Subuh ketika Diana masih terlelap....
Alex berdiri berhadapan dengan Jack di atap gedung. Angin malam bertiup kencang membuat pakaian mereka berkibar. Dua pasang mata saling menatap mengukur kekuatan lawan. Jika saja di langit ada kilat menyambar adegan ini akan terlihat sempurna seperti film-film silat. "Aku mengajukan diri begitu mengenali fotomu, Vorst." Jack berkata dengan dingin, "Sekali dayung dua pulau terlampaui." "Tidak bisa move on dari masa lalu?" ejek Alex. "Tidak!" seru Jack, "Aku sudah menanti berbulan-bulan untuk dipasangkan denganmu di arena, tapi begitu saatnya hampir tiba kau menghilang." "Baiklah. Tidak ada cara lain, bukan?" Dengan senyum tersungging di bibir, Alex melepas kemeja dan melemparnya ke lantai. Tato naga Alex membuatnya terlihat garang. Jack terlihat bersemangat. Dia melepas jas serta kemeja dan meletakkannya dengan hati-hati di lantai.Diana geleng-geleng kepala melihat kondisi Alex dan Jack yang baru turun dari atap. Wajah mereka berantakan sehabis berkelahi tapi ketegangan yang ada sejak awal sudah lenyap. "Kalian dari mana?" tanya Diana. Dirinya terbangun dan menemukan sisi tempat tidur Alex dingin. "Ngobrol." "Jalan." Kedua jawaban yang berbeda keluar bersamaan dari mulut Alex dan Jack. Mereka bertatapan dan tertawa. Diana terhenyak. Apa yang terjadi dengan mereka? Diana membuntuti Alex ke dalam kamar. "Alex, apa yang--" "Bagaimana kalau Jack menempati kamarmu? Dan kamu pindah kesini?" Alex memotong kata-kata Diana. "Ide buruk! Aku tidak mau!" "Oh, ya betul. Terlalu berbahaya untukmu." Alex tertawa. Diana berpikir sejenak, "Di atap bukannya ada kamar tidak terpakai? Kurasa ukurannya juga cukup besar untuk ditinggali dengan layak."  
"Sebenarnya tidak seburuk itu kok. Lagipula pintumu kan memang mau diganti?" kata Diana sambil memegangi lengan Alex. "Betul. Pintu itu terlalu rapuh," timpal Jack yang sedang menggoreng sosis dan memanggang roti. Celemek berwarna hijau cerah menggantung di lehernya. Hari sudah menjelang pagi maka dia memutuskan untuk membuat sarapan. "Itu keputusanku! Bukan kamu, bodyguard nyasar! Lain kali lakukan tugasmu dengan lebih baik!" sergah Alex. Urat di pelipisnya menonjol. Bibir Jack komat-kamit menirukan kata-kata Alex. "Heh, jangan kira aku tidak bisa melihatmu!" bentak Alex. Jack baru menyadari kalau gerak-geriknya terpantul jelas di kitchen set yang daun pintunya terbuat dari stainless steel. Dia menyeringai. "Alex, jangan." Diana menahan Alex dengan segenap bobot tubuhnya. Saking kesalnya Alex pergi ke atap untuk menghajar samsak. Selama in
Club yang dikunjungi malam ini berlokasi di kota tetangga dengan jarak tempuh dua jam berkendara dalam kondisi lalu lintas lengang. Tidak ada yang mengobrol sepanjang perjalanan. Ada ketegangan pekat di udara. Saking pekatnya jika ada yang mengeluarkan pentul korek api, akan menyala. Alex membawa serta laptopnya dan laptop Diana. Tinggal menancapkan kabel data di laptop dan semua informasi yang ada dalam perangkat elektronik club dapat dibaca. Praktis dan tidak ada yang dapat disembunyikan. Mobil parkir di tempat yang tersedia. Mereka bertiga masuk ke club dengan Alex berjalan mendahului. Semua karyawan menyambutnya dengan hormat, tapi menatap Diana dan Jack dengan terheran-heran. Seolah teringat sesuatu Alex menghentikan langkahnya untuk menunggu Diana. Dia lalu merangkulnya masuk ke ruang kantor. "Selamat malam, Alex. Kami sudah menunggu kedatanganmu!" sapa seorang lelaki muda berperawakan besar.
Diana tidak dapat tidur meskipun kasurnya empuk dan nyaman. Dia berguling ke segala sisi membuat kusut selimut dan sprei. Merasa usahanya untuk tidur sia-sia, dia memutuskan untuk mencari udara segar. Diana menjaga langkah kakinya agar tidak bersuara saat naik ke atap gedung. Ini pertama kalinya dia naik kesini. Biasanya dia tidak mau berada di tempat yang terkucil tanpa ada satu makhluk hidup pun. Mengetahui Jack tinggal di atap membuatnya sedikit tenang. Angin berhembus menyejukkan kulit. Matahari mulai menghangatkan bumi. Diana menghirup nafas dalam-dalam. Udara disini segar sekali karena polusi di jalanan sulit mencapai puncak gedung. Diana berdiri di tepian dan melihat ke bawah. "Nona, stop!!" Diana terlompat kaget. Wajahnya memucat. Teriakan Jack membuat rohnya nyaris melayang. "Ups, maaf Nona, kupikir...." Jack tertawa gelisah. "Ya Tuhan, Jack! Aku hampir
"Belakangan Nona Diana terlihat lebih pendiam. Apa yang kamu lakukan terhadap dia, Vorst?" cetus Jack dengan nafas terengah. Dia baru sparring dengan Alex. "Menurutmu begitu?" tanya Alex hati-hati. Sudah tiga malam Diana tidur di kamarnya sendiri dan Alex tersiksa dengan insomnia. Jack tidak melanjutkan. "Apakah ayahnya menghubungi?" tanya Alex lagi. "Belum." "Seperti apa ayahnya?" "Pebisnis yang hebat." "Bicaralah lebih banyak! Sepertinya kamu banyak bicara saat ngobrol dengan Diana!" tukas Alex kesal. Jack tertawa, "Hei, kamu cemburu?" Alex bangkit, "Ayo, satu ronde lagi!" "Tenang Vorst! Tidak semua orang punya stamina gila sepertimu!" Jack terus tertawa. Alex pun melampiaskan emosinya pada samsak. "Setahuku Pak Ben berencana untuk mencari calon suami yang cocok bagi
Sambil memperhatikan makanan di piring otak Diana sibuk. Mimpi barusan terasa sangat jelas. Penampilan Alex dalam mimpi barusan bahkan sangat mendetil dan persis dengan sosok yang duduk di sisinya sekarang. Diana mendengus, cuma kebetulan! "Hari ini kita libur," kata Alex singkat. Diana tertegun, "Oh. Tidak masalah." "Kamu sudah mulai tua, Vorst. Masa sparring sebentar saja sudah kelelahan? Jarang olahraga?" ejek Jack dengan senyum polos. "Aku bisa melayanimu sepanjang hari sampai besoknya lagi. Berminat?" Alex melayangkan tatapan setajam belati ke arah Jack. Jack mengangkat kedua tangan. "Ngomong-ngomong Vorst itu nama keluarga?" tanya Diana. Sejak tempo hari dia mendengar nama itu terus disebut oleh Jack tapi belum sempat menanyakannya. "Ya betul. Itu nama kakekku, dari bahasa Belanda yang berarti 'raja'." Tatapan Alex seketika melembut. &n
Dilihatnya sosok Alex yang tinggi ramping berjalan mendekat. Hati Diana berdebar. Aroma maskulin memenuhi indera penciumannya. Tunggu dulu, ini bukannya mimpi? Kenapa dia bisa membaui aroma? Tanpa sempat mendalami pikiran tersebut perhatian Diana sudah teralihkan oleh kehadiran Alex. Lelaki itu merengkuhnya seperti ombak lautan, menyapunya ke tepi pantai. Bibirnya melekat erat pada bibir Diana. Kedua tangannya menelusuri setiap lekuk tubuh yang tampak maupun yang tersembunyi. Alex menyentuhnya seperti binatang kelaparan. Diana belum pernah disentuh seperti ini. Hasratnya memuncak dengan cepat. Tangan dan kakinya memeluk Alex. Bibir Diana merekah mengeluarkan rintihan dan nama kekasihnya. Diana terbangun. Nafasnya memburu. Barusan mimpi kan? Kenapa terasa sangat nyata? "Diana...," suara Alex parau. Wajah Diana panas. Apa jadinya kalau Alex mengetahui mimpi barusan?&
"Jangan berbohong. Sejak kapan?" Alex duduk di tepi tempat tidur. Diana menelan ludah. Dia berusaha keras mengosongkan pikiran. "Kenapa diam?" tanya Alex. Matanya tidak lepas dari wajah Diana, berusaha menangkap tanda sekecil apapun. "Alex, kamu membuatku takut," desah Diana. "Aku tahu." Hati Alex tersentuh oleh kata-kata Diana, tapi dia harus mendapatkan jawaban karena hidupnya bergantung pada kepercayaan. Bibir Diana bergetar. Matanya mulai berkaca-kaca. Dia terus berjaga supaya tidak memikirkan apa-apa. Sosok lelaki yang duduk di hadapannya tidak boleh dianggap enteng. "Hmm? Apakah aku harus memaksamu bicara?" Alex berkata dengan lembut. Mata Diana melebar. Apa maksudnya? "Kamu tahu apa maksudku, sudah lama aku tidak menyentuh wanita," Senyum sinis terkembang di wajah Alex yang tampan. Diana beringsut mundur seketik