Seharusnya sore ini Diana sudah dalam perjalanan kembali. Alex menghitung, dia bisa memperkirakan berapa lama waktu yang dibutuhkan bagi Diana untuk berangkat dari kota tempat orangtuanya tinggal menuju ke kota ini. Jika jalanan bebas hambatan perjalanan hanya membutuhkan waktu tiga jam.
Satu malam tanpa kehadiran Diana membuat Alex tidak dapat tidur karena insomnia yang diderita. Meskipun demikian dia tidak mau minum obat tidur lagi. Apa artinya satu malam dibanding selamanya? Matahari mulai turun ke peraduannya. Langit berubah warna. Alex mondar-mandir dengan gelisah di dalam kamar ketika waktu yang dia perhitungkan terlewati. Ada secercah perasaan tidak nyaman yang tidak dapat dia singkirkan. Untuk menghilangkan kecemasan Alex mencoba menelepon. Diana tidak menjawab panggilan teleponnya. Alex mencoba beberapa kali lagi. Hasilnya sama saja. Apakah Diana tidak mendengar dering handphonenya? Ataukah handphoDiana terbangun dengan linglung di atas sebuah tempat tidur. Pipinya masih terasa sakit akibat tamparan tadi. Kepalanya melayang. Diana mencoba turun dari tempat tidur dan jatuh terduduk. Kakinya lemas. Alex. Tujuan mereka adalah Alex. Hati Diana diliputi kecemasan. Dia menyesal karena begitu mudah diculik. Orang-orang ini menyeretnya ke dalam van saat dia turun dari mobil travel. Jika terjadi apa-apa pada Alex dia akan menyesal seumur hidup. Itu pun jika dia masih hidup. Lelaki tua bernama John yang menamparnya tadi terlihat begitu menyeramkan. Apa hubungan orang itu dengan Alex? Terdengar suara kunci dibuka. Jantung Diana berdegup kencang. Rasa takut menyelimuti. Matanya mengawasi pintu yang terbuka. "Ah, sudah sadar rupanya!" John tertawa senang. Dia berjalan mendekati Diana yang masih terduduk di lantai. John mengangkat Diana ke atas tempat tidur dan duduk berhadapan dengannya. Mata kanannya
Dari tindakan Alex, John dapat mengukur betapa berharganya Diana. Dia mengelus bekas luka di wajahnya. Sebuah kebiasaan yang kerap dilakukan saat memikirkan sebuah rencana kotor. John memanggil anak buahnya. "Ambilkan segelas air," perintah John. Tidak sampai satu menit segelas air sudah diletakkan di meja John. Dia mengeluarkan sebotol cairan dan menuangkan beberapa tetes ke dalam gelas. "Paksa wanita itu minum." Anak buahnya mengangguk paham. Dia mengajak seorang lelaki lagi menuju kamar Diana. John mengamati dari CCTV. Matanya memicing memperhatikan kedua anak buahnya masuk ke kamar Diana. Wanita itu tampat terkejut tapi menerima gelas air. Tidak disangka Diana menyiram anak buahnya. John tertawa. Tampaknya dia harus turun tangan sendiri. Diana terheran-heran saat John muncul bersama dua orang lelaki yang disiramnya tadi. Mau apa dia?&n
"Kamu tidak boleh pergi sendirian," kata Alex tegas. "Apaan sih?" "Kamu. Tidak boleh. Pergi. Sendirian." Alex mengeja kalimatnya. "Tapi aku cuma mau ke dapur!" Diana kesal dan geli dengan tingkah Alex. "Kamu mau apa? Kuambilkan." "Aaaah kamu ini, kok jadi tambah posesif sihhh!" Diana merajuk. Alex memeluk Diana erat-erat, "Maafkan aku Princess, perasaanku belum pulih." Diana terhenyak. Begitu rupanya. Dia menangkup wajah Alex dan menatap matanya, "Aku baik-baik saja kan? Kamu berhasil menyelamatkanku." "Aku tahu." Alex tersenyum. Mata Diana melebar mendengar kepercayaan diri Alex, "Ada yang pernah bilang kalau kamu sombong?" "Beberapa kali. Tapi mereka sudah kuberi pelajaran." "Ehm..., kamu mau memberiku pelajaran juga?" "Hati-hati dengan ucapanmu, Princess. Aku bisa m
Diana melihat lelaki di hadapannya berbicara lewat headset. Tampaknya Benyamin memberi perintah khusus. Diana merasa akan terjadi sesuatu yang buruk. Saat itu Alex tampak berlari kecil ke arah mereka. Dia berhasil mengejar penjambret tadi dan merebut kembali tas Diana. "Maaf, Nona. Aku harus membawamu pulang." Si lelaki berjas tersenyum. "Aku sudah bilang tidak mau." Diana bergerak mundur. Alex yang mengamati pergerakan tidak biasa ini mempercepat langkahnya. Wajahnya mulai cemas. Dia bisa menebak sesuatu yang aneh sedang terjadi. "Maaf." Diana menjerit saat lelaki berjas itu mengangkatnya dengan mudah. Tubuhnya dipanggul di pundak seperti membawa sekarung beras. Lelaki itu berjalan cepat ke arah pintu utama. "Hei!!" Alex berteriak. Sedikit lagi dia mencapai Diana. "Alex!" Diana tahu Alex tidak akan membiarkannya dibawa pergi, "Turunkan aku
Sampai malam tiba tidak ada satu pun telepon dari Benyamin. Hal ini membuat Diana gelisah. Berada di antara dua lelaki yang saling menatap seperti banteng hendak beradu membuat syarafnya tegang. Alex terpaksa mengijinkan Jack ikut naik ke penthouse atas permintaan Diana. "Telepon bosmu." Alex melempar handphone ke atas meja. "Tidak bisa," sahut Jack dengan wajah penuh senyum, "Aku tidak hafal nomornya." "Apa?? Bawahan macam apa kau?" "Bawahan yang setia." "Bagaimana kalau kupatahkan gigimu supaya tidak bisa tersenyum lagi?" sergah Alex. "Aku mau lihat kau mencobanya." Jack terkekeh. Kedua lelaki itu berdiri berbarengan saling mencengkeram baju lawan. Diana geleng-geleng kepala. "Kalian umur berapa sih?" gerutu Diana. "Belum setua dia," sahut Jack. "Perjalanan tiga puluh lantai ke bawah tida
Subuh ketika Diana masih terlelap.... Alex berdiri berhadapan dengan Jack di atap gedung. Angin malam bertiup kencang membuat pakaian mereka berkibar. Dua pasang mata saling menatap mengukur kekuatan lawan. Jika saja di langit ada kilat menyambar adegan ini akan terlihat sempurna seperti film-film silat. "Aku mengajukan diri begitu mengenali fotomu, Vorst." Jack berkata dengan dingin, "Sekali dayung dua pulau terlampaui." "Tidak bisa move on dari masa lalu?" ejek Alex. "Tidak!" seru Jack, "Aku sudah menanti berbulan-bulan untuk dipasangkan denganmu di arena, tapi begitu saatnya hampir tiba kau menghilang." "Baiklah. Tidak ada cara lain, bukan?" Dengan senyum tersungging di bibir, Alex melepas kemeja dan melemparnya ke lantai. Tato naga Alex membuatnya terlihat garang. Jack terlihat bersemangat. Dia melepas jas serta kemeja dan meletakkannya dengan hati-hati di lantai.
Diana geleng-geleng kepala melihat kondisi Alex dan Jack yang baru turun dari atap. Wajah mereka berantakan sehabis berkelahi tapi ketegangan yang ada sejak awal sudah lenyap. "Kalian dari mana?" tanya Diana. Dirinya terbangun dan menemukan sisi tempat tidur Alex dingin. "Ngobrol." "Jalan." Kedua jawaban yang berbeda keluar bersamaan dari mulut Alex dan Jack. Mereka bertatapan dan tertawa. Diana terhenyak. Apa yang terjadi dengan mereka? Diana membuntuti Alex ke dalam kamar. "Alex, apa yang--" "Bagaimana kalau Jack menempati kamarmu? Dan kamu pindah kesini?" Alex memotong kata-kata Diana. "Ide buruk! Aku tidak mau!" "Oh, ya betul. Terlalu berbahaya untukmu." Alex tertawa. Diana berpikir sejenak, "Di atap bukannya ada kamar tidak terpakai? Kurasa ukurannya juga cukup besar untuk ditinggali dengan layak."  
"Sebenarnya tidak seburuk itu kok. Lagipula pintumu kan memang mau diganti?" kata Diana sambil memegangi lengan Alex. "Betul. Pintu itu terlalu rapuh," timpal Jack yang sedang menggoreng sosis dan memanggang roti. Celemek berwarna hijau cerah menggantung di lehernya. Hari sudah menjelang pagi maka dia memutuskan untuk membuat sarapan. "Itu keputusanku! Bukan kamu, bodyguard nyasar! Lain kali lakukan tugasmu dengan lebih baik!" sergah Alex. Urat di pelipisnya menonjol. Bibir Jack komat-kamit menirukan kata-kata Alex. "Heh, jangan kira aku tidak bisa melihatmu!" bentak Alex. Jack baru menyadari kalau gerak-geriknya terpantul jelas di kitchen set yang daun pintunya terbuat dari stainless steel. Dia menyeringai. "Alex, jangan." Diana menahan Alex dengan segenap bobot tubuhnya. Saking kesalnya Alex pergi ke atap untuk menghajar samsak. Selama in
Hari kepulangan Ben adalah hari yang dinantikan semua orang, bahkan Alex pun berpikiran baik terhadap ayah mertuanya. Cederanya belum pulih seratus persen, tapi sudah tidak membahayakan. Ben pun bisa berjalan sendiri meskipun lebih lemah dari biasanya. "Bagaimana keadaanmu?" Ben bertanya pada Alex saat hanya ada mereka berdua di ruang tamu. "Apa? Seharusnya aku yang bertanya padamu." Ben meringis menahan tawa, "Tidak boleh bertanya? Lupakan saja niat baikku." Alex berdeham, "Kenapa Anda menghalangi pukulan Lao Hu?" Ben menatap Alex dengan pandangan rumit, "Kenapa? Karena kalau kamu terluka putriku akan bersedih." "Aku mengerti." Alex tersenyum. Ada sesuatu yang menarik dalam pikiran Ben. "Kenapa kamu melindungiku?" Ben bertanya kembali. "Karena Anda ayah istriku." Hening sesaat. Kedua lelaki berbeda generasi itu tampak
Alex dan Diana duduk di kursi taman rumah sakit yang menghadap ke arah kamar VIP. Mereka menikmati suasana yang cukup sejuk sambil mengobrol ringan. "Untung kamu tidak cedera berat seperti waktu itu," kata Diana. "Cuma keretakan rusuk sedikit. Aku masih bisa bermesraan denganmu," goda Alex. "Kamu nih, kata dokter jangan banyak bergerak dulu. Biar tidak berat tapi kalau dipaksa cederanya bisa bertambah." "Cedera apa? Istriku kan mungil dan ringan." Alex mengecup pipi Diana. "Serius dong," gerutu Diana. "Lihat, orang itu sudah keluar." Alex melirik ke satu arah. Diana menoleh ke arah kamar pasien. Tampak Li Wei dan Mikaela berdiri berhadapan. "Kamu bilang mereka ada hubungannya?" tanya Diana. "Rasanya begitu." Terlihat Mikaela merentangkan tangan. Li Wei ragu, maka Mikaela maju untuk memeluknya. Diana te
Suasana dalam kamar VIP di rumah sakit menjadi tegang karena kedatangan Li Wei. Lelaki muda itu datang untuk menjenguk keluarga Hartanto, namun tujuan utamanya adalah untuk bertemu Diana. "Mau apa kemari?" tanya Alex. "Aku datang dengan niat baik. Tanya saja ibu mertuamu." Li Wei tersenyum dingin. "Tidak ada niat baik dalam kepalamu. Aku belum memberimu pelajaran atas apa yang kau lakukan terhadap Diana," geram Alex. "Memangnya kau punya kemampuan?" Li Wei bahkan tidak menatap Alex. Pandangan matanya melembut saat menemukan sosok Diana yang bersembunyi di belakang Alex. "Jaga matamu, Anak Kecil." Alex menghalangi pandangan mata Li Wei. "Mata jelas-jelas punyaku. Memangnya pemandangan di kamar ini punyamu?" ejek Li Wei. "Huss... Kalian ini. Di rumah sakit masih aja mau berkelahi...," desis Mikaela. Dia terpaksa menghampiri anak-anak muda k
"Kau! Cari mati!" Lao Hu menjerit histeris. Darah mengalir ke wajahnya. "Kau yang cari mati, Tua Bangka!" bentak Ben. Alex benar-benar melongo. Bukannya kedua lelaki ini sama-sama tua? Lao Hu merangsek ke arah Ben. Dia hendak menghabisi pengganggu tak terduga ini dalam satu pukulan. Alex tidak tinggal diam. Dia segera menyerang dari samping, tepat mengenai bagian sisi kepala Lao Hu. Walaupun terkena tendangan tapi reaksi Lao Hu masih luar biasa. Lengannya mengibas ke samping membuat tubuh Alex terlempar ke dinding. "Ben! Hati-hati!" seru Mikaela. "Jangan keluar! Tetap di dalam!" Ben berseru pada istrinya. Lao Hu menatap ke arah Mikaela. Tatapan matanya berubah ganas. Ben menempatkan dirinya di antara Mikaela dan Lao Hu. "Heh, wanita yang cantik. Setelah kalian lelaki-lelaki tak berguna ini mati, akan kurebut wanita kalian!" Lao Hu tertawa
Matahari tinggi di puncak langit. Sederetan mobil hitam parkir tidak beraturan di luar gerbang kediaman Hartanto. Beberapa orang penjaga berteriak-teriak mengusir para pendatang yang tidak tahu diri itu. Pintu mobil terbuka nyaris berbarengan. Selusin lelaki bertubuh besar berwajah garang melompat turun. Niko dan Lao Hu turun setelah formasi terbentuk. Teriknya matahari membuat Lao Hu memicingkan mata. "Ini rumahnya?" tanya Lao Hu. "Betul, Bos. Alex sedang berada di sini." jawab Niko dengan hormat. Lao Hu menggerakkan kepala sebagai kode untuk anak buahnya. Kompak, selusin lelaki bertubuh besar merobohkan pintu gerbang. Besi baja terlihat tak berguna di hadapan mereka. Para penjaga berhamburan dari dalam rumah, semua membawa tongkat atau senjata tumpul lainnya. Seketika terjadi pertarungan sengit di pekarangan. Lao Hu dan Niko berjalan melewati mereka seolah tidak ada a
Genderang perang sudah ditabuh. Lao Hu berangkat ke kediaman Hartanto bersama Niko dan selusin anak buah mereka. Mobil hitam melaju beriringan tanpa rintangan berarti. Jika saja langit berubah jadi gelap disertai kilat menyambar dan guntur bertalu, mereka akan mirip seperti utusan dari neraka. Sayangnya langit begitu cerah tanpa awan sedikit pun. "Bos, Shi Fu Li tidak ikut?" tanya Niko perlahan. "Dia sudah mengatakan bahwa hari ini baik. Aku percaya padanya," sahut Lao Hu yang bersandar memejamkan mata. "Oh, baik kalau begitu." Niko tidak berani bertanya lagi. "Bangunkan aku kalau sudah sampai," kata Lao Hu. "Baik, Bos." Kediaman Hartanto... Alex menyeret Jack ke pekarangan. Dia butuh sedikit gerak badan. Jack yang masih mengantuk terus-menerus menggerutu. "Bacotmu seperti anak perempuan," ledek Alex.
"Shi Fu, bagaimana... Tadi...." Lao Hu yang sudah dapat bergerak kini kebingungan seperti orang baru terbangun dari tidur panjang. "Istirahatlah dulu. Cari hari lain untuk menghadapi Alexander. Terlalu banyak kejutan hari ini, tidak baik." Li Wei termenung. Lao Hu merasa tidak rela, tapi dia tidak berani membantah perkataan seorang Shi Fu Li. Dia membungkukkan badan dengan hormat dan kembali ke kamar. Li Wei menghela nafas. Percakapan singkat dengan Mikaela mengangkat selubung kegelapan dalam hatinya. Ada baiknya juga mengikuti nasihat Mikaela, mungkin dengan demikian dia dapat merebut hati Diana seperti seorang lelaki sejati. Huh, wanita yang dicintai ayahnya memang hebat. Tidak memiliki ilmu apa-apa tapi kekuatannya luar biasa. Sayang, sungguh sangat disayangkan ayah pergi terlalu cepat. Li Wei ingin sekali mendengarkan lagi kisah percintaan itu dari mulut ayahnya, dengan perspektif yang berb
Firasat buruk datang seperti angin dingin di tengah malam, membuat tubuh tidak nyaman dan pikiran tidak tenang. Mikaela menatap dua anak muda yang masih memejamkan mata karena kelelahan mental yang baru saja mereka lalui. Bagaimana mereka bisa melawan musuh yang akan datang? Mikaela keluar dari kamar Diana. Raut wajah yang biasanya lembut kini terlihat penuh tekad. Dia masuk ke kamarnya untuk berbicara dengan Ben. Dilihatnya Ben sedang duduk di meja sambil melihat-lihat dokumen. "Sayang?" panggil Mikaela. "Hmm," gumam Ben acuh tak acuh. Mikaela tersenyum. Lelaki yang telah dinikahinya selama tiga puluh lima tahun ini tampak lelah. Dia meletakkan tangan di bahu Ben. "Bersikap baiklah terhadap Alex, Sayang. Bagaimanapun juga dia suami putri kita...," desah Mikaela. "Hmm." "Aku mau keluar sebentar ya. Tolong jaga anak-anak." Mikaela me
Alex dan Diana memeriksa setiap sudut ruangan untuk menemukan keberadaan akar mantra tersebut. Tidak ada satu sudut pun yang lolos dari pemeriksaan. Entah berapa lama waktu berlalu, tapi Alex mulai merasa lelah. "Selain tempat ini masih ada lagi?" tanya Alex. "Ehm... Kita belum melihat semuanya." Alex menatap Diana, "Di mana?" "Itu." Diana menunjuk ke sebuah titik. Alex mengangkat kepala. Siapa sangka ada rak buku tersembunyi di atas sebuah pilar besar. Siapa pun yang tanpa sengaja melihat ke atas tidak akan dapat menemukannya. "Sepertinya aku harus memanjat." Alex menghela nafas. "Ada tangga di sana." Diana menunjuk ke bawah pilar. Benar saja, ada anak tangga yang dipahat pada pilar. Tangga melingkar itu baru menunjukkan wujudnya setelah mereka benar-benar memperhatikan. "Pikiranmu rumit sekali, Princess." Alex terseny