Setiap malam Alex memiliki keinginan mampir di apartemen Diana untuk sekedar tidur. Sampai sekarang Alex tidak menemukan jawaban kenapa dia dapat tidur nyenyak ketika berdekatan dengan Diana. Apakah karena aroma tubuh Diana yang khas?
Malam ini tidak ada kejadian yang berkesan di club. Seperti biasa wanita-wanita tidak berhenti menggoda dirinya. Alex menanggapi dengan cuek. Dia sudah tidak berminat terhadap mereka. Sekarang sudah jam satu pagi. Apakah Diana akan terbangun kalau ditelepon? Alex tahu Diana harus bangun pagi untuk bekerja, tapi dia tidak dapat menahan keinginannya. Dia harus mencari jalan keluar untuk mengatasi perbedaan waktu mereka. Nada sambung pertama berbunyi sampai habis. Alex langsung men-dial ulang. Nada sambung kedua pun berbunyi sampai habis. Baiklah. Mungkin Diana tidur nyenyak sampai tidak mendengar apapun. Jika keinginannya tidak tercapai, setidaknya Alex dapat menjemput Diana di kantor saat pulang kerja. Dilandasi rasa penasaran Alex menelepon nomor Diana sekali lagi. Tidak diduga Diana menjawab. "Halo...." Alex senang mendengar suara serak Diana, "Hai Princess. Aku boleh mampir?" "Kamu sudah di sini?" "Aku masih di club. Kalau ngebut dalam lima menit aku akan tiba." "Alex...," Diana mengerang, "...tapi aku tidak bisa menemanimu bergadang..." "Aku hanya mau tidur di dekatmu." "Hmm..." "Bagaimana? Aku diijinkan?" "Ehm....baiklah. Beri tahu aku kalau kamu sudah sampai." "Oke Princess." Alex segera berlari kecil ke mobilnya. Dalam pikirannya hanya ada satu tujuan: Diana. Maka dapat dibayangkan betapa kesal dirinya saat seorang wanita mencegat di mobil. "Hai Alex, sudah lama tidak bertemu. Aku merindukanmu...," rayu si wanita yang tidak segan memamerkan belahan dadanya yang spektakuler. "Aku sedang sibuk." Alex berjalan mengitari wanita itu. "Tunggu! Bagaimana kalau kita melakukannya dengan cepat? Di dalam mobilmu?" Wanita itu memegang lengan Alex, tatapan matanya menggoda. Alex menepisnya, "Sudah kubilang aku sibuk." "Alex!" Alex segera masuk ke mobil dan melaju pergi tanpa membuang waktu sedetik pun untuk menoleh ke arah wanita tadi. Dia tidak memerlukan pengalih perhatian. Sementara itu Diana sudah mencuci muka dan sikat gigi. Rasa kantuknya sudah lenyap sebagian. Dia mondar mandir dengan gelisah di dalam kamar. Alex benar-benar tahu cara membuat orang gelisah. Handphone Diana berdering. Tanpa perlu melihat Diana tahu itu pasti Alex. "Princess, aku sudah di lobby." "Aku turun...." Diana bergegas turun untuk membukakan pintu. Wajah Alex berubah cerah begitu melihat Diana. Begitu pintu terbuka Alex bergegas masuk untuk memeluk Diana. "I miss you...." "Tapi kita kan bertemu setiap hari." "Aku tahu." Diana tertawa geli, "Kamu ada-ada saja. Ayo naik sebelum sekuriti curiga." Setiba di dalam unit apartemen, Alex memeluk dan mencium Diana dengan intens. Diana mendorong Alex, wajahnya memerah. "Katanya mau tidur...." Nafas Diana terengah. "Iya, aku mau tidur... Setelah ini..." Alex kembali memeluk Diana dan melumat bibirnya. Diana mengimbangi gerakan Alex yang penuh hasrat. Sebentar kemudian Alex mengangkat tubuh mungil Diana ke dalam kamar dan membaringkannya dengan lembut. Mereka lanjut berciuman di tempat tidur. Diana menahan tangan Alex yang hendak merayap masuk ke dalam baju tidurnya. "Sorry Princess, gerakan refleks." Alex tersenyum menggoda. "Kamu mau tidur di sofa?" ancam Diana. "Jangan! Aku mau disini..." Diana merengut. "Aku tidak akan macam-macam, Princess.. selamat tidur." Alex membenamkan wajahnya di dada Diana dan terlelap. Jantung Diana berdebar kencang. Jika Alex terus memperlakukannya seperti ini, Diana khawatir dirinya tidak akan dapat bertahan. Mereka harus memiliki peraturan untuk membatasi sentuhan. Dengan pemikiran itu Diana pun kembali ke alam mimpi. Paginya... "Sial!" seru Diana saat melihat jam weker. Sudah jam sepuluh dan dia baru terbangun. Alex masih terlelap dengan damai. Dalam sekejap Diana memutuskan untuk tidak berangkat kerja. Sudah sangat terlambat. Diana mengeluh dalam hati, ini pertama kalinya dia bolos kerja. Semua itu karena seorang lelaki! Jari-jari Diana memainkan helaian rambut Alex. Dia menghirup aroma rambut Alex yang sangat maskulin. Mungkin aroma shampo yang dia pakai. Diana menyukainya. Perut Diana berbunyi menandakan bahwa cacing-cacing perutnya minta jatah makanan. Hati-hati Diana menggulingkan Alex ke sisi. Sialnya Alex kembali memeluk pinggangnya. Diana berusaha sekali lagi. Berhasil. Alex kini terlentang. Perlahan Diana merangkak melangkahi tubuh Alex untuk turun dari tempat tidur. Alex menggumam dan berguling hingga menindih tubuh Diana. Diana menggerutu, dejavu kejadian tempo hari! "Alex..." Diana berusaha membangunkan. "Mmmm..." Alex menggumam tapi tidak bangun, malah meringkuk semakin dekat pada Diana. "Ayolah, bangun sebentar..." Diana berusaha menarik kakinya dari bawah tubuh Alex. Lelaki ini berat sekali. Usaha yang dilakukan Diana hanya mengguncangnya sedikit. "Mmmhhh..." Alex mengerang dalam tidur. Diana mendorong Alex sekuat tenaga dengan harapan lelaki itu bisa digulingkan. Alex mengerang. Mimpi indahnya dibuyarkan oleh kesibukan yang terjadi. Diana terus bergerak. "Ugh..." Alex membuka mata dan melihat wajah Diana yang merah padam. "Apa yang kamu lakukan..." "Aku mau bangun! Minggir sedikit," gerutu Diana sambil mendorong Alex. "Kamu...." Alex mengerang karena tubuh Diana menekan bagian tubuhnya yang sudah terbangun lebih dulu. Kenapa mereka lagi-lagi berada pada situasi yang aneh seperti ini? Apakah Diana tidak tahu betapa keras usahanya untuk menahan diri? Sekarang dia malah menggeliat-geliat di bawahnya! "Ayo bangun! Berguling ke sana!" gerutu Diana. "Berhenti bergerak... Kamu sengaja ya?" Wajah Alex meringis menahan hasratnya yang meroket. "Apa sih?" "Aku sudah bangun...," desis Alex. Diana melotot, "Belum! Aku masih tertindih!" Alex berguling ke sisi dengan wajah meringis. Dia menangkup wajah dengan telapak tangan. "Pinjam handuk." Suara Alex tercekat. Diana menatapnya heran tapi mengambilkan selembar handuk dari lemari. Tanpa berkata apapun Alex masuk ke kamar mandi. Dia butuh guyuran air dingin untuk meredam hasrat yang dibangkitkan Diana. Diana geleng-geleng kepala. Dia menuju dapur untuk menyiapkan makanan. Alex keluar dari kamar mandi dengan wajah kusut. Wanita ini membuatnya gila. Alex melempar handuk yang dipinjamkan Diana ke tempat tidur. Hidungnya mencium aroma yang sedap. Di mana dia? "Hei, ayo makan. Aku bikin nasi goreng nih." Diana tersenyum cerah. Tidak tampak lagi sisa-sisa kekesalan pada wajahnya. "Harum sekali," puji Alex. "Aku kelaparan makanya aku memaksamu bangun. Kalau masih mengantuk nanti habis makan tidur lagi saja. Aku tidak kemana-mana hari ini." Alex mengangguk senang. Mereka berdua makan dengan nikmat. Diana menyalakan televisi supaya suasana tidak sepi-sepi banget. "Aku mau setiap hari makan masakanmu," kata Alex. Diana tertawa, "Memangnya kamu mau tinggal disini?" Alex menatap Diana dengan mata berbinar, "Kalau kamu mengijinkan." Diana menyesal mengucapkan kalimat tadi. Sekarang Alex terlihat penuh harap. "Tapi aku harus bangun pagi. Tidak mungkin sering-sering bolos kerja," keluh Diana. "Bagaimana kalau kamu bekerja untukku?" cetus Alex. "Apa?" "Jadi asisten pribadiku?" Mata Diana melebar. Dia tidak salah dengar kan? "Aku akan memberi gaji dua kali lipat dari gajimu sekarang. Ditambah lagi kita bisa menghabiskan waktu lebih sering." Diana melongo, memangnya yang terakhir itu termasuk keuntungan ya? Keuntungan bagi Alex tapi belum tentu baginya. "Bagaimana? Berminat?" "Kamu serius?" "Aku selalu serius dengan kata-kataku." "Memangnya kamu butuh asisten? Sepertinya anak buahmu cukup banyak?" "Mereka bukan kamu." "Hah?" "Pikirkanlah dulu. Kalau berminat kamu beritahu aku, akan kuatur sebuah ruangan untukmu di lantai atas club." Alex mengacak-acak rambut Diana, "Aku tidur sebentar lagi. Bangunkan aku jam tiga sore ya." Diana menatap sosok Alex yang masuk ke kamar. Itu kamarnya loh! Bukan kamar Alex! Sepanjang hari ini Diana bermalas-malasan, nonton televisi, snacking, sambil berjaga-jaga kapan Alex bangun tidur. Dia tidak ingin diterkam mendadak dari belakang. Baru kali ini ada lelaki yang menganggap apartemennya seperti rumah sendiri. Ketika hari mulai sore Diana mengintip ke dalam kamar. Alex masih tidur mendengkur sambil memeluk bantal. Diana geleng-geleng kepala. Rasa penasaran membuatnya mengendap-endap ke sisi tempat tidur. Diperhatikannya wajah Alex yang setengah terbenam di bantal. Tanpa disadari sejumput rambutnya menggelitik hidung Alex. Alex membuka mata dan Diana mundur karena terkejut. "Sedang apa kamu?" tanya Alex. Diana menggeleng. Alex menggeliat. "Kamu memperhatikanku tidur? Stalker," goda Alex. "Enak saja! Ngapain perhatikan kamu? Aku cuma mau lihat kamu masih bernafas atau tidak." Alex tertawa, "Baiklah. Aku percaya." "Sudah sore nih, kamu tidak mau pulang?" tanya Diana. "Aku mau kalau kamu ikut pulang denganku. Kalau tidak aku akan menginap disini sampai kamu menyerah." Mata Diana melebar, "Serius??" Alex tersenyum simpul, "Bagaimana dengan penawaranku tadi? Kamu mau?" "Penawaran kerja?" "Iya." "Apa saja yang kukerjakan sebagai asistenmu?" "Pertama, kamu akan tinggal di penthouse." "Apa?? Tidak mau--" "Dengar dulu," potong Alex. "Di penthouse ada dua kamar. Satu kamarku, dan yang satu lagi kubiarkan kosong. Kamu bisa tidur di sana dan memegang kunci sendiri. Aku juga akan membuatkan satu kartu akses lagi untukmu." Diana mengerutkan alis. "Kamu akan mengikutiku seperti seorang asisten pribadi. Tugasmu adalah membangunkanku setiap jam tiga sore, merapikan data dan berkas-berkas, memasak untuk kita berdua." "Aku seperti pembantu dong?" "Asisten pribadi." Alex tersenyum simpul. "Hari kerjaku bagaimana?" "Tentu mengikuti hari dan jam kerjaku." Diana mengerutkan alis, "Hari apa off-nya?" "Tergantung aku." "Hmmmm...." "Bagaimana? Masih lebih menguntungkan daripada kantormu kan?" "Akan kupikirkan."Suara musik club menghentak liar sementara Alex dan Diana berada di lantai atas. Mereka sedang mengukur ruangan dengan langkah kaki. "Kamu lihat, ruangan ini sangat besar. Cukup untuk kita berdua. Aku bisa tambahkan meja untukmu disini." Alex menunjuk ke sudut di sebelah meja besar. "Hmmm.... Kamu benar. Di sini malah bisa tambah dua meja lagi." Diana melangkah dengan hati-hati. Dia membayangkan seperti apa rasanya duduk di dalam ruangan ini berdua saja dengan Alex. "Tidak. Aku mau tambah bufet di sisi sana." Alex menunjuk ke dinding di seberang mejanya. "Oh, kamu tidak ada ruangan pantry sih ya?" "Betul. Aku tidak mau membuat sekat tambahan atau menjebol dinding." Diana mengangguk perlahan. Dalam pikirannya dia dapat melihat seperti apa interior ruangan jika sudah terisi perabotan seperti dituturkan Alex. "Mulai berminat?" Alex mengerlin
Langkah Diana begitu berat saat berjalan ke ruangan Pak Albert yang berada tepat di sebelah ruangannya. Diana mengetuk pintu yang ditempeli plat bertuliskan 'HRD Manager'. "Masuk." Diana membuka pintu dan melangkah masuk. Pak Albert menatapnya dengan tajam. Kumis tebalnya miring sebelah mengikuti ekspresi wajah. "Duduk," perintah Pak Albert. "Ada apa Pak?" "Kamu yang jawab saya, ada apa denganmu?" "Maksudnya?" "Saya mendapat kabar bahwa kemarin kamu bolos kerja tanpa alasan, ternyata hanya untuk pacaran? Benar begitu?" tanya Pak Albert sambil sibuk menandatangani dokumen. "Kata siapa?" "Benar atau tidak?" Pak Albert kembali menatap Diana. "Saya bangun kesiangan, jam sepuluh. Jadi saya pikir percuma juga kalau datang ke kantor. Kemarin saya sedang tidak banyak pekerjaan juga." Diana memutuskan untuk ber
Setelah mendapat SP satu dan mengetahui fakta bahwa Rudy adalah orang yang membiusnya di club, Diana jadi enggan ke kantor. Pagi ini dia hanya berbaring di tempat tidur dengan mata menatap langit-langit. Alex yang mampir saat subuh masih terlelap. Hati Diana sangat sedih mendapatkan perlakuan tidak adil. Selama ini dirinya tidak pernah menyakiti orang lain dengan sengaja. Dia hanya menjalani hari dengan normal dan sebisa mungkin menghindari konflik. Sayangnya itu tidak cukup. Hembusan nafas Alex membuat leher Diana hangat. Dia berpikir seandainya dirinya memiliki sedikit kepribadian Alex yang bebas dan pemberani, mungkin orang tidak akan berani berbuat seenaknya, mungkin dia akan berani menampar Gladys yang bermulut lancang, mungkin dia akan berani membela diri di hadapan Pak Albert, mungkin dia akan berani melaporkan Rudy berdasarkan kesaksian Alex dan bukti rekaman CCTV dari club. Langit sudah semakin ter
Selesai dengan urusannya di kamar mandi Alex melangkah keluar dengan segar. Dia melihat Diana sedang sibuk di dapur. Jam berapa sekarang? Apakah Diana tidak berangkat kerja? Alex menuju dapur dengan penasaran. "Kamu tidak pergi kerja?" tanya Alex. "Malas," sahut Diana singkat. Tangannya bergerak lincah memotong bawang. Alex memperhatikan wanita mungil di hadapannya. Meskipun kepalanya tertunduk tapi dia masih bisa melihat pipi yang merona. Sepertinya Diana masih malu dengan sentuhan yang tidak disengaja tadi. "Baiklah. Aku akan menemanimu sepanjang hari ini," kata Alex senang. Diana melirik tangan Alex yang ada di atas meja. Tangannya besar dengan urat bertonjolan. Pantas saja sentuhannya membuat sakit. Diana kembali tertunduk malu. "Masih terasa sakit?" tanya Alex. Diana mengangguk. Alex membayangkan mengusap bagian dada Diana u
Diana menghela nafas. Matanya berkali-kali membaca surat pengunduran diri yang dia ketik di PC. Tidak ada orang yang dapat mengetahui apa yang dikerjakan Diana karena layar PC-nya membelakangi pintu ruangan. Setelah menghela nafas satu kali lagi Diana menyimpan ketikannya dengan nama file: RESIGN. Tadi pagi Pak Albert memanggilnya lagi karena membolos tanpa pemberitahuan untuk kedua kali. SP satu segera naik pangkat menjadi SP dua, yang berarti pemotongan gaji. Hal ini membuat hati Diana semakin tawar. Handphone Diana berbunyi nyaring. Loh, rupanya sudah jam setengah lima sore? Begitu asyiknya mengetik surat pengunduran diri sampai lupa waktu? Diana tertawa geli dengan tingkahnya sendiri. "Halo?" sapa Diana. "Hei Princess. Mau ke pantai?" tanya Alex tanpa basa-basi. "Sore begini? Nanti masuk angin loh..." "Aku bawa jaket untukmu." "Hah? Ukuran badanmu
Tengah malam tiba. Langit di luar hitam sepekat tinta. Alex dan Diana masih terlelap di tempat tidur dengan berbungkus selimut. "Mmmmh...." Diana menggumam. Tidurnya nyaris berakhir. Tanpa berusaha membuka mata Diana menggapai mencari handphone yang biasa dia letakkan di kepala tempat tidur. Mana handphonenya? Terlebih lagi, kenapa dia tidak dapat bergerak? Perlahan Diana membuka mata. Kegelapan pekat menyambut penglihatannya. Oh, lampu tidak dinyalakan. Dimana ini? Ini bukan kamarnya? Dan siapa ini yang sedang memeluknya? Tunggu sebentar, kenapa terasa dingin? Tangannya meraba ke dalam selimut dan menemukan bahwa tubuhnya telanjang. Panik, Diana mendorong tubuh yang berada di sisinya. "Owh.... Oh my God, Diana...," gerutu Alex yang terkena tamparan tepat di wajah. "Mana pakaianku??" Diana terus berusaha mendorong tubuh Alex menjauh d
Keadaan di kantor bertambah tidak nyaman bagi Diana. Pak Albert kini lebih sering berjalan melewati ruangannya dan melongok ke dalam. Gladys juga semakin berani dalam berkata-kata, membuat Diana membayangkan hal buruk terjadi atas diri Gladys. Kalau sesuka itu terhadap Alex kenapa tidak mendekatinya saja? Ya kan? Penghiburan Diana adalah membaca berulang-ulang surat pengunduran diri yang telah dia ketik rapi. Dia akan membuat semua orang terkejut. Tunggu saja tanggal mainnya. Diana sudah membayangkan akan menyerahkan surat pengunduran diri ini di akhir bulan. Sebuah pesan singkat masuk ke handphone Diana. Pasti Alex. Diana membacanya dengan wajah berseri. Alex tidak pernah absen mengirimkan pesan singkat sebelum menjemputnya di kantor. Dia membuat Diana menantikan waktu dengan gembira. Lima menit menjelang jam pulang kantor lantai atas sudah kosong. Pak Albert tidak mau berlama-lama di kantor karena dia harus men
Dalam keadaan seperti ini Diana tidak protes saat Alex membawanya pulang ke penthouse. Dia juga tidak protes saat Alex membantu melepas pakaiannya yang robek. Diana memakai pakaian yang diberikan, sebuah kaos hitam yang kebesaran. Alex merebahkan Diana di tempat tidur dan membungkusnya rapat-rapat dengan selimut. Perlahan tangan Diana meraih tangan Alex. Dia butuh rasa aman. Mereka berpegangan tangan di atas selimut. "Kok kamu bisa tahu...?" tanya Diana lirih. "Aku bertemu wanita yang bernama Gladys di depan kantormu. Dia berusaha menarik perhatianku dengan mencolok, tapi matanya sesekali melirik ke lantai atas gedung. Karena kamu tidak keluar juga, aku langsung tahu kalau ada yang tidak beres." Diana terisak pelan. "Kamu sudah aman sekarang Princess." Alex meremas tangan Diana dalam genggamannya, "Jika ada yang berani menyakitimu aku akan mematahkan tulang-tulang di tubuhnya."&nbs
Hari kepulangan Ben adalah hari yang dinantikan semua orang, bahkan Alex pun berpikiran baik terhadap ayah mertuanya. Cederanya belum pulih seratus persen, tapi sudah tidak membahayakan. Ben pun bisa berjalan sendiri meskipun lebih lemah dari biasanya. "Bagaimana keadaanmu?" Ben bertanya pada Alex saat hanya ada mereka berdua di ruang tamu. "Apa? Seharusnya aku yang bertanya padamu." Ben meringis menahan tawa, "Tidak boleh bertanya? Lupakan saja niat baikku." Alex berdeham, "Kenapa Anda menghalangi pukulan Lao Hu?" Ben menatap Alex dengan pandangan rumit, "Kenapa? Karena kalau kamu terluka putriku akan bersedih." "Aku mengerti." Alex tersenyum. Ada sesuatu yang menarik dalam pikiran Ben. "Kenapa kamu melindungiku?" Ben bertanya kembali. "Karena Anda ayah istriku." Hening sesaat. Kedua lelaki berbeda generasi itu tampak
Alex dan Diana duduk di kursi taman rumah sakit yang menghadap ke arah kamar VIP. Mereka menikmati suasana yang cukup sejuk sambil mengobrol ringan. "Untung kamu tidak cedera berat seperti waktu itu," kata Diana. "Cuma keretakan rusuk sedikit. Aku masih bisa bermesraan denganmu," goda Alex. "Kamu nih, kata dokter jangan banyak bergerak dulu. Biar tidak berat tapi kalau dipaksa cederanya bisa bertambah." "Cedera apa? Istriku kan mungil dan ringan." Alex mengecup pipi Diana. "Serius dong," gerutu Diana. "Lihat, orang itu sudah keluar." Alex melirik ke satu arah. Diana menoleh ke arah kamar pasien. Tampak Li Wei dan Mikaela berdiri berhadapan. "Kamu bilang mereka ada hubungannya?" tanya Diana. "Rasanya begitu." Terlihat Mikaela merentangkan tangan. Li Wei ragu, maka Mikaela maju untuk memeluknya. Diana te
Suasana dalam kamar VIP di rumah sakit menjadi tegang karena kedatangan Li Wei. Lelaki muda itu datang untuk menjenguk keluarga Hartanto, namun tujuan utamanya adalah untuk bertemu Diana. "Mau apa kemari?" tanya Alex. "Aku datang dengan niat baik. Tanya saja ibu mertuamu." Li Wei tersenyum dingin. "Tidak ada niat baik dalam kepalamu. Aku belum memberimu pelajaran atas apa yang kau lakukan terhadap Diana," geram Alex. "Memangnya kau punya kemampuan?" Li Wei bahkan tidak menatap Alex. Pandangan matanya melembut saat menemukan sosok Diana yang bersembunyi di belakang Alex. "Jaga matamu, Anak Kecil." Alex menghalangi pandangan mata Li Wei. "Mata jelas-jelas punyaku. Memangnya pemandangan di kamar ini punyamu?" ejek Li Wei. "Huss... Kalian ini. Di rumah sakit masih aja mau berkelahi...," desis Mikaela. Dia terpaksa menghampiri anak-anak muda k
"Kau! Cari mati!" Lao Hu menjerit histeris. Darah mengalir ke wajahnya. "Kau yang cari mati, Tua Bangka!" bentak Ben. Alex benar-benar melongo. Bukannya kedua lelaki ini sama-sama tua? Lao Hu merangsek ke arah Ben. Dia hendak menghabisi pengganggu tak terduga ini dalam satu pukulan. Alex tidak tinggal diam. Dia segera menyerang dari samping, tepat mengenai bagian sisi kepala Lao Hu. Walaupun terkena tendangan tapi reaksi Lao Hu masih luar biasa. Lengannya mengibas ke samping membuat tubuh Alex terlempar ke dinding. "Ben! Hati-hati!" seru Mikaela. "Jangan keluar! Tetap di dalam!" Ben berseru pada istrinya. Lao Hu menatap ke arah Mikaela. Tatapan matanya berubah ganas. Ben menempatkan dirinya di antara Mikaela dan Lao Hu. "Heh, wanita yang cantik. Setelah kalian lelaki-lelaki tak berguna ini mati, akan kurebut wanita kalian!" Lao Hu tertawa
Matahari tinggi di puncak langit. Sederetan mobil hitam parkir tidak beraturan di luar gerbang kediaman Hartanto. Beberapa orang penjaga berteriak-teriak mengusir para pendatang yang tidak tahu diri itu. Pintu mobil terbuka nyaris berbarengan. Selusin lelaki bertubuh besar berwajah garang melompat turun. Niko dan Lao Hu turun setelah formasi terbentuk. Teriknya matahari membuat Lao Hu memicingkan mata. "Ini rumahnya?" tanya Lao Hu. "Betul, Bos. Alex sedang berada di sini." jawab Niko dengan hormat. Lao Hu menggerakkan kepala sebagai kode untuk anak buahnya. Kompak, selusin lelaki bertubuh besar merobohkan pintu gerbang. Besi baja terlihat tak berguna di hadapan mereka. Para penjaga berhamburan dari dalam rumah, semua membawa tongkat atau senjata tumpul lainnya. Seketika terjadi pertarungan sengit di pekarangan. Lao Hu dan Niko berjalan melewati mereka seolah tidak ada a
Genderang perang sudah ditabuh. Lao Hu berangkat ke kediaman Hartanto bersama Niko dan selusin anak buah mereka. Mobil hitam melaju beriringan tanpa rintangan berarti. Jika saja langit berubah jadi gelap disertai kilat menyambar dan guntur bertalu, mereka akan mirip seperti utusan dari neraka. Sayangnya langit begitu cerah tanpa awan sedikit pun. "Bos, Shi Fu Li tidak ikut?" tanya Niko perlahan. "Dia sudah mengatakan bahwa hari ini baik. Aku percaya padanya," sahut Lao Hu yang bersandar memejamkan mata. "Oh, baik kalau begitu." Niko tidak berani bertanya lagi. "Bangunkan aku kalau sudah sampai," kata Lao Hu. "Baik, Bos." Kediaman Hartanto... Alex menyeret Jack ke pekarangan. Dia butuh sedikit gerak badan. Jack yang masih mengantuk terus-menerus menggerutu. "Bacotmu seperti anak perempuan," ledek Alex.
"Shi Fu, bagaimana... Tadi...." Lao Hu yang sudah dapat bergerak kini kebingungan seperti orang baru terbangun dari tidur panjang. "Istirahatlah dulu. Cari hari lain untuk menghadapi Alexander. Terlalu banyak kejutan hari ini, tidak baik." Li Wei termenung. Lao Hu merasa tidak rela, tapi dia tidak berani membantah perkataan seorang Shi Fu Li. Dia membungkukkan badan dengan hormat dan kembali ke kamar. Li Wei menghela nafas. Percakapan singkat dengan Mikaela mengangkat selubung kegelapan dalam hatinya. Ada baiknya juga mengikuti nasihat Mikaela, mungkin dengan demikian dia dapat merebut hati Diana seperti seorang lelaki sejati. Huh, wanita yang dicintai ayahnya memang hebat. Tidak memiliki ilmu apa-apa tapi kekuatannya luar biasa. Sayang, sungguh sangat disayangkan ayah pergi terlalu cepat. Li Wei ingin sekali mendengarkan lagi kisah percintaan itu dari mulut ayahnya, dengan perspektif yang berb
Firasat buruk datang seperti angin dingin di tengah malam, membuat tubuh tidak nyaman dan pikiran tidak tenang. Mikaela menatap dua anak muda yang masih memejamkan mata karena kelelahan mental yang baru saja mereka lalui. Bagaimana mereka bisa melawan musuh yang akan datang? Mikaela keluar dari kamar Diana. Raut wajah yang biasanya lembut kini terlihat penuh tekad. Dia masuk ke kamarnya untuk berbicara dengan Ben. Dilihatnya Ben sedang duduk di meja sambil melihat-lihat dokumen. "Sayang?" panggil Mikaela. "Hmm," gumam Ben acuh tak acuh. Mikaela tersenyum. Lelaki yang telah dinikahinya selama tiga puluh lima tahun ini tampak lelah. Dia meletakkan tangan di bahu Ben. "Bersikap baiklah terhadap Alex, Sayang. Bagaimanapun juga dia suami putri kita...," desah Mikaela. "Hmm." "Aku mau keluar sebentar ya. Tolong jaga anak-anak." Mikaela me
Alex dan Diana memeriksa setiap sudut ruangan untuk menemukan keberadaan akar mantra tersebut. Tidak ada satu sudut pun yang lolos dari pemeriksaan. Entah berapa lama waktu berlalu, tapi Alex mulai merasa lelah. "Selain tempat ini masih ada lagi?" tanya Alex. "Ehm... Kita belum melihat semuanya." Alex menatap Diana, "Di mana?" "Itu." Diana menunjuk ke sebuah titik. Alex mengangkat kepala. Siapa sangka ada rak buku tersembunyi di atas sebuah pilar besar. Siapa pun yang tanpa sengaja melihat ke atas tidak akan dapat menemukannya. "Sepertinya aku harus memanjat." Alex menghela nafas. "Ada tangga di sana." Diana menunjuk ke bawah pilar. Benar saja, ada anak tangga yang dipahat pada pilar. Tangga melingkar itu baru menunjukkan wujudnya setelah mereka benar-benar memperhatikan. "Pikiranmu rumit sekali, Princess." Alex terseny