Diana membisu sepanjang perjalanan menuju rumah orangtuanya. Jack pun tidak berusaha memulai percakapan. Dia mengerti beratnya perpisahan bagi pasangan baru.
Saat mobil yang membawa mereka masuk ke gerbang sebuah rumah yang besar seperti istana, Diana menghela nafas. Begitu sudah masuk akan sulit untuk keluar. Mikaela tampak berdiri di pintu utama sambil celingak-celinguk. Diana tersenyum. Ibunya bagaikan secercah sinar mentari di tengah istana. Padahal baru bulan lalu mereka bertemu, tapi Mikaela selalu merindukannya. "Selamat datang kembali, Nak." Mikaela memeluk putri semata wayangnya erat-erat. Diana tertawa, "Iya Ma, aku pulang lagi." "Bu," sapa Jack. "Perjalanan panjang ya. Kamu istirahatlah dulu. Tugasmu sudah selesai," kata Mikaela tanpa kehilangan senyum. Jack mengangguk pada kedua wanita itu dan masuk ke dalam. "Papa maMakan malam keluarga berlangsung hangat karena Mikaela. Dia memang nyonya rumah yang baik. Benyamin lebih banyak diam sambil mengamati keadaan. Sebagai kepala rumah tangga Benyamin duduk di kepala meja, sedangkan Mikaela dan Diana di sisi kanan kirinya. "Besok aku akan menyuruh orang memetikkan serangkai bunga dari rumah kaca. Kita perlu menyemarakkan rumah ini. Aku merasa kadang-kadang suasananya terlalu suram," kata Mikaela. Tangannya menyentuh lengan Benyamin, "Bagaimana menurutmu?" "Baik juga," sahut Benyamin singkat. "Aku juga akan membuka jendela lebar-lebar sepanjang siang supaya udara segar masuk," lanjut Mikaela masih dengan semangat yang sama. Diana menghela nafas. Sendoknya memotong makanan di piring menjadi potongan kecil-kecil. "Diana? Bagaimana menurutmu?" Mikaela tersenyum. "Bagus, Ma." Diana membalas senyuman itu. "Bagaimana pekerjaanmu
Beberapa hari berkeliaran di rumah tanpa kegiatan berarti membuat Diana bosan setengah mati. Dia bahkan membujuk Jack untuk berlatih bersamanya, tapi Jack menolak karena tahu Benyamin pasti tidak setuju. Mikaela berusaha menyibukkan Diana dengan hal-hal kecil seperti mengobrol, mengurus rumah kaca, bahkan mengantarkan makan siang untuk Benyamin di kantor. Tetap saja tidak mampu mengusir kejenuhan Diana. Suatu malam saat makan malam bersama... Diana menunduk di atas piring, memotong kecil-kecil makanannya dengan ribut. Suara sendok beradu dengan piring membuat Mikaela melirik cemas. Sesuai nasihat Mikaela, Diana melepas cincin dari jari dan memakainya sebagai bandul kalung supaya tidak menambah kekesalan Benyamin. "Makan dengan anggun selayaknya seorang wanita, Nak. Lihatlah Mamamu," cetus Benyamin yang mulai merasa terganggu dengan kebiasaan baru Diana selama beberapa hari terakhir. &nb
"Pa, aku mau bertemu Alex." Benyamin melotot, "Tidak boleh! Papa tidak bersusah-payah menyuruhmu pulang hanya untuk melepasmu kembali ke tangan lelaki itu! Bagian mana yang tidak kamu pahami mengenai larangan Papa?" "Tapi Papa...." "Papa tahu orang seperti apa dia! Dia bukan pilihan untukmu, Diana! Bahkan terlintas dalam pikiran pun tidak!" "Papa belum kenal Alex, bagaimana bisa menilainya?" "Kamu membela orang lain daripada keluargamu sendiri? Bagus! Semakin memperkuat alasan Papa melarangmu dekat dengannya!" "Pa, justru Alex yang memintaku untuk pulang ke sini, supaya Papa lebih tenang. Dia memikirkan hal yang baik, Pa." Diana menjelaskan. "Apa motivasi di balik itu? Kamu begitu saja percaya kata-katanya? Dia memanfaatkan kepolosanmu, Nak!" Benyamin tidak goyah terhadap penjelasan Diana. "Aku sudah dewasa, Pa. Aku bisa memutuskan apa
"Cincin ini bagus juga dikalungkan." Alex memainkan cincin pemberiannya yang tergantung di tengah dada Diana. Diana terkikik geli, "Biar Papa tidak tambah emosi melihatnya." "Posisinya bagus. Aku akan sering-sering menyentuh cincin ini." Mata Alex berkilat nakal. "Alex! Pikiranmu sampai kesana!" "Memang kamu tidak menyadarinya?" Diana kehilangan kata-kata karena Alex menciumi kulit telanjang di sekeliling cincin. Matanya terpejam saat Alex mengulum puncak yang lembut. "Mmhh... Kamu memang nakal...," desah Diana. "Aku suka melihat wajahmu yang begitu menikmati." Alex bertopang dagu di sisi Diana. Pipi Diana merona, membuat Alex tidak tahan dan menciuminya kembali. Kelembutan kulit yang seputih pualam membuat Alex ketagihan. Tidak ada wanita yang membuatnya merasa seperti ini. Tidak ada wanita yang membuatnya tidak ingin meninggalk
Dua mobil melaju beriringan di jalan tol yang sepi. Diana bersandar miring memandangi Alex sepanjang perjalanan. Enggan sekali kalau harus berpisah lagi. "Kamu yakin papa mau bicara denganmu?" tanya Diana. "Selain ayah kan masih ada ibumu. Cara lain untuk mendekati lelaki adalah melalui wanitanya." "Ohh..." Diana tidak menyangka jawaban Alex. "Aku tidak akan menyerah, Princess." Alex menggenggam tangan Diana. Siapakah lelaki di sampingnya ini? Pikiran Diana melayang pada saat mereka pertama kali bertemu. Alex memberi kesan yang menakutkan karena sikap agresifnya. Setelah beberapa waktu mengenalnya ternyata Alex memiliki hati yang baik dan menghargai. Diana berharap semoga Benyamin dapat melihat diri Alex di balik penampilan yang terkesan cuek. Ketegangan membuat Diana terjaga sepanjang perjalanan, padahal biasanya dia mengantuk dan tertidur sebentar. Keluar dari
Sore hari ketika Alex harus pulang... "Aku akan sering berkunjung," janji Alex. Mata Diana berkaca-kaca, "Janji?" "Janji, Sayang..." Alex mencium pipi Diana setelah yakin tidak ada yang melihat. "Baiklah. Hati-hati di jalan." Diana enggan melepas tangan Alex. Alex mencium tangan Diana, "Nikmati waktumu disini. Aku akan menelepon nanti malam." "Iya." Diana menunggu di gerbang sampai mobil Alex menghilang dari pandangan. Mikaela berjalan tanpa suara ke sisi Diana. Mereka menghela nafas berbarengan. Diana terlonjak kaget, "Mama? Bikin kaget saja." "Dasar anak muda. Untung papamu tidak melihat adegan cium pipi tadi, kalau tidak dia bisa berlari keluar dengan golok di tangan," goda Mikaela. Diana tertawa malu. "Sudahlah, Nak. Dia pasti akan kembali kok. Ayo kita masuk, sudah sore." Mikaela
Pagi-pagi sekali Diana terbangun oleh gedoran di pintu. Dilihatnya handphone sudah mati kehabisan daya. Diana langsung menancapkan kabel charger. Dia membenahi pakaian tidurnya dan membuka pintu. Mikaela berdiri dengan wajah pucat. "Ada apa, Ma?" Diana langsung merasa ada yang tidak beres. "Ada yang melempar sesuatu ke dalam pagar," kata Mikaela lirih. "Apa itu?" Mikaela tidak menjawab. Mereka berdua bergegas turun menuju pusat kehebohan. Penjaga dan karyawan lain berkerumun di pekarangan. Jack tampak berdiri di antara mereka. Diana berlari menghampiri, tangannya menepuk bahu Jack, "Ada apa?" "Nona, sebaiknya jangan dilihat," kata Jack. Wajahnya tanpa ekspresi. Diana melongok ke tengah kerumunan. Kelihatannya ada sebuah kotak kardus besar. Mata Diana terbelalak melihat isinya. Gambaran itu tertanam dalam otak Diana, membuatnya bergidik jijik. Bangkai t
Suara jeritan wanita terdengar sayup dari dalam rumah. Niko berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Hasratnya bangkit mendengar suara-suara itu. Han adalah binatang yang tak terpuaskan. Wanita-wanita yang dipaksa melayani bos mereka terkadang harus kehilangan nyawa karena kebuasan lelaki tua itu. "Lakukan sekarang," perintah Niko lewat handphone. Niko memerintahkan anak buahnya untuk membakar tumpukan ban di depan rumah Benyamin Hartanto. Mereka kenal Benyamin, seorang konglomerat dengan masa lalu yang kelam. Kalau bukan karena Alexander mereka tidak akan mengganggu konglomerat itu. Niko tahu dengan kekayaan yang dimiliki, Benyamin dapat mengimbangi kekuatan kelompok hitam. Di depan rumah Benyamin beberapa orang bergerak. Mereka melempar beberapa ban bekas yang dibawa. Saat salah seorang dari mereka hendak menyulut api, polisi menyergap. Kejadiannya sangat cepat. Satu orang lolos karena saat pen
Hari kepulangan Ben adalah hari yang dinantikan semua orang, bahkan Alex pun berpikiran baik terhadap ayah mertuanya. Cederanya belum pulih seratus persen, tapi sudah tidak membahayakan. Ben pun bisa berjalan sendiri meskipun lebih lemah dari biasanya. "Bagaimana keadaanmu?" Ben bertanya pada Alex saat hanya ada mereka berdua di ruang tamu. "Apa? Seharusnya aku yang bertanya padamu." Ben meringis menahan tawa, "Tidak boleh bertanya? Lupakan saja niat baikku." Alex berdeham, "Kenapa Anda menghalangi pukulan Lao Hu?" Ben menatap Alex dengan pandangan rumit, "Kenapa? Karena kalau kamu terluka putriku akan bersedih." "Aku mengerti." Alex tersenyum. Ada sesuatu yang menarik dalam pikiran Ben. "Kenapa kamu melindungiku?" Ben bertanya kembali. "Karena Anda ayah istriku." Hening sesaat. Kedua lelaki berbeda generasi itu tampak
Alex dan Diana duduk di kursi taman rumah sakit yang menghadap ke arah kamar VIP. Mereka menikmati suasana yang cukup sejuk sambil mengobrol ringan. "Untung kamu tidak cedera berat seperti waktu itu," kata Diana. "Cuma keretakan rusuk sedikit. Aku masih bisa bermesraan denganmu," goda Alex. "Kamu nih, kata dokter jangan banyak bergerak dulu. Biar tidak berat tapi kalau dipaksa cederanya bisa bertambah." "Cedera apa? Istriku kan mungil dan ringan." Alex mengecup pipi Diana. "Serius dong," gerutu Diana. "Lihat, orang itu sudah keluar." Alex melirik ke satu arah. Diana menoleh ke arah kamar pasien. Tampak Li Wei dan Mikaela berdiri berhadapan. "Kamu bilang mereka ada hubungannya?" tanya Diana. "Rasanya begitu." Terlihat Mikaela merentangkan tangan. Li Wei ragu, maka Mikaela maju untuk memeluknya. Diana te
Suasana dalam kamar VIP di rumah sakit menjadi tegang karena kedatangan Li Wei. Lelaki muda itu datang untuk menjenguk keluarga Hartanto, namun tujuan utamanya adalah untuk bertemu Diana. "Mau apa kemari?" tanya Alex. "Aku datang dengan niat baik. Tanya saja ibu mertuamu." Li Wei tersenyum dingin. "Tidak ada niat baik dalam kepalamu. Aku belum memberimu pelajaran atas apa yang kau lakukan terhadap Diana," geram Alex. "Memangnya kau punya kemampuan?" Li Wei bahkan tidak menatap Alex. Pandangan matanya melembut saat menemukan sosok Diana yang bersembunyi di belakang Alex. "Jaga matamu, Anak Kecil." Alex menghalangi pandangan mata Li Wei. "Mata jelas-jelas punyaku. Memangnya pemandangan di kamar ini punyamu?" ejek Li Wei. "Huss... Kalian ini. Di rumah sakit masih aja mau berkelahi...," desis Mikaela. Dia terpaksa menghampiri anak-anak muda k
"Kau! Cari mati!" Lao Hu menjerit histeris. Darah mengalir ke wajahnya. "Kau yang cari mati, Tua Bangka!" bentak Ben. Alex benar-benar melongo. Bukannya kedua lelaki ini sama-sama tua? Lao Hu merangsek ke arah Ben. Dia hendak menghabisi pengganggu tak terduga ini dalam satu pukulan. Alex tidak tinggal diam. Dia segera menyerang dari samping, tepat mengenai bagian sisi kepala Lao Hu. Walaupun terkena tendangan tapi reaksi Lao Hu masih luar biasa. Lengannya mengibas ke samping membuat tubuh Alex terlempar ke dinding. "Ben! Hati-hati!" seru Mikaela. "Jangan keluar! Tetap di dalam!" Ben berseru pada istrinya. Lao Hu menatap ke arah Mikaela. Tatapan matanya berubah ganas. Ben menempatkan dirinya di antara Mikaela dan Lao Hu. "Heh, wanita yang cantik. Setelah kalian lelaki-lelaki tak berguna ini mati, akan kurebut wanita kalian!" Lao Hu tertawa
Matahari tinggi di puncak langit. Sederetan mobil hitam parkir tidak beraturan di luar gerbang kediaman Hartanto. Beberapa orang penjaga berteriak-teriak mengusir para pendatang yang tidak tahu diri itu. Pintu mobil terbuka nyaris berbarengan. Selusin lelaki bertubuh besar berwajah garang melompat turun. Niko dan Lao Hu turun setelah formasi terbentuk. Teriknya matahari membuat Lao Hu memicingkan mata. "Ini rumahnya?" tanya Lao Hu. "Betul, Bos. Alex sedang berada di sini." jawab Niko dengan hormat. Lao Hu menggerakkan kepala sebagai kode untuk anak buahnya. Kompak, selusin lelaki bertubuh besar merobohkan pintu gerbang. Besi baja terlihat tak berguna di hadapan mereka. Para penjaga berhamburan dari dalam rumah, semua membawa tongkat atau senjata tumpul lainnya. Seketika terjadi pertarungan sengit di pekarangan. Lao Hu dan Niko berjalan melewati mereka seolah tidak ada a
Genderang perang sudah ditabuh. Lao Hu berangkat ke kediaman Hartanto bersama Niko dan selusin anak buah mereka. Mobil hitam melaju beriringan tanpa rintangan berarti. Jika saja langit berubah jadi gelap disertai kilat menyambar dan guntur bertalu, mereka akan mirip seperti utusan dari neraka. Sayangnya langit begitu cerah tanpa awan sedikit pun. "Bos, Shi Fu Li tidak ikut?" tanya Niko perlahan. "Dia sudah mengatakan bahwa hari ini baik. Aku percaya padanya," sahut Lao Hu yang bersandar memejamkan mata. "Oh, baik kalau begitu." Niko tidak berani bertanya lagi. "Bangunkan aku kalau sudah sampai," kata Lao Hu. "Baik, Bos." Kediaman Hartanto... Alex menyeret Jack ke pekarangan. Dia butuh sedikit gerak badan. Jack yang masih mengantuk terus-menerus menggerutu. "Bacotmu seperti anak perempuan," ledek Alex.
"Shi Fu, bagaimana... Tadi...." Lao Hu yang sudah dapat bergerak kini kebingungan seperti orang baru terbangun dari tidur panjang. "Istirahatlah dulu. Cari hari lain untuk menghadapi Alexander. Terlalu banyak kejutan hari ini, tidak baik." Li Wei termenung. Lao Hu merasa tidak rela, tapi dia tidak berani membantah perkataan seorang Shi Fu Li. Dia membungkukkan badan dengan hormat dan kembali ke kamar. Li Wei menghela nafas. Percakapan singkat dengan Mikaela mengangkat selubung kegelapan dalam hatinya. Ada baiknya juga mengikuti nasihat Mikaela, mungkin dengan demikian dia dapat merebut hati Diana seperti seorang lelaki sejati. Huh, wanita yang dicintai ayahnya memang hebat. Tidak memiliki ilmu apa-apa tapi kekuatannya luar biasa. Sayang, sungguh sangat disayangkan ayah pergi terlalu cepat. Li Wei ingin sekali mendengarkan lagi kisah percintaan itu dari mulut ayahnya, dengan perspektif yang berb
Firasat buruk datang seperti angin dingin di tengah malam, membuat tubuh tidak nyaman dan pikiran tidak tenang. Mikaela menatap dua anak muda yang masih memejamkan mata karena kelelahan mental yang baru saja mereka lalui. Bagaimana mereka bisa melawan musuh yang akan datang? Mikaela keluar dari kamar Diana. Raut wajah yang biasanya lembut kini terlihat penuh tekad. Dia masuk ke kamarnya untuk berbicara dengan Ben. Dilihatnya Ben sedang duduk di meja sambil melihat-lihat dokumen. "Sayang?" panggil Mikaela. "Hmm," gumam Ben acuh tak acuh. Mikaela tersenyum. Lelaki yang telah dinikahinya selama tiga puluh lima tahun ini tampak lelah. Dia meletakkan tangan di bahu Ben. "Bersikap baiklah terhadap Alex, Sayang. Bagaimanapun juga dia suami putri kita...," desah Mikaela. "Hmm." "Aku mau keluar sebentar ya. Tolong jaga anak-anak." Mikaela me
Alex dan Diana memeriksa setiap sudut ruangan untuk menemukan keberadaan akar mantra tersebut. Tidak ada satu sudut pun yang lolos dari pemeriksaan. Entah berapa lama waktu berlalu, tapi Alex mulai merasa lelah. "Selain tempat ini masih ada lagi?" tanya Alex. "Ehm... Kita belum melihat semuanya." Alex menatap Diana, "Di mana?" "Itu." Diana menunjuk ke sebuah titik. Alex mengangkat kepala. Siapa sangka ada rak buku tersembunyi di atas sebuah pilar besar. Siapa pun yang tanpa sengaja melihat ke atas tidak akan dapat menemukannya. "Sepertinya aku harus memanjat." Alex menghela nafas. "Ada tangga di sana." Diana menunjuk ke bawah pilar. Benar saja, ada anak tangga yang dipahat pada pilar. Tangga melingkar itu baru menunjukkan wujudnya setelah mereka benar-benar memperhatikan. "Pikiranmu rumit sekali, Princess." Alex terseny