Tengah malam Diana terbangun oleh bunyi dering yang tidak putus. Tangannya menggapai-gapai ke atas meja kecil di samping tempat tidur.
"Halo..." Suara Diana serak karena baru saja terbangun. "Hai Princess..., I miss you." "Alex, kamu masih di club?" "Sebentar lagi aku mau pulang. Kamu mau ke tempatku?" "Sekarang??" Rasa kantuk Diana langsung lenyap. "Aku sudah menunggu di bawah." "Apa?" "Kutunggu." Secepat yang memungkinkan Diana cuci muka dan sikat gigi. Hatinya berdebar menantikan pertemuan tengah malam ini. Alex tidak terdengar lelah. Apa rencananya? Diana memakai kaos dan legging selutut, menyambar tas selempangnya lalu berlari turun. Dimana Alex? Diana celingak-celinguk sesaat. Alex keluar dari mobilnya dan melambai. Diana bergegas menghampiri Alex yang langsung memeluknya erat. Kalau tidak dicegah lelaki ini pasti akan menciumnya. "No, Alex. Aku bukan exhibitionist," gerutu Diana. "Setiap orang punya sisi liar dalam diri mereka, Princess. Aku hanya belum mengetahui apa sisi liarmu," goda Alex. "Ehm..., memangnya kamu mau kemana tengah malam begini?" Diana mengalihkan topik pembicaraan. "Aku ingin beristirahat lebih cepat malam ini tanpa minum obat tidur. Maukah kamu menemaniku?" "Yang benar? Kamu minum obat tidur?" "Benar Princess. Aku menderita insomnia tapi anehnya aku bisa tidur nyenyak saat ada di dekatmu." "Ah, mungkin cuma kebetulan." "Aku tidak percaya pada faktor kebetulan." Diana mengingatkan dirinya untuk tetap waspada saat berduaan dengan Alex. Jangan sampai terlena dan membiarkannya mencari kesempatan. Mobil melaju di jalanan yang lengang. Alex memutar lagu instrumental romantis. Sesekali dia melirik Diana lewat kaca spion. Dia tersenyum melihat kewaspadaan di wajah Diana. Alex memarkir mobilnya di basement. Mereka berdua turun dari mobil dengan perasaan yang berbeda. Alex menempelkan kartu akses di plat yang tersedia di lift dan mereka pun bergerak naik ke penthouse. Jantung Diana berdebar sangat kencang. Dia setengah menyesali keputusannya untuk ikut Alex kemari. Bagaimana kalau lelaki ini memaksanya? Dia tidak akan punya kesempatan untuk melarikan diri, bukan? "Apa yang kamu pikirkan? Kelihatannya otakmu sibuk sekali?" Alex tersenyum geli. "Aku memikirkan cara untuk kabur dari sini." "Apa? Kamu serius?" Tawa Alex meledak. Pintu lift terbuka di lantai tiga puluh dan Alex mendahului keluar. Diana masih tertakjub dengan penthouse Alex yang berukuran sepuluh kali lipat dari apartemennya. "Anggap saja rumah sendiri. Aku mau mandi sebentar." Alex menarik lepas kaosnya dari atas kepala. Diana menahan nafas melihat tubuh Alex. "Kamu suka dengan yang kamu lihat?" Alex mendekati Diana dengan langkah perlahan seperti predator mendekati mangsa. "Biasa saja..." Diana memalingkan wajah. Alex mengangkat dagu Diana, mata mereka bertatapan, "Are you sure?" Diana tidak sempat berpikir. Alex menunduk dan mencium bibirnya. Ketika Diana hendak bergerak mundur kedua tangan Alex menangkap tubuh mungil Diana dan menariknya mendekat. Alex memperdalam ciuman, lidahnya menggoda Diana untuk membuka bibir. Kedua tangan Diana berpegangan pada bahu Alex untuk menopang kakinya yang lunglai. "Kamu menginginkanku, Princess... Kalau tidak kamu tidak akan membalas ciumanku...," bisik Alex dengan suara yang serak oleh hasrat. Diana mengerang lemah saat Alex kembali menciumnya. Apa yang dikatakan Alex mungkin benar, tapi Diana akan bertahan sekuat tenaga. Kedua tangannya mendorong dada Alex. "Berhenti." Diana memalingkan wajah, nafasnya memburu. "Kenapa Princess? Kamu takut aku akan memanfaatkanmu?" "Tentu saja! Aku tidak akan menyerah begitu saja." Alex kagum melihat pertahanan Diana, padahal dia mengira Diana sudah terlena dalam pelukannya. Alex mencium dahi Diana dengan lembut dan melepasnya. Diana menatap curiga. "Aku menghargaimu, Princess. Aku berjanji tidak akan menyentuhmu jika kamu tidak menginginkannya." Alex tersenyum menawan. "Thanks..." Diana tersenyum lemah. Keinginannya terpenuhi, tapi kenapa dia merasa sedikit kecewa? "Aku mandi sebentar. Tunggulah dimana saja." Alex menghilang ke dalam kamar mandi. Tidak lama terdengar suara air mengalir. Diana menghela nafas. Bagi Diana bisa mengenal Alex adalah suatu misteri yang terjadi dalam kehidupannya yang biasa-biasa saja. Umurnya sudah dua puluh lima tahun dan belum pernah berpacaran. Setiap kali ada lelaki yang mendekati dia pasti akan menolaknya. Jadi Alex adalah kasus langka dimana Diana membiarkannya mendekat. Alex keluar dari kamar mandi hanya dengan balutan handuk di pinggang. Diana berusaha keras untuk tidak memandangi Alex karena lelaki itu terlihat sangat seksi. Hingga saat ini Diana bahkan tidak menyangka kalau lelaki juga bisa diberi predikat seksi seperti wanita. "Kamu mau makan sesuatu?" tanya Alex. Dia sudah memakai celana panjang dan masih bertelanjang dada. Alex suka melihat Diana berjuang keras untuk tidak menatap tubuhnya. "Aku tidak makan larut malam," sahut Diana. Alex mengambil sekarton jus jeruk dari kulkas dan dua buah gelas dari bufet. Dia menuangkan jus jeruk ke gelas. "Minumlah dulu. Tidak perlu jauh-jauh, aku tidak menerkam kok." Mata Alex berkilat nakal. "Thanks." Diana mengangkat gelas dan meminum isinya. Setelah itu dia menyesal, bagaimana kalau Alex mencampur minumannya dengan obat? Alex nyaris tersedak melihat perubahan ekspresi Diana. Dia tertawa terbahak-bahak. "Kenapa sih? Heran," gerutu Diana. "Wajahmu terlihat seperti baru meminum racun." Alex mengusap airmata yang keluar karena tertawa terlalu keras. "Tenang saja Princess, aku bukan lelaki brengsek yang mencampur obat ke minuman wanita." "Maaf... Aku belajar dari pengalaman." Diana meletakkan gelas di tangannya dengan sangat hati-hati. "Aku mengerti." Alex tersenyum. "Kenapa hari ini pulang lebih cepat?" Diana mengalihkan topik pembicaraan. "Situasi di club aman dan aku ingin tidur nyenyak hari ini." "Oh, tapi kenapa mengajakku?" "Seperti kubilang tadi, aku bisa tidur nyenyak saat berada di dekatmu." "Aku tidak percaya." "Itu hakmu. Jangan khawatir, aku tidak akan menyentuhmu. Aku hanya ingin tidur." Diana mengikuti Alex ke dalam kamar. Alex berbaring dan menepuk-nepuk kasur di sisinya. Diana memanjat ke atas tempat tidur dan rebah dengan canggung. Alex menarik Diana mendekat. Lengannya melingkar di pinggang Diana. "Kamu harum sekali...," gumam Alex sebelum terlelap. Diana menoleh. Cepat sekali orang ini tertidur? Apakah yang dikatakan Alex benar? Bahwa dirinya hanya bisa tidur nyenyak saat berada di dekat Diana? Aneh. Diana memperhatikan Alex. Wajahnya memang tampan, bulumatanya saja lentik dan panjang, bibir yang selalu menciumnya itu terlihat pas, tidak terlalu tebal atau tipis. Diana membayangkan saat bibir mereka bersentuhan. Jantungnya berdebar. Lelaki seperti Alex ternyata memiliki bibir yang lembut. Tidak lama Diana pun ikut terlelap. Pagi-pagi sekali Diana tersentak bangun. Jam biologisnya tidak kalah akurat dengan jam weker. Diana selalu terbangun pada jam lima pagi. Gerakan itu membuat Alex ikut terbangun. Entah bagaimana caranya tapi posisi Diana sudah rebah di atas lelaki itu. "Hmmm...." Alex menggumam. Kedua tangannya menahan pinggang Diana supaya tidak bergerak. "Uh, aku harus bangun...." Diana menggeliat berusaha melepaskan diri. Alex mengerang, ""Baru jam berapa...? Kamu mau kemana pagi-pagi begini...?" Dia bergerak gelisah di bawah Diana. "Aku harus masuk kerja...." "Kamu kerja di hari Sabtu?" Diana tercengang, hari ini Sabtu?? Kenapa dia bisa lupa? "Mau harus pindah posisi...," kata Diana. "Kenapa? Aku nyaman kok." Diana menatap Alex dengan tatapan tidak percaya, "Aku tidak nyaman." "Padahal kamu berada di atasku. Bukankah nyaman seperti di atas kasur?" Sebuah senyum nakal terkembang di wajah Alex. Diana memekik saat Alex menggerakkan pinggulnya. Supaya tidak terguling jatuh Diana menurunkan kakinya ke sisi, membuat Alex berada di antara kakinya. "Kalau tidak mau terjadi sesuatu berhentilah bergerak Princess." Alex mengerang. Tubuhnya semakin bersemangat dengan perubahan posisi Diana. "Oh, apa yang kamu lakukan!" "Membuatmu diam." Alex sudah berguling ke sisi dan menindih Diana. Baginya lebih baik Diana berada di bawah, karena dia tidak dapat mengontrol pergerakannya saat berada di atas Alex. "Jauh lebih baik." Alex menghela nafas. Diana masih dapat merasakan ada sesuatu yang keras mengganjal di tubuhnya, tepatnya di antara kakinya. Diana berusaha untuk menggeliat pergi dari Alex tapi lelaki itu menahannya. Wajah Alex tampak sedang berjuang melawan sesuatu. "Aku tidak menyangka harus mengalami hal ini." Alex mengerang kesal. "Aku mau bangun!" Diana menggeliat lagi tanpa menyadari efek perbuatannya terhadap Alex. "Jangan bergerak seperti itu..." "Apa maksudmu?" "Tunggu sebentar, biar aku yang bergerak." "Cepat dong! Kenapa malah diam saja?" Diana tidak bisa menunggu. Dia tidak sabar untuk bebas dari pelukan Alex. Sebutir keringat mengalir di kening Alex. Dia bangkit dengan perlahan dan pergi ke kamar mandi. Diana menggerutu, "Apa susahnya sih bangun dari tempat tidur?" Alex harus melepaskan bebannya di kamar mandi, kalau tidak dia tidak akan berfungsi normal seperti laki-laki terhormat di dekat Diana. Setelah urusannya selesai Alex merasa lega dan keluar dari kamar mandi. Dilihatnya Diana mondar-mandir di dalam kamar. Apa lagi yang dipikirkan wanita itu? Diana mengangkat wajah melihat Alex yang berjalan mendekat. "Kenapa gelisah?" tanya Alex. "Ehm... Tidak. Tidak ada apa-apa," sahut Diana cepat-cepat. "Mencurigakan. Apa yang kamu pikirkan?" Alex mengangkat dagu Diana. "Tidak. Pikiranku kosong." Alex tersenyum geli, "Bagaimana kalau aku melanjutkan tidur? Kamu masih mau menemaniku?" "Baiklah. Tapi jangan mengurungku seperti tadi, aku klaustrofobia..." "Oh pantas saja. Sorry Princess, aku akan berusaha untuk tidak mengulanginya." "Oke." Sore hari mereka melaju dalam mobil menuju pantai. Alex memutuskan bahwa mereka perlu melepas ketegangan syaraf dengan berjalan-jalan di pantai. Sepanjang perjalanan Diana tampak antusias. Saat mobil sudah terparkir dengan baik Diana segera melompat turun. Wajahnya terlihat sangat gembira. Tanpa menunda lebih lama Diana berlari kecil ke tepi laut. Alex harus ikut berlari supaya dapat menyusul Diana. Mereka kemudian berjalan berdampingan di atas pasir. Semilir angin menyejukkan kulit. "Ke sana yuk!" Diana menunjuk ke tanggul pemecah ombak. "Kamu bisa berenang?" "Bisa dong! Aku tidak takut jatuh ke air! Ayo!" Diana pun mendahului Alex berjalan meniti tanggul. Dia menjerit senang saat deburan ombak terpecah di tanggul. Alex berjalan santai di belakang Diana. "Sudah lama aku tidak berjalan sampai sini!" seru Diana berusaha mengalahkan suara laut. Alex menatap air. Kelihatannya tidak terlalu dalam. Diana sedang asyik sendiri. Alex tersenyum. Tangannya mendorong Diana ke laut. Sedetik kemudian dia sendiri terjun dengan anggun ke dalam air. "Kamu gila!" Kepala Diana muncul di permukaan air. Alex tertawa dan tersedak karena menelan air laut. Diana berusaha mencekik Alex tapi calon korbannya berenang lebih cepat. Sebentar saja mereka sudah menyeret tubuh ke atas pasir. "Bagaimana kalau aku tenggelam?" Diana melotot kesal. "Makanya tadi aku tanya bisa berenang atau tidak." Alex masih belum bisa berhenti tertawa. Perutnya hampir kram. "Aku tidak ada pakaian ganti! Huhhh basah semua sampai ke dalam!" omel Diana. "Tenang saja. Aku bawa." Alex berdiri dan berjalan ke mobil. Dia mengambil selembar handuk besar dan tas kain. "Kamu sudah merencanakan ini ya??" "Ini, pakai." Alex memberikan tas kepada Diana. "Tutupi aku dong." "Oke Princess." Alex membentangkan handuk untuk menutupi Diana. "Kamu juga tutup mata!" Alex tertawa tapi melakukannya. "Sudah belum?" tanya Alex. "Belum!" seru Diana. "Sudah?" "Belum!" "Kenapa wanita kalau ganti pakaian lama sekali?" Diana melempar pakaian basahnya ke wajah Alex, "Sudah!" Alex meludahkan pasir yang masuk ke mulutnya. Dia menatap Diana dari ujung rambut ke ujung kaki. Baju kaos hitam miliknya tampak kebesaran di tubuh Diana tapi membuatnya terlihat menawan. "Aku tidak akan pernah mencuci baju itu lagi." Alex tersenyum. "Kata siapa aku akan mengembalikannya?" "Kamu nyaman memakai bajuku? Pakailah kalau begitu, dan anggaplah aku memelukmu setiap saat." "Gombal." Diana memalingkan wajah ke arah laut. "Tapi suka kan?" Alex menghampiri Diana dan meraih tangannya. Diana membiarkan Alex menggenggam tangannya.Setiap malam Alex memiliki keinginan mampir di apartemen Diana untuk sekedar tidur. Sampai sekarang Alex tidak menemukan jawaban kenapa dia dapat tidur nyenyak ketika berdekatan dengan Diana. Apakah karena aroma tubuh Diana yang khas? Malam ini tidak ada kejadian yang berkesan di club. Seperti biasa wanita-wanita tidak berhenti menggoda dirinya. Alex menanggapi dengan cuek. Dia sudah tidak berminat terhadap mereka. Sekarang sudah jam satu pagi. Apakah Diana akan terbangun kalau ditelepon? Alex tahu Diana harus bangun pagi untuk bekerja, tapi dia tidak dapat menahan keinginannya. Dia harus mencari jalan keluar untuk mengatasi perbedaan waktu mereka. Nada sambung pertama berbunyi sampai habis. Alex langsung men-dial ulang. Nada sambung kedua pun berbunyi sampai habis. Baiklah. Mungkin Diana tidur nyenyak sampai tidak mendengar apapun. Jika keinginannya tidak tercapai, setidaknya Alex dapat me
Suara musik club menghentak liar sementara Alex dan Diana berada di lantai atas. Mereka sedang mengukur ruangan dengan langkah kaki. "Kamu lihat, ruangan ini sangat besar. Cukup untuk kita berdua. Aku bisa tambahkan meja untukmu disini." Alex menunjuk ke sudut di sebelah meja besar. "Hmmm.... Kamu benar. Di sini malah bisa tambah dua meja lagi." Diana melangkah dengan hati-hati. Dia membayangkan seperti apa rasanya duduk di dalam ruangan ini berdua saja dengan Alex. "Tidak. Aku mau tambah bufet di sisi sana." Alex menunjuk ke dinding di seberang mejanya. "Oh, kamu tidak ada ruangan pantry sih ya?" "Betul. Aku tidak mau membuat sekat tambahan atau menjebol dinding." Diana mengangguk perlahan. Dalam pikirannya dia dapat melihat seperti apa interior ruangan jika sudah terisi perabotan seperti dituturkan Alex. "Mulai berminat?" Alex mengerlin
Langkah Diana begitu berat saat berjalan ke ruangan Pak Albert yang berada tepat di sebelah ruangannya. Diana mengetuk pintu yang ditempeli plat bertuliskan 'HRD Manager'. "Masuk." Diana membuka pintu dan melangkah masuk. Pak Albert menatapnya dengan tajam. Kumis tebalnya miring sebelah mengikuti ekspresi wajah. "Duduk," perintah Pak Albert. "Ada apa Pak?" "Kamu yang jawab saya, ada apa denganmu?" "Maksudnya?" "Saya mendapat kabar bahwa kemarin kamu bolos kerja tanpa alasan, ternyata hanya untuk pacaran? Benar begitu?" tanya Pak Albert sambil sibuk menandatangani dokumen. "Kata siapa?" "Benar atau tidak?" Pak Albert kembali menatap Diana. "Saya bangun kesiangan, jam sepuluh. Jadi saya pikir percuma juga kalau datang ke kantor. Kemarin saya sedang tidak banyak pekerjaan juga." Diana memutuskan untuk ber
Setelah mendapat SP satu dan mengetahui fakta bahwa Rudy adalah orang yang membiusnya di club, Diana jadi enggan ke kantor. Pagi ini dia hanya berbaring di tempat tidur dengan mata menatap langit-langit. Alex yang mampir saat subuh masih terlelap. Hati Diana sangat sedih mendapatkan perlakuan tidak adil. Selama ini dirinya tidak pernah menyakiti orang lain dengan sengaja. Dia hanya menjalani hari dengan normal dan sebisa mungkin menghindari konflik. Sayangnya itu tidak cukup. Hembusan nafas Alex membuat leher Diana hangat. Dia berpikir seandainya dirinya memiliki sedikit kepribadian Alex yang bebas dan pemberani, mungkin orang tidak akan berani berbuat seenaknya, mungkin dia akan berani menampar Gladys yang bermulut lancang, mungkin dia akan berani membela diri di hadapan Pak Albert, mungkin dia akan berani melaporkan Rudy berdasarkan kesaksian Alex dan bukti rekaman CCTV dari club. Langit sudah semakin ter
Selesai dengan urusannya di kamar mandi Alex melangkah keluar dengan segar. Dia melihat Diana sedang sibuk di dapur. Jam berapa sekarang? Apakah Diana tidak berangkat kerja? Alex menuju dapur dengan penasaran. "Kamu tidak pergi kerja?" tanya Alex. "Malas," sahut Diana singkat. Tangannya bergerak lincah memotong bawang. Alex memperhatikan wanita mungil di hadapannya. Meskipun kepalanya tertunduk tapi dia masih bisa melihat pipi yang merona. Sepertinya Diana masih malu dengan sentuhan yang tidak disengaja tadi. "Baiklah. Aku akan menemanimu sepanjang hari ini," kata Alex senang. Diana melirik tangan Alex yang ada di atas meja. Tangannya besar dengan urat bertonjolan. Pantas saja sentuhannya membuat sakit. Diana kembali tertunduk malu. "Masih terasa sakit?" tanya Alex. Diana mengangguk. Alex membayangkan mengusap bagian dada Diana u
Diana menghela nafas. Matanya berkali-kali membaca surat pengunduran diri yang dia ketik di PC. Tidak ada orang yang dapat mengetahui apa yang dikerjakan Diana karena layar PC-nya membelakangi pintu ruangan. Setelah menghela nafas satu kali lagi Diana menyimpan ketikannya dengan nama file: RESIGN. Tadi pagi Pak Albert memanggilnya lagi karena membolos tanpa pemberitahuan untuk kedua kali. SP satu segera naik pangkat menjadi SP dua, yang berarti pemotongan gaji. Hal ini membuat hati Diana semakin tawar. Handphone Diana berbunyi nyaring. Loh, rupanya sudah jam setengah lima sore? Begitu asyiknya mengetik surat pengunduran diri sampai lupa waktu? Diana tertawa geli dengan tingkahnya sendiri. "Halo?" sapa Diana. "Hei Princess. Mau ke pantai?" tanya Alex tanpa basa-basi. "Sore begini? Nanti masuk angin loh..." "Aku bawa jaket untukmu." "Hah? Ukuran badanmu
Tengah malam tiba. Langit di luar hitam sepekat tinta. Alex dan Diana masih terlelap di tempat tidur dengan berbungkus selimut. "Mmmmh...." Diana menggumam. Tidurnya nyaris berakhir. Tanpa berusaha membuka mata Diana menggapai mencari handphone yang biasa dia letakkan di kepala tempat tidur. Mana handphonenya? Terlebih lagi, kenapa dia tidak dapat bergerak? Perlahan Diana membuka mata. Kegelapan pekat menyambut penglihatannya. Oh, lampu tidak dinyalakan. Dimana ini? Ini bukan kamarnya? Dan siapa ini yang sedang memeluknya? Tunggu sebentar, kenapa terasa dingin? Tangannya meraba ke dalam selimut dan menemukan bahwa tubuhnya telanjang. Panik, Diana mendorong tubuh yang berada di sisinya. "Owh.... Oh my God, Diana...," gerutu Alex yang terkena tamparan tepat di wajah. "Mana pakaianku??" Diana terus berusaha mendorong tubuh Alex menjauh d
Keadaan di kantor bertambah tidak nyaman bagi Diana. Pak Albert kini lebih sering berjalan melewati ruangannya dan melongok ke dalam. Gladys juga semakin berani dalam berkata-kata, membuat Diana membayangkan hal buruk terjadi atas diri Gladys. Kalau sesuka itu terhadap Alex kenapa tidak mendekatinya saja? Ya kan? Penghiburan Diana adalah membaca berulang-ulang surat pengunduran diri yang telah dia ketik rapi. Dia akan membuat semua orang terkejut. Tunggu saja tanggal mainnya. Diana sudah membayangkan akan menyerahkan surat pengunduran diri ini di akhir bulan. Sebuah pesan singkat masuk ke handphone Diana. Pasti Alex. Diana membacanya dengan wajah berseri. Alex tidak pernah absen mengirimkan pesan singkat sebelum menjemputnya di kantor. Dia membuat Diana menantikan waktu dengan gembira. Lima menit menjelang jam pulang kantor lantai atas sudah kosong. Pak Albert tidak mau berlama-lama di kantor karena dia harus men
Hari kepulangan Ben adalah hari yang dinantikan semua orang, bahkan Alex pun berpikiran baik terhadap ayah mertuanya. Cederanya belum pulih seratus persen, tapi sudah tidak membahayakan. Ben pun bisa berjalan sendiri meskipun lebih lemah dari biasanya. "Bagaimana keadaanmu?" Ben bertanya pada Alex saat hanya ada mereka berdua di ruang tamu. "Apa? Seharusnya aku yang bertanya padamu." Ben meringis menahan tawa, "Tidak boleh bertanya? Lupakan saja niat baikku." Alex berdeham, "Kenapa Anda menghalangi pukulan Lao Hu?" Ben menatap Alex dengan pandangan rumit, "Kenapa? Karena kalau kamu terluka putriku akan bersedih." "Aku mengerti." Alex tersenyum. Ada sesuatu yang menarik dalam pikiran Ben. "Kenapa kamu melindungiku?" Ben bertanya kembali. "Karena Anda ayah istriku." Hening sesaat. Kedua lelaki berbeda generasi itu tampak
Alex dan Diana duduk di kursi taman rumah sakit yang menghadap ke arah kamar VIP. Mereka menikmati suasana yang cukup sejuk sambil mengobrol ringan. "Untung kamu tidak cedera berat seperti waktu itu," kata Diana. "Cuma keretakan rusuk sedikit. Aku masih bisa bermesraan denganmu," goda Alex. "Kamu nih, kata dokter jangan banyak bergerak dulu. Biar tidak berat tapi kalau dipaksa cederanya bisa bertambah." "Cedera apa? Istriku kan mungil dan ringan." Alex mengecup pipi Diana. "Serius dong," gerutu Diana. "Lihat, orang itu sudah keluar." Alex melirik ke satu arah. Diana menoleh ke arah kamar pasien. Tampak Li Wei dan Mikaela berdiri berhadapan. "Kamu bilang mereka ada hubungannya?" tanya Diana. "Rasanya begitu." Terlihat Mikaela merentangkan tangan. Li Wei ragu, maka Mikaela maju untuk memeluknya. Diana te
Suasana dalam kamar VIP di rumah sakit menjadi tegang karena kedatangan Li Wei. Lelaki muda itu datang untuk menjenguk keluarga Hartanto, namun tujuan utamanya adalah untuk bertemu Diana. "Mau apa kemari?" tanya Alex. "Aku datang dengan niat baik. Tanya saja ibu mertuamu." Li Wei tersenyum dingin. "Tidak ada niat baik dalam kepalamu. Aku belum memberimu pelajaran atas apa yang kau lakukan terhadap Diana," geram Alex. "Memangnya kau punya kemampuan?" Li Wei bahkan tidak menatap Alex. Pandangan matanya melembut saat menemukan sosok Diana yang bersembunyi di belakang Alex. "Jaga matamu, Anak Kecil." Alex menghalangi pandangan mata Li Wei. "Mata jelas-jelas punyaku. Memangnya pemandangan di kamar ini punyamu?" ejek Li Wei. "Huss... Kalian ini. Di rumah sakit masih aja mau berkelahi...," desis Mikaela. Dia terpaksa menghampiri anak-anak muda k
"Kau! Cari mati!" Lao Hu menjerit histeris. Darah mengalir ke wajahnya. "Kau yang cari mati, Tua Bangka!" bentak Ben. Alex benar-benar melongo. Bukannya kedua lelaki ini sama-sama tua? Lao Hu merangsek ke arah Ben. Dia hendak menghabisi pengganggu tak terduga ini dalam satu pukulan. Alex tidak tinggal diam. Dia segera menyerang dari samping, tepat mengenai bagian sisi kepala Lao Hu. Walaupun terkena tendangan tapi reaksi Lao Hu masih luar biasa. Lengannya mengibas ke samping membuat tubuh Alex terlempar ke dinding. "Ben! Hati-hati!" seru Mikaela. "Jangan keluar! Tetap di dalam!" Ben berseru pada istrinya. Lao Hu menatap ke arah Mikaela. Tatapan matanya berubah ganas. Ben menempatkan dirinya di antara Mikaela dan Lao Hu. "Heh, wanita yang cantik. Setelah kalian lelaki-lelaki tak berguna ini mati, akan kurebut wanita kalian!" Lao Hu tertawa
Matahari tinggi di puncak langit. Sederetan mobil hitam parkir tidak beraturan di luar gerbang kediaman Hartanto. Beberapa orang penjaga berteriak-teriak mengusir para pendatang yang tidak tahu diri itu. Pintu mobil terbuka nyaris berbarengan. Selusin lelaki bertubuh besar berwajah garang melompat turun. Niko dan Lao Hu turun setelah formasi terbentuk. Teriknya matahari membuat Lao Hu memicingkan mata. "Ini rumahnya?" tanya Lao Hu. "Betul, Bos. Alex sedang berada di sini." jawab Niko dengan hormat. Lao Hu menggerakkan kepala sebagai kode untuk anak buahnya. Kompak, selusin lelaki bertubuh besar merobohkan pintu gerbang. Besi baja terlihat tak berguna di hadapan mereka. Para penjaga berhamburan dari dalam rumah, semua membawa tongkat atau senjata tumpul lainnya. Seketika terjadi pertarungan sengit di pekarangan. Lao Hu dan Niko berjalan melewati mereka seolah tidak ada a
Genderang perang sudah ditabuh. Lao Hu berangkat ke kediaman Hartanto bersama Niko dan selusin anak buah mereka. Mobil hitam melaju beriringan tanpa rintangan berarti. Jika saja langit berubah jadi gelap disertai kilat menyambar dan guntur bertalu, mereka akan mirip seperti utusan dari neraka. Sayangnya langit begitu cerah tanpa awan sedikit pun. "Bos, Shi Fu Li tidak ikut?" tanya Niko perlahan. "Dia sudah mengatakan bahwa hari ini baik. Aku percaya padanya," sahut Lao Hu yang bersandar memejamkan mata. "Oh, baik kalau begitu." Niko tidak berani bertanya lagi. "Bangunkan aku kalau sudah sampai," kata Lao Hu. "Baik, Bos." Kediaman Hartanto... Alex menyeret Jack ke pekarangan. Dia butuh sedikit gerak badan. Jack yang masih mengantuk terus-menerus menggerutu. "Bacotmu seperti anak perempuan," ledek Alex.
"Shi Fu, bagaimana... Tadi...." Lao Hu yang sudah dapat bergerak kini kebingungan seperti orang baru terbangun dari tidur panjang. "Istirahatlah dulu. Cari hari lain untuk menghadapi Alexander. Terlalu banyak kejutan hari ini, tidak baik." Li Wei termenung. Lao Hu merasa tidak rela, tapi dia tidak berani membantah perkataan seorang Shi Fu Li. Dia membungkukkan badan dengan hormat dan kembali ke kamar. Li Wei menghela nafas. Percakapan singkat dengan Mikaela mengangkat selubung kegelapan dalam hatinya. Ada baiknya juga mengikuti nasihat Mikaela, mungkin dengan demikian dia dapat merebut hati Diana seperti seorang lelaki sejati. Huh, wanita yang dicintai ayahnya memang hebat. Tidak memiliki ilmu apa-apa tapi kekuatannya luar biasa. Sayang, sungguh sangat disayangkan ayah pergi terlalu cepat. Li Wei ingin sekali mendengarkan lagi kisah percintaan itu dari mulut ayahnya, dengan perspektif yang berb
Firasat buruk datang seperti angin dingin di tengah malam, membuat tubuh tidak nyaman dan pikiran tidak tenang. Mikaela menatap dua anak muda yang masih memejamkan mata karena kelelahan mental yang baru saja mereka lalui. Bagaimana mereka bisa melawan musuh yang akan datang? Mikaela keluar dari kamar Diana. Raut wajah yang biasanya lembut kini terlihat penuh tekad. Dia masuk ke kamarnya untuk berbicara dengan Ben. Dilihatnya Ben sedang duduk di meja sambil melihat-lihat dokumen. "Sayang?" panggil Mikaela. "Hmm," gumam Ben acuh tak acuh. Mikaela tersenyum. Lelaki yang telah dinikahinya selama tiga puluh lima tahun ini tampak lelah. Dia meletakkan tangan di bahu Ben. "Bersikap baiklah terhadap Alex, Sayang. Bagaimanapun juga dia suami putri kita...," desah Mikaela. "Hmm." "Aku mau keluar sebentar ya. Tolong jaga anak-anak." Mikaela me
Alex dan Diana memeriksa setiap sudut ruangan untuk menemukan keberadaan akar mantra tersebut. Tidak ada satu sudut pun yang lolos dari pemeriksaan. Entah berapa lama waktu berlalu, tapi Alex mulai merasa lelah. "Selain tempat ini masih ada lagi?" tanya Alex. "Ehm... Kita belum melihat semuanya." Alex menatap Diana, "Di mana?" "Itu." Diana menunjuk ke sebuah titik. Alex mengangkat kepala. Siapa sangka ada rak buku tersembunyi di atas sebuah pilar besar. Siapa pun yang tanpa sengaja melihat ke atas tidak akan dapat menemukannya. "Sepertinya aku harus memanjat." Alex menghela nafas. "Ada tangga di sana." Diana menunjuk ke bawah pilar. Benar saja, ada anak tangga yang dipahat pada pilar. Tangga melingkar itu baru menunjukkan wujudnya setelah mereka benar-benar memperhatikan. "Pikiranmu rumit sekali, Princess." Alex terseny