Diana geleng-geleng kepala melihat kondisi Alex dan Jack yang baru turun dari atap. Wajah mereka berantakan sehabis berkelahi tapi ketegangan yang ada sejak awal sudah lenyap.
"Kalian dari mana?" tanya Diana. Dirinya terbangun dan menemukan sisi tempat tidur Alex dingin. "Ngobrol." "Jalan." Kedua jawaban yang berbeda keluar bersamaan dari mulut Alex dan Jack. Mereka bertatapan dan tertawa. Diana terhenyak. Apa yang terjadi dengan mereka? Diana membuntuti Alex ke dalam kamar. "Alex, apa yang--" "Bagaimana kalau Jack menempati kamarmu? Dan kamu pindah kesini?" Alex memotong kata-kata Diana. "Ide buruk! Aku tidak mau!" "Oh, ya betul. Terlalu berbahaya untukmu." Alex tertawa. Diana berpikir sejenak, "Di atap bukannya ada kamar tidak terpakai? Kurasa ukurannya juga cukup besar untuk ditinggali dengan layak."  "Sebenarnya tidak seburuk itu kok. Lagipula pintumu kan memang mau diganti?" kata Diana sambil memegangi lengan Alex. "Betul. Pintu itu terlalu rapuh," timpal Jack yang sedang menggoreng sosis dan memanggang roti. Celemek berwarna hijau cerah menggantung di lehernya. Hari sudah menjelang pagi maka dia memutuskan untuk membuat sarapan. "Itu keputusanku! Bukan kamu, bodyguard nyasar! Lain kali lakukan tugasmu dengan lebih baik!" sergah Alex. Urat di pelipisnya menonjol. Bibir Jack komat-kamit menirukan kata-kata Alex. "Heh, jangan kira aku tidak bisa melihatmu!" bentak Alex. Jack baru menyadari kalau gerak-geriknya terpantul jelas di kitchen set yang daun pintunya terbuat dari stainless steel. Dia menyeringai. "Alex, jangan." Diana menahan Alex dengan segenap bobot tubuhnya. Saking kesalnya Alex pergi ke atap untuk menghajar samsak. Selama in
Club yang dikunjungi malam ini berlokasi di kota tetangga dengan jarak tempuh dua jam berkendara dalam kondisi lalu lintas lengang. Tidak ada yang mengobrol sepanjang perjalanan. Ada ketegangan pekat di udara. Saking pekatnya jika ada yang mengeluarkan pentul korek api, akan menyala. Alex membawa serta laptopnya dan laptop Diana. Tinggal menancapkan kabel data di laptop dan semua informasi yang ada dalam perangkat elektronik club dapat dibaca. Praktis dan tidak ada yang dapat disembunyikan. Mobil parkir di tempat yang tersedia. Mereka bertiga masuk ke club dengan Alex berjalan mendahului. Semua karyawan menyambutnya dengan hormat, tapi menatap Diana dan Jack dengan terheran-heran. Seolah teringat sesuatu Alex menghentikan langkahnya untuk menunggu Diana. Dia lalu merangkulnya masuk ke ruang kantor. "Selamat malam, Alex. Kami sudah menunggu kedatanganmu!" sapa seorang lelaki muda berperawakan besar.
Diana tidak dapat tidur meskipun kasurnya empuk dan nyaman. Dia berguling ke segala sisi membuat kusut selimut dan sprei. Merasa usahanya untuk tidur sia-sia, dia memutuskan untuk mencari udara segar. Diana menjaga langkah kakinya agar tidak bersuara saat naik ke atap gedung. Ini pertama kalinya dia naik kesini. Biasanya dia tidak mau berada di tempat yang terkucil tanpa ada satu makhluk hidup pun. Mengetahui Jack tinggal di atap membuatnya sedikit tenang. Angin berhembus menyejukkan kulit. Matahari mulai menghangatkan bumi. Diana menghirup nafas dalam-dalam. Udara disini segar sekali karena polusi di jalanan sulit mencapai puncak gedung. Diana berdiri di tepian dan melihat ke bawah. "Nona, stop!!" Diana terlompat kaget. Wajahnya memucat. Teriakan Jack membuat rohnya nyaris melayang. "Ups, maaf Nona, kupikir...." Jack tertawa gelisah. "Ya Tuhan, Jack! Aku hampir
"Belakangan Nona Diana terlihat lebih pendiam. Apa yang kamu lakukan terhadap dia, Vorst?" cetus Jack dengan nafas terengah. Dia baru sparring dengan Alex. "Menurutmu begitu?" tanya Alex hati-hati. Sudah tiga malam Diana tidur di kamarnya sendiri dan Alex tersiksa dengan insomnia. Jack tidak melanjutkan. "Apakah ayahnya menghubungi?" tanya Alex lagi. "Belum." "Seperti apa ayahnya?" "Pebisnis yang hebat." "Bicaralah lebih banyak! Sepertinya kamu banyak bicara saat ngobrol dengan Diana!" tukas Alex kesal. Jack tertawa, "Hei, kamu cemburu?" Alex bangkit, "Ayo, satu ronde lagi!" "Tenang Vorst! Tidak semua orang punya stamina gila sepertimu!" Jack terus tertawa. Alex pun melampiaskan emosinya pada samsak. "Setahuku Pak Ben berencana untuk mencari calon suami yang cocok bagi
Sambil memperhatikan makanan di piring otak Diana sibuk. Mimpi barusan terasa sangat jelas. Penampilan Alex dalam mimpi barusan bahkan sangat mendetil dan persis dengan sosok yang duduk di sisinya sekarang. Diana mendengus, cuma kebetulan! "Hari ini kita libur," kata Alex singkat. Diana tertegun, "Oh. Tidak masalah." "Kamu sudah mulai tua, Vorst. Masa sparring sebentar saja sudah kelelahan? Jarang olahraga?" ejek Jack dengan senyum polos. "Aku bisa melayanimu sepanjang hari sampai besoknya lagi. Berminat?" Alex melayangkan tatapan setajam belati ke arah Jack. Jack mengangkat kedua tangan. "Ngomong-ngomong Vorst itu nama keluarga?" tanya Diana. Sejak tempo hari dia mendengar nama itu terus disebut oleh Jack tapi belum sempat menanyakannya. "Ya betul. Itu nama kakekku, dari bahasa Belanda yang berarti 'raja'." Tatapan Alex seketika melembut. &n
Dilihatnya sosok Alex yang tinggi ramping berjalan mendekat. Hati Diana berdebar. Aroma maskulin memenuhi indera penciumannya. Tunggu dulu, ini bukannya mimpi? Kenapa dia bisa membaui aroma? Tanpa sempat mendalami pikiran tersebut perhatian Diana sudah teralihkan oleh kehadiran Alex. Lelaki itu merengkuhnya seperti ombak lautan, menyapunya ke tepi pantai. Bibirnya melekat erat pada bibir Diana. Kedua tangannya menelusuri setiap lekuk tubuh yang tampak maupun yang tersembunyi. Alex menyentuhnya seperti binatang kelaparan. Diana belum pernah disentuh seperti ini. Hasratnya memuncak dengan cepat. Tangan dan kakinya memeluk Alex. Bibir Diana merekah mengeluarkan rintihan dan nama kekasihnya. Diana terbangun. Nafasnya memburu. Barusan mimpi kan? Kenapa terasa sangat nyata? "Diana...," suara Alex parau. Wajah Diana panas. Apa jadinya kalau Alex mengetahui mimpi barusan?&
"Jangan berbohong. Sejak kapan?" Alex duduk di tepi tempat tidur. Diana menelan ludah. Dia berusaha keras mengosongkan pikiran. "Kenapa diam?" tanya Alex. Matanya tidak lepas dari wajah Diana, berusaha menangkap tanda sekecil apapun. "Alex, kamu membuatku takut," desah Diana. "Aku tahu." Hati Alex tersentuh oleh kata-kata Diana, tapi dia harus mendapatkan jawaban karena hidupnya bergantung pada kepercayaan. Bibir Diana bergetar. Matanya mulai berkaca-kaca. Dia terus berjaga supaya tidak memikirkan apa-apa. Sosok lelaki yang duduk di hadapannya tidak boleh dianggap enteng. "Hmm? Apakah aku harus memaksamu bicara?" Alex berkata dengan lembut. Mata Diana melebar. Apa maksudnya? "Kamu tahu apa maksudku, sudah lama aku tidak menyentuh wanita," Senyum sinis terkembang di wajah Alex yang tampan. Diana beringsut mundur seketik
Diana meletakkan botol air di meja rias. Hatinya berdebar melihat wajah Alex. Dia tidak boleh lemah seperti dulu. Sejak insiden di kamar Alex, Diana berhati-hati dengan pikirannya. Dia tahu tidak bisa bersembunyi terus-menerus. Sebenarnya Diana hanya peka terhadap sesuatu yang tak terlihat. Dia sama sekali tidak bisa melihat pikiran orang lain. Kadang-kadang dia akan merasa seperti ada hawa dingin melintas, atau seperti ada sosok yang berdiri di pojokan, segala hal yang tidak terdeteksi oleh panca indera manusia. Sejak kecil Diana menjadi bulan-bulanan ejekan karena kepekaannya tersebut. Dia pun tumbuh besar dengan tidak mempercayai siapa-siapa, kecuali ayah dan ibunya. Apa yang harus dilakukannya terhadap Alex? Apakah lelaki itu bisa memahami dirinya? Sepanjang hari Diana bekerja keras menyusun kata-kata, membuat skenario untuk dua kemungkinan. Berpisah atau tetap berhubungan. Diana tahu dari kedua pi
Hari kepulangan Ben adalah hari yang dinantikan semua orang, bahkan Alex pun berpikiran baik terhadap ayah mertuanya. Cederanya belum pulih seratus persen, tapi sudah tidak membahayakan. Ben pun bisa berjalan sendiri meskipun lebih lemah dari biasanya. "Bagaimana keadaanmu?" Ben bertanya pada Alex saat hanya ada mereka berdua di ruang tamu. "Apa? Seharusnya aku yang bertanya padamu." Ben meringis menahan tawa, "Tidak boleh bertanya? Lupakan saja niat baikku." Alex berdeham, "Kenapa Anda menghalangi pukulan Lao Hu?" Ben menatap Alex dengan pandangan rumit, "Kenapa? Karena kalau kamu terluka putriku akan bersedih." "Aku mengerti." Alex tersenyum. Ada sesuatu yang menarik dalam pikiran Ben. "Kenapa kamu melindungiku?" Ben bertanya kembali. "Karena Anda ayah istriku." Hening sesaat. Kedua lelaki berbeda generasi itu tampak
Alex dan Diana duduk di kursi taman rumah sakit yang menghadap ke arah kamar VIP. Mereka menikmati suasana yang cukup sejuk sambil mengobrol ringan. "Untung kamu tidak cedera berat seperti waktu itu," kata Diana. "Cuma keretakan rusuk sedikit. Aku masih bisa bermesraan denganmu," goda Alex. "Kamu nih, kata dokter jangan banyak bergerak dulu. Biar tidak berat tapi kalau dipaksa cederanya bisa bertambah." "Cedera apa? Istriku kan mungil dan ringan." Alex mengecup pipi Diana. "Serius dong," gerutu Diana. "Lihat, orang itu sudah keluar." Alex melirik ke satu arah. Diana menoleh ke arah kamar pasien. Tampak Li Wei dan Mikaela berdiri berhadapan. "Kamu bilang mereka ada hubungannya?" tanya Diana. "Rasanya begitu." Terlihat Mikaela merentangkan tangan. Li Wei ragu, maka Mikaela maju untuk memeluknya. Diana te
Suasana dalam kamar VIP di rumah sakit menjadi tegang karena kedatangan Li Wei. Lelaki muda itu datang untuk menjenguk keluarga Hartanto, namun tujuan utamanya adalah untuk bertemu Diana. "Mau apa kemari?" tanya Alex. "Aku datang dengan niat baik. Tanya saja ibu mertuamu." Li Wei tersenyum dingin. "Tidak ada niat baik dalam kepalamu. Aku belum memberimu pelajaran atas apa yang kau lakukan terhadap Diana," geram Alex. "Memangnya kau punya kemampuan?" Li Wei bahkan tidak menatap Alex. Pandangan matanya melembut saat menemukan sosok Diana yang bersembunyi di belakang Alex. "Jaga matamu, Anak Kecil." Alex menghalangi pandangan mata Li Wei. "Mata jelas-jelas punyaku. Memangnya pemandangan di kamar ini punyamu?" ejek Li Wei. "Huss... Kalian ini. Di rumah sakit masih aja mau berkelahi...," desis Mikaela. Dia terpaksa menghampiri anak-anak muda k
"Kau! Cari mati!" Lao Hu menjerit histeris. Darah mengalir ke wajahnya. "Kau yang cari mati, Tua Bangka!" bentak Ben. Alex benar-benar melongo. Bukannya kedua lelaki ini sama-sama tua? Lao Hu merangsek ke arah Ben. Dia hendak menghabisi pengganggu tak terduga ini dalam satu pukulan. Alex tidak tinggal diam. Dia segera menyerang dari samping, tepat mengenai bagian sisi kepala Lao Hu. Walaupun terkena tendangan tapi reaksi Lao Hu masih luar biasa. Lengannya mengibas ke samping membuat tubuh Alex terlempar ke dinding. "Ben! Hati-hati!" seru Mikaela. "Jangan keluar! Tetap di dalam!" Ben berseru pada istrinya. Lao Hu menatap ke arah Mikaela. Tatapan matanya berubah ganas. Ben menempatkan dirinya di antara Mikaela dan Lao Hu. "Heh, wanita yang cantik. Setelah kalian lelaki-lelaki tak berguna ini mati, akan kurebut wanita kalian!" Lao Hu tertawa
Matahari tinggi di puncak langit. Sederetan mobil hitam parkir tidak beraturan di luar gerbang kediaman Hartanto. Beberapa orang penjaga berteriak-teriak mengusir para pendatang yang tidak tahu diri itu. Pintu mobil terbuka nyaris berbarengan. Selusin lelaki bertubuh besar berwajah garang melompat turun. Niko dan Lao Hu turun setelah formasi terbentuk. Teriknya matahari membuat Lao Hu memicingkan mata. "Ini rumahnya?" tanya Lao Hu. "Betul, Bos. Alex sedang berada di sini." jawab Niko dengan hormat. Lao Hu menggerakkan kepala sebagai kode untuk anak buahnya. Kompak, selusin lelaki bertubuh besar merobohkan pintu gerbang. Besi baja terlihat tak berguna di hadapan mereka. Para penjaga berhamburan dari dalam rumah, semua membawa tongkat atau senjata tumpul lainnya. Seketika terjadi pertarungan sengit di pekarangan. Lao Hu dan Niko berjalan melewati mereka seolah tidak ada a
Genderang perang sudah ditabuh. Lao Hu berangkat ke kediaman Hartanto bersama Niko dan selusin anak buah mereka. Mobil hitam melaju beriringan tanpa rintangan berarti. Jika saja langit berubah jadi gelap disertai kilat menyambar dan guntur bertalu, mereka akan mirip seperti utusan dari neraka. Sayangnya langit begitu cerah tanpa awan sedikit pun. "Bos, Shi Fu Li tidak ikut?" tanya Niko perlahan. "Dia sudah mengatakan bahwa hari ini baik. Aku percaya padanya," sahut Lao Hu yang bersandar memejamkan mata. "Oh, baik kalau begitu." Niko tidak berani bertanya lagi. "Bangunkan aku kalau sudah sampai," kata Lao Hu. "Baik, Bos." Kediaman Hartanto... Alex menyeret Jack ke pekarangan. Dia butuh sedikit gerak badan. Jack yang masih mengantuk terus-menerus menggerutu. "Bacotmu seperti anak perempuan," ledek Alex.
"Shi Fu, bagaimana... Tadi...." Lao Hu yang sudah dapat bergerak kini kebingungan seperti orang baru terbangun dari tidur panjang. "Istirahatlah dulu. Cari hari lain untuk menghadapi Alexander. Terlalu banyak kejutan hari ini, tidak baik." Li Wei termenung. Lao Hu merasa tidak rela, tapi dia tidak berani membantah perkataan seorang Shi Fu Li. Dia membungkukkan badan dengan hormat dan kembali ke kamar. Li Wei menghela nafas. Percakapan singkat dengan Mikaela mengangkat selubung kegelapan dalam hatinya. Ada baiknya juga mengikuti nasihat Mikaela, mungkin dengan demikian dia dapat merebut hati Diana seperti seorang lelaki sejati. Huh, wanita yang dicintai ayahnya memang hebat. Tidak memiliki ilmu apa-apa tapi kekuatannya luar biasa. Sayang, sungguh sangat disayangkan ayah pergi terlalu cepat. Li Wei ingin sekali mendengarkan lagi kisah percintaan itu dari mulut ayahnya, dengan perspektif yang berb
Firasat buruk datang seperti angin dingin di tengah malam, membuat tubuh tidak nyaman dan pikiran tidak tenang. Mikaela menatap dua anak muda yang masih memejamkan mata karena kelelahan mental yang baru saja mereka lalui. Bagaimana mereka bisa melawan musuh yang akan datang? Mikaela keluar dari kamar Diana. Raut wajah yang biasanya lembut kini terlihat penuh tekad. Dia masuk ke kamarnya untuk berbicara dengan Ben. Dilihatnya Ben sedang duduk di meja sambil melihat-lihat dokumen. "Sayang?" panggil Mikaela. "Hmm," gumam Ben acuh tak acuh. Mikaela tersenyum. Lelaki yang telah dinikahinya selama tiga puluh lima tahun ini tampak lelah. Dia meletakkan tangan di bahu Ben. "Bersikap baiklah terhadap Alex, Sayang. Bagaimanapun juga dia suami putri kita...," desah Mikaela. "Hmm." "Aku mau keluar sebentar ya. Tolong jaga anak-anak." Mikaela me
Alex dan Diana memeriksa setiap sudut ruangan untuk menemukan keberadaan akar mantra tersebut. Tidak ada satu sudut pun yang lolos dari pemeriksaan. Entah berapa lama waktu berlalu, tapi Alex mulai merasa lelah. "Selain tempat ini masih ada lagi?" tanya Alex. "Ehm... Kita belum melihat semuanya." Alex menatap Diana, "Di mana?" "Itu." Diana menunjuk ke sebuah titik. Alex mengangkat kepala. Siapa sangka ada rak buku tersembunyi di atas sebuah pilar besar. Siapa pun yang tanpa sengaja melihat ke atas tidak akan dapat menemukannya. "Sepertinya aku harus memanjat." Alex menghela nafas. "Ada tangga di sana." Diana menunjuk ke bawah pilar. Benar saja, ada anak tangga yang dipahat pada pilar. Tangga melingkar itu baru menunjukkan wujudnya setelah mereka benar-benar memperhatikan. "Pikiranmu rumit sekali, Princess." Alex terseny