Bibir Alex menelusuri setiap jengkal tubuh Diana, membuatnya kehilangan orientasi. Diana mencengkeram rambut ikal Alex karena hasrat yang meninggi. Tubuh mereka melekat tanpa batas. Gerakan mereka seirama.
Diana membuka mata. Mimpi! Barusan hanya mimpi! Tubuhnya masih terasa panas. Alex menggumam. Dia juga terbangun. "Mimpi...," gerutu Alex perlahan. Apakah mimpi kita sama? batin Diana. "Apa yang kamu mimpikan..?" tanya Alex. "Tidak penting." Diana memunggungi Alex karena malu. Alex memeluk Diana dari belakang. Rasanya nyaman dengan Diana menempel di dadanya. Alex menghirup aroma tubuh yang khas dan selalu membuatnya tenang. Jari-jarinya memainkan pucuk lembut di balik baju Diana. "Apakah mimpi kita sama?" tanya Alex penasaran. "Mmmh....mungkin...," desah Diana. Sentuhan Alex membuatnya merinding. &nbsAlex benar-benar menyesal menyetujui permintaan Diana. Hatinya lemah oleh airmata! Huh. Alex memperhatikan Diana yang sedang ngobrol dengan Jack. Matanya menilai. Bagaimana cara mengajari beladiri terhadap wanita selembut itu? Kalau dia membatalkan, Diana akan meminta tolong pada Jack. Tidak boleh! Meskipun hanya melihat Diana sebagai adik tapi Jack tetap seorang lelaki! Alex tidak bisa membayangkan ada lelaki lain berada lebih dekat dengan Diana dibanding dirinya. Tanpa sadar tangan Alex menggebrak meja. "Hei, kemasukan apa kau, Vorst??" sergah Jack yang terkejut. Alex menggumam tidak jelas. Diana tersenyum simpul. Dia tahu apa penyebab kekesalan Alex. Sehabis makan Alex mengajak Diana ke atap. Dia ingin mengukur kemampuan fisik sebelum mulai melatih. "Pernah memukul samsak?" tanya Alex skeptis. "Belum." Mata Diana berbinar dengan semangat
Han menampar Niko dengan punggung tangannya. Wajah Niko tersentak ke samping. Dia tidak berani menatap Han karena sepasang matanya menyorotkan kematian. "Kau kalah dengan anak kecil dan masih berani menampakkan diri di hadapanku?" Suara Han sedingin es. Niko diam saja. Aura Han masih terlalu kuat untuk dilawan meskipun fisiknya sudah mulai dimakan usia. "Kesempatan kedua." Han mengacungkan dua jari di depan hidung Niko, "Jika gagal lagi kamu tahu akibatnya." "Ya Bos!" Han mengibaskan tangan dengan ekspresi jijik seolah mengusir lalat. Laporan Niko membuat hatinya kesal. Han yang kesal harus mencari pelampiasan. Malangnya nasib wanita yang mendapat giliran untuk melayaninya hari ini. Belasan tahun yang lalu seorang pemuda bernama Alexander Vorst menghancurkan sebagian bisnisnya dengan cara yang tak terpikirkan, melibatkan pihak berwajib dari dalam dan luar negeri. Han k
Handphone Diana berdering. Nomor tak dikenal. Siapa gerangan? Alex yang mendengar bunyi itu mendekati. "Siapa?" tanya Alex. Diana mengangkat bahu. "Halo?" Diana menjawab panggilan tersebut. "Halo, dengan Diana Hartanto?" kata seorang lelaki. "Iya betul." "Anda putri dari Benyamin Hartanto?" "Betul." "Benyamin dan istrinya mengalami kecelakaan mobil dan tidak sadarkan diri. Harap Mbak bisa ke rumah sakit untuk mengidentifikasi." Jantung Diana berhenti berdetak selama sedetik, "Baik, rumah sakit mana?" Lelaki peneleponnya menyebutkan salah satu rumah sakit di kota tempat tinggal orangtua Diana. Alex cemas melihat wajah Diana yang memucat, "Ada apa?" "Papa mamaku kecelakaan mobil dan sekarang ada di rumah sakit." Jack mengerutkan alis. "K
Singkat kata Alex dan Diana pulang tanpa Jack. Diana tahu Jack akan menghubungi ayahnya dan akan segera bebas. Kecemasan berikutnya adalah ketika ayahnya mengetahui apa yang terjadi dan marah besar. Begitu tiba di penthouse Diana mengurus luka di wajah Alex. Lukanya sudah mulai mengering. Diana hanya perlu membersihkan dan menempel perban. "Apa jadinya aku tanpa kamu?" Alex menarik Diana duduk di pangkuannya. "Kamu tetap kamu." Diana menunduk tersipu. Akex mengangkat dagu Diana. Diana mengalungkan lengan di leher Alex. Bibir mereka berpagutan. Diana mendesah saat tangan Alex menjelajah dengan bebas. "Aku tidak sabar untuk memilikimu...," desis Alex. "Katamu bisa menunggu beberapa bulan lagi?" "Tentu saja." Alex menciumi wajah dan leher Diana. "Hmmm... Aku juga tidak sabar..." Diana memejamkan mata menikmati sentuhan Alex. &nb
"Vorst, ini aku." "Sampai mati pun aku tidak bisa lupa suaramu" ejek Alex pada peneleponnya. Tawa Jack meledak, "Kutunggu ronde berikutnya!" "Ada apa?" Alex tersenyum. "Pak Ben mau bertemu, berdua saja. Jangan beritahu Nona Diana." "Kapan dan dimana?" Alex melirik ke kamar Diana. Kekasihnya sedang mandi saat ini. "Nanti kukirim alamatnya." "Oke." "Semoga sukses." Alex merenung. Apa yang mau dibicarakan Benyamin? Alex tidak berpikir banyak karena Diana membuka pintu kamar. Dia terlihat cantik memakai apa saja. "Wajahmu serius sekali?" tanya Diana. Dia berjalan anggun menghampiri Alex. "Hmmm... Ada telepon dari club." Posisi Alex yang duduk memudahkannya memeluk dan menghirup aroma tubuh Diana. Seketika segala beban dalam pikirannya lenyap. "Eh, kamu ini..." Diana tercek
Diana merasa bosan. Sudah dua jam sejak kepergian Alex. Kira-kira urusan apa yang dikerjakannya? Bukan wanita kan? Diana mencoba mengirim pesan singkat tapi tidak dibalas. Diana menyalakan televisi dan mencari tontonan menarik. Mendadak muncul channel film dewasa. Jantung Diana berdebar melihat adegan pemeran lelaki dan wanita yang bercinta seolah tidak ada hari esok. Wajahnya memerah. Apakah Alex sering menonton film seperti ini? Suara-suara erotis dari televisi memenuhi kamar Diana. Alex yang baru keluar dari lift terpaku mendengar suara-suara itu. Dia bergegas. Alex melihat Diana duduk memeluk bantal. Sepasang matanya menatap televisi dengan serius. Wajahnya merona. Alex tersenyum geli. Dia berdeham. Diana terlompat kaget. Tangannya cepat-cepat mengganti channel. Suara-suara erotis digantikan oleh suara pembaca berita. "Kamu serius sekali, Princess. Film apa yang kamu tonton tadi?"
Jack duduk di sofa lobby apartemen. Kakinya yang tersilang bergerak-gerak gelisah. Sebuah majalah ekonomi tidak dapat mengalihkan perhatiannya dari lift eksklusif penghuni penthouse. Setelah pertemuan Benyamin dengan Alex kemarin siang tidak membuahkan titik temu, Benyamin mengutusnya untuk menjemput Diana. Sebagai lelaki yang memiliki prinsip hidup sederhana, terperangkap di tengah konflik keluarga membuat Jack merasa sangat tidak nyaman. Di satu sisi dia loyal terhadap Benyamin, tapi di sisi lain dia bersimpati kepada Alex. Jack tahu sikap Alex tulus terhadap Diana. Yah, seperti dikatakannya dari awal, seekor anjing tidak akan menggigit tangan yang memberinya makan. Jack patuh pada Benyamin. Jack melihat pintu lift terbuka. Alex menahan pintu lift dan memberi tanda pada Jack untuk ikut. Jack bergegas. Alex menyeringai. "Kupikir mereka akan memukulimu di kantor polisi." Alex menyalami Jack.
Diana membisu sepanjang perjalanan menuju rumah orangtuanya. Jack pun tidak berusaha memulai percakapan. Dia mengerti beratnya perpisahan bagi pasangan baru. Saat mobil yang membawa mereka masuk ke gerbang sebuah rumah yang besar seperti istana, Diana menghela nafas. Begitu sudah masuk akan sulit untuk keluar. Mikaela tampak berdiri di pintu utama sambil celingak-celinguk. Diana tersenyum. Ibunya bagaikan secercah sinar mentari di tengah istana. Padahal baru bulan lalu mereka bertemu, tapi Mikaela selalu merindukannya. "Selamat datang kembali, Nak." Mikaela memeluk putri semata wayangnya erat-erat. Diana tertawa, "Iya Ma, aku pulang lagi." "Bu," sapa Jack. "Perjalanan panjang ya. Kamu istirahatlah dulu. Tugasmu sudah selesai," kata Mikaela tanpa kehilangan senyum. Jack mengangguk pada kedua wanita itu dan masuk ke dalam. "Papa ma
Hari kepulangan Ben adalah hari yang dinantikan semua orang, bahkan Alex pun berpikiran baik terhadap ayah mertuanya. Cederanya belum pulih seratus persen, tapi sudah tidak membahayakan. Ben pun bisa berjalan sendiri meskipun lebih lemah dari biasanya. "Bagaimana keadaanmu?" Ben bertanya pada Alex saat hanya ada mereka berdua di ruang tamu. "Apa? Seharusnya aku yang bertanya padamu." Ben meringis menahan tawa, "Tidak boleh bertanya? Lupakan saja niat baikku." Alex berdeham, "Kenapa Anda menghalangi pukulan Lao Hu?" Ben menatap Alex dengan pandangan rumit, "Kenapa? Karena kalau kamu terluka putriku akan bersedih." "Aku mengerti." Alex tersenyum. Ada sesuatu yang menarik dalam pikiran Ben. "Kenapa kamu melindungiku?" Ben bertanya kembali. "Karena Anda ayah istriku." Hening sesaat. Kedua lelaki berbeda generasi itu tampak
Alex dan Diana duduk di kursi taman rumah sakit yang menghadap ke arah kamar VIP. Mereka menikmati suasana yang cukup sejuk sambil mengobrol ringan. "Untung kamu tidak cedera berat seperti waktu itu," kata Diana. "Cuma keretakan rusuk sedikit. Aku masih bisa bermesraan denganmu," goda Alex. "Kamu nih, kata dokter jangan banyak bergerak dulu. Biar tidak berat tapi kalau dipaksa cederanya bisa bertambah." "Cedera apa? Istriku kan mungil dan ringan." Alex mengecup pipi Diana. "Serius dong," gerutu Diana. "Lihat, orang itu sudah keluar." Alex melirik ke satu arah. Diana menoleh ke arah kamar pasien. Tampak Li Wei dan Mikaela berdiri berhadapan. "Kamu bilang mereka ada hubungannya?" tanya Diana. "Rasanya begitu." Terlihat Mikaela merentangkan tangan. Li Wei ragu, maka Mikaela maju untuk memeluknya. Diana te
Suasana dalam kamar VIP di rumah sakit menjadi tegang karena kedatangan Li Wei. Lelaki muda itu datang untuk menjenguk keluarga Hartanto, namun tujuan utamanya adalah untuk bertemu Diana. "Mau apa kemari?" tanya Alex. "Aku datang dengan niat baik. Tanya saja ibu mertuamu." Li Wei tersenyum dingin. "Tidak ada niat baik dalam kepalamu. Aku belum memberimu pelajaran atas apa yang kau lakukan terhadap Diana," geram Alex. "Memangnya kau punya kemampuan?" Li Wei bahkan tidak menatap Alex. Pandangan matanya melembut saat menemukan sosok Diana yang bersembunyi di belakang Alex. "Jaga matamu, Anak Kecil." Alex menghalangi pandangan mata Li Wei. "Mata jelas-jelas punyaku. Memangnya pemandangan di kamar ini punyamu?" ejek Li Wei. "Huss... Kalian ini. Di rumah sakit masih aja mau berkelahi...," desis Mikaela. Dia terpaksa menghampiri anak-anak muda k
"Kau! Cari mati!" Lao Hu menjerit histeris. Darah mengalir ke wajahnya. "Kau yang cari mati, Tua Bangka!" bentak Ben. Alex benar-benar melongo. Bukannya kedua lelaki ini sama-sama tua? Lao Hu merangsek ke arah Ben. Dia hendak menghabisi pengganggu tak terduga ini dalam satu pukulan. Alex tidak tinggal diam. Dia segera menyerang dari samping, tepat mengenai bagian sisi kepala Lao Hu. Walaupun terkena tendangan tapi reaksi Lao Hu masih luar biasa. Lengannya mengibas ke samping membuat tubuh Alex terlempar ke dinding. "Ben! Hati-hati!" seru Mikaela. "Jangan keluar! Tetap di dalam!" Ben berseru pada istrinya. Lao Hu menatap ke arah Mikaela. Tatapan matanya berubah ganas. Ben menempatkan dirinya di antara Mikaela dan Lao Hu. "Heh, wanita yang cantik. Setelah kalian lelaki-lelaki tak berguna ini mati, akan kurebut wanita kalian!" Lao Hu tertawa
Matahari tinggi di puncak langit. Sederetan mobil hitam parkir tidak beraturan di luar gerbang kediaman Hartanto. Beberapa orang penjaga berteriak-teriak mengusir para pendatang yang tidak tahu diri itu. Pintu mobil terbuka nyaris berbarengan. Selusin lelaki bertubuh besar berwajah garang melompat turun. Niko dan Lao Hu turun setelah formasi terbentuk. Teriknya matahari membuat Lao Hu memicingkan mata. "Ini rumahnya?" tanya Lao Hu. "Betul, Bos. Alex sedang berada di sini." jawab Niko dengan hormat. Lao Hu menggerakkan kepala sebagai kode untuk anak buahnya. Kompak, selusin lelaki bertubuh besar merobohkan pintu gerbang. Besi baja terlihat tak berguna di hadapan mereka. Para penjaga berhamburan dari dalam rumah, semua membawa tongkat atau senjata tumpul lainnya. Seketika terjadi pertarungan sengit di pekarangan. Lao Hu dan Niko berjalan melewati mereka seolah tidak ada a
Genderang perang sudah ditabuh. Lao Hu berangkat ke kediaman Hartanto bersama Niko dan selusin anak buah mereka. Mobil hitam melaju beriringan tanpa rintangan berarti. Jika saja langit berubah jadi gelap disertai kilat menyambar dan guntur bertalu, mereka akan mirip seperti utusan dari neraka. Sayangnya langit begitu cerah tanpa awan sedikit pun. "Bos, Shi Fu Li tidak ikut?" tanya Niko perlahan. "Dia sudah mengatakan bahwa hari ini baik. Aku percaya padanya," sahut Lao Hu yang bersandar memejamkan mata. "Oh, baik kalau begitu." Niko tidak berani bertanya lagi. "Bangunkan aku kalau sudah sampai," kata Lao Hu. "Baik, Bos." Kediaman Hartanto... Alex menyeret Jack ke pekarangan. Dia butuh sedikit gerak badan. Jack yang masih mengantuk terus-menerus menggerutu. "Bacotmu seperti anak perempuan," ledek Alex.
"Shi Fu, bagaimana... Tadi...." Lao Hu yang sudah dapat bergerak kini kebingungan seperti orang baru terbangun dari tidur panjang. "Istirahatlah dulu. Cari hari lain untuk menghadapi Alexander. Terlalu banyak kejutan hari ini, tidak baik." Li Wei termenung. Lao Hu merasa tidak rela, tapi dia tidak berani membantah perkataan seorang Shi Fu Li. Dia membungkukkan badan dengan hormat dan kembali ke kamar. Li Wei menghela nafas. Percakapan singkat dengan Mikaela mengangkat selubung kegelapan dalam hatinya. Ada baiknya juga mengikuti nasihat Mikaela, mungkin dengan demikian dia dapat merebut hati Diana seperti seorang lelaki sejati. Huh, wanita yang dicintai ayahnya memang hebat. Tidak memiliki ilmu apa-apa tapi kekuatannya luar biasa. Sayang, sungguh sangat disayangkan ayah pergi terlalu cepat. Li Wei ingin sekali mendengarkan lagi kisah percintaan itu dari mulut ayahnya, dengan perspektif yang berb
Firasat buruk datang seperti angin dingin di tengah malam, membuat tubuh tidak nyaman dan pikiran tidak tenang. Mikaela menatap dua anak muda yang masih memejamkan mata karena kelelahan mental yang baru saja mereka lalui. Bagaimana mereka bisa melawan musuh yang akan datang? Mikaela keluar dari kamar Diana. Raut wajah yang biasanya lembut kini terlihat penuh tekad. Dia masuk ke kamarnya untuk berbicara dengan Ben. Dilihatnya Ben sedang duduk di meja sambil melihat-lihat dokumen. "Sayang?" panggil Mikaela. "Hmm," gumam Ben acuh tak acuh. Mikaela tersenyum. Lelaki yang telah dinikahinya selama tiga puluh lima tahun ini tampak lelah. Dia meletakkan tangan di bahu Ben. "Bersikap baiklah terhadap Alex, Sayang. Bagaimanapun juga dia suami putri kita...," desah Mikaela. "Hmm." "Aku mau keluar sebentar ya. Tolong jaga anak-anak." Mikaela me
Alex dan Diana memeriksa setiap sudut ruangan untuk menemukan keberadaan akar mantra tersebut. Tidak ada satu sudut pun yang lolos dari pemeriksaan. Entah berapa lama waktu berlalu, tapi Alex mulai merasa lelah. "Selain tempat ini masih ada lagi?" tanya Alex. "Ehm... Kita belum melihat semuanya." Alex menatap Diana, "Di mana?" "Itu." Diana menunjuk ke sebuah titik. Alex mengangkat kepala. Siapa sangka ada rak buku tersembunyi di atas sebuah pilar besar. Siapa pun yang tanpa sengaja melihat ke atas tidak akan dapat menemukannya. "Sepertinya aku harus memanjat." Alex menghela nafas. "Ada tangga di sana." Diana menunjuk ke bawah pilar. Benar saja, ada anak tangga yang dipahat pada pilar. Tangga melingkar itu baru menunjukkan wujudnya setelah mereka benar-benar memperhatikan. "Pikiranmu rumit sekali, Princess." Alex terseny