Tengah malam tiba. Langit di luar hitam sepekat tinta. Alex dan Diana masih terlelap di tempat tidur dengan berbungkus selimut.
"Mmmmh...." Diana menggumam. Tidurnya nyaris berakhir. Tanpa berusaha membuka mata Diana menggapai mencari handphone yang biasa dia letakkan di kepala tempat tidur. Mana handphonenya? Terlebih lagi, kenapa dia tidak dapat bergerak? Perlahan Diana membuka mata. Kegelapan pekat menyambut penglihatannya. Oh, lampu tidak dinyalakan. Dimana ini? Ini bukan kamarnya? Dan siapa ini yang sedang memeluknya? Tunggu sebentar, kenapa terasa dingin? Tangannya meraba ke dalam selimut dan menemukan bahwa tubuhnya telanjang. Panik, Diana mendorong tubuh yang berada di sisinya. "Owh.... Oh my God, Diana...," gerutu Alex yang terkena tamparan tepat di wajah. "Mana pakaianku??" Diana terus berusaha mendorong tubuh Alex menjauh dKeadaan di kantor bertambah tidak nyaman bagi Diana. Pak Albert kini lebih sering berjalan melewati ruangannya dan melongok ke dalam. Gladys juga semakin berani dalam berkata-kata, membuat Diana membayangkan hal buruk terjadi atas diri Gladys. Kalau sesuka itu terhadap Alex kenapa tidak mendekatinya saja? Ya kan? Penghiburan Diana adalah membaca berulang-ulang surat pengunduran diri yang telah dia ketik rapi. Dia akan membuat semua orang terkejut. Tunggu saja tanggal mainnya. Diana sudah membayangkan akan menyerahkan surat pengunduran diri ini di akhir bulan. Sebuah pesan singkat masuk ke handphone Diana. Pasti Alex. Diana membacanya dengan wajah berseri. Alex tidak pernah absen mengirimkan pesan singkat sebelum menjemputnya di kantor. Dia membuat Diana menantikan waktu dengan gembira. Lima menit menjelang jam pulang kantor lantai atas sudah kosong. Pak Albert tidak mau berlama-lama di kantor karena dia harus men
Dalam keadaan seperti ini Diana tidak protes saat Alex membawanya pulang ke penthouse. Dia juga tidak protes saat Alex membantu melepas pakaiannya yang robek. Diana memakai pakaian yang diberikan, sebuah kaos hitam yang kebesaran. Alex merebahkan Diana di tempat tidur dan membungkusnya rapat-rapat dengan selimut. Perlahan tangan Diana meraih tangan Alex. Dia butuh rasa aman. Mereka berpegangan tangan di atas selimut. "Kok kamu bisa tahu...?" tanya Diana lirih. "Aku bertemu wanita yang bernama Gladys di depan kantormu. Dia berusaha menarik perhatianku dengan mencolok, tapi matanya sesekali melirik ke lantai atas gedung. Karena kamu tidak keluar juga, aku langsung tahu kalau ada yang tidak beres." Diana terisak pelan. "Kamu sudah aman sekarang Princess." Alex meremas tangan Diana dalam genggamannya, "Jika ada yang berani menyakitimu aku akan mematahkan tulang-tulang di tubuhnya."&nbs
Tidak semua orang mengenal latar belakang keluarga Diana Putri. Di kota ini Diana hanya dipandang sebagai seorang wanita muda yang lugu, belum pernah berpacaran, dan pastinya masih suci. Apalagi Diana hanya bekerja di kantor biasa sebagai karyawan biasa. Secara keseluruhan Diana adalah seorang wanita yang cantik, namun tidak ada seorang lelaki pun yang mampu mencairkan hatinya yang dingin. Ayahnya, Benyamin Hartanto, adalah seorang konglomerat yang rendah hati. Benyamin menguasai bisnis retail, suplemen kesehatan, dan barang antik. Hartanya berlimpah, tapi dia tidak pernah memanjakan anak-anaknya dengan kekayaan. Maka Diana dan kakak lelakinya tinggal di kota yang berbeda dan bekerja untuk menghidupi diri mereka sendiri. Ibunya, Mikaela Hartanto, adalah seorang wanita dari keluarga biasa yang ditaksir Benyamin sewaktu muda. Sama seperti Diana sekarang, Mikaela muda adalah seorang wanita yang tidak mudah membuka hati terhadap lela
Diana membenamkan wajah di dada Alex. Matanya terpejam menikmati detak jantung dan aroma tubuh Alex yang maskulin. Semua hal itu membuat Diana merasa nyaman. Entah kenapa mengetahui dirinya bersandar di sisi tato kepala naga menambahkan rasa aman dalam hati Diana. Apakah yang dikatakan Alex benar? Bahwa naga adalah makhluk mistis pelindung keluarganya? Jari-jari Diana menelusuri torehan tinta hitam yang membentuk gambar kepala naga. Mulut sang naga yang menganga menimbulkan kesan seolah dapat menggigit jarinya. Diana mengusir pikiran itu jauh-jauh. Naga cuma ada dalam dongeng anak kecil. Alex masih membutuhkan tidur supaya dirinya dapat aktif dan waspada di malam hari. Diana menemani dengan baik--sambil menekuni tatonya. Siangnya Alex memesankan makan siang untuk mereka dari salah satu restoran bintang empat. Diana menikmati makan siangnya yang lezat, sedangkan Alex lebih menikmati Diana daripada
Saat masih muda Alex telah kehilangan keluarganya. Bukan karena kecelakaan, tapi karena kedengkian lawan bisnis ayahnya. Alex yang saat itu pergi diam-diam dari rumah untuk ikut serta di arena tarung bebas ilegal lolos dari pembantaian. Dia berhasil bangkit dari keterpurukan dan membalas dendam pada pembunuh keluarganya. Alex tidak membunuh, dia membuat situasi korbannya begitu buruk hingga mengakhiri hidup sendiri. Pengalaman hidup yang pahit membentuk Alex menjadi seorang lelaki yang tidak percaya pada siapa pun. Kepribadian inilah yang membantunya dalam membangun bisnis dari nol. Kawan dia sambut, lawan dihadapi dengan tangan besi. Alex membuat dirinya dikenal semua orang, terutama mereka yang bergerak dalam bisnis hiburan malam. Lawan-lawan Alex telah berusaha menggunakan berbagai cara untuk menjatuhkannya, tapi dia terlalu pandai. Bahkan wanita-wanita cantik yang dikirimkan tidak satu pun yang mampu memikat hati Alex. Wanita-wanit
"Bagaimana rasanya bisa melihat pikiran orang lain? Tidak ada yang bisa menyembunyikan sesuatu darimu dong?" tanya Diana. Matanya menatap Alex dengan takjub. "Hmm... Tidak setiap saat aku bisa melakukannya dan rasanya tidak selalu menyenangkan. Tapi, ya, hal itu sangat berguna untukku. Terutama dalam pekerjaan." "Seandainya aku juga bisa," keluh Diana. Alex tertawa, "Untungnya tidak." "Huh, menyebalkan." "Ehm... Mengenai apa yang kamu pikirkan tadi. Kamu ada rencana untuk melakukannya dalam waktu dekat?" Suara Alex penuh godaan. "Tidak, Alex! Memikirkan belum tentu melakukan!" "Kapan saja kamu siap, beri tahu aku." Alex mengerling. "Kamu tidak pergi ke club hari ini? Sudah hampir waktunya kan?" Diana mengalihkan topik pembicaraan. "Mereka bisa menunggu." Alex menangkap Diana yang hendak melarikan diri darinya, "Sekaran
"Jadi si b*ngsat itu menunjukkan kelemahannya juga sekarang. Amati terus apa yang mereka perbuat. Catat waktu hingga ke detik-detiknya. Aku tidak akan melewatkan kesempatan untuk menjatuhkan anak sombong itu!" "Siap Bos!" Sekelompok lelaki berbadan besar yang sedari tadi mendengarkan kicauan bos mereka dengan patuh kini bergerak keluar dari ruangan. Apa yang disampaikan oleh bos harus dilaksanakan. Kalau tidak nyawa taruhannya. Tinggallah seorang lelaki berambut putih duduk di belakang meja besar yang dipahat dari sebongkah kayu. Wajahnya keras dan kasar dimakan usia. Di bagian kiri wajahnya ada bekas luka yang membujur miring dari tengah dahi ke pipi. Mata yang dilalui oleh bekas luka itu berwarna putih karena rusak. Nama lelaki itu adalah John. Tidak ada yang tahu nama belakangnya. Dia hanya memberitahukan nama belakangnya pada orang yang hampir mati. Sebelum Alexander menjadi kuat seperti se
Seharusnya sore ini Diana sudah dalam perjalanan kembali. Alex menghitung, dia bisa memperkirakan berapa lama waktu yang dibutuhkan bagi Diana untuk berangkat dari kota tempat orangtuanya tinggal menuju ke kota ini. Jika jalanan bebas hambatan perjalanan hanya membutuhkan waktu tiga jam. Satu malam tanpa kehadiran Diana membuat Alex tidak dapat tidur karena insomnia yang diderita. Meskipun demikian dia tidak mau minum obat tidur lagi. Apa artinya satu malam dibanding selamanya? Matahari mulai turun ke peraduannya. Langit berubah warna. Alex mondar-mandir dengan gelisah di dalam kamar ketika waktu yang dia perhitungkan terlewati. Ada secercah perasaan tidak nyaman yang tidak dapat dia singkirkan. Untuk menghilangkan kecemasan Alex mencoba menelepon. Diana tidak menjawab panggilan teleponnya. Alex mencoba beberapa kali lagi. Hasilnya sama saja. Apakah Diana tidak mendengar dering handphonenya? Ataukah handpho
Hari kepulangan Ben adalah hari yang dinantikan semua orang, bahkan Alex pun berpikiran baik terhadap ayah mertuanya. Cederanya belum pulih seratus persen, tapi sudah tidak membahayakan. Ben pun bisa berjalan sendiri meskipun lebih lemah dari biasanya. "Bagaimana keadaanmu?" Ben bertanya pada Alex saat hanya ada mereka berdua di ruang tamu. "Apa? Seharusnya aku yang bertanya padamu." Ben meringis menahan tawa, "Tidak boleh bertanya? Lupakan saja niat baikku." Alex berdeham, "Kenapa Anda menghalangi pukulan Lao Hu?" Ben menatap Alex dengan pandangan rumit, "Kenapa? Karena kalau kamu terluka putriku akan bersedih." "Aku mengerti." Alex tersenyum. Ada sesuatu yang menarik dalam pikiran Ben. "Kenapa kamu melindungiku?" Ben bertanya kembali. "Karena Anda ayah istriku." Hening sesaat. Kedua lelaki berbeda generasi itu tampak
Alex dan Diana duduk di kursi taman rumah sakit yang menghadap ke arah kamar VIP. Mereka menikmati suasana yang cukup sejuk sambil mengobrol ringan. "Untung kamu tidak cedera berat seperti waktu itu," kata Diana. "Cuma keretakan rusuk sedikit. Aku masih bisa bermesraan denganmu," goda Alex. "Kamu nih, kata dokter jangan banyak bergerak dulu. Biar tidak berat tapi kalau dipaksa cederanya bisa bertambah." "Cedera apa? Istriku kan mungil dan ringan." Alex mengecup pipi Diana. "Serius dong," gerutu Diana. "Lihat, orang itu sudah keluar." Alex melirik ke satu arah. Diana menoleh ke arah kamar pasien. Tampak Li Wei dan Mikaela berdiri berhadapan. "Kamu bilang mereka ada hubungannya?" tanya Diana. "Rasanya begitu." Terlihat Mikaela merentangkan tangan. Li Wei ragu, maka Mikaela maju untuk memeluknya. Diana te
Suasana dalam kamar VIP di rumah sakit menjadi tegang karena kedatangan Li Wei. Lelaki muda itu datang untuk menjenguk keluarga Hartanto, namun tujuan utamanya adalah untuk bertemu Diana. "Mau apa kemari?" tanya Alex. "Aku datang dengan niat baik. Tanya saja ibu mertuamu." Li Wei tersenyum dingin. "Tidak ada niat baik dalam kepalamu. Aku belum memberimu pelajaran atas apa yang kau lakukan terhadap Diana," geram Alex. "Memangnya kau punya kemampuan?" Li Wei bahkan tidak menatap Alex. Pandangan matanya melembut saat menemukan sosok Diana yang bersembunyi di belakang Alex. "Jaga matamu, Anak Kecil." Alex menghalangi pandangan mata Li Wei. "Mata jelas-jelas punyaku. Memangnya pemandangan di kamar ini punyamu?" ejek Li Wei. "Huss... Kalian ini. Di rumah sakit masih aja mau berkelahi...," desis Mikaela. Dia terpaksa menghampiri anak-anak muda k
"Kau! Cari mati!" Lao Hu menjerit histeris. Darah mengalir ke wajahnya. "Kau yang cari mati, Tua Bangka!" bentak Ben. Alex benar-benar melongo. Bukannya kedua lelaki ini sama-sama tua? Lao Hu merangsek ke arah Ben. Dia hendak menghabisi pengganggu tak terduga ini dalam satu pukulan. Alex tidak tinggal diam. Dia segera menyerang dari samping, tepat mengenai bagian sisi kepala Lao Hu. Walaupun terkena tendangan tapi reaksi Lao Hu masih luar biasa. Lengannya mengibas ke samping membuat tubuh Alex terlempar ke dinding. "Ben! Hati-hati!" seru Mikaela. "Jangan keluar! Tetap di dalam!" Ben berseru pada istrinya. Lao Hu menatap ke arah Mikaela. Tatapan matanya berubah ganas. Ben menempatkan dirinya di antara Mikaela dan Lao Hu. "Heh, wanita yang cantik. Setelah kalian lelaki-lelaki tak berguna ini mati, akan kurebut wanita kalian!" Lao Hu tertawa
Matahari tinggi di puncak langit. Sederetan mobil hitam parkir tidak beraturan di luar gerbang kediaman Hartanto. Beberapa orang penjaga berteriak-teriak mengusir para pendatang yang tidak tahu diri itu. Pintu mobil terbuka nyaris berbarengan. Selusin lelaki bertubuh besar berwajah garang melompat turun. Niko dan Lao Hu turun setelah formasi terbentuk. Teriknya matahari membuat Lao Hu memicingkan mata. "Ini rumahnya?" tanya Lao Hu. "Betul, Bos. Alex sedang berada di sini." jawab Niko dengan hormat. Lao Hu menggerakkan kepala sebagai kode untuk anak buahnya. Kompak, selusin lelaki bertubuh besar merobohkan pintu gerbang. Besi baja terlihat tak berguna di hadapan mereka. Para penjaga berhamburan dari dalam rumah, semua membawa tongkat atau senjata tumpul lainnya. Seketika terjadi pertarungan sengit di pekarangan. Lao Hu dan Niko berjalan melewati mereka seolah tidak ada a
Genderang perang sudah ditabuh. Lao Hu berangkat ke kediaman Hartanto bersama Niko dan selusin anak buah mereka. Mobil hitam melaju beriringan tanpa rintangan berarti. Jika saja langit berubah jadi gelap disertai kilat menyambar dan guntur bertalu, mereka akan mirip seperti utusan dari neraka. Sayangnya langit begitu cerah tanpa awan sedikit pun. "Bos, Shi Fu Li tidak ikut?" tanya Niko perlahan. "Dia sudah mengatakan bahwa hari ini baik. Aku percaya padanya," sahut Lao Hu yang bersandar memejamkan mata. "Oh, baik kalau begitu." Niko tidak berani bertanya lagi. "Bangunkan aku kalau sudah sampai," kata Lao Hu. "Baik, Bos." Kediaman Hartanto... Alex menyeret Jack ke pekarangan. Dia butuh sedikit gerak badan. Jack yang masih mengantuk terus-menerus menggerutu. "Bacotmu seperti anak perempuan," ledek Alex.
"Shi Fu, bagaimana... Tadi...." Lao Hu yang sudah dapat bergerak kini kebingungan seperti orang baru terbangun dari tidur panjang. "Istirahatlah dulu. Cari hari lain untuk menghadapi Alexander. Terlalu banyak kejutan hari ini, tidak baik." Li Wei termenung. Lao Hu merasa tidak rela, tapi dia tidak berani membantah perkataan seorang Shi Fu Li. Dia membungkukkan badan dengan hormat dan kembali ke kamar. Li Wei menghela nafas. Percakapan singkat dengan Mikaela mengangkat selubung kegelapan dalam hatinya. Ada baiknya juga mengikuti nasihat Mikaela, mungkin dengan demikian dia dapat merebut hati Diana seperti seorang lelaki sejati. Huh, wanita yang dicintai ayahnya memang hebat. Tidak memiliki ilmu apa-apa tapi kekuatannya luar biasa. Sayang, sungguh sangat disayangkan ayah pergi terlalu cepat. Li Wei ingin sekali mendengarkan lagi kisah percintaan itu dari mulut ayahnya, dengan perspektif yang berb
Firasat buruk datang seperti angin dingin di tengah malam, membuat tubuh tidak nyaman dan pikiran tidak tenang. Mikaela menatap dua anak muda yang masih memejamkan mata karena kelelahan mental yang baru saja mereka lalui. Bagaimana mereka bisa melawan musuh yang akan datang? Mikaela keluar dari kamar Diana. Raut wajah yang biasanya lembut kini terlihat penuh tekad. Dia masuk ke kamarnya untuk berbicara dengan Ben. Dilihatnya Ben sedang duduk di meja sambil melihat-lihat dokumen. "Sayang?" panggil Mikaela. "Hmm," gumam Ben acuh tak acuh. Mikaela tersenyum. Lelaki yang telah dinikahinya selama tiga puluh lima tahun ini tampak lelah. Dia meletakkan tangan di bahu Ben. "Bersikap baiklah terhadap Alex, Sayang. Bagaimanapun juga dia suami putri kita...," desah Mikaela. "Hmm." "Aku mau keluar sebentar ya. Tolong jaga anak-anak." Mikaela me
Alex dan Diana memeriksa setiap sudut ruangan untuk menemukan keberadaan akar mantra tersebut. Tidak ada satu sudut pun yang lolos dari pemeriksaan. Entah berapa lama waktu berlalu, tapi Alex mulai merasa lelah. "Selain tempat ini masih ada lagi?" tanya Alex. "Ehm... Kita belum melihat semuanya." Alex menatap Diana, "Di mana?" "Itu." Diana menunjuk ke sebuah titik. Alex mengangkat kepala. Siapa sangka ada rak buku tersembunyi di atas sebuah pilar besar. Siapa pun yang tanpa sengaja melihat ke atas tidak akan dapat menemukannya. "Sepertinya aku harus memanjat." Alex menghela nafas. "Ada tangga di sana." Diana menunjuk ke bawah pilar. Benar saja, ada anak tangga yang dipahat pada pilar. Tangga melingkar itu baru menunjukkan wujudnya setelah mereka benar-benar memperhatikan. "Pikiranmu rumit sekali, Princess." Alex terseny