"Jangan berbohong. Sejak kapan?" Alex duduk di tepi tempat tidur.
Diana menelan ludah. Dia berusaha keras mengosongkan pikiran. "Kenapa diam?" tanya Alex. Matanya tidak lepas dari wajah Diana, berusaha menangkap tanda sekecil apapun. "Alex, kamu membuatku takut," desah Diana. "Aku tahu." Hati Alex tersentuh oleh kata-kata Diana, tapi dia harus mendapatkan jawaban karena hidupnya bergantung pada kepercayaan. Bibir Diana bergetar. Matanya mulai berkaca-kaca. Dia terus berjaga supaya tidak memikirkan apa-apa. Sosok lelaki yang duduk di hadapannya tidak boleh dianggap enteng. "Hmm? Apakah aku harus memaksamu bicara?" Alex berkata dengan lembut. Mata Diana melebar. Apa maksudnya? "Kamu tahu apa maksudku, sudah lama aku tidak menyentuh wanita," Senyum sinis terkembang di wajah Alex yang tampan. Diana beringsut mundur seketikDiana meletakkan botol air di meja rias. Hatinya berdebar melihat wajah Alex. Dia tidak boleh lemah seperti dulu. Sejak insiden di kamar Alex, Diana berhati-hati dengan pikirannya. Dia tahu tidak bisa bersembunyi terus-menerus. Sebenarnya Diana hanya peka terhadap sesuatu yang tak terlihat. Dia sama sekali tidak bisa melihat pikiran orang lain. Kadang-kadang dia akan merasa seperti ada hawa dingin melintas, atau seperti ada sosok yang berdiri di pojokan, segala hal yang tidak terdeteksi oleh panca indera manusia. Sejak kecil Diana menjadi bulan-bulanan ejekan karena kepekaannya tersebut. Dia pun tumbuh besar dengan tidak mempercayai siapa-siapa, kecuali ayah dan ibunya. Apa yang harus dilakukannya terhadap Alex? Apakah lelaki itu bisa memahami dirinya? Sepanjang hari Diana bekerja keras menyusun kata-kata, membuat skenario untuk dua kemungkinan. Berpisah atau tetap berhubungan. Diana tahu dari kedua pi
Alex memenuhi permintaan Diana untuk menjaga jarak. Dia hanya meminta ditemani sampai tertidur, setelah itu Diana bisa kembali ke kamarnya. Diana menyetujui karena tidak sampai hati membiarkan Alex insomnia. Jack yang menawarkan diri untuk menemani Alex tidur ditolak mentah-mentah. Diana tetap bekerja dengan penuh tanggung jawab meskipun menjaga jarak terhadap Alex. Setiap sore mereka bertiga setia pergi ke club. Jack juga mulai mendapat teman sesama bodyguard. Diam-diam Alex memandangi Diana yang sedang fokus di mejanya. Alex tidak pernah kurang tidur lagi, hanya kurang bermesraan, tapi setidaknya Diana tidak pergi. Alex tersenyum memikirkan perselisihan terakhir mereka. Monitor CCTV menangkap gambar dua orang lelaki yang hampir berkelahi. Alex melihat bawahannya bekerja cepat membawa dua lelaki itu keluar dari club. Mereka mau melanjutkan perkelahian di luar sudah bukan urusannya. "Kenapa orang
Diana menggeliat seperti kucing. Tangannya memyentuh sesuatu. Dia membuka mata dan melihat wajah Alex berada begitu dekat. Diana terlonjak bangun. Alex menggerutu. Tangannya menangkap tubuh mungil Diana dan menariknya mendekat. "Alex...lepas ih..!" Diana berusaha melepaskan diri tapi Alex mempererat pelukannya. "Hmmm...tidur yang tenang...," gumam Alex. Bibirnya bergetar menahan senyum. "Pura-pura tidur! Lepasin!" Diana meronta. Alex menggeram saat lutut Diana entah disengaja atau tidak beradu dengan bagian pribadinya. Dia membalik tubuh Diana dan memeluknya dari belakang. "Diamlah... Aku masih mau tidur...," gumam Alex. Bulu kuduk Diana berdiri. Nafas Alex berhembus di kulitnya. Diana memejamkan mata. Segala rasa yang telah ditekan kini muncul kembali. Tangannya mendekap mulut supaya tidak bersuara. Alex mendenga
Seorang lelaki paruh baya menggebrak meja. Wajahnya merah padam karena amarah. Segala usahanya untuk membebaskan sahabatnya, John si Jagal, dari penjara gagal total. Bahkan pengacara andalan mereka menemui jalan buntu karena terlalu banyak bukti yang memberatkan John. Semua karena bocah bernama Alexander itu! "Kudengar John menemukan kelemahan Alexander. Seorang wanita?" kata seorang lelaki gempal yang penampilannya mirip mafia Hong Kong. Kepala plontos, kemeja safari dengan tiga kancing terbuka memamerkan tato di dada, perawakan gempal. "Betul." "Bos tidak mau menyelidikinya?" tanya si kepala plontos. "Hmm... Niko, menurutmu perlukah aku turun tangan untuk menghadapi seorang anak kecil?" Lelaki plontos bernama Niko itu menyeringai paham, "Biar aku yang urus. Bos tidak perlu buang waktu yang berharga." "Pergi." Han, si lelaki paruh baya,
Niko masih duduk di meja yang sama saat dia melihat karyawan club mulai 'mengusir' pengunjung yang enggan pulang. Matanya melirik ke arah pintu ruangan Alex. Dua bodyguard masih berdiri tegap disana, ditambah lagi ada seorang lelaki yang berjas turut berdiri di samping salah satu bodyguard. Niko memicingkan mata. Sebentar lagi dia akan melihat kebenaran. Alex memutuskan tidak ada gunanya bersembunyi. Dia tidak pernah takut pada apa pun dan Alex yakin dapat melindungi Diana. Apalagi ada Jack bersama mereka. Pintu terbuka. Niko melihat Alex keluar diikuti seorang wanita muda bertubuh mungil. Dari jarak jauh Niko dapat melihat bahwa wanita itu cantik dan dari penampilannya jelas bukan wanita penggoda. Lelaki berjas di sisi pintu ikut turun bersama mereka. Pengawal pribadi si wanita kah? Niko beranjak. Dia melangkah perlahan ke dasar tangga. Tatapannya bertemu dengan Alex. "Perkenalkan aku de
Dua orang lelaki berbadan besar menyeret seorang wanita muda ke dalam kamar yang ditempati Han. Wanita itu meronta dan menjerit sekuat tenaga. Niko menelan ludah melihat pemandangan itu. Hampir setiap hari wanita-wanita muda dibawa ke villa. Semua untuk memuaskan hasrat Han. Jika beruntung wanita tersebut akan dipulangkan keesokan harinya. Jika tidak dia harus melayani Han selama berhari-hari. "Hei, Bos di mana?" tanya Niko pada seorang lelaki yang tadi menyeret wanita. "Hmmh. Masih di luar," gerutu si lelaki. Niko menunggu dengan sabar. Semua orang tahu Bos Han tidak boleh dihampiri sembarangan. Salah-salah bisa kehilangan salah satu anggota tubuh. Niko melihat Han berjalan menuju kamar tapi dia tidak berani menyapa. Hukum tak tertulis yang berlaku di antara mereka: jangan memanggil Bos Han terlebih dahulu, tunggu Bos Han yang memanggil, jika dia berkenan.&
Alex memberitahu Diana untuk berjalan dengan kepala tegak. Gestur sangat penting di awal konfrontasi, karena yang berjalan dengan kepala menunduk adalah lemah. Semua pengunjung sudah pulang, yang tinggal hanyalah Niko dan selusin anak buahnya. Alex menggenggam tangan Diana untuk menguatkannya. Dua kelompok berhadapan dalam jumlah seimbang. "Kita bertemu lagi, Adik," cetus Niko. Matanya menatap sosok wanita mungil di sisi Alex. "Jaga matamu," geram Alex. "Santai saja. Aku mengagumi keindahan ciptaan Tuhan." Niko menyeringai. "Mau bertemu dengan-Nya sekaligus?" Niko tertawa terbahak-bahak. Anak buahnya ikut tertawa. "Bos Han ingin bertemu," kata Niko dengan raut wajah serius. Tawanya telah lenyap tak bersisa. "Aku tidak berminat." "Oohh padahal aku sudah datang jauh-jauh untuk menjemput. Ayolah, D
Bibir Alex menelusuri setiap jengkal tubuh Diana, membuatnya kehilangan orientasi. Diana mencengkeram rambut ikal Alex karena hasrat yang meninggi. Tubuh mereka melekat tanpa batas. Gerakan mereka seirama. Diana membuka mata. Mimpi! Barusan hanya mimpi! Tubuhnya masih terasa panas. Alex menggumam. Dia juga terbangun. "Mimpi...," gerutu Alex perlahan. Apakah mimpi kita sama? batin Diana. "Apa yang kamu mimpikan..?" tanya Alex. "Tidak penting." Diana memunggungi Alex karena malu. Alex memeluk Diana dari belakang. Rasanya nyaman dengan Diana menempel di dadanya. Alex menghirup aroma tubuh yang khas dan selalu membuatnya tenang. Jari-jarinya memainkan pucuk lembut di balik baju Diana. "Apakah mimpi kita sama?" tanya Alex penasaran. "Mmmh....mungkin...," desah Diana. Sentuhan Alex membuatnya merinding. &nbs