**Iya, Carissa benar-benar tidak percaya dengan pernyataan Sagara yang mengatakan bahwa wanita yang pernah menyentuh dirinya hanyalah ia dan Maminya saja. Tak masuk akal dilihat dari sisi yang manapun. Lelaki setampan Sagara, dengan segala kuasa yang ia miliki, mana mungkin menyia-nyiakan segala kesempatan itu?Ah, buat Rissa, di manapun yang namanya lelaki itu sama adanya. Sejenis Abian semua."Kamu ke butik hari ini?" Gara bertanya ketika ia dan Rissa berada di meja makan pagi itu."As always," sahut Rissa sambil lalu. "Mami kasih projek endorsement yang kemarin buat aku pegang.""Kamu kapan main ke kantor bawain aku makan siang lagi?""Ha?" Rissa menatap suaminya dengan kedua alis terangkat."Mami terus, aku nggak pernah diperhatiin.""Astaga, Kak!""Apa?"Sulit untuk Rissa tidak tertawa. Ini seperti bukan Sagara Aditama yang biasanya. Kemana perginya laki-laki yang sangar dan semena-mena itu?"Well, nanti siang aku minta ijin Mami buat makan siang sama kamu. Tapi aku nggak bisa k
**"Gara! Lo di dalem sama siapa?" Radit berseru agak keras di ambang pintu ruangan bosnya itu. Lupa bahwa ada gadis resepsionis di sebelahnya dan seharusnya ia masih bersikap formal."Apaan, sih?" dengung Gara dari dalam, semakin membuat Carissa mengurungkan niatnya untuk masuk. Perempuan itu merotasikan bola mata, muak membayangkan apa yang terjadi di dalam sana."Bini lo di sini, bego!"Hening sesaat, Rissa sudah hampir memutar langkah untuk menjauh dari sana, jika saja Gara tidak berucap, "Tam, aku berapa kali sih harus ngomong? Jangan ganggu aku kerja. Tuh kamu denger kan Radit ngomong apa? Istriku dateng."Terdengar seperti Gara sudah mengusir Tamara sejak tadi. Sebentar, Rissa dengarkan dulu kebenarannya, baru setelah itu ia bisa memutuskan harus marah atau tidak."Mana Rissa? Rissa, masuk! Kamu mau ke mana?" Lelaki itu berseru di ambang pintu ruangannya saat melihat sosok istrinya justru menjauh."Maaf, Kak. Aku nggak sudi kalau harus berbagi ruanganmu sama yang nggak memiliki
**"Rissa, kamu ngapain di sini?"Carissa tertegun, kedua netra gelapnya tak bisa berkedip kala lelaki yang sudah sekian lama berusaha ia hapus dari hidup dan ingatannya itu, tiba-tiba saja berada di hadapannya dalam jarak sedekat ini."A-Abi ... ""Kamu ngapain di sini? Kamu sama siapa?"Carissa berusaha menghindar dari tatapan yang menusuk itu. Tak bisa ia pungkiri, rasa rindu dan jejak cinta yang jelas tergambar, masih tersisa dalam iris gelap lelaki itu. Tiga tahun bukanlah waktu yang singkat untuk membangun ikatan. Namun, Rissa juga tak bisa lupa betapa Abian menghancurkan hidupnya dalam sekejap mata dengan hinaan yang sangat menyakitkan."Permisi.""Carissa, tunggu sebentar, Ris ... ""Nggak ada lagi yang perlu aku tunggu, Abian. Bisa tolong minggir, aku harus ke toilet.""Rissa, sebentar aja, please!"Abian meraih pergelangan tangan perempuan bersurai cokelat itu. Mencekalnya demikian erat saat yang bersangkutan memberontak, berusaha untuk melepaskan diri."Lepasin aku, Abi! Su
**"Lo nggak pernah cinta sama Carissa!"Kata-kata itu terus terngiang-ngiang di telinga. Membuat Carissa menelungkupkan kepala di atas lututnya dengan lemas. Perempuan itu menghela napas dengan gusar kala menyadari satu hal ; Abian benar.Abian benar, Sagara tidak pernah mencintainya walau status laki-laki itu adalah suami sahnya. Carissa tidak akan pernah lupa atas dasar apa ia menikah dengan makhluk tampan itu. Tidak pernah ada cinta terselip dalam hubungannya selama ini.Dan satu lagi yang kian membuat semua ini terasa miris, jika Rissa jatuh cinta kepada Sagara, maka itu akan menjadi cinta bertepuk sebelah tangan yang menyakitkan."Gimana kalo suatu saat Kak Gara udah bosen sama hubungan ini? Apa aku bakalan dibuang gitu aja?" Kata-kata itu meluncur tanpa sadar. Sesak sekali rasa hati Carissa jika mengingat nasibnya. "Jadi kalau gitu, sebaiknya aku jangan sampai mengandung. Gimana nasib anak aku nanti kalau bapaknya masih nggak bisa nerima ibunya sepenuh hati."Ya, ya itu yang Ri
**"Abian, adikku satu-satunya."Kedua telinga Carissa terbuka lebar. Ia mendengar dengan baik apa yang Sagara barusan katakan. Tapi otaknya tidak bisa menjangkau hal tersebut.Abian? Adik?"Kak ... " Rissa menyipitkan mata dan memandang laki-laki di hadapannya itu penuh tanya. "Apa maksud kamu ngomong begitu?""Abian Danurendra, mantan tunanganmu itu, adalah adik kandungku satu-satunya, Ris." Gara mengulanginya lagi dengan sangat jelas. Tidak ada alasan untuk Rissa tidak mengerti, terlebih mengingat perempuan itu cukup cerdas."Adik kamu ... ""Mami dan papanya Abian bercerai ketika kita masih anak-anak. Dia ninggalin Mami, berjuang sendiri besarin aku. Ninggalin Mami demi perempuan lain."Carissa masih merasakan awangnya berkelana setelah Sagara mengakui fakta ini. Jadi selama ini, lelaki yang berstatus suaminya itu menyembunyikan kebenaran sebesar ini darinya?Padahal dari awal ia tahu bahwa Rissa adalah perempuan yang adiknya sendiri khianati?Jadi maksud Gara menikahinya adalah .
**Tengah malam!Ini sudah tengah malam dan Carissa belum juga kembali. Setengah linglung karena pusing akibat mabuk, Sagara meraih kunci mobilnya. Tidak sabar lelaki itu melangkah menuju garasi rumah."Ris, kamu nggak boleh ke mana-mana," geramnya dengan kedua mata menyipit, mencoba memperjelas pandangan. "Kamu milikku dan selamanya akan selalu begitu. Nggak akan pernah aku biarkan kamu pergi, demi apapun!"Sedan hitam itu melaju dengan kecepatan tinggi. Melesat meninggalkan pintu gerbang beserta sekuriti yang kebingungan di ambangnya."Kira-kira ke mana kamu ninggalin aku sampai tengah malam begini? Kamu nggak punya keluarga yang bisa kamu kunjungi. Siapa yang bisa nahan kamu sampai selama ini pergi dari rumah?"Sagara seperti orang gila. Ia melajukan mobilnya keliling kota dengan ugal-ugalan. Separuhnya berada di bawah pengaruh alkohol, sehingga kesadarannya sedikit goyah. Hanya satu nama yang bisa membuatnya seperti ini sepanjang eksistensinya sebagai pria dewasa yang biasanya me
**Sagara harus menghubungi dua orang asisten untuk membawa pulang mobilnya, tengah malam begini. Ia sama sekali tidak ingin berjauhan dengan Carissa. Sedikitpun tidak mau membiarkan wanitanya mengemudi sendirian. Bayangan akan ditinggalkan oleh istrinya itu jika ia melepaskannya sedetik saja, menyiksa benak Gara tanpa ampun. Gara merasa dirinya sudah separuh jalan menuju gila tanpa tahu kapan memulainya."Bawa mobil saya aja, Pak. Ini lebih mudah dikendarai daripada punya Kak Gara." Rissa menyerahkan kunci mobilnya kepada seorang asisten. Disambut pandangan tidak senang dari sang suami."Aku suruh mereka bawa tank tempur pun, mereka nggak akan masalah," komentar lelaki itu, memandang Mini Cooper yang sudah berlalu pergi."Kamu udah ngerepotin mereka tengah malam, Kak. Mereka pasti lagi istirahat tadinya.""Untuk itulah aku bayar mereka, asal kamu tau aja."Carissa menggeleng singkat. Tak akan ada habisnya berdebat dengan lelaki ini, maka ia memilih diam. Menunduk sepanjang perjalanan
**"Maaf, Mam, Rissa baru bangun tidur, jadi nggak ngabarin kalau hari ini nggak bisa datang ke butik ... ""Jam berapa ini, ha?""Err ... " Carissa menelengkan kepala untuk menengok jam yang menggantung di sisi dinding kamar. "Setengah sebelas siang. Rissa semalam nemenin Kak Gara beresin kerjaan kantor sampai nyaris pagi, Mam. Jadi hari ini bangunnya telat banget. Maaf ya, Mami ... " Ah, terpaksa berdusta pula."Jangan dibiasain! Besok datang butik, awas kalau kamu males-malesan lagi!""Siap, Mami ... "Menghela napas, Carissa meletakkan ponselnya ke atas nakas kembali setelah panggilan diakhiri. Menggeliat pelan dan mengucek mata, perempuan itu mengernyit kala pandangannya menyapu cahaya benderang di luar jendela. Lalu, kepada Sagara yang masih memejamkan mata dengan lengan lelaki itu yang melingkari pinggangnya."Kakak, nggak mau bangun, kah?" Rissa mengelus pelan kening suaminya. "Mami nelepon, marah-marah karena aku nggak dateng ke butik hari ini.""Mmh ... " Gara menggeram pela
**Sagara berlari kencang menyusuri deretan kursi-kursi ruang tunggu bandara. Ia menerabas palang pintu dan tiba tepat sebelum gate keberangkatan akan ditutup. Dengan napas memburu, pria itu menyerahkan boarding pass-nya kepada pramugari yang menatap tak habis pikir. Meski demikian, pramugari cantik itu tidak mengatakan apapun dan memilih bekerja dalam diam sebab tahu bahwa penumpang yang ini bukanlah orang sembarangan. Ia hanya menampakkan seulas senyum kecut.“Silakan duduk di tempat yang sudah anda reservasi, Pak,” ucap si pramugari, mempersilahkan Gara masuk, sebelum kemudian menyudahi proses check-in terakhir. Menghela napas lega, Gara kemudian melangkah masuk dan menghempaskan tubuh berkeringatnya di kursi penumpang yang berada di samping jendela pesawat. Menata napasnya yang tadi sempat terputus-putus.“Rissa, tunggu sebentar ya, Sayang. Aku pulang,” bisiknya sembari memejamkan mata. Jantungnya menderu seperti suara mesin pesawat yang sudah menyala. Ia merapalkan doa, semoga ma
**Abian tersenyum saat meletakkan sebuah foto ke dalam kotak besar bersama bermacam-macam benda lain di dalamnya. Boneka, buku diary, baju, dan semacam itu. Ia pandangi baik-baik foto tersebut dengan senyum yang belum lindap.“Maaf dan terimakasih,” bisiknya bermonolog sementara masih menatap lekat fotonya. “Kamu selalu akan jadi kenangan indah buat aku, Ris. Kamu perempuan terbaik yang pernah aku miliki, tapi Sagara adalah pria terbaik yang dipilihkan Tuhan untukmu.” Abian mengusap foto dirinya dan Rissa itu dengan sayang. “Berbahagialah selalu. Terimakasih masih menjadi bagian dari keluargaku meski kamu nggak bersamaku. Tetaplah hidup bahagia, menjadi pendamping kakakku, ya. Aku tahu dengan lembutnya tutur kata dan tindakanmu, hati batu manusia satu itu pasti bisa meleleh.”Abian menutup kotak tersebut. Kotak yang berisi barang-barang kenangannya dengan sang mantan kekasih.“Nggak ada lagi yang perlu disesalkan sesudah ini. Aku dan Rissa sudah hidup sendiri-sendiri dengan baik. Dia
**Matahari bersinar dengan cerah saat Rissa menarik terbuka tirai tebal yang menutupi jendela kamarnya. Pemandangan di balik kaca jendela itu membuatnya tersenyum. Para maid berlalu lalang di bawah, menata meja dan kursi serta dekorasi cantik di tengah halaman belakang mansion. Sepertinya akan ada acara di sana.Suara derit pintu yang terbuka membuat Rissa mengalihkan atensi. Sagara datang sembari menggendong putri kecilnya.“Good morning, Mama,” ucapnya disertai senyum manis. Sementara Stella seketika mengoceh sembari menggapai-gapaikan tangan mungilnya begitu melihat sang ibu.“Good morning my angels.” Rissa melangkah mendekat. Ia ulurkan tangan, menyambut putri kecilnya yang melonjak-lonjak senang.“Tidur nyenyak, Sayang?” Gara memberikan kening istrinya kecupan kecil.“Banget. Maaf kamu jadi bangun duluan dan ngurus Stella pagi-pagi ya, Kak?”“Aku kan ayahnya Stella, jadi ya memang sudah kewajibanku ngurus dia. She is our child, not only yours or mine, Rissa. Kita bikin berdua, j
**Carissa sudah tenang saat Sagara kembali ke ruangan di mana ia dirawat. Seorang suster yang menemani mohon diri untuk keluar dengan menyembunyikan pipinya yang merona begitu pria rupawan itu masuk. Benar, walau kini Gara sudah bukan lagi bujangan, sudah memiliki seorang istri dan putri kecil yang cantik, namun pesonanya justru bertambah-tambah. Seringkali membuat Rissa jengkel sebab para perempuan itu seperti tak sungkan-sungkan menunjukkan rasa ketertarikan mereka kepada suaminya.“Jangan cemberut begitu, Sayang,” kata Gara, yang seperti biasa, sangat peka melihat perubahan raut wajah istrinya.“Makanya kamu biasa aja, nggak usah seramah itu,” cetus Rissa, semakin cemberut.Gara terkekeh pelan sembari melangkah mendekat kepada wanitanya yang duduk di atas ranjang. “Ya masa orang senyum nggak disenyumin balik. Itu namanya kan sombong.”“Mending dianggap sombong daripada kamu baperin anak orang begitu. Pura-pura nggak tahu apa gimana kalau pemilik sahnya ada di sini?”Tawa Gara kian
**Freddy Fernandez.Carissa belum pernah bertemu muka dengan orang ini, jadi ia tidak tahu siapakah gerangan pria berusia sekitar lima atau enam puluh tahun yang memiliki paras begitu menawan itu. Hanya saja dari gerak-geriknya, bisa ditebak bahwa pria itu bukanlah orang sembarangan. Terlebih ditinjau dari barang-barang branded mewah yang menempel di sekujur tubuhnya. Mulai dari suit berwarna abu-abu gelap yang ia kenakan, hingga jam tangan seharga sebuah unit apartemen eksklusif di ibukota. Golongan old money yang mungkin berada satu tingkat di atas strata sosial keluarga Aditama.Meski demikian, Sagara sama sekali tidak repot-repot menampakkan raut segan atau sesuatu. Ia justru melayangkan tatapan tajam kepada si pria setengah baya yang masih diam di ambang pintu. Dan saat itulah Rissa baru menyadari bahwa pria itu dikawal oleh banyak bodyguard di belakangnya.“Selamat sore, Sagara,” ucapnya dengan nada tegas. Suaranya dalam dan berwibawa, sangat mencerminkan sebesar apa dirinya be
**Carissa merasa kesadarannya timbul dan tenggelam. Ia mengerjap perlahan, berusaha membuka kelopak matanya yang terasa perih sekali. Saat atensinya pelan-pelan mulai jelas, ia menyadari bahwa ini adalah tempat yang asing. Kembali, rasa trauma akan tempat asing seperti membuatnya nyaris kembali pingsan. Terlebih lagi, rasa sakit yang hebat di dada seperti mencekik lehernya saat ia bergerak. Pada saat-saat demikian, tanpa sadar perempuan itu menyebut nama satu-satunya sosok yang melekat dalam ingatannya.“Kak Gara ….”Carissa tidak berharap apapun sebab berpikir Aldric masih menyekap dirinya. Ya, itu adalah hal terakhir yang perempuan itu ingat. Namun kemudian, sebuah suara menjawab rintihannya, membuat kesadarannya seperti seketika dijejalkan dengan paksa ke dalam raganya yang remuk redam.“Sayang? Sayang, kamu bangun? Ini aku, aku. Kamu bisa lihat aku, kan?”Rissa menoleh dengan terkejut, mendapati wajah Sagara yang berada sangat dekat. Ia ingin mengulurkan tangan dan menyentuh waja
**Dua kali Sagara berada pada situasi seperti ini. Kalut, panik dan ketakutan menunggu dokter keluar membawa kabar tentang bagaimana kondisi istrinya. Dua kali pula Sagara merasa gagal menjadi suami yang bertanggung jawab, hingga lagi-lagi istri tercintanya harus berhadapan dengan maut. Sebuah kecelakaan bodoh yang seharusnya tidak perlu terjadi.“Kenapa lama banget?” Ia berdecak kesal, menatap dengki kepada pintu ruangan UGD yang tak kunjung membuka. “Sial! Gue dobrak juga lama-lama pintu sialan itu!”“Sabar sebentar, Pak. Pak Gara bisa duduk dulu, biar nggak terlalu tegang,” saran petugas kepolisian muda yang mendampingi dirinya hingga ke rumah sakit.“Menurutmu aku bisa tenang dalam keadaan seperti ini?” sahut Gara ketus. Membuat si petugas tidak lagi mengatakan kalimat penghiburan. Tuan muda yang satu ini sungguh tidak bisa diajak berbasa-basi. Hanya dengan istrinya seorang ia bisa bersikap seperti manusia biasa.Beberapa saat kemudian, pintu ruangan terbuka dengan seorang dokter
**"Rissa!" Sagara mengguncang tubuh dalam pelukannya itu kuat-kuat. Rasa takut kembali menjalar di sepanjang aliran darahnya saat ia lihat wanitanya memejamkan mata tanpa bergerak. "Rissa, bangun Sayang! Rissa, jangan begini! Bangun!""Kita bawa ke rumah sakit saja, Pak," saran seorang petugas. Membuat Gara membatalkan niatnya untuk mengguncang kembali tubuh sang istri. Dengan bodoh ia menyadari, bahwa seharusnya memang melarikan Rissa ke rumah sakit segera, alih-alih memaksanya bangun seperti itu.Maka, pria itu segera membopong tubuh istrinya. Menjauh dari keramaian dan kerumunan orang-orang yang masih shock, menuju pintu lift yang terlihat berkilauan dari kejauhan. Seorang petugas kepolisian berlari-lari mengikuti dari belakang untuk membantunya membuka pintu lift."Gimana nasibnya Aldric?" desah Gara dengan risau, kepada petugas yang mengikutinya."Aldric?" Pria itu berkata dengan wajah ngeri. "Meninggal di tempat, tentu saja, Pak. Sudah pasti kan, Pak? Nggak ada orang yang bisa
**Apakah ini mimpi buruk yang datang dari dasar neraka?Sagara hanya bisa terbelalak menyaksikan apa yang baru saja terjadi. Itu bukanlah potongan adegan film action. Manusia sakit jiwa bernama Aldric Fernandez itu menarik tubuh istrinya dan membawanya jungkir balik melewati tembok pembatas balkon. Terjun bebas lima belas lantai ke bawah sana.Lantas apa yang bisa Gara lakukan? Pria itu seketika jatuh berlutut. Kedua kakinya tak lagi mampu menopang berat tubuh. Dunia terasa berguncang dan hendak menimpanya sekaligus. Ia butuh seseorang untuk menampar pipinya keras-keras dan menyadarkannya dari ilusi ini.Ilusi?Bukan. Derap langkah para petugas yang berlarian melewatinya menuju balkon di seberang ruangan itu, bukanlah ilusi belaka. Namun sekali lagi, Gara merasa jiwanya melayang keluar, meninggalkan raganya yang mendadak lumpuh. Ia terlalu bingung dan shock untuk melakukan sesuatu.“Ya Tuhan, dia jatuh? Jatuh!” Seruan para petugas itu terdengar sayup-sayup, seperti datang dari kejauh