Home / Romansa / Bukan Pilihan / Chapter 5 : Janji Seorang Lelaki

Share

Chapter 5 : Janji Seorang Lelaki

Author: Giovanna Bee
last update Last Updated: 2021-08-30 13:35:29

    Keesokan pagi ketika Diana tiba di kantor dia menyadari beberapa orang menatapnya dengan aneh, termasuk Rudy. Diana berusaha mengabaikan hal itu supaya dapat menjalani hari dengan normal. Ada apa dengan orang-orang? Kalau ada masalah bukankah lebih baik dibicarakan langsung daripada bergunjing di belakang? 

    Diana merapikan dokumen pengadaan barang sambil bernyanyi-nyanyi. Kalau saja Rudy tidak sok akrab melongok ke dalam, paginya pasti sempurna.

    "Wah, ada yang sedang gembira nih?" goda Rudy.

    "Biasa saja kok," sahut Diana cuek.

    "Apa karena pacarmu yang ganteng itu?"

    "Siapa?"

    "Yang kemarin sore menjemputmu itu loh, dengan mobil hitamnya yang keren?" Rudy senang karena berhasil mendapatkan perhatian Diana.

    "Maksudmu Alexander? Dia bukan pacarku." Diana mengangkat bahu.

    "Kok kalian terlihat mesra?"

    "Mesra sebagai teman--"

    "Hahaha aku tidak percaya!" Rudy memotong kata-kata Diana, "Kamu kan si Ratu Es yang tidak pernah membiarkan lelaki menyentuhmu? Tapi lelaki itu dengan santai memelukmu seolah barang miliknya."

    "Begitu ya? Kamu memperhatikan sekali sih?" Diana melanjutkan pekerjaannya merapikan dokumen. Malas meladeni omongan Rudy.

    "Kamu menolakku dengan alasan tidak mau pacaran tapi ternyata malah berdekatan dengan lelaki nakal seperti dia."

    "Memangnya kamu kenal Alexander?" Diana tidak terpengaruh pada provokasi Rudy.

    "Sudah sejauh apa hubunganmu dengan dia?"

    "Apa maksudmu?"

    "Seperti apa dia di tempat tidur? Aku berani bertaruh kalau kamu suka lelaki yang kasar."

    "Kamu bisa tanya dia langsung nanti." Diana memberi jeda pada kalimatnya sebelum menambahkan, "Kalau kamu berani."

    "Semua wanita sama saja, lain di mulut lain di hati. Kalau kamu memberiku kesempatan, aku bisa memuaskanmu," desis Rudy, sepasang matanya berkilat.

    "Masih mengungkit masa lalu? Kamu tidak bisa menerima penolakan dengan baik ya? Please, Rudy, dewasalah sedikit. Tidak semua yang kamu inginkan bisa kamu dapatkan!" Diana mulai kesal.

    "Kata siapa?"

    "Kataku barusan! Sekarang biarkan aku sendiri, aku banyak pekerjaan!"

    Wajah Rudy diliputi kemarahan. Dia menggebrak pintu ruangan Diana sebelum berjalan pergi. Rudy bersumpah akan melakukan apa saja untuk membalas sakit hatinya karena penolakan bertubi-tubi Diana. Sudah bagus dia mau menyapa setiap pagi dan memberi perhatian. Dasar wanita tidak tahu diuntung!

    Diana menekan pelipisnya. Nafasnya memburu karena emosi. Rudy benar-benar mengganggu dengan sikapnya yang kekanak-kanakan. Sudah empat bulan sejak dia menolak Rudy dan nyaris tidak ada satu hari pun dimana lelaki itu tidak menyindirnya.

    Untuk memperbaiki mood Diana memutuskan pergi ke pantry dan membuat minuman manis. Meminum sesuatu yang manis membantunya tetap bersemangat. Diana mengaduk dengan cepat supaya gula yang mengendap di dasar gelas cepat larut. Mendadak pintu pantry terbuka dan dua orang wanita masuk bersamaan. Mereka adalah Gladys dan Siera dari bagian keuangan. Diana bersikap cuek karena tidak pernah mengobrol akrab dengan mereka.

    "Hai, Diana," sapa Siera.

    "Hai juga," sahut Diana singkat.

    "Kemarin sore yang jemput siapa tuh? Ganteng banget. Pacar kamu ya?"

    "Teman."

    "Masaaa? Teman kok berpelukan?"

    "Di mana kamu kenal Alexander? Udah pernah diajak ke kamarnya di atas club?" tanya Gladys sambil mengerling nakal.

    "Belum lah."

    "Aku pernah sekali kesana. Wow, keren. Cara dia memperlakukan wanita benar-benar ahli...," Gladys menurunkan volume suara.

    Diana menatap Gladys dengan alis berkerut. Seriuskah dia? Hati Diana terasa panas.

    Gladys tertawa melihat ekspresi Diana, "Kamu belum? Sayang sekali. Mintalah baik-baik pada Alexander, aku percaya dia akan memberikannya dengan senang hati meskipun kamu wanita yang tidak berpengalaman."

    "Aku tidak berminat." Diana cepat-cepat keluar dari pantry sebelum kedua wanita itu melihat wajahnya yang memerah.

    Kembali ke ruangannya Diana menghempaskan tubuh di kursi. Kenapa hatinya panas? Apakah dia cemburu? Seharusnya tidak! Diana tidak mau menjadi wanita Alexander yang kesekian. Diana menatap gelasnya dengan kesal.

    Mood Diana bertambah buruk, membuatnya uring-uringan sepanjang hari. Semua orang mencicipi omelannya. Diana ingin hari ini cepat berlalu dan cepat pulang supaya bisa meratap di kamar.

    Tunggu dulu. Kenapa harus bersikap menyedihkan seperti itu? Pasti ada cara yang terbaik untuk melampiaskan kekesalan. Diana tahu! Jalan-jalan di mal dan berbelanja! Memikirkannya saja hati Diana menjadi sedikit lebih ringan. 

    Oke, dirinya akan bersenang-senang sore ini.

    Tepat jam lima Diana keluar dari ruangannya. Setengah jam yang lalu Alex sudah menelepon dan memberitahu  kalau sore ini dia akan datang menjemput. Tidak masalah, Alex bisa mengantarkannya ke mal. Diana berlari-lari kecil keluar gedung. Dilihatnya Alex sudah menunggu di posisi yang sama seperti kemarin. Diana berjalan ke arah lelaki itu--yang terlihat keren memakai jaket kulit dan pakaian serba hitam.

    "Hai Princess, merindukanku?" Alex memeluk dan mencium pipi Diana.

    "Ih, banyak yang lihat." Diana mendorong dada Alex.

    "Aku tidak peduli." Alex tertawa, gemas melihat tingkah Diana.

    "Tapi aku peduli." Diana cepat-cepat masuk ke mobil.

    Alex mengangkat bahu dan masuk ke bangku pengemudi. "Langsung pulang atau mau ikut denganku?"

    "Tidak dua-duanya. Aku mau ke mal."

    "Oh ya?"

    "Aku butuh refreshing," kata Diana menghindari bertatapan dengan Alex.

    Alex mengamati Diana, "Apakah terjadi sesuatu? Kamu terlihat kurang bersemangat." Alex menempelkan punggung tangannya di dahi Diana.

    "Aku baik-baik saja." Diana menepis tangan Alex dengan kesal. Entah sudah berapa banyak wanita yang disentuh tangan itu!

    "Tidak terlihat seperti itu, Princess. Mau bercerita? Aku pendengar yang baik kok."

    Diana merengut kesal, "Ada teman sekantor yang bercerita kalau dia pernah ke kamarmu."

    "Apa? Siapa?" Alex mengernyit. Rupanya ini masalahnya. 

    "Namanya Gladys."

    "Aku tidak ingat nama itu."

    Diana melengos, "Saking banyaknya sampai kamu tidak bisa mengingat nama mereka satu persatu?"

    Alex tersenyum geli melihat sikap Diana. Tangannya mengelus rambut wanita mungil yang sedang marah ini. Ingin rasanya menarik dan memeluk si mungil sampai kemarahannya lenyap.

    Diana lagi-lagi menepis tangan Alex.

    "Kamu cemburu?"

    Wajah Diana sontak memerah karena pertanyaan Alex. Dia tidak pernah berpikir bahwa ada rasa cemburu dalam hatinya. Kemarahan terhadap gaya hidup lelaki playboy mungkin, tapi bukan cemburu.

    "Kamu terlihat manis kalau marah." Alex mencondongkan tubuh ke arah Diana dan mencium pipinya.

    "Aku tidak cemburu. Aku cuma tidak habis pikir kenapa kamu berbuat seperti itu."

    "Berbuat seperti apa?"

    "Mengajak banyak wanita ke tempat tidur." Diana menunduk malu dengan kata-katanya sendiri.

    Alex tergelak, "Yang kuajak adalah wanita yang sudah berpengalaman, Princess. Mereka membutuhkannya sama seperti diriku, jadi sama-sama diuntungkan. No strings attached."

    Penjelasan Alex tidak membuat Diana merasa lebih baik. Rona di wajahnya tidak dapat lenyap.

    "Baiklah, bagaimana kalau begini? Aku berjanji tidak akan mengajak wanita lain ke kamar pribadiku lagi. Aku hanya akan membawamu."

    "Apa?" Diana mendelik. Janji Alex terdengar absurd. Bukankah sama saja lelaki itu berjanji untuk setia padanya? 

    "Cuma kamu, Princess."

    "Tapi... Kita bukan...," Diana sulit menemukan kata yang tepat.

    "Pacar?"

    Diana mengangguk.

    "Aku mau menjadi pacarmu. Kalau kamu tidak mau tidak apa-apa, yang penting aku mau, dan aku akan memperlakukanmu seperti itu," tutur Alex.

    Diana terpana. Logika Alex berbeda dengan manusia pada umumnya, dan dirinya secara khusus.

    "Hari ini aku akan menemanimu sampai puas." Dengan berkata demikian Alex melajukan mobilnya.

    Alexander memenuhi janjinya dan bersikap seperti seorang pacar yang baik terhadap Diana. Sepanjang jalan Alex menggenggam tangan Diana. Meskipun awalnya risih tapi lama-kelamaan Diana merasakan dirinya terbiasa dengan kehangatan Alex--bahkan menikmatinya. Diana juga menikmati tatapan iri hati dari wanita-wanita yang berpapasan dengan mereka.

    Diana sedang melihat-lihat pakaian di sebuah butik saat dia melihat Alex berbicara di handphone dengan gelisah. Apakah anak buahnya yang menelepon? Wajah Alex terlihat tegang. Apakah seharusnya dia berada di club daripada menemaninya jalan? Percakapan Alex selesai, dia menghampiri Diana.

    "Ada masalah?" tanya Diana.

    "Tidak penting. Yang lebih penting ada di depan mataku." Alex tersenyum.

    "Bagaimana kalau sesudah ini aku yang menemanimu ke club?"

    Alex menatapku, "Serius?"

    "Iya. Harus saling menguntungkan bukan?"

    Alex tersenyum lebar mendengar perkataanku, "Baiklah kalau itu yang kamu inginkan. Ada sesuatu yang kamu suka disini?"

    "Mmmm.... Ada sih, tapi--"

    Sebelum Diana menyelesaikan kalimatnya Alex sudah menyerahkan sebuah kartu kredit pada pramuniaga, "Ambil semua yang dilihat tadi."

    "Baik, Pak." Si pramuniaga terlihat senang. Dia segera membawa semua pakaian yang dipegang Diana ke kasir.

    "Eh, tunggu dulu...."

    "Tidak boleh menolak." Alex merangkul Diana dan mencium  pipinya.

    "Alex! Dilihat orang...."

    "Benar juga... Kita tunggu kalau sudah sampai di club...," bisik Alex di telinga Diana.

    "Bukan itu maksudku." Diana merona.

    Alex tersenyum geli, "Aku tahu, Princess. Aku sedang menggodamu."

    Diana melotot.

    Akhirnya mereka pun melaju ke club. Begitu tiba Alex langsung menarik Diana ke lantai atas, ruangan pribadinya. Terakhir kali berada disini Diana dalam keadaan pingsan, jadi dia tidak ingat apapun. Kamar Alex ternyata sangat rapi, tidak ada sedikitpun tanda-tanda kehadiran wanita. 

    Alex menutup pintu supaya hingar-bingar musik tidak mengganggu mereka. Dia memperhatikan Diana yang mengamati tiap sudut ruangan, seolah mengharapkan ada orang yang mendadak melompat keluar dari salah satu sudut.

    "Apa yang kamu cari?" Alex mendekati Diana.

    "Tidak ada. Kamar ini rapi sekali."

    "Tentu saja. Setiap hari ada housekeeper yang kukirim kemari untuk membersihkannya." Alex meraih pinggang Diana dan menariknya mendekat. Wanita mungilnya langsung mengangkat tangan untuk menahan.

    "Kamu tidak ada kerjaan di bawah?" Nafas Diana tercekat dengan sikap Alex.

    "Aku tidak dapat membiarkan apa yang ada di depan mata." Alex menunduk hingga hidung mereka bersentuhan. Dia merasakan tubuh Diana menegang dalam pelukannya.

    "Mau apa...," lirih Diana.

    Alex mencium bibir Diana dengan lembut. Dia senang mendengar suara desahan keluar dari bibir Diana, menandakan bahwa wanita ini menikmatinya. Alex mendorong lebih dalam dan seketika itu juga Diana menerimanya, bahkan mengimbangi gerakannya.

    Dibutuhkan segenap tekad Alex untuk tidak menyentuh Diana. Dia tidak ingin Diana melarikan diri darinya. Alex tahu, mendengar rekan sekantornya pernah berada di kamar ini sudah membuat Diana patah hati, jangan sampai dirinya menambahkan alasan bagi Diana untuk menjauhinya. 

    Reputasi Alex memang tidak baik, tapi dia mau mencoba untuk menjadi lebih baik. Dia ingin membuat Diana melihat sisi baik dirinya.

Related chapters

  • Bukan Pilihan   Chapter 6 : Tanggul Pemecah Ombak

    Tengah malam Diana terbangun oleh bunyi dering yang tidak putus. Tangannya menggapai-gapai ke atas meja kecil di samping tempat tidur. "Halo..." Suara Diana serak karena baru saja terbangun. "Hai Princess..., I miss you." "Alex, kamu masih di club?" "Sebentar lagi aku mau pulang. Kamu mau ke tempatku?" "Sekarang??" Rasa kantuk Diana langsung lenyap. "Aku sudah menunggu di bawah." "Apa?" "Kutunggu." Secepat yang memungkinkan Diana cuci muka dan sikat gigi. Hatinya berdebar menantikan pertemuan tengah malam ini. Alex tidak terdengar lelah. Apa rencananya? Diana memakai kaos dan legging selutut, menyambar tas selempangnya lalu berlari turun. Dimana Alex? Diana celingak-celinguk sesaat. Alex keluar dari mobilnya dan melambai. Diana bergegas menghampiri Alex yang langsung memeluknya erat. Kalau

    Last Updated : 2021-08-31
  • Bukan Pilihan   Chapter 7 : Penawaran Menarik

    Setiap malam Alex memiliki keinginan mampir di apartemen Diana untuk sekedar tidur. Sampai sekarang Alex tidak menemukan jawaban kenapa dia dapat tidur nyenyak ketika berdekatan dengan Diana. Apakah karena aroma tubuh Diana yang khas? Malam ini tidak ada kejadian yang berkesan di club. Seperti biasa wanita-wanita tidak berhenti menggoda dirinya. Alex menanggapi dengan cuek. Dia sudah tidak berminat terhadap mereka. Sekarang sudah jam satu pagi. Apakah Diana akan terbangun kalau ditelepon? Alex tahu Diana harus bangun pagi untuk bekerja, tapi dia tidak dapat menahan keinginannya. Dia harus mencari jalan keluar untuk mengatasi perbedaan waktu mereka. Nada sambung pertama berbunyi sampai habis. Alex langsung men-dial ulang. Nada sambung kedua pun berbunyi sampai habis. Baiklah. Mungkin Diana tidur nyenyak sampai tidak mendengar apapun. Jika keinginannya tidak tercapai, setidaknya Alex dapat me

    Last Updated : 2021-09-01
  • Bukan Pilihan   Chapter 8 : Perlakuan Tidak Adil

    Suara musik club menghentak liar sementara Alex dan Diana berada di lantai atas. Mereka sedang mengukur ruangan dengan langkah kaki. "Kamu lihat, ruangan ini sangat besar. Cukup untuk kita berdua. Aku bisa tambahkan meja untukmu disini." Alex menunjuk ke sudut di sebelah meja besar. "Hmmm.... Kamu benar. Di sini malah bisa tambah dua meja lagi." Diana melangkah dengan hati-hati. Dia membayangkan seperti apa rasanya duduk di dalam ruangan ini berdua saja dengan Alex. "Tidak. Aku mau tambah bufet di sisi sana." Alex menunjuk ke dinding di seberang mejanya. "Oh, kamu tidak ada ruangan pantry sih ya?" "Betul. Aku tidak mau membuat sekat tambahan atau menjebol dinding." Diana mengangguk perlahan. Dalam pikirannya dia dapat melihat seperti apa interior ruangan jika sudah terisi perabotan seperti dituturkan Alex. "Mulai berminat?" Alex mengerlin

    Last Updated : 2021-09-03
  • Bukan Pilihan   Chapter 9 : Surat Peringatan Pertama

    Langkah Diana begitu berat saat berjalan ke ruangan Pak Albert yang berada tepat di sebelah ruangannya. Diana mengetuk pintu yang ditempeli plat bertuliskan 'HRD Manager'. "Masuk." Diana membuka pintu dan melangkah masuk. Pak Albert menatapnya dengan tajam. Kumis tebalnya miring sebelah mengikuti ekspresi wajah. "Duduk," perintah Pak Albert. "Ada apa Pak?" "Kamu yang jawab saya, ada apa denganmu?" "Maksudnya?" "Saya mendapat kabar bahwa kemarin kamu bolos kerja tanpa alasan, ternyata hanya untuk pacaran? Benar begitu?" tanya Pak Albert sambil sibuk menandatangani dokumen. "Kata siapa?" "Benar atau tidak?" Pak Albert kembali menatap Diana. "Saya bangun kesiangan, jam sepuluh. Jadi saya pikir percuma juga kalau datang ke kantor. Kemarin saya sedang tidak banyak pekerjaan juga." Diana memutuskan untuk ber

    Last Updated : 2021-09-27
  • Bukan Pilihan   Chapter 10 : Lagi-lagi...

    Setelah mendapat SP satu dan mengetahui fakta bahwa Rudy adalah orang yang membiusnya di club, Diana jadi enggan ke kantor. Pagi ini dia hanya berbaring di tempat tidur dengan mata menatap langit-langit. Alex yang mampir saat subuh masih terlelap. Hati Diana sangat sedih mendapatkan perlakuan tidak adil. Selama ini dirinya tidak pernah menyakiti orang lain dengan sengaja. Dia hanya menjalani hari dengan normal dan sebisa mungkin menghindari konflik. Sayangnya itu tidak cukup. Hembusan nafas Alex membuat leher Diana hangat. Dia berpikir seandainya dirinya memiliki sedikit kepribadian Alex yang bebas dan pemberani, mungkin orang tidak akan berani berbuat seenaknya, mungkin dia akan berani menampar Gladys yang bermulut lancang, mungkin dia akan berani membela diri di hadapan Pak Albert, mungkin dia akan berani melaporkan Rudy berdasarkan kesaksian Alex dan bukti rekaman CCTV dari club. Langit sudah semakin ter

    Last Updated : 2021-09-27
  • Bukan Pilihan   Chapter 11 : Boleh Aku Ikut?

    Selesai dengan urusannya di kamar mandi Alex melangkah keluar dengan segar. Dia melihat Diana sedang sibuk di dapur. Jam berapa sekarang? Apakah Diana tidak berangkat kerja? Alex menuju dapur dengan penasaran. "Kamu tidak pergi kerja?" tanya Alex. "Malas," sahut Diana singkat. Tangannya bergerak lincah memotong bawang. Alex memperhatikan wanita mungil di hadapannya. Meskipun kepalanya tertunduk tapi dia masih bisa melihat pipi yang merona. Sepertinya Diana masih malu dengan sentuhan yang tidak disengaja tadi. "Baiklah. Aku akan menemanimu sepanjang hari ini," kata Alex senang. Diana melirik tangan Alex yang ada di atas meja. Tangannya besar dengan urat bertonjolan. Pantas saja sentuhannya membuat sakit. Diana kembali tertunduk malu. "Masih terasa sakit?" tanya Alex. Diana mengangguk. Alex membayangkan mengusap bagian dada Diana u

    Last Updated : 2021-09-29
  • Bukan Pilihan   Chapter 12 : Dejavu

    Diana menghela nafas. Matanya berkali-kali membaca surat pengunduran diri yang dia ketik di PC. Tidak ada orang yang dapat mengetahui apa yang dikerjakan Diana karena layar PC-nya membelakangi pintu ruangan. Setelah menghela nafas satu kali lagi Diana menyimpan ketikannya dengan nama file: RESIGN. Tadi pagi Pak Albert memanggilnya lagi karena membolos tanpa pemberitahuan untuk kedua kali. SP satu segera naik pangkat menjadi SP dua, yang berarti pemotongan gaji. Hal ini membuat hati Diana semakin tawar. Handphone Diana berbunyi nyaring. Loh, rupanya sudah jam setengah lima sore? Begitu asyiknya mengetik surat pengunduran diri sampai lupa waktu? Diana tertawa geli dengan tingkahnya sendiri. "Halo?" sapa Diana. "Hei Princess. Mau ke pantai?" tanya Alex tanpa basa-basi. "Sore begini? Nanti masuk angin loh..." "Aku bawa jaket untukmu." "Hah? Ukuran badanmu

    Last Updated : 2021-09-30
  • Bukan Pilihan   Chapter 13 : Kamar Kosong

    Tengah malam tiba. Langit di luar hitam sepekat tinta. Alex dan Diana masih terlelap di tempat tidur dengan berbungkus selimut. "Mmmmh...." Diana menggumam. Tidurnya nyaris berakhir. Tanpa berusaha membuka mata Diana menggapai mencari handphone yang biasa dia letakkan di kepala tempat tidur. Mana handphonenya? Terlebih lagi, kenapa dia tidak dapat bergerak? Perlahan Diana membuka mata. Kegelapan pekat menyambut penglihatannya. Oh, lampu tidak dinyalakan. Dimana ini? Ini bukan kamarnya? Dan siapa ini yang sedang memeluknya? Tunggu sebentar, kenapa terasa dingin? Tangannya meraba ke dalam selimut dan menemukan bahwa tubuhnya telanjang. Panik, Diana mendorong tubuh yang berada di sisinya. "Owh.... Oh my God, Diana...," gerutu Alex yang terkena tamparan tepat di wajah. "Mana pakaianku??" Diana terus berusaha mendorong tubuh Alex menjauh d

    Last Updated : 2021-09-30

Latest chapter

  • Bukan Pilihan   Chapter 149 : Pengakuan

    Hari kepulangan Ben adalah hari yang dinantikan semua orang, bahkan Alex pun berpikiran baik terhadap ayah mertuanya. Cederanya belum pulih seratus persen, tapi sudah tidak membahayakan. Ben pun bisa berjalan sendiri meskipun lebih lemah dari biasanya. "Bagaimana keadaanmu?" Ben bertanya pada Alex saat hanya ada mereka berdua di ruang tamu. "Apa? Seharusnya aku yang bertanya padamu." Ben meringis menahan tawa, "Tidak boleh bertanya? Lupakan saja niat baikku." Alex berdeham, "Kenapa Anda menghalangi pukulan Lao Hu?" Ben menatap Alex dengan pandangan rumit, "Kenapa? Karena kalau kamu terluka putriku akan bersedih." "Aku mengerti." Alex tersenyum. Ada sesuatu yang menarik dalam pikiran Ben. "Kenapa kamu melindungiku?" Ben bertanya kembali. "Karena Anda ayah istriku." Hening sesaat. Kedua lelaki berbeda generasi itu tampak

  • Bukan Pilihan   Chapter 148 : Berpamitan

    Alex dan Diana duduk di kursi taman rumah sakit yang menghadap ke arah kamar VIP. Mereka menikmati suasana yang cukup sejuk sambil mengobrol ringan. "Untung kamu tidak cedera berat seperti waktu itu," kata Diana. "Cuma keretakan rusuk sedikit. Aku masih bisa bermesraan denganmu," goda Alex. "Kamu nih, kata dokter jangan banyak bergerak dulu. Biar tidak berat tapi kalau dipaksa cederanya bisa bertambah." "Cedera apa? Istriku kan mungil dan ringan." Alex mengecup pipi Diana. "Serius dong," gerutu Diana. "Lihat, orang itu sudah keluar." Alex melirik ke satu arah. Diana menoleh ke arah kamar pasien. Tampak Li Wei dan Mikaela berdiri berhadapan. "Kamu bilang mereka ada hubungannya?" tanya Diana. "Rasanya begitu." Terlihat Mikaela merentangkan tangan. Li Wei ragu, maka Mikaela maju untuk memeluknya. Diana te

  • Bukan Pilihan   Chapter 147 : Berdamai

    Suasana dalam kamar VIP di rumah sakit menjadi tegang karena kedatangan Li Wei. Lelaki muda itu datang untuk menjenguk keluarga Hartanto, namun tujuan utamanya adalah untuk bertemu Diana. "Mau apa kemari?" tanya Alex. "Aku datang dengan niat baik. Tanya saja ibu mertuamu." Li Wei tersenyum dingin. "Tidak ada niat baik dalam kepalamu. Aku belum memberimu pelajaran atas apa yang kau lakukan terhadap Diana," geram Alex. "Memangnya kau punya kemampuan?" Li Wei bahkan tidak menatap Alex. Pandangan matanya melembut saat menemukan sosok Diana yang bersembunyi di belakang Alex. "Jaga matamu, Anak Kecil." Alex menghalangi pandangan mata Li Wei. "Mata jelas-jelas punyaku. Memangnya pemandangan di kamar ini punyamu?" ejek Li Wei. "Huss... Kalian ini. Di rumah sakit masih aja mau berkelahi...," desis Mikaela. Dia terpaksa menghampiri anak-anak muda k

  • Bukan Pilihan   Chapter 146 : Ben Turun Tangan

    "Kau! Cari mati!" Lao Hu menjerit histeris. Darah mengalir ke wajahnya. "Kau yang cari mati, Tua Bangka!" bentak Ben. Alex benar-benar melongo. Bukannya kedua lelaki ini sama-sama tua? Lao Hu merangsek ke arah Ben. Dia hendak menghabisi pengganggu tak terduga ini dalam satu pukulan. Alex tidak tinggal diam. Dia segera menyerang dari samping, tepat mengenai bagian sisi kepala Lao Hu. Walaupun terkena tendangan tapi reaksi Lao Hu masih luar biasa. Lengannya mengibas ke samping membuat tubuh Alex terlempar ke dinding. "Ben! Hati-hati!" seru Mikaela. "Jangan keluar! Tetap di dalam!" Ben berseru pada istrinya. Lao Hu menatap ke arah Mikaela. Tatapan matanya berubah ganas. Ben menempatkan dirinya di antara Mikaela dan Lao Hu. "Heh, wanita yang cantik. Setelah kalian lelaki-lelaki tak berguna ini mati, akan kurebut wanita kalian!" Lao Hu tertawa

  • Bukan Pilihan   Chapter 145 : Naga dan Harimau

    Matahari tinggi di puncak langit. Sederetan mobil hitam parkir tidak beraturan di luar gerbang kediaman Hartanto. Beberapa orang penjaga berteriak-teriak mengusir para pendatang yang tidak tahu diri itu. Pintu mobil terbuka nyaris berbarengan. Selusin lelaki bertubuh besar berwajah garang melompat turun. Niko dan Lao Hu turun setelah formasi terbentuk. Teriknya matahari membuat Lao Hu memicingkan mata. "Ini rumahnya?" tanya Lao Hu. "Betul, Bos. Alex sedang berada di sini." jawab Niko dengan hormat. Lao Hu menggerakkan kepala sebagai kode untuk anak buahnya. Kompak, selusin lelaki bertubuh besar merobohkan pintu gerbang. Besi baja terlihat tak berguna di hadapan mereka. Para penjaga berhamburan dari dalam rumah, semua membawa tongkat atau senjata tumpul lainnya. Seketika terjadi pertarungan sengit di pekarangan. Lao Hu dan Niko berjalan melewati mereka seolah tidak ada a

  • Bukan Pilihan   Chapter 144 : Tenang Sebelum Badai

    Genderang perang sudah ditabuh. Lao Hu berangkat ke kediaman Hartanto bersama Niko dan selusin anak buah mereka. Mobil hitam melaju beriringan tanpa rintangan berarti. Jika saja langit berubah jadi gelap disertai kilat menyambar dan guntur bertalu, mereka akan mirip seperti utusan dari neraka. Sayangnya langit begitu cerah tanpa awan sedikit pun. "Bos, Shi Fu Li tidak ikut?" tanya Niko perlahan. "Dia sudah mengatakan bahwa hari ini baik. Aku percaya padanya," sahut Lao Hu yang bersandar memejamkan mata. "Oh, baik kalau begitu." Niko tidak berani bertanya lagi. "Bangunkan aku kalau sudah sampai," kata Lao Hu. "Baik, Bos." Kediaman Hartanto... Alex menyeret Jack ke pekarangan. Dia butuh sedikit gerak badan. Jack yang masih mengantuk terus-menerus menggerutu. "Bacotmu seperti anak perempuan," ledek Alex.

  • Bukan Pilihan   Chapter 143 : Perubahan

    "Shi Fu, bagaimana... Tadi...." Lao Hu yang sudah dapat bergerak kini kebingungan seperti orang baru terbangun dari tidur panjang. "Istirahatlah dulu. Cari hari lain untuk menghadapi Alexander. Terlalu banyak kejutan hari ini, tidak baik." Li Wei termenung. Lao Hu merasa tidak rela, tapi dia tidak berani membantah perkataan seorang Shi Fu Li. Dia membungkukkan badan dengan hormat dan kembali ke kamar. Li Wei menghela nafas. Percakapan singkat dengan Mikaela mengangkat selubung kegelapan dalam hatinya. Ada baiknya juga mengikuti nasihat Mikaela, mungkin dengan demikian dia dapat merebut hati Diana seperti seorang lelaki sejati. Huh, wanita yang dicintai ayahnya memang hebat. Tidak memiliki ilmu apa-apa tapi kekuatannya luar biasa. Sayang, sungguh sangat disayangkan ayah pergi terlalu cepat. Li Wei ingin sekali mendengarkan lagi kisah percintaan itu dari mulut ayahnya, dengan perspektif yang berb

  • Bukan Pilihan   Chapter 142 : Rahasia Mikaela

    Firasat buruk datang seperti angin dingin di tengah malam, membuat tubuh tidak nyaman dan pikiran tidak tenang. Mikaela menatap dua anak muda yang masih memejamkan mata karena kelelahan mental yang baru saja mereka lalui. Bagaimana mereka bisa melawan musuh yang akan datang? Mikaela keluar dari kamar Diana. Raut wajah yang biasanya lembut kini terlihat penuh tekad. Dia masuk ke kamarnya untuk berbicara dengan Ben. Dilihatnya Ben sedang duduk di meja sambil melihat-lihat dokumen. "Sayang?" panggil Mikaela. "Hmm," gumam Ben acuh tak acuh. Mikaela tersenyum. Lelaki yang telah dinikahinya selama tiga puluh lima tahun ini tampak lelah. Dia meletakkan tangan di bahu Ben. "Bersikap baiklah terhadap Alex, Sayang. Bagaimanapun juga dia suami putri kita...," desah Mikaela. "Hmm." "Aku mau keluar sebentar ya. Tolong jaga anak-anak." Mikaela me

  • Bukan Pilihan   Chapter 141 : Menghancurkan Mantra

    Alex dan Diana memeriksa setiap sudut ruangan untuk menemukan keberadaan akar mantra tersebut. Tidak ada satu sudut pun yang lolos dari pemeriksaan. Entah berapa lama waktu berlalu, tapi Alex mulai merasa lelah. "Selain tempat ini masih ada lagi?" tanya Alex. "Ehm... Kita belum melihat semuanya." Alex menatap Diana, "Di mana?" "Itu." Diana menunjuk ke sebuah titik. Alex mengangkat kepala. Siapa sangka ada rak buku tersembunyi di atas sebuah pilar besar. Siapa pun yang tanpa sengaja melihat ke atas tidak akan dapat menemukannya. "Sepertinya aku harus memanjat." Alex menghela nafas. "Ada tangga di sana." Diana menunjuk ke bawah pilar. Benar saja, ada anak tangga yang dipahat pada pilar. Tangga melingkar itu baru menunjukkan wujudnya setelah mereka benar-benar memperhatikan. "Pikiranmu rumit sekali, Princess." Alex terseny

DMCA.com Protection Status