**Dua hari setelah tinggal di mansion mewah milik Yasmin, Gara akhirnya memboyong Carissa untuk pindah ke sebuah rumah pribadi yang terletak tidak jauh dari kawasan kantornya. Itu rekomendasi dari Yasmin juga, sebenarnya."Yang bener aja, masa mau pindah ke apartemen?" komentar Yasmin dengan nada sewot, kala Carissa mengusulkan untuk pindah ke apartemen saja."Memangnya kenapa, Mam? Kan apartemen Kak Gara juga nggak terlalu jauh dari kantor.""Apart Gara tuh sempit, tau! Kalau aku sih males tinggal di tempat begituan."Carissa mengulum senyum. Jelas sekali perbedaan standarnya dengan sang ibu mertua bagaikan surga dan neraka. "Rissa nggak keberatan kok, Mam. Lagian sempit dari mananya, sih? Bahkan buat main bola aja bisa, tuh.""Pokoknya jangan. Malu-maluin aja!"Rissa sudah nyaris menjawab 'malu sama siapa?' tapi sebaiknya tidak usah. Kalau sang ibu direktur sudah bertitah, sebaiknya tidak dibantah.Maka, di sinilah ia sekarang. Di sebuah rumah minimalis tapi mewah. Rumah pribadi mi
**.Mobil yang diributkan Gara itu benar-benar datang dalam waktu tiga puluh menit kemudian. Dua orang driver yang mengantarkan, hanya menemui Carissa di ambang pintu rumah. Selepas acara serah terima kunci, orang-orang itu seketika balik badan dan pergi. Sangat profesional, sama sekali tidak ingin berdekatan dengan istri bosnya. Nah, sampai titik ini, Carissa masih belum tahu sebesar apa pengaruh seorang Sagara Aditama terhadap dunia di sekitarnya. Tampaknya orang-orang itu seratus persen tunduk kepadanya."Kak, aku boleh keluar, ya? Minimarketnya cuma beberapa blok dari rumah, kan?" Carissa bertanya melalui ponsel."Hidupkan GPS di mobil dan ponselmu, Ris. Selesai langsung pulang, nggak ada acara keluyuran."Kedua alis Carissa terpaut seketika. Ada apa dengan orang ini? Ia kan cuma pamitan belanja ke minimarket, bukannya mau merantau ke negeri seberang. "Paling lama cuma satu jam, kok. Kakak kenapa tambah bawel, sih?""Nurut, nggak? Atau nggak usah keluar sekalian!""I-iya, iya. Ya
**Carissa diam, memandang lama kepada suaminya yang tengah melanjutkan bekerja di ruang tengah rumah mereka. Ini adalah kebiasaan baru Gara ; meminta Carissa menemaninya bekerja selepas makan malam. Biasanya sampai Rissa mengantuk."Apa liat-liat?" celetuk Gara tanpa mengalihkan pandang, sadar bahwa dirinya tengah menjadi pusat perhatian perempuan di sampingnya."S-siapa yang ngeliatin?""Menurutmu siapa?""Enggak."Gara akhirnya menengok dari balik layar laptopnya. "Kenapa malu? Nggak ada yang salah dengan ngeliatin suamimu sendiri, kan? Kecuali kalau kamu liat-liat suami Aneska, itu baru salah."Carissa mendesis. Belakangan Gara senang sekali menggodanya dengan menyangkut-pautkan nama Abian.Entah apa maksudnya lelaki itu berbuat demikian."Aku memang se-good looking itu, sih. Nggak heran. Jangankan kamu, seluruh pegawaiku di kantor, bahkan relasi bisnis aja, sering jatuh cinta dalam sekali pandang.""Kepedean. Itu kan mereka, bukannya aku." Rissa meraih cangkir berisi capuccino di
**"Kamu mau tau kenapa, Ris? Kamu pikir aku ngelakuin semua ini hanya buat kamu?"Rissa bergeming. Sangat tidak mungkin kalau Sagara melakukan semua ini hanya untuknya. Sungguh, Carissa pikir lelaki itu pantas mendapatkan wanita yang jauh lebih daripada dirinya. Lebih cantik, lebih berpendidikan, lebih memiliki value."Nanti suatu hari, aku akan kasih tahu. Untuk sementara ini, anggaplah aku memang lakukan ini hanya buat kamu."Jawaban yang mengecewakan."Ya, anggaplah kamu sedang beruntung. Di saat Mami ribet mau jodohin aku sama Tamara, kamu datang. Win-win solution, right?""Aku nggak puas sama jawabanmu, Kak.""Jangan cerewet. Sana, tidur."Carissa cemberut."Nggak mau tidur? Mau tidur sama aku?"Wajah cemberut itu berganti dengan blushing. Sagara tertawa kecil melihatnya. Manis sekali gadis ini."Kak ... ""Hm?""Aneska perutnya udah gede aja."Sekali lagi, Sagara mengalihkan pandangan dari layar laptopnya. Mendesah lelah, lelaki itu menatap gadis di hadapannya lekat dan berkata
**"Ap-apa aku ganggu?" Rissa mendengar suaranya sendiri bergetar ketika bertanya. Ia tidak bohong, rasa nyeri itu seperti menyengat hati kala melihat Tamara sama sekali tidak sungkan ketahuan menempel-nempel kepada suami orang begitu."Masuk, Ris.""Aku pergi aja kalo Kakak masih sibuk." Oh, shit! Carissa mau menangis."Nggak– hei!" Rissa sudah menjatuhkan paper bag berisi makan siang untuk Sagara, dan hendak berlari keluar ruangan ketika lelaki itu menarik lengannya dengan kuat. "Kamu mau ke mana?""Sepertinya aku ganggu.""Wait! Tamara, tolong keluar. Kamu nggak lihat istriku datang?" Gara mengalihkan pandangan kepada gadis bersurai panjang yang masih dengan santainya memainkan kuku, duduk di atas lengan kursinya."Why?" Ia bertanya dengan nada mencemooh. "Dia udah bilang kan kalo mau anter makan siang kamu aja. Ya kenapa aku harus keluar, sih?""Keluar sekarang atau aku telepon sekuriti biar kamu dikeluarin?"Diiringi decak kesal, gadis seksi itu akhirnya beranjak dengan ogah-ogah
*"Jangan bikin aku jatuh cinta ... "Sagara menatap manik gelap itu. Lapisan tipis yang bening tampak membuat pantulan lampu kamar membayang cantik di sana."Aku udah cukup hancur karena Abian. Aku nggak mau main-main lagi dengan perasaan. Tolong jangan begitu. Aku ngerti Kakak punya segala kuasa buat ngelakuin itu —mainin perasaan orang, tapi tolong jangan aku. Aku nggak sekuat itu kalau sekali lagi harus hancur hanya karena hal bullshit yang disebut cinta." Carissa menggigit bibir bawahnya setelah bicara panjang lebar seperti itu. Tampak menyesali dirinya sendiri, dan sebelum Sagara menyuarakan sesuatu, ia bergegas beranjak dari ranjang."Ris–""Aku mandi dulu. Kamu juga siap-siap, terus kita berangkat ke rumah Mami." Carissa berkata tanpa sama sekali memandang Gara. Gadis itu berlalu ke kamar mandi dan mengunci pintunya dari dalam. Menghembuskan napas keras-keras setelah berada di sana sendirian.Carissa sudah mengatakannya. Ia harap Sagara mengerti. Karena jika suatu saat nanti m
**Sudah cukup larut ketika mobil Sagara memasuki halaman rumah. Pasangan suami istri itu kompak menolak permintaan Yasmin untuk menginap saja di rumah besar. Carissa beralasan bahwa suaminya harus berangkat lebih awal besok, dan rumah mereka memang notabene terletak lebih dekat dengan kantor. Padahal aslinya Carissa berusaha untuk tidak sekamar dengan suaminya. Sementara itu Sagara ... entah apa alasannya."Aku masuk dulu, Kak." Carissa pamit segera setelah memasuki ruang depan."Masuk ke mana?""Ya ke kamarku, lah. Udah malem, aku capek." Carissa mengernyit. "Lagian kamu sendiri juga harus istirahat, kan?"Gara diam dengan pandangan lurus menembus kornea mata Carissa, membuat jengah yang bersangkutan."Kamu nggak minum obat yang dikasih Mami?""Ha?" Kening gadis itu berkerut kian dalam. "Buat apaan? Yang penting udah aku terima, Mami juga udah seneng, kan?"Raut wajah Gara yang datar tapi menusuk itu membuat tengkuk Carissa merinding. Reflek otaknya berkata, ia harus secepatnya menj
**"Nggak."Sagara menatap sayu dengan mata yang sekali-sekali terpejam. Sepertinya lelaki itu memang sudah mabuk. Carissa yang terjebak di dalam kamar, tak bisa keluar karena tangan Gara menahan pintunya, tampak seratus persen ketakutan."Ris ... " Gara menelengkan kepalanya. "Apa kamu bakal kasih kalo aku minta?""K-Kak ... ""Kamu istriku, kan?"Ini seperti menelan buah simalakama. Satu sisi, Rissa mengakui memang memiliki kewajiban kepada lelaki yang sudah berstatus suaminya itu. Namun di sisi lain, ia tidak ingin melakukannya tanpa keterlibatan cinta di dalamnya. Meski demikian, Rissa menaruh respek yang tinggi karena Gara bahkan masih sempat bertanya dan meminta padahal sendirinya terlihat sudah mabuk berat."Kamu nggak mau?" Gara kembali bertanya. Raut kecewa tampak memenuhi wajahnya yang tampan. "Honestly, itu jahat. Tapi kalau kamu nggak mau, ya aku nggak bisa maksa."Gadis bersurai cokelat itu masih membisu dengan berbagai pikiran berkecamuk dan perang batin hebat. Kemudian
**Sagara berlari kencang menyusuri deretan kursi-kursi ruang tunggu bandara. Ia menerabas palang pintu dan tiba tepat sebelum gate keberangkatan akan ditutup. Dengan napas memburu, pria itu menyerahkan boarding pass-nya kepada pramugari yang menatap tak habis pikir. Meski demikian, pramugari cantik itu tidak mengatakan apapun dan memilih bekerja dalam diam sebab tahu bahwa penumpang yang ini bukanlah orang sembarangan. Ia hanya menampakkan seulas senyum kecut.“Silakan duduk di tempat yang sudah anda reservasi, Pak,” ucap si pramugari, mempersilahkan Gara masuk, sebelum kemudian menyudahi proses check-in terakhir. Menghela napas lega, Gara kemudian melangkah masuk dan menghempaskan tubuh berkeringatnya di kursi penumpang yang berada di samping jendela pesawat. Menata napasnya yang tadi sempat terputus-putus.“Rissa, tunggu sebentar ya, Sayang. Aku pulang,” bisiknya sembari memejamkan mata. Jantungnya menderu seperti suara mesin pesawat yang sudah menyala. Ia merapalkan doa, semoga ma
**Abian tersenyum saat meletakkan sebuah foto ke dalam kotak besar bersama bermacam-macam benda lain di dalamnya. Boneka, buku diary, baju, dan semacam itu. Ia pandangi baik-baik foto tersebut dengan senyum yang belum lindap.“Maaf dan terimakasih,” bisiknya bermonolog sementara masih menatap lekat fotonya. “Kamu selalu akan jadi kenangan indah buat aku, Ris. Kamu perempuan terbaik yang pernah aku miliki, tapi Sagara adalah pria terbaik yang dipilihkan Tuhan untukmu.” Abian mengusap foto dirinya dan Rissa itu dengan sayang. “Berbahagialah selalu. Terimakasih masih menjadi bagian dari keluargaku meski kamu nggak bersamaku. Tetaplah hidup bahagia, menjadi pendamping kakakku, ya. Aku tahu dengan lembutnya tutur kata dan tindakanmu, hati batu manusia satu itu pasti bisa meleleh.”Abian menutup kotak tersebut. Kotak yang berisi barang-barang kenangannya dengan sang mantan kekasih.“Nggak ada lagi yang perlu disesalkan sesudah ini. Aku dan Rissa sudah hidup sendiri-sendiri dengan baik. Dia
**Matahari bersinar dengan cerah saat Rissa menarik terbuka tirai tebal yang menutupi jendela kamarnya. Pemandangan di balik kaca jendela itu membuatnya tersenyum. Para maid berlalu lalang di bawah, menata meja dan kursi serta dekorasi cantik di tengah halaman belakang mansion. Sepertinya akan ada acara di sana.Suara derit pintu yang terbuka membuat Rissa mengalihkan atensi. Sagara datang sembari menggendong putri kecilnya.“Good morning, Mama,” ucapnya disertai senyum manis. Sementara Stella seketika mengoceh sembari menggapai-gapaikan tangan mungilnya begitu melihat sang ibu.“Good morning my angels.” Rissa melangkah mendekat. Ia ulurkan tangan, menyambut putri kecilnya yang melonjak-lonjak senang.“Tidur nyenyak, Sayang?” Gara memberikan kening istrinya kecupan kecil.“Banget. Maaf kamu jadi bangun duluan dan ngurus Stella pagi-pagi ya, Kak?”“Aku kan ayahnya Stella, jadi ya memang sudah kewajibanku ngurus dia. She is our child, not only yours or mine, Rissa. Kita bikin berdua, j
**Carissa sudah tenang saat Sagara kembali ke ruangan di mana ia dirawat. Seorang suster yang menemani mohon diri untuk keluar dengan menyembunyikan pipinya yang merona begitu pria rupawan itu masuk. Benar, walau kini Gara sudah bukan lagi bujangan, sudah memiliki seorang istri dan putri kecil yang cantik, namun pesonanya justru bertambah-tambah. Seringkali membuat Rissa jengkel sebab para perempuan itu seperti tak sungkan-sungkan menunjukkan rasa ketertarikan mereka kepada suaminya.“Jangan cemberut begitu, Sayang,” kata Gara, yang seperti biasa, sangat peka melihat perubahan raut wajah istrinya.“Makanya kamu biasa aja, nggak usah seramah itu,” cetus Rissa, semakin cemberut.Gara terkekeh pelan sembari melangkah mendekat kepada wanitanya yang duduk di atas ranjang. “Ya masa orang senyum nggak disenyumin balik. Itu namanya kan sombong.”“Mending dianggap sombong daripada kamu baperin anak orang begitu. Pura-pura nggak tahu apa gimana kalau pemilik sahnya ada di sini?”Tawa Gara kian
**Freddy Fernandez.Carissa belum pernah bertemu muka dengan orang ini, jadi ia tidak tahu siapakah gerangan pria berusia sekitar lima atau enam puluh tahun yang memiliki paras begitu menawan itu. Hanya saja dari gerak-geriknya, bisa ditebak bahwa pria itu bukanlah orang sembarangan. Terlebih ditinjau dari barang-barang branded mewah yang menempel di sekujur tubuhnya. Mulai dari suit berwarna abu-abu gelap yang ia kenakan, hingga jam tangan seharga sebuah unit apartemen eksklusif di ibukota. Golongan old money yang mungkin berada satu tingkat di atas strata sosial keluarga Aditama.Meski demikian, Sagara sama sekali tidak repot-repot menampakkan raut segan atau sesuatu. Ia justru melayangkan tatapan tajam kepada si pria setengah baya yang masih diam di ambang pintu. Dan saat itulah Rissa baru menyadari bahwa pria itu dikawal oleh banyak bodyguard di belakangnya.“Selamat sore, Sagara,” ucapnya dengan nada tegas. Suaranya dalam dan berwibawa, sangat mencerminkan sebesar apa dirinya be
**Carissa merasa kesadarannya timbul dan tenggelam. Ia mengerjap perlahan, berusaha membuka kelopak matanya yang terasa perih sekali. Saat atensinya pelan-pelan mulai jelas, ia menyadari bahwa ini adalah tempat yang asing. Kembali, rasa trauma akan tempat asing seperti membuatnya nyaris kembali pingsan. Terlebih lagi, rasa sakit yang hebat di dada seperti mencekik lehernya saat ia bergerak. Pada saat-saat demikian, tanpa sadar perempuan itu menyebut nama satu-satunya sosok yang melekat dalam ingatannya.“Kak Gara ….”Carissa tidak berharap apapun sebab berpikir Aldric masih menyekap dirinya. Ya, itu adalah hal terakhir yang perempuan itu ingat. Namun kemudian, sebuah suara menjawab rintihannya, membuat kesadarannya seperti seketika dijejalkan dengan paksa ke dalam raganya yang remuk redam.“Sayang? Sayang, kamu bangun? Ini aku, aku. Kamu bisa lihat aku, kan?”Rissa menoleh dengan terkejut, mendapati wajah Sagara yang berada sangat dekat. Ia ingin mengulurkan tangan dan menyentuh waja
**Dua kali Sagara berada pada situasi seperti ini. Kalut, panik dan ketakutan menunggu dokter keluar membawa kabar tentang bagaimana kondisi istrinya. Dua kali pula Sagara merasa gagal menjadi suami yang bertanggung jawab, hingga lagi-lagi istri tercintanya harus berhadapan dengan maut. Sebuah kecelakaan bodoh yang seharusnya tidak perlu terjadi.“Kenapa lama banget?” Ia berdecak kesal, menatap dengki kepada pintu ruangan UGD yang tak kunjung membuka. “Sial! Gue dobrak juga lama-lama pintu sialan itu!”“Sabar sebentar, Pak. Pak Gara bisa duduk dulu, biar nggak terlalu tegang,” saran petugas kepolisian muda yang mendampingi dirinya hingga ke rumah sakit.“Menurutmu aku bisa tenang dalam keadaan seperti ini?” sahut Gara ketus. Membuat si petugas tidak lagi mengatakan kalimat penghiburan. Tuan muda yang satu ini sungguh tidak bisa diajak berbasa-basi. Hanya dengan istrinya seorang ia bisa bersikap seperti manusia biasa.Beberapa saat kemudian, pintu ruangan terbuka dengan seorang dokter
**"Rissa!" Sagara mengguncang tubuh dalam pelukannya itu kuat-kuat. Rasa takut kembali menjalar di sepanjang aliran darahnya saat ia lihat wanitanya memejamkan mata tanpa bergerak. "Rissa, bangun Sayang! Rissa, jangan begini! Bangun!""Kita bawa ke rumah sakit saja, Pak," saran seorang petugas. Membuat Gara membatalkan niatnya untuk mengguncang kembali tubuh sang istri. Dengan bodoh ia menyadari, bahwa seharusnya memang melarikan Rissa ke rumah sakit segera, alih-alih memaksanya bangun seperti itu.Maka, pria itu segera membopong tubuh istrinya. Menjauh dari keramaian dan kerumunan orang-orang yang masih shock, menuju pintu lift yang terlihat berkilauan dari kejauhan. Seorang petugas kepolisian berlari-lari mengikuti dari belakang untuk membantunya membuka pintu lift."Gimana nasibnya Aldric?" desah Gara dengan risau, kepada petugas yang mengikutinya."Aldric?" Pria itu berkata dengan wajah ngeri. "Meninggal di tempat, tentu saja, Pak. Sudah pasti kan, Pak? Nggak ada orang yang bisa
**Apakah ini mimpi buruk yang datang dari dasar neraka?Sagara hanya bisa terbelalak menyaksikan apa yang baru saja terjadi. Itu bukanlah potongan adegan film action. Manusia sakit jiwa bernama Aldric Fernandez itu menarik tubuh istrinya dan membawanya jungkir balik melewati tembok pembatas balkon. Terjun bebas lima belas lantai ke bawah sana.Lantas apa yang bisa Gara lakukan? Pria itu seketika jatuh berlutut. Kedua kakinya tak lagi mampu menopang berat tubuh. Dunia terasa berguncang dan hendak menimpanya sekaligus. Ia butuh seseorang untuk menampar pipinya keras-keras dan menyadarkannya dari ilusi ini.Ilusi?Bukan. Derap langkah para petugas yang berlarian melewatinya menuju balkon di seberang ruangan itu, bukanlah ilusi belaka. Namun sekali lagi, Gara merasa jiwanya melayang keluar, meninggalkan raganya yang mendadak lumpuh. Ia terlalu bingung dan shock untuk melakukan sesuatu.“Ya Tuhan, dia jatuh? Jatuh!” Seruan para petugas itu terdengar sayup-sayup, seperti datang dari kejauh