**Sudah cukup larut ketika mobil Sagara memasuki halaman rumah. Pasangan suami istri itu kompak menolak permintaan Yasmin untuk menginap saja di rumah besar. Carissa beralasan bahwa suaminya harus berangkat lebih awal besok, dan rumah mereka memang notabene terletak lebih dekat dengan kantor. Padahal aslinya Carissa berusaha untuk tidak sekamar dengan suaminya. Sementara itu Sagara ... entah apa alasannya."Aku masuk dulu, Kak." Carissa pamit segera setelah memasuki ruang depan."Masuk ke mana?""Ya ke kamarku, lah. Udah malem, aku capek." Carissa mengernyit. "Lagian kamu sendiri juga harus istirahat, kan?"Gara diam dengan pandangan lurus menembus kornea mata Carissa, membuat jengah yang bersangkutan."Kamu nggak minum obat yang dikasih Mami?""Ha?" Kening gadis itu berkerut kian dalam. "Buat apaan? Yang penting udah aku terima, Mami juga udah seneng, kan?"Raut wajah Gara yang datar tapi menusuk itu membuat tengkuk Carissa merinding. Reflek otaknya berkata, ia harus secepatnya menj
**"Nggak."Sagara menatap sayu dengan mata yang sekali-sekali terpejam. Sepertinya lelaki itu memang sudah mabuk. Carissa yang terjebak di dalam kamar, tak bisa keluar karena tangan Gara menahan pintunya, tampak seratus persen ketakutan."Ris ... " Gara menelengkan kepalanya. "Apa kamu bakal kasih kalo aku minta?""K-Kak ... ""Kamu istriku, kan?"Ini seperti menelan buah simalakama. Satu sisi, Rissa mengakui memang memiliki kewajiban kepada lelaki yang sudah berstatus suaminya itu. Namun di sisi lain, ia tidak ingin melakukannya tanpa keterlibatan cinta di dalamnya. Meski demikian, Rissa menaruh respek yang tinggi karena Gara bahkan masih sempat bertanya dan meminta padahal sendirinya terlihat sudah mabuk berat."Kamu nggak mau?" Gara kembali bertanya. Raut kecewa tampak memenuhi wajahnya yang tampan. "Honestly, itu jahat. Tapi kalau kamu nggak mau, ya aku nggak bisa maksa."Gadis bersurai cokelat itu masih membisu dengan berbagai pikiran berkecamuk dan perang batin hebat. Kemudian
**Sudah cukup siang ketika Carissa sampai di butik eksklusif milik Yasmin dengan Gara mengekor di belakangnya. Banyak waktu terbuang gara-gara lelaki itu terus menempel ke sana kemari seperti lem lalat. Menghambat pergerakan Carissa di rumah."Jam berapa ini? Apa nggak bisa dateng lebih siang? Aku pikir kamu kepagian," sindir Yasmin sengit saat menantunya mendorong terbuka pintu kaca butik miliknya."Maaf, Mami ... " Carissa melirik suaminya ragu-ragu. "Kak Gara yang nggak bisa cepet. Padahal Rissa udah bangun pagi.""Loh, kok Gara ada di sini?" Yasmin mengernyit melihat putranya yang muncul dari belakang punggung Carissa. "Kamu nggak ke kantor, Gar?""Nggak. Bosen.""Gara!""Libur sehari apa masalahnya sih, Mam?"Yasmin mengalihkan pandangan kepada menantunya dengan tatapan minta penjelasan. Nah, Rissa mengeluh dalam hati. Mengapa selalu dirinya yang harus menjelaskan?"Rissa tadi udah suruh Kak Gara berangkat, Mam. Tapi nggak mau. Ya Rissa nggak bisa ngelakuin apa-apa lagi kalo beg
**"Jawab, heh! Jawab!" Yasmin naik pitam. Sepanjang perjalanan pulang dari supermarket, wanita itu terus-terusan menggerutu dan memarahi Carissa karena tadi hanya diam saat bertemu Arini."Jangan hanya diam kayak orang bodoh begitu, dong! Pantas aja kalau kata Gara kamu sampai diusir dari rumah, terus semua tabunganmu sampai habis gara-gara dia. Kamu sendiri yang nggak bisa ngelawan!""Iya, Mami ... ""Jangan iya-iya melulu, Carissa. Untung aja tadi kamu sama aku. Coba kalau kamu sendirian, pikir apa aja yang bakal dilakukan sama perempuan tadi? Dia memang nggak melakukan kekerasan fisik, tapi kata-katanya itu lebih dari cukup buat membunuh mental seseorang, tau!""Iya, Mami. Lain kali Rissa nggak akan diam lagi.""Aku paling nggak suka sama perempuan yang lemah, Ris! Seseorang nggak bisa memakai status sosial atau keadaan ekonomi buat menjatuhkan orang lain, itu nggak fair!"Wow, lihatlah itu. Carissa jatuh hati dalam pesona ibu mertuanya. Yasmin perempuan masa kini yang independen,
**"Tadi aku dimarahin Mami ... " Carissa memulai percakapan seusai pekerjaan malam yang melelahkan."Kamu bikin salah apa?" Gara menarik tubuh perempuan itu agar bersandar di dadanya. Berdua berendam di dalam bathup berisi air hangat."Tadi pas aku ke supermarket bareng Mami, aku ketemu ... ""Siapa? Mantanmu?""Tante Arini."Hening sesaat, sebelum Gara kembali bersuara. "Aku kan belum pernah lihat muka tantemu itu sama sekali. Juga keponakan yang ngerebut mantanmu.""Aneska? Dia cantik, Kak. Seksi lagi.""Dan jalang.""Hush!" Rissa memukul pelan lengan Sagara yang melingkari bahunya sembari tertawa ringan."Jadi, kenapa kamu dimarahin Mami?""Karena aku diam aja, nggak bisa jawab pas Tante Arini ngomongnya nggak enak. Mami belain aku di depan Tante Arini, tapi pas udah pulang, aku dimarahin.""You deserve to got it.""Ya, bener. Aku pikir-pikir, aku memang terlalu lemah selama ini. Kata-kata Mami tadi bikin aku sadar.""Harus dimarahi mertuamu dulu untuk sadar kalau kamu pathetic?"
**Iya, Carissa benar-benar tidak percaya dengan pernyataan Sagara yang mengatakan bahwa wanita yang pernah menyentuh dirinya hanyalah ia dan Maminya saja. Tak masuk akal dilihat dari sisi yang manapun. Lelaki setampan Sagara, dengan segala kuasa yang ia miliki, mana mungkin menyia-nyiakan segala kesempatan itu?Ah, buat Rissa, di manapun yang namanya lelaki itu sama adanya. Sejenis Abian semua."Kamu ke butik hari ini?" Gara bertanya ketika ia dan Rissa berada di meja makan pagi itu."As always," sahut Rissa sambil lalu. "Mami kasih projek endorsement yang kemarin buat aku pegang.""Kamu kapan main ke kantor bawain aku makan siang lagi?""Ha?" Rissa menatap suaminya dengan kedua alis terangkat."Mami terus, aku nggak pernah diperhatiin.""Astaga, Kak!""Apa?"Sulit untuk Rissa tidak tertawa. Ini seperti bukan Sagara Aditama yang biasanya. Kemana perginya laki-laki yang sangar dan semena-mena itu?"Well, nanti siang aku minta ijin Mami buat makan siang sama kamu. Tapi aku nggak bisa k
**"Gara! Lo di dalem sama siapa?" Radit berseru agak keras di ambang pintu ruangan bosnya itu. Lupa bahwa ada gadis resepsionis di sebelahnya dan seharusnya ia masih bersikap formal."Apaan, sih?" dengung Gara dari dalam, semakin membuat Carissa mengurungkan niatnya untuk masuk. Perempuan itu merotasikan bola mata, muak membayangkan apa yang terjadi di dalam sana."Bini lo di sini, bego!"Hening sesaat, Rissa sudah hampir memutar langkah untuk menjauh dari sana, jika saja Gara tidak berucap, "Tam, aku berapa kali sih harus ngomong? Jangan ganggu aku kerja. Tuh kamu denger kan Radit ngomong apa? Istriku dateng."Terdengar seperti Gara sudah mengusir Tamara sejak tadi. Sebentar, Rissa dengarkan dulu kebenarannya, baru setelah itu ia bisa memutuskan harus marah atau tidak."Mana Rissa? Rissa, masuk! Kamu mau ke mana?" Lelaki itu berseru di ambang pintu ruangannya saat melihat sosok istrinya justru menjauh."Maaf, Kak. Aku nggak sudi kalau harus berbagi ruanganmu sama yang nggak memiliki
**"Rissa, kamu ngapain di sini?"Carissa tertegun, kedua netra gelapnya tak bisa berkedip kala lelaki yang sudah sekian lama berusaha ia hapus dari hidup dan ingatannya itu, tiba-tiba saja berada di hadapannya dalam jarak sedekat ini."A-Abi ... ""Kamu ngapain di sini? Kamu sama siapa?"Carissa berusaha menghindar dari tatapan yang menusuk itu. Tak bisa ia pungkiri, rasa rindu dan jejak cinta yang jelas tergambar, masih tersisa dalam iris gelap lelaki itu. Tiga tahun bukanlah waktu yang singkat untuk membangun ikatan. Namun, Rissa juga tak bisa lupa betapa Abian menghancurkan hidupnya dalam sekejap mata dengan hinaan yang sangat menyakitkan."Permisi.""Carissa, tunggu sebentar, Ris ... ""Nggak ada lagi yang perlu aku tunggu, Abian. Bisa tolong minggir, aku harus ke toilet.""Rissa, sebentar aja, please!"Abian meraih pergelangan tangan perempuan bersurai cokelat itu. Mencekalnya demikian erat saat yang bersangkutan memberontak, berusaha untuk melepaskan diri."Lepasin aku, Abi! Su