Pagi-pagi sekali Diana terbangun oleh gedoran di pintu. Dilihatnya handphone sudah mati kehabisan daya. Diana langsung menancapkan kabel charger. Dia membenahi pakaian tidurnya dan membuka pintu. Mikaela berdiri dengan wajah pucat.
"Ada apa, Ma?" Diana langsung merasa ada yang tidak beres. "Ada yang melempar sesuatu ke dalam pagar," kata Mikaela lirih. "Apa itu?" Mikaela tidak menjawab. Mereka berdua bergegas turun menuju pusat kehebohan. Penjaga dan karyawan lain berkerumun di pekarangan. Jack tampak berdiri di antara mereka. Diana berlari menghampiri, tangannya menepuk bahu Jack, "Ada apa?" "Nona, sebaiknya jangan dilihat," kata Jack. Wajahnya tanpa ekspresi. Diana melongok ke tengah kerumunan. Kelihatannya ada sebuah kotak kardus besar. Mata Diana terbelalak melihat isinya. Gambaran itu tertanam dalam otak Diana, membuatnya bergidik jijik. Bangkai tSuara jeritan wanita terdengar sayup dari dalam rumah. Niko berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Hasratnya bangkit mendengar suara-suara itu. Han adalah binatang yang tak terpuaskan. Wanita-wanita yang dipaksa melayani bos mereka terkadang harus kehilangan nyawa karena kebuasan lelaki tua itu. "Lakukan sekarang," perintah Niko lewat handphone. Niko memerintahkan anak buahnya untuk membakar tumpukan ban di depan rumah Benyamin Hartanto. Mereka kenal Benyamin, seorang konglomerat dengan masa lalu yang kelam. Kalau bukan karena Alexander mereka tidak akan mengganggu konglomerat itu. Niko tahu dengan kekayaan yang dimiliki, Benyamin dapat mengimbangi kekuatan kelompok hitam. Di depan rumah Benyamin beberapa orang bergerak. Mereka melempar beberapa ban bekas yang dibawa. Saat salah seorang dari mereka hendak menyulut api, polisi menyergap. Kejadiannya sangat cepat. Satu orang lolos karena saat pen
"Silakan. Yang paling tua boleh memulai dulu." Alex tersenyum. Penampilan Han boleh terlihat seperti lelaki tua, tapi gerakannya luwes dalam pertarungan. Langkah kakinya ringan seolah tak berbobot. Hanya butuh dua langkah lebar bagi Han untuk memperkecil jarak sejauh dua meter antara dirinya dan Alex. Alex sudah mengantisipasi tapi dia masih terkejut. Dia menghindar ke samping saat Han melayangkan telapak tangan ke kepala. Besi menghantam dada Han dengan keras, membuatnya mundur selangkah. Alex tidak membuang waktu, batang besi di tangannya berputar, menusuk, memukul tubuh Han bertubi-tubi. Han berteriak keras dan melancarkan serangan balasan. Alex menangkis tepat waktu. "Kamu sudah bertambah tua. Cuma segitu pukulanmu?" ejek Alex. "Siapa yang tertawa paling akhir itulah pemenangnya," kata Han. Satu sentakan dan bajunya pun robek, menunjukkan tubuh tua yang masih
"Kapan pulang??" tanya Benyamin dengan galak. "Pa, aku janji akan pulang kalau Alex sudah pulih. Sekarang biarkan aku merawatnya. Dia terluka karena menghadapi orang-orang yang meneror rumah Papa," bujuk Diana. Benyamin terdiam sesaat, "Baiklah! Tapi hanya kali ini saja Papa ijinkan kamu berdekatan dengannya!" "Iya Pa." Diana tersenyum. "Ehm, bagaimana Nona? Pak Ben mengijinkan?" tanya Jack penasaran. "Iya. Sampai Alex pulih." Diana meletakkan handphone di meja. "Hah! Kamu beruntung, Vorst." Jack tertawa. "Aku bersyukur." Alex tersenyum senang. Jack meninggalkan kamar untuk cari angin. Alex tahu Jack sengaja keluar untuk memberi privasi padanya dan Diana. "Sakit banget ya?" tanya Diana dengan wajah sedih. "Masih bisa ditahan. Aku pernah beberapa kali mengalaminya meskipun tidak sepa
"Temani aku tidur," bujuk Alex. "Kamu bisa manja juga ya?" "Hmmm... Kapan lagi? Mumpung ada kesempatan." Diana memanjat ke tempat tidur dan rebah di sisi kiri Alex, "Begini cukup, Kakak?" Dia menahan tawa. Alex mengerang, "Aku benar-benar disiksa. Kamu tahu kan aku sulit tertawa?" "Iya, maaf. Habisnya kamu manja sih. Ini sudah hari ke berapa sih kamu istirahat?" "Baru satu minggu, Princess. Aku butuh waktu sekurangnya satu bulan untuk pulih seratus persen." "Satu bulan ya. Setelah itu aku harus pulang." Diana bersandar di dada Alex. Alex melingkarkan lengan di punggung Diana. Dia menahan nyeri untuk menarik Diana mendekat. "Sakit ya?" tanya Diana. "Masih bisa ditahan. Aku sudah terbiasa." "Kamu tidak mau minum obat dokter?" "Obat pereda nyeri me
Benyamin menelepon Diana setiap hari untuk memastikan keadaan. Keinginannya adalah supaya Diana cepat pulang ke rumah. Sebagai ayah dia sangat mengkhawatirkan putrinya yang berada jauh. Kondisi tubuh Alex yang kuat membuatnya pulih lebih cepat. Tidak sampai satu bulan dia sudah dapat bergerak normal. Diana tahu waktu perpisahan sudah ada di depan mata. "Kenapa tidak sakit lebih lama sih...," rajuk Diana. "Apa? Kamu senang kalau aku sakit?" Alex tertawa. "Biar aku tidak usah pulang..." Mata Diana berkaca-kaca. "Princess, jangan berkata begitu," Alex mengusap airmata yang jatuh di pipi Diana, "Aku juga tidak ingin berpisah, tapi kita harus menunjukkan pada ayahmu bahwa kita dapat menepati janji." "Aku tahu..." Diana terisak. "Aku akan mengantarmu pulang." "Kapan? Sekarang?" Alex mengangguk.
"Terima kasih sudah mengijinkan Diana merawat saya selama beberapa minggu. Saya tidak akan melupakannya," kata Alex. Ben mendengus, "Sekarang kita impas. Tidak ada beban sama sekali jika kita berpisah jalan. Hidup putri kami masih panjang dan kami sebagai orangtua tidak ingin Diana berada di tengah pertikaian antara dirimu dan lawan-lawanmu di dunia hitam." "Benar. Maafkan saya atas keresahan yang ditimbulkan, tapi saya akan berusaha supaya tidak ada lagi yang akan mengganggu Diana," tutur Alex dengan wajah datar. "Aku juga tidak keberatan kok, Pa," timpal Diana. Ben mendelik, "Kamu jangan ikut campur! Masuk ke kamarmu!" "Papa kan sedang membicarakan hidupku? Ya tentu aku ikut bicara dong?" balas Diana. "Benar-benar...." Ben menggertakkan gigi. Mikaela meletakkan tangan di lengan suaminya. Sejak awal pembicaraan wajahnya sangat tenang.
Jauh malam ketika semua orang sudah tidur... Diana berbaring miring dengan handphone di tangan. Wajah Alex tampak melalui video call. Mereka tengah mengobrol ringan. "Aku sudah emailkan kembali file yang terbaru. Ada lagi yang kamu butuhkan?" tanya Diana. "Kamu," goda Alex. "Ih, sebal," gerutu Diana. "Sedang jauh begini jangan bicara yang aneh-aneh deh...." "Hmmm.... Jadi bicara apa dong?" "Bagaimana harimu? Atau sudah makan atau belum? Atau basa-basi manis tapi aman lainnya." "Takut kangen ya?" "Alex! Tiga hari itu lama loh...," keluh Diana. "Tidak, Princess. Tiga hari tidaklah lama. Jalani harimu dengan sepenuh hati, waktu akan cepat berlalu." "Masuk akal sih..." "Bagaimana harimu?" tanya Alex dengan senyum menawan. "Mama membuatku tetap sibuk. Aku tahu dia tidak ing
Akhirnya hari ini pun tiba. Semalam Alex sudah memastikan bahwa pagi-pagi sekali dia akan datang. Diana tidak dapat tidur sampai pagi. Ketika matahari keluar dari peraduan, Diana pun keluar dari kamar. Dia berderap menuju dapur untuk mencari makan. "Ada yang bahagia hari ini," goda Mikaela. "Ih, Mama." Diana tersipu. "Mau buat sarapan untuk Alex?" "Iya, tapi belum tahu mau buat apa." Diana melihat isi kulkas dan lemari. "Mama tahu apa aja yang kamu buat pasti dia suka. Selamat bekerja, Sayang." Mikaela mengecup pipi Diana dan meninggalkannya. Diana memutuskan untuk membuat roti isi. Dia mengeluarkan sekantong roti tawar, telur, mentega, selada, tomat. Harusnya cukup. Diana mulai mengiris tomat dan mencuci daun selada. "Wah, pagi-pagi sudah sibuk. Perlu bantuanku?" Jack menyeringai. "Oh, Jack. Boleh. Aku mau bikin roti isi seperti buata
Hari kepulangan Ben adalah hari yang dinantikan semua orang, bahkan Alex pun berpikiran baik terhadap ayah mertuanya. Cederanya belum pulih seratus persen, tapi sudah tidak membahayakan. Ben pun bisa berjalan sendiri meskipun lebih lemah dari biasanya. "Bagaimana keadaanmu?" Ben bertanya pada Alex saat hanya ada mereka berdua di ruang tamu. "Apa? Seharusnya aku yang bertanya padamu." Ben meringis menahan tawa, "Tidak boleh bertanya? Lupakan saja niat baikku." Alex berdeham, "Kenapa Anda menghalangi pukulan Lao Hu?" Ben menatap Alex dengan pandangan rumit, "Kenapa? Karena kalau kamu terluka putriku akan bersedih." "Aku mengerti." Alex tersenyum. Ada sesuatu yang menarik dalam pikiran Ben. "Kenapa kamu melindungiku?" Ben bertanya kembali. "Karena Anda ayah istriku." Hening sesaat. Kedua lelaki berbeda generasi itu tampak
Alex dan Diana duduk di kursi taman rumah sakit yang menghadap ke arah kamar VIP. Mereka menikmati suasana yang cukup sejuk sambil mengobrol ringan. "Untung kamu tidak cedera berat seperti waktu itu," kata Diana. "Cuma keretakan rusuk sedikit. Aku masih bisa bermesraan denganmu," goda Alex. "Kamu nih, kata dokter jangan banyak bergerak dulu. Biar tidak berat tapi kalau dipaksa cederanya bisa bertambah." "Cedera apa? Istriku kan mungil dan ringan." Alex mengecup pipi Diana. "Serius dong," gerutu Diana. "Lihat, orang itu sudah keluar." Alex melirik ke satu arah. Diana menoleh ke arah kamar pasien. Tampak Li Wei dan Mikaela berdiri berhadapan. "Kamu bilang mereka ada hubungannya?" tanya Diana. "Rasanya begitu." Terlihat Mikaela merentangkan tangan. Li Wei ragu, maka Mikaela maju untuk memeluknya. Diana te
Suasana dalam kamar VIP di rumah sakit menjadi tegang karena kedatangan Li Wei. Lelaki muda itu datang untuk menjenguk keluarga Hartanto, namun tujuan utamanya adalah untuk bertemu Diana. "Mau apa kemari?" tanya Alex. "Aku datang dengan niat baik. Tanya saja ibu mertuamu." Li Wei tersenyum dingin. "Tidak ada niat baik dalam kepalamu. Aku belum memberimu pelajaran atas apa yang kau lakukan terhadap Diana," geram Alex. "Memangnya kau punya kemampuan?" Li Wei bahkan tidak menatap Alex. Pandangan matanya melembut saat menemukan sosok Diana yang bersembunyi di belakang Alex. "Jaga matamu, Anak Kecil." Alex menghalangi pandangan mata Li Wei. "Mata jelas-jelas punyaku. Memangnya pemandangan di kamar ini punyamu?" ejek Li Wei. "Huss... Kalian ini. Di rumah sakit masih aja mau berkelahi...," desis Mikaela. Dia terpaksa menghampiri anak-anak muda k
"Kau! Cari mati!" Lao Hu menjerit histeris. Darah mengalir ke wajahnya. "Kau yang cari mati, Tua Bangka!" bentak Ben. Alex benar-benar melongo. Bukannya kedua lelaki ini sama-sama tua? Lao Hu merangsek ke arah Ben. Dia hendak menghabisi pengganggu tak terduga ini dalam satu pukulan. Alex tidak tinggal diam. Dia segera menyerang dari samping, tepat mengenai bagian sisi kepala Lao Hu. Walaupun terkena tendangan tapi reaksi Lao Hu masih luar biasa. Lengannya mengibas ke samping membuat tubuh Alex terlempar ke dinding. "Ben! Hati-hati!" seru Mikaela. "Jangan keluar! Tetap di dalam!" Ben berseru pada istrinya. Lao Hu menatap ke arah Mikaela. Tatapan matanya berubah ganas. Ben menempatkan dirinya di antara Mikaela dan Lao Hu. "Heh, wanita yang cantik. Setelah kalian lelaki-lelaki tak berguna ini mati, akan kurebut wanita kalian!" Lao Hu tertawa
Matahari tinggi di puncak langit. Sederetan mobil hitam parkir tidak beraturan di luar gerbang kediaman Hartanto. Beberapa orang penjaga berteriak-teriak mengusir para pendatang yang tidak tahu diri itu. Pintu mobil terbuka nyaris berbarengan. Selusin lelaki bertubuh besar berwajah garang melompat turun. Niko dan Lao Hu turun setelah formasi terbentuk. Teriknya matahari membuat Lao Hu memicingkan mata. "Ini rumahnya?" tanya Lao Hu. "Betul, Bos. Alex sedang berada di sini." jawab Niko dengan hormat. Lao Hu menggerakkan kepala sebagai kode untuk anak buahnya. Kompak, selusin lelaki bertubuh besar merobohkan pintu gerbang. Besi baja terlihat tak berguna di hadapan mereka. Para penjaga berhamburan dari dalam rumah, semua membawa tongkat atau senjata tumpul lainnya. Seketika terjadi pertarungan sengit di pekarangan. Lao Hu dan Niko berjalan melewati mereka seolah tidak ada a
Genderang perang sudah ditabuh. Lao Hu berangkat ke kediaman Hartanto bersama Niko dan selusin anak buah mereka. Mobil hitam melaju beriringan tanpa rintangan berarti. Jika saja langit berubah jadi gelap disertai kilat menyambar dan guntur bertalu, mereka akan mirip seperti utusan dari neraka. Sayangnya langit begitu cerah tanpa awan sedikit pun. "Bos, Shi Fu Li tidak ikut?" tanya Niko perlahan. "Dia sudah mengatakan bahwa hari ini baik. Aku percaya padanya," sahut Lao Hu yang bersandar memejamkan mata. "Oh, baik kalau begitu." Niko tidak berani bertanya lagi. "Bangunkan aku kalau sudah sampai," kata Lao Hu. "Baik, Bos." Kediaman Hartanto... Alex menyeret Jack ke pekarangan. Dia butuh sedikit gerak badan. Jack yang masih mengantuk terus-menerus menggerutu. "Bacotmu seperti anak perempuan," ledek Alex.
"Shi Fu, bagaimana... Tadi...." Lao Hu yang sudah dapat bergerak kini kebingungan seperti orang baru terbangun dari tidur panjang. "Istirahatlah dulu. Cari hari lain untuk menghadapi Alexander. Terlalu banyak kejutan hari ini, tidak baik." Li Wei termenung. Lao Hu merasa tidak rela, tapi dia tidak berani membantah perkataan seorang Shi Fu Li. Dia membungkukkan badan dengan hormat dan kembali ke kamar. Li Wei menghela nafas. Percakapan singkat dengan Mikaela mengangkat selubung kegelapan dalam hatinya. Ada baiknya juga mengikuti nasihat Mikaela, mungkin dengan demikian dia dapat merebut hati Diana seperti seorang lelaki sejati. Huh, wanita yang dicintai ayahnya memang hebat. Tidak memiliki ilmu apa-apa tapi kekuatannya luar biasa. Sayang, sungguh sangat disayangkan ayah pergi terlalu cepat. Li Wei ingin sekali mendengarkan lagi kisah percintaan itu dari mulut ayahnya, dengan perspektif yang berb
Firasat buruk datang seperti angin dingin di tengah malam, membuat tubuh tidak nyaman dan pikiran tidak tenang. Mikaela menatap dua anak muda yang masih memejamkan mata karena kelelahan mental yang baru saja mereka lalui. Bagaimana mereka bisa melawan musuh yang akan datang? Mikaela keluar dari kamar Diana. Raut wajah yang biasanya lembut kini terlihat penuh tekad. Dia masuk ke kamarnya untuk berbicara dengan Ben. Dilihatnya Ben sedang duduk di meja sambil melihat-lihat dokumen. "Sayang?" panggil Mikaela. "Hmm," gumam Ben acuh tak acuh. Mikaela tersenyum. Lelaki yang telah dinikahinya selama tiga puluh lima tahun ini tampak lelah. Dia meletakkan tangan di bahu Ben. "Bersikap baiklah terhadap Alex, Sayang. Bagaimanapun juga dia suami putri kita...," desah Mikaela. "Hmm." "Aku mau keluar sebentar ya. Tolong jaga anak-anak." Mikaela me
Alex dan Diana memeriksa setiap sudut ruangan untuk menemukan keberadaan akar mantra tersebut. Tidak ada satu sudut pun yang lolos dari pemeriksaan. Entah berapa lama waktu berlalu, tapi Alex mulai merasa lelah. "Selain tempat ini masih ada lagi?" tanya Alex. "Ehm... Kita belum melihat semuanya." Alex menatap Diana, "Di mana?" "Itu." Diana menunjuk ke sebuah titik. Alex mengangkat kepala. Siapa sangka ada rak buku tersembunyi di atas sebuah pilar besar. Siapa pun yang tanpa sengaja melihat ke atas tidak akan dapat menemukannya. "Sepertinya aku harus memanjat." Alex menghela nafas. "Ada tangga di sana." Diana menunjuk ke bawah pilar. Benar saja, ada anak tangga yang dipahat pada pilar. Tangga melingkar itu baru menunjukkan wujudnya setelah mereka benar-benar memperhatikan. "Pikiranmu rumit sekali, Princess." Alex terseny