalui. Bagaimana mereka bisa melawan musuh yang akan datang? Mikaela keluar dari kamar Diana. Raut wajah yang biasanya lembut kini terlihat penuh tekad. Dia masuk ke kamarnya untuk berbicara dengan Ben. Dilihatnya Ben sedang duduk di meja sambil melihat-lihat dokumen. "Sayang?" panggil Mikaela. "Hmm," gumam Ben acuh tak acuh. Mikaela tersenyum. Lelaki yang telah dinikahinya selama tiga puluh lima tahun ini tampak lelah. Dia meletakkan tangan di bahu Ben. "Bersikap baiklah terhadap Alex, Sayang. Bagaimanapun juga dia suami putri kita...," desah Mikaela. "Hmm." "Aku mau keluar sebentar ya. Tolong jaga anak-anak." Mikaela me
Alex dan Diana memeriksa setiap sudut ruangan untuk menemukan keberadaan akar mantra tersebut. Tidak ada satu sudut pun yang lolos dari pemeriksaan. Entah berapa lama waktu berlalu, tapi Alex mulai merasa lelah. "Selain tempat ini masih ada lagi?" tanya Alex. "Ehm... Kita belum melihat semuanya." Alex menatap Diana, "Di mana?" "Itu." Diana menunjuk ke sebuah titik. Alex mengangkat kepala. Siapa sangka ada rak buku tersembunyi di atas sebuah pilar besar. Siapa pun yang tanpa sengaja melihat ke atas tidak akan dapat menemukannya. "Sepertinya aku harus memanjat." Alex menghela nafas. "Ada tangga di sana." Diana menunjuk ke bawah pilar. Benar saja, ada anak tangga yang dipahat pada pilar. Tangga melingkar itu baru menunjukkan wujudnya setelah mereka benar-benar memperhatikan. "Pikiranmu rumit sekali, Princess." Alex terseny