**Sepanjang malam itu, Carissa jadi sulit memejamkan mata. Pikiran tentang Gara yang mengaku kecewa karena Abian tidak datang ke pernikahannya, seperti berlari-lari dalam benak. Ah, Abian. Sudah lebih dari satu bulan berlalu sejak Rissa diusir pergi dari rumah Arini. Berarti, sudah sekian lama juga ia tidak melihat lelaki itu. Mungkin sekarang perut Aneska sudah membesar? Ah, tentu saja, itu pasti.Duh, Carissa galau.Tentu saja Gara sendiri tidak tahu bahwa Rissa galau sampai tak bisa tidur, sebab pestanya masih berlangsung hingga fajar nyaris menyingsing. Gila memang.Lelaki itu baru membuka pintu kamar ketika Rissa justru bangun untuk memulai hari."Mau ke mana?" Gara bertanya dengan tangan menyangga keningnya. Membuat Carissa mengernyit curiga."Kakak mabuk?""Aku tanya, kamu mau ke mana, Ris? Bukan dijawab malah balik tanya."Perempuan itu menghela napas. "Ya tentu aja mau bangun, Kak. Ini udah jam enam pagi.""Mau apa kamu bangun subuh-subuh begini?"Subuh? Carissa mengerutkan
**Dua hari setelah tinggal di mansion mewah milik Yasmin, Gara akhirnya memboyong Carissa untuk pindah ke sebuah rumah pribadi yang terletak tidak jauh dari kawasan kantornya. Itu rekomendasi dari Yasmin juga, sebenarnya."Yang bener aja, masa mau pindah ke apartemen?" komentar Yasmin dengan nada sewot, kala Carissa mengusulkan untuk pindah ke apartemen saja."Memangnya kenapa, Mam? Kan apartemen Kak Gara juga nggak terlalu jauh dari kantor.""Apart Gara tuh sempit, tau! Kalau aku sih males tinggal di tempat begituan."Carissa mengulum senyum. Jelas sekali perbedaan standarnya dengan sang ibu mertua bagaikan surga dan neraka. "Rissa nggak keberatan kok, Mam. Lagian sempit dari mananya, sih? Bahkan buat main bola aja bisa, tuh.""Pokoknya jangan. Malu-maluin aja!"Rissa sudah nyaris menjawab 'malu sama siapa?' tapi sebaiknya tidak usah. Kalau sang ibu direktur sudah bertitah, sebaiknya tidak dibantah.Maka, di sinilah ia sekarang. Di sebuah rumah minimalis tapi mewah. Rumah pribadi mi
**.Mobil yang diributkan Gara itu benar-benar datang dalam waktu tiga puluh menit kemudian. Dua orang driver yang mengantarkan, hanya menemui Carissa di ambang pintu rumah. Selepas acara serah terima kunci, orang-orang itu seketika balik badan dan pergi. Sangat profesional, sama sekali tidak ingin berdekatan dengan istri bosnya. Nah, sampai titik ini, Carissa masih belum tahu sebesar apa pengaruh seorang Sagara Aditama terhadap dunia di sekitarnya. Tampaknya orang-orang itu seratus persen tunduk kepadanya."Kak, aku boleh keluar, ya? Minimarketnya cuma beberapa blok dari rumah, kan?" Carissa bertanya melalui ponsel."Hidupkan GPS di mobil dan ponselmu, Ris. Selesai langsung pulang, nggak ada acara keluyuran."Kedua alis Carissa terpaut seketika. Ada apa dengan orang ini? Ia kan cuma pamitan belanja ke minimarket, bukannya mau merantau ke negeri seberang. "Paling lama cuma satu jam, kok. Kakak kenapa tambah bawel, sih?""Nurut, nggak? Atau nggak usah keluar sekalian!""I-iya, iya. Ya
**Carissa diam, memandang lama kepada suaminya yang tengah melanjutkan bekerja di ruang tengah rumah mereka. Ini adalah kebiasaan baru Gara ; meminta Carissa menemaninya bekerja selepas makan malam. Biasanya sampai Rissa mengantuk."Apa liat-liat?" celetuk Gara tanpa mengalihkan pandang, sadar bahwa dirinya tengah menjadi pusat perhatian perempuan di sampingnya."S-siapa yang ngeliatin?""Menurutmu siapa?""Enggak."Gara akhirnya menengok dari balik layar laptopnya. "Kenapa malu? Nggak ada yang salah dengan ngeliatin suamimu sendiri, kan? Kecuali kalau kamu liat-liat suami Aneska, itu baru salah."Carissa mendesis. Belakangan Gara senang sekali menggodanya dengan menyangkut-pautkan nama Abian.Entah apa maksudnya lelaki itu berbuat demikian."Aku memang se-good looking itu, sih. Nggak heran. Jangankan kamu, seluruh pegawaiku di kantor, bahkan relasi bisnis aja, sering jatuh cinta dalam sekali pandang.""Kepedean. Itu kan mereka, bukannya aku." Rissa meraih cangkir berisi capuccino di
**"Kamu mau tau kenapa, Ris? Kamu pikir aku ngelakuin semua ini hanya buat kamu?"Rissa bergeming. Sangat tidak mungkin kalau Sagara melakukan semua ini hanya untuknya. Sungguh, Carissa pikir lelaki itu pantas mendapatkan wanita yang jauh lebih daripada dirinya. Lebih cantik, lebih berpendidikan, lebih memiliki value."Nanti suatu hari, aku akan kasih tahu. Untuk sementara ini, anggaplah aku memang lakukan ini hanya buat kamu."Jawaban yang mengecewakan."Ya, anggaplah kamu sedang beruntung. Di saat Mami ribet mau jodohin aku sama Tamara, kamu datang. Win-win solution, right?""Aku nggak puas sama jawabanmu, Kak.""Jangan cerewet. Sana, tidur."Carissa cemberut."Nggak mau tidur? Mau tidur sama aku?"Wajah cemberut itu berganti dengan blushing. Sagara tertawa kecil melihatnya. Manis sekali gadis ini."Kak ... ""Hm?""Aneska perutnya udah gede aja."Sekali lagi, Sagara mengalihkan pandangan dari layar laptopnya. Mendesah lelah, lelaki itu menatap gadis di hadapannya lekat dan berkata
**"Ap-apa aku ganggu?" Rissa mendengar suaranya sendiri bergetar ketika bertanya. Ia tidak bohong, rasa nyeri itu seperti menyengat hati kala melihat Tamara sama sekali tidak sungkan ketahuan menempel-nempel kepada suami orang begitu."Masuk, Ris.""Aku pergi aja kalo Kakak masih sibuk." Oh, shit! Carissa mau menangis."Nggak– hei!" Rissa sudah menjatuhkan paper bag berisi makan siang untuk Sagara, dan hendak berlari keluar ruangan ketika lelaki itu menarik lengannya dengan kuat. "Kamu mau ke mana?""Sepertinya aku ganggu.""Wait! Tamara, tolong keluar. Kamu nggak lihat istriku datang?" Gara mengalihkan pandangan kepada gadis bersurai panjang yang masih dengan santainya memainkan kuku, duduk di atas lengan kursinya."Why?" Ia bertanya dengan nada mencemooh. "Dia udah bilang kan kalo mau anter makan siang kamu aja. Ya kenapa aku harus keluar, sih?""Keluar sekarang atau aku telepon sekuriti biar kamu dikeluarin?"Diiringi decak kesal, gadis seksi itu akhirnya beranjak dengan ogah-ogah
*"Jangan bikin aku jatuh cinta ... "Sagara menatap manik gelap itu. Lapisan tipis yang bening tampak membuat pantulan lampu kamar membayang cantik di sana."Aku udah cukup hancur karena Abian. Aku nggak mau main-main lagi dengan perasaan. Tolong jangan begitu. Aku ngerti Kakak punya segala kuasa buat ngelakuin itu —mainin perasaan orang, tapi tolong jangan aku. Aku nggak sekuat itu kalau sekali lagi harus hancur hanya karena hal bullshit yang disebut cinta." Carissa menggigit bibir bawahnya setelah bicara panjang lebar seperti itu. Tampak menyesali dirinya sendiri, dan sebelum Sagara menyuarakan sesuatu, ia bergegas beranjak dari ranjang."Ris–""Aku mandi dulu. Kamu juga siap-siap, terus kita berangkat ke rumah Mami." Carissa berkata tanpa sama sekali memandang Gara. Gadis itu berlalu ke kamar mandi dan mengunci pintunya dari dalam. Menghembuskan napas keras-keras setelah berada di sana sendirian.Carissa sudah mengatakannya. Ia harap Sagara mengerti. Karena jika suatu saat nanti m
**Sudah cukup larut ketika mobil Sagara memasuki halaman rumah. Pasangan suami istri itu kompak menolak permintaan Yasmin untuk menginap saja di rumah besar. Carissa beralasan bahwa suaminya harus berangkat lebih awal besok, dan rumah mereka memang notabene terletak lebih dekat dengan kantor. Padahal aslinya Carissa berusaha untuk tidak sekamar dengan suaminya. Sementara itu Sagara ... entah apa alasannya."Aku masuk dulu, Kak." Carissa pamit segera setelah memasuki ruang depan."Masuk ke mana?""Ya ke kamarku, lah. Udah malem, aku capek." Carissa mengernyit. "Lagian kamu sendiri juga harus istirahat, kan?"Gara diam dengan pandangan lurus menembus kornea mata Carissa, membuat jengah yang bersangkutan."Kamu nggak minum obat yang dikasih Mami?""Ha?" Kening gadis itu berkerut kian dalam. "Buat apaan? Yang penting udah aku terima, Mami juga udah seneng, kan?"Raut wajah Gara yang datar tapi menusuk itu membuat tengkuk Carissa merinding. Reflek otaknya berkata, ia harus secepatnya menj